Anda di halaman 1dari 9

BELL’S PALSY

Definisi
Bell’ Palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis tipe perifer, terjadi secara akut
dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).
Bell‟s palsy merupakan kejadian mendadak (akut), unilateral, paralisis saraf
fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami perbaikan pada
80-90% kasus.

Nama lain prosoplegia


Bila kelumpuhan n.fasialis jelas maka disebut “paralisis n.fasialis perifer
bukan Bell’s Palsy

Etiologi
Penyebab Bell‟s palsy tidak diketahui, dipikirkan penyakit ini bentuk
polyneuritis dengan kemungkinan virus, inflamasi, autoimun dan etiolgi
iskemik.

Epidemiologi
Bell‟s palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang
melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus
paralisis fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.
Bell‟s palsy lebih sering ditemukan pada usia dewasa, orang dengan DM, dan
wanita hamil.

Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar
foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi
paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada
saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit
pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang
unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan
oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks
motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang

1
berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau
dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang,
AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah
satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab,
ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di
os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah
sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu
paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus
lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis
LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia
(tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi
virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum,
nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari
otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra
tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola
mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa
dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka
air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.

Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan:
 Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset akut
(periode 48 jam)
 Nyeri auricular posterior atau otalgia, ipsilateral
 Penigkatan produksi air mata (epifora), yang diikuti penurunan produksi
air mata yang dapat menyebabkan mata kerign (dry eye), ipsilateral
 Hiperakusis ipsilateral
 Gangguan pengecapan, ipsilateral

Gejala awal:
 Kelumpuhan muskulus fasialis unilateral, yang mengakibatkan hilangnya
kerutan dahi ipsilateral, tidak mampu menutup mata ipsilateral, wajah

2
meror/tertarik ke sisi kontralateral, bocor saat berkumur, tidak bias
bersiul
 Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
 Perubahan pengecapan, ipsilateral (30-50%)
 Hiperakusis ipsilateral (15-30%)
 Gangguan lakrimasi ipsilateral (60%)
 Gangguan sensorik wajah jarang ditemukan, kecuali jika inflamasi
menyebar ke saraf trigeminal
Awitan (Onset)
Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48
jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan
distorsi wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak
dan cepat, pasien sering datang langsung ke IGD. Kebanyakan pasien
mencatat paresis terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus paresis mulai
terjadi selama pasien tidur.

Faktor Risiko:
 Paparan dingin (kehujanan, udara malam, AC)
 Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1)
 Penyakit autoimun
 Diabetes mellitus
 Hipertensi
 Kehamilan

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut harus
dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial.
 Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII)
mengakibatkan kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada
lesi UMN (lesi supra nuclear/di atas nucleus fasialis pons), wajah
bagian atas tidak mengalami kelumpuhan, karena Muskulus
orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi bilateral oleh saraf
kortikobulbaris. Inspeksi awal pasien memperlihatkan lipatan datar
pada dahi dan lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan.
 Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan tampak kelumpuhan otot
orbikularis oris unilateral, dan bibir akan tertarik ke sisi wajah yang
normal (kontralateral)
 Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat
datar.

3
 Pada fase awal, pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi
pada sisi yang lumpuh.

Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah, penyebab sentral harus
dipikirkan (supranuklear). Apalagi jika pasien mengeluh juga tentang
adanya kelumpuhan anggota gerak (hemiparese), gangguan keseimbangan
(ataksia), nistagmus, diplopia, atau parese saraf kranialis lainnya,
kemungkinan besar BUKAN Bell’s Palsy, pada keadaan itu harus dicurigai
adanya lesi serebral, seleberal, atau batang otak, oleh karena berbagai sebab,
missal stroke, tumor, infeksi, trauma, dsb.

Progresivitas paresis masih mungkin terjadi, namun biasanya tidak


memburuk setelah hari ke 7 sampai 10. Jika progresivitas masih berlanjut
setelah hari ke 7-10 dicurigai diagnosis lain BUKAN Bell’s Palsy

Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi lebih lanjut,


karena dapat disebabkan oleh Sindroma Guillain-Barre, penyakit Lyme, dan
meningitis, serta autoimun (multiple sclerosis, neurosarcoidosis), dll.

Manifestasi Okular
Komplikasi ocular unilateral; fase awal:
 Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)
 Penurunan sekresi air mata
 Kedua hal diatas dapat mengakibatkan paparan cornea (Corneal
exposure), erosi cornea, infeksi dan ulserasi kornea
 Retraksi kelopak mata atas
Manifestasi okular lanjut
 Ringan: kontraktur pada otot fasial, melebarnya celah palpebra
 Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.
 Sinkinesis otonom (air mata buaya, berupa tetes air mata saat
mengunyah)
 Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena
penurunan fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata.
Nyeri auricular posterior
Separuh pasien dengan Bell‟s palsy mengeluh nyeri auricular posterior.
Nyeri sering terjadi simultan dengan paresis, tapi nyeri mendahului paresis
2-3 hari sekitar pada 25% pasien. Pasien perlu ditanyakan apakah ada
riwayat trauma, yang dapat diperhitungkan menyebabkan nyeri dan
paralisis fasial. Sepertiga pasien mengalami hiperakusis pada telinga
ipsilateral paralisis, sebagai akibat kelumpuhan sekunder otot stapedius.

4
Gangguan pengecapan
Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan gangguan pengecapan,
sekitar 80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan.
Kemungkinan pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang
lain tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal pengecapan
mengindikasikan penyembuhan komplit.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah : Darah lengkap, Gula darah sewaktu, Tes faal ginjal
(BUN/Kreatinin serum)

Penegakan diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bell‟s palsy
adalah diagnosis eksklusi.

Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan


penyebab lain dari paralisis fasialis:
 Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral
 Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan
penyakit cerebellopontin angle (CPA).

Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan motorik
dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus dipikirkan
(misalnya : stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).

Klasifikasi
Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann dengan skala I
sampai VI.
1. Grade I adalah fungsi fasial normal.
2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
• Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.
• Sinkinesis ringan dapat terjadi.
• Simetris normal saat istirahat.
• Gerakan dahi sedikit sampai baik.
• Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
• Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
• asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
• Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan.
• Simetris normal saat istirahat.

5
• Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
• Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
• Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.

4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai


berikut:
• Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
• Simetris normal saat istirahat.
• Tidak terdapat gerakan dahi.
• Mata tidak menutup sempurna.
• Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.

5. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:


• Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
• Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
• Tidak terdapat gerakan pada dahi.
• Mata menutup tidak sempurna.
• Gerakan mulut hanya sedikit.

6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:


• Asimetris luas.
• Tidak ada gerakan otot-otot wajah

Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III dan
IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang
buruk.
Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain disebut
sebagai inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis
dan dapat disebut dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini
seharusnya dicatat pada rekam medic pasien saat pertama kali datang
memeriksakan diri.

Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding,
yaitu:

6
Penatalaksanaan komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
Karena prognosis pasien dengan Bell’s palsy umumnya baik, pengobatan
masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII
(saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf.
Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari onset.
Hal penting yang perlu diperhatikan :
a. Pengobatan inisial
 Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6
hari, diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.
 Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk
pengobatan Bell palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011).
 Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan
fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).
 Apabila tidak ada gangguan fungsi ginjal, antiviral
 Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari
selama 7-10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800
mg oral 5 kali/hari.
b. Lindungi mata
 Perawatan mata: lubrikasi okular topikal dengan air mata artificial
(tetes air mata buatan) dapat mencegah corneal exposure.
c. Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan
menurunkan sequele.
Dilakukan setelah melewati fase akut (+-2 minggu).
Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis untuk memantau perbaikan
setelah pengobatan.

Kriteria Rujukan
1. Bila dicurigai kelainan supranuklear
2. Tidak menunjukkan perbaikan
3. Terjadi kekambuhan atau komplikasi

SaranaPrasarana
1. Stetoskop (loudness balance test) untuk mengetahui hiperakusis

7
2. Palu reflex
3. Tes pengecapan
4. Tes lakrimasi (tes Schirmer)
5. Kapas
6. Obat steroid
7. Obat antiviral

Prognosis
Vitam: Bonam.
Fungsionam: Bonam.
Sanationam: Bonam (terkendali dengan pengobatan pemeliharaan).

8
9

Anda mungkin juga menyukai