Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus
merupakan pedoman dalam pelaksanan pembelajaran pada semua jenis dan jenjang
pendidikan, kurikulum harus sesuai dengan falsafah dan dasar Negara, yaitu pancasila
dan UUD 1945 yang menggambarkan pandangan hidup suatu bangsa. Tujuan dan pola
kehidupan suatu Negara banyak di tentukan oleh system kurikulum yang digunakannya,
mulai dari kurikulum taman kanak-kanak sampai kurikulum pergurusn tinggi. Jika terjadi
pada perubahan system ketatanegaraan maka dapat berakibat pada perubahan system
pendidikan, bahkan system kurikulum yang berlaku.
Kurikulum juga dimiliki oleh sekolah khusus seperti sekolah luar biasa. Sekolah luar
biasa (SLB) adalah sekolah untuk anak-anak berpendidikan khusus. Berbicara tentang
SLB, tidak akan lepas dari keberadaan ABK (anak berkebutuhan khusus). Keluarbiasaan
ini dapat dijadikan dua kategori yaitu: keluarbiasaan yang ada diatas normal dan
keluarbiasaan yang ada di bawah normal. Jika keluarbiasaan yang ada di atas normal
hanya dikenla dengan satu istilah, maka keluarbiasaanyang ada di bawah normal dikenal
dengan berbagai istilah karena memang kondisi keluarbiasaan dibawah normal sangat
beragam. Jenis-jenis keluarbiasaan dibawah normal diantaranya dalah : (1) tunanetra, (2)
tunarungu, (3) tunadaksa, (4) tunalaras, (5) tunagrahita.
Pada kesempatan ini, penulis akan membahas tentang kurikulum yang dipakai pada
sekolah khusus seperti sekolah luar biasa.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana proses perkembangan, bentuk serta penerapan kurikulum pendidikan di
sekolah khusus Seperti Sekolah Luar Biasa (SLB)?

C. Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
a. Menyelasaikan tugas mata kuliah psikologi sekolah
b. Mengetahui sejarah kurikulum Pendidikan Luar Biasa
c. Mengetahui pengertian serta system pendidikan dan metode pengajaran bagi
penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna laras, tuna grahita
d. Melatih kita untuk bersabar dan tulus ikhlas sebagai calon pendidik
e. Dapat saling menghargai kesabaran dan juga pengabdian pendidik yang mengabdi
dengan sepenuh hati di sekolah berkebutuhan khusus
f. Bisa menghargai keberadaan mereka dengan cara tidak mengucilkan atau mengolok-
oloknya

1
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Defenisi Pendidikan Khusus


Pendidikan khusus adalah penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang
berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan
secara inklusif (bergabung dengan sekolah biasa) atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Pendidikan khusus diperuntukan untuk anak berkebutuhan khusus. Menurut pasal 15
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan
khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan
batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional,mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Teknis layanan pendidikan jenis Pendidikan Khusus untuk peserta didik yang berkelainan
atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Jadi Pendidikan Khusus hanya ada pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah. Untuk jenjang pendidikan tinggi secara khusus belum tersedia. PP No. 17
Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas
peserta didik yang: tunanetra; tunarungu; tunawicara; tunagrahita; tunadaksa; tunalaras;
berkesulitan belajar; lamban belajar; autis; memiliki gangguan motorik; menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan memiliki kelainan lain.

B. Pendidikan Luar Biasa (PLB/SLB)


1. Pengertian Pendidikan Luar Biasa
Pendidikan Luar Biasa atau Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan pendidikan
bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental sosial, tetapi memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa.
Dalam Encyclopedia of Disabilitytentang pendidikan luar biasa dikemukakan
sebagai berikut: “Special education means specifically designed instruction to meet
the unique needs of a child with disability”. Pendidikan luar biasa berarti
pembelajaran yang dirancang secara khusus untuk memenuhi kebutuhan yang unik
dari anak kelainan fisik. Ketika seorang anak diidentifikasi mempunyai kelainan,
pendidikan luar biasa sewaktu-waktu diperlukan. Hal itu dikemukakan karena siswa
berkebutuhan pendidikan khusus tidak secara otomatis memerlukan pendidikan luar
biasa. Pendidikan luar biasa akan sesuai hanya apabila kebutuhan siswa tidak dapat
diakomodasi dalam program pendidikan umum. Singkat kata, pendidikan luar biasa
adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan unik dari
individu siswa. Mungkin mereka memerlukan penggunaan bahan-bahan, peralatan,
layanan, dan/atau strategi mengajar yang khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang
kurang lihat memerlukan buku yang hurufnya diperbesar, seorang siswa dengan

2
kelainan fisik mungkin memerlukan kursi dan meja belajar yang dirancang khusus,
seorang siswa dengan kesulitan belajar mungkin memerlukan waktu tambahan untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Contoh yang lain, seorang siswa dengan kelainan pada
aspek kognitifnya mungkin akan memperoleh keuntungan dari pembelajaran
kooperatif yang diberikan oleh satu atau beberapa guru umum bersama-sama dengan
guru pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa merupakan salah satu komponen
dalam salah satu sistem pemberian layanan yang kompleks dalam membantu individu
untuk mencapai potensinya secara maksimal.

2. Sejarah Pendidikan Luar Biasa (PLB/SLB)


Meskipun sejak jaman kuno kondisi kecacatan telah ada dan ditemukan di
seluruh dunia, perlakuan terhadap penyandang cacat ternyata bervariasi dari masa ke
masa, dari budaya yang satu ke budaya yang lain. Perbedaan toleransi masyarakat
terhadap penyandang cacat sangat dipengaruhi oleh kepercayaan dan tradisi
masyarakat, ajaran agama, stabilitas ekonomi, ataupun filsafat yang dianut oleh para
penguasa. Perlakuan terhadap penyandang cacat dapat berupa penerimaan,
perlindungan, atau sebaliknya penolakan atas hak sebagai manusia untuk hidup di
masyarakat. Dengan demikian, penyediaan pendidikan adalah salah satu wujud dari
kepedulian masyarakat terhadap para penyandang cacat.
Pada abad XVIII ditandai dengan perluasan bentuk dan bidang pelayanan sosial
bagi penyandang cacat yaitu dari perawatan menjadi layanan pendidikan. Meskipun
telah ada beberapa upaya mendidik penyandang cacat sejak abad XVI, pendidikan
formal bagi ALB baru muncul pertama kali pada abad XVIII (Irvine, 1988). Berikut
akan diuraikan perkembangan layanan pendidikan bagi setiap jenis kecacatan
berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Irvine:
1) Pendidikan bagi Anak Tuna Rungu
Pada tahun 1555, seorang pendeta berkebangsaan Spanyol bernama Pedro
Ponce de Leon mencoba mengajar membaca, menulis, berbicara, berhitung, dan
menguasai sejumlah mata pelajaran akademik kepada sekelompok anak tuli.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Samuel Heinche (Jerman)
mengembangkan metode pembelajaran yang sepenuhnya oral, menekankan
pengembangan kemampuan berbicara dan membaca bibir. Metode ini kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Friedrich Moritz Hill yang kemudian dipakai di
seluruh dunia. Di samping kemajuan luar biasa dalam pendidikan bagi anak tuna
rungu, satu hal yang sampai sekarang belum disepakati adalah apakah
menggunakan sistem oral, manual, atau gabungan. Masih terdapat
ketidaksepakatan di antara para pakar tentang tingkat keefektifan dari setiap
system.

2) Pendidikan bagi Anak Tuna Netra


Sekolah bagi anak tuna netra yang pertama didirikan di Perancis pada tahun
1784 oleh seorang dermawan Valentine Hauy. Sekolah ini juga menerima murid
yang awas, dengan tujuan untuk tidak mengisolasikan anak tuna netra.
Keberhasilan Hauy ini mendorong dibukanya banyak sekolah sejenis di Eropa.

3
Satu hal penting yang sangat berkaitan dengan layanan pendidikan bagi anak tuna
netra adalah perkembangan sistem baca-tulis. Hauy mengembangkan sistem huruf
timbul untuk dibaca dengan menggunakan jari.

3) Pendidikan bagi Anak Tuna Grahita


Pendidikan bagi anak tuna grahita bermula dari upaya seorang dokter
berkebangasaan Perancis bernama Jean Marc Garpart Itard untuk mendidik
seorang anak berusia 11 tahun yang ditemukan di hutan. Ini ter jadi pada abad
XVIII. Usaha Jean Marc Garpart Itard ini tidak sepenuhnya berhasil, karena anak
tersebut ternyata menyandang cacat mental. Metode yang dipakai kemudian
dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Wild Boy of Aveyron yang terbit
pada tahun 1801.
Metode tersebut sampai sekarang menjadi dasar pembelajaran anak cacat
mental, setelah diterjemahkan secara rinci oleh muridnya yang bernama Edouard
Sequin dan terbit dalam sebuah buku berjudul Idiocy and Its Treadment by the
Physiological Method pada tahun 1866. Beberapa konsep penting yang diuraikan
dalam kedua buku tersebut antara lain:
a. pendidikan anak secara utuh,
b. pembelajaran secara individual,
c. pembelajaran dimulai sesuai dengan tingkat kemampuan anak,
d. hubungan dekat antara murid dan guru.

4) Pendidikan bagi Anak Tuna Laras


Penelusuran perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna laras mungkin
termasuk yang paling sulit. Ada beberapa penyebab, antara lain:
a. kurangnya ketepatan (precision) dalam mengklasifikasi jenis kelainannya
b. kesulitan dalam mendiagnosis, dan
c. kecenderungan menempatkan anak-anak ini dengan jenis kecacatan lain.

5) Pendidikan bagi Anak Tuna Daksa


Sama seperti halnya yang terjadi dengan tuna laras, layanan pendidikan
khusus bagi anak tuna daksa memang termasuk langka. Salah satu sebabnya
adalah bahwa anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak memerlukan layanan
pendidikan tersendiri, yang diperlukan adalah layanan kesehatan atau bantuan
mobilitas. Namun demikian, ada beberapa sekolah yang membuka kelas khusus
bagi anak tuna daksa, seperti di Chicago pada tahun 1899, di Providence pada
tahun 1908, dan di Baltimore pada tahun 1909. Jika sekarang ada sekolah khusus,
sekolah-sekolah ini hanya menampung anak-anak yang menyandang tuna ganda
yang tidak mungkin sama sekali berada di sekolah biasa, seperti anak-anak
celebral palsy.

6) Pendidikan bagi Anak Berbakat


Apabila dilihat dari pelayanan pendidikan yang tersedia, sebenarnya golongan
Anak Supernormal ini adalah yang paling tidak beruntung karena potensi tinggi

4
yang dimilikinya tidak dapat berkembang secara optimal. Ini berarti pula bahwa
kita telah menyianyiakan potensi-potensi unggul yang ada pada manusia.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan Anak Supernormal
perlu kita menengok sejarahnya yang menunjukkan bahwa program khusus bagi
pelayanan Anak Supernormal di dunia telah dirintis sejak tahun 1867 yaitu dengan
berbagai macam usaha, antara lain seperti terselenggaranya sekolah dan kelas
khusus, penelitian-penelitian, berdirinya lembaga yang bertujuan mengembangkan
pendidikan khusus bagi Anak Supernormal.

3. Perkembangan Pendidikan Luar Biasa di Indonesia


Pendidikan luar biasa di Indonesia dapat ditelusuri sampai dengan awal abad
XX. Atas inisiatif dr.Westhoff, pada tahun 1901 dibukalah satu lembaga untuk
penyandang tuna netra yang pertama di Indonesia, bertempat di kota Bandung.
Layanan yang diberikan kepada penyandang tuna netra, baik untuk anak-anak maupun
dewasa, adalah penampungan dan latihan kerja dalam bentuk sheltered workshop
(bengkel kerja terbimbing). Modal utama dalam pendirian yayasan ini berasal dari
keluarga Belanda.
Sekolah bagi anak tuna grahita yang pertama juga didirikan dikota Bandung
pada tahun 1927. Pendiri sekolah ini adalah Vereniging Bijzonder Onderwijs dengan
promotornya bernama Folker, sehingga sekolah ini diberi nama Folker School. Kota
Bandung merupakan kota bersejarah bagi PLB di Indonesia. Kecuali kedua jenis
layanan di atas yang pertama kali dibuka di Bandung, sekolah bagi anak tuna rungu-
wicara yang pertama juga dibuka di Bandung pada tahun 1930.
Tahun 1983 setelah Indonesia merdeka, keberadaan PLB semakin terjamin,
karena undangundang yang berlaku, dalam hal ini UU Pendidikan Nomor 12 Tahun
1954, memuat ketentuan tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa. Namun
demikian, lembaga yang mengawasi dan mengelola PLB telah berkali-kali mengalami
perubahan, sejalan dengan perkembangan dan perubahan dalam tata usaha negara.
Pada kurun waktu ini, satu-satunya lembaga PLB yang ada di tanah air adalah
sekolah luar biasa, yaitu sekolah khusus bagi penyandang jenis kecacatan tertentu.
Yang menarik adalah sampai dengan tahun 1963, PLB dan lembaga pendidikan guru
PLB, yaitu SGPLB masih dikelola dan diawasi oleh instansi yang sama.
Sampai saat itu, sekitar empat ratus buah sekolah luar biasa telah berdiri di
tanah air, hampir semua dikelola oleh yayasan swasta. Sekolah luar biasa
diklasifikasikan menjadi 6 jenis berdasarkan jenis kelainan yang dilayani, yaitu SLB-
A untuk penyandang tuna netra, SLB-B untuk penyandang tuna rungu-wicara, SLB-C
untuk penyandang tuna grahita, SLB-D untuk penyandang tuna daksa, SLB-E untuk
penyandang tuna laras, dan SLB-G untuk penyandang tuna ganda. Jadi jelas bahwa
pada masa ini, PLB hanya disediakan bagi 6 jenis kecacatan dan penyelenggaraannya
hanya terbatas pada sekolah segregatif.
Tahun 1984 merupakan tahun yang mempunyai arti besar bagi dunia pendidikan
di Indonesia, karena pada tahun itulah pemerintah mencanangkan gerakan wajib
belajar enam tahun, yang berarti bahwa semua anak usia sekolah harus menyelesaikan
pendidikan minimal sampai dengan tingkat SD.

5
Tahun 1990 – sekarang, anak diwajibkan turut serta dalam penuntasan wajar 9
tahun, perluasan/peningkatan Subdit PSLB menjadi Direktorat PLB, diujicobakannya
kembali model pendidikan terpadu (menuju pendidikan yang inklusif) di beberapa
daerah, dikeluarkan kebijakan (edaran Dirjen Dikdasmen tentang pendidikan yang
inklusif, dan tumbuh kembangnya sekolah-sekolah “inklusif” di beberapa daerah.

4. Jenis - Jenis Sekolah Luar Biasa


SLB diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus agar bisa mendapatkan
layanan dasar yang bisa membantu mendapatkan akses pendidikan. Dengan jenis
yang berbeda, berbeda pula strategi pembelajaran serta fasilitas yang dimiliki.
1) SLB A
Sekolah ini diperuntukkan bagi anak tunanetra. Mereka biasanya memiliki
hambatan dalam indra penglihatan, sehingga strategi pembelajaran yang diberikan
di sekolah ini harus mampu mendorong mereka memahami materi yang diberikan
oleh para guru. Di SLB A ini, media pembelajarannya berupa buku braille serta
tape recorder.
2) SLB B
Ini merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi anak yang memiliki
kekurangan dalam indra pendengaran atau tunarungu. Media pembelajaran yang
diberikan di sekolah ini yakni membaca ujaran melalui gerakan bibir yang
digabung dengan cued speech yaitu geraka tangan untuk bisa melengkapi gerakan
pada bibir. Selain itu, media lainnya yakni melalui pendengaran dengan alat
pendengaran yaitu conchlear implant.
3) SLB C
SLB C ditujukan untuk tunagrahita atau individu dengan intelegensi yang di
bawah rata-rata serta tidak memiliki kemampuan adaptasi sehingga mereka perlu
mendapat pembelajaran tentang bina diri dan sosialisasi. Mereka cenderung
menarik diri dari lingkungan dan pergaulan.
4) SLB D
Ini merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki
kekurangan dalam anggota tubuh mereka atau disebut tunadaksa. Pendidikan di
SLB D bertujuan mengembangkan potensi diri siswa itu sendiri agar mereka bisa
mandiri dan mengurusi diri mereka.
5) SLB E
Sekolah ini diperuntukkan bagi mereka yang bertingkat tidak selaras dengan
lingkungan yang ada atau biasa disebut dengan tunalaras. Mereka biasanya tidak
bisa mengukur emosi serta kesulitan dalam menjalani fungsi sosialisasi.
6) SLB G
SLB G diperuntukkan bagi tunaganda, yakni mereka yang memiliki kombinasi
kelainan. Mereka biasanya kurang untuk berkomunikasi, atau bahkan tidak
berkomunikasi sama sekali. Perkembangan dalam motoriknya terlambat, sehingga
butuh media pembelajaran yang berbeda untuk bisa meningkatkan rasa mandiri
anak tersebut.

6
C. Kurikulum
1. Pengertian Kurikulum
Istilah kurikulum berasal dari istilah yang dipergunakan dalam dunia
atletik curere yang berarti “berlari”. Istilah tersebut erat hubungannya dengan
kata curier atau kurir yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas
menyampaikan sesuatu kepada orang tempat lain. Dari istilah atletik kurikulum
mengalami perpindahan arti ke dunia pendidikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan
oleh suatu lembaga penyelenggaraan pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang
akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan.
Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan
kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut
serta kebutuhan lapangan kerja. Lama waktu dalam satu kurikulum biasanya
disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari sistem pendidikan yang dilaksanakan.
Kurikulum ini dimaksudkan untuk dapat mengarahkan pendidikan menuju arah dan
tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh.
Kurikulum Pendidikan Khusus adalah kurikulum bagi peserta didik berkelainan
atau berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan pada satuan pendidikan khusus
atau satuan pendidikan reguler di kelas khusus yang bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik secara optimal sesuai kemampuannya.

2. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)


Kurikulum 2004 juga dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
karena kurikulum ini menggunakan desain berbasis kompetensi. Kurikulum ini
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pemerataan memperoleh pendidikan masih
menjadi masalah. Reformasi kurikulum dipandang sebagai salah satu upaya reformasi
pendidikan. Perubahan kurikulum diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan
bangsa Indonesia untuk dapat mengejar kemajuan ilmu penegtahuan dan teknologi.
Arah perubahan kurikulum ditujukan pada pengembangan potensi peserta didik yang
beragam. Setiap individu memiliki keunikan, baik dilihat dari berbagai karakteristik
maupun keberagaman potensi yang dimililki. Perubahan kurikulum diharapkan juga
dapat memfasilitasi kreatifitas guru.
1.) Otonomi Pengembangan Kurikulum
Sebagai implementasi dari PP Nomor 25 tahun 200 tersebut di atas, dalam
pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, ada pendelegasian kewenangan
antara pemerintah (pusat) dengan sekolah sebagai berikut:
1. Pemerintah pusat:
• Tujuan Pendidikan Nasional
• Kompetensi lintas kurikulum
• Kompetensi lulusan
• Standar kompetensi mata pelajaran
• Kompetensi dasar
• Materi pokok
• Indikator pencapaian kompetensi

7
2. Sekolah:
• Kurikulum (visi, misi, struktur)
• Silabus (pengalaman belkajar, alokasi waktu, sumber bahan, alat)
• Penilaian (jenis tagihan, soal / butir, pengelolaan hasil ujian, pelaporan)

Oleh karena dokumen final kurikulum yang dipakai (kurikulum, silabi dll)
dikembangkan oleh sekolah, dokumen ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP).

2.) Struktur Kurikulum SLB


Struktur kurikulum setiap jenis dan jenjang pendidikan telah ditetapkan dalam
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006. Bagi SLB (di sini
disebut pendidikan Khusus), struktur dikembangkan untuk peserta didik
berkelainan fisik, emosi, mental, dan / atau sosial berdasarkan standar kompetensi
lulusan, standar kompetensikelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi
mata pelajaran. Peserta didik berkelainan dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori, yaitu:
a. Peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di
bawah rata-rata.
b. Peserta didik berkelainan disertai dengan kemampuan intelektual di bawah
rata-rata.

Melihat kategorisasi ini, pola pikir yang dipakai tidak jauh berbeda dengan
pola pikir kurikulum SLB tahun 1994, yaitu bahwa bagi anak berkelainan tanpa
disertai kemampuan intelektual di bawah rata-rata, tujuan pendidikan adalah
menyiapkan mereka mengikuti program pendidikan umum agar dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan bagi anak
berkelainan dengan kemempuan intelektual di bawah ratarata, diperlukan
kurikulum yang lebih spesifik, sederhana, dan bersifat tematik untuk mendorong
kemandirian dalam kehidupan sehari-hari. Pada jenjang sekolah menengah,
program yang disediakan lebih bersifat vokasional.
Program kurikulum terbagi menjadi kelompok mata pelajaran, muatan lokal,
program khusus, dan pengembangan diri. Muatan lokal merupakan kegiatan
kurikuler untuk mengembangkan potensi yang disesaikan dengan ciri khas dan
potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat
dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal
ditentukan oleh satuan pendidikan.
Program khusus berisi kegiatan bervariaso sesuai dengan jenis kelainan
peserta didik, yaitu orientasi mobilitas untuk peserta didik tuna netra, bina
komunikasi, persepsi bunyi, dan irama untuk peserta didik tunarungu, bina diri
untuk peserta didik tuna grahita, bina gerak untuk peserta didik tuna daksa, dan
bina pribadi / sosial untuk peserta didik tunalaras.

8
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh
guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan,
kemampuan, bakat, dan minat, sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan
pengembangan diri difasilitasi dan / atau dibimbing oleh konselor, guru, atau
tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk ekstra kurikuler.

 Struktur Kurikulum SDLB


KELAS/ ALOKASI WAKTU
KOMPONEN / MATA PELAJARAN
I II III IV V VI
1. Pendidikan Agama
2. Pendidikan Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia
4. Matematika
5. Ilmu Pengatahuan Alam
6. Ilmu Pengetahuan Sosial
7. Seni Budaya dan Keterampilan
8. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
9. Muatan Lokal
10. Program Khusus (sesuai kelainannya)
 Orientasi & Mobilitas
 Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi & Irama
 Bina Gerak
 Bina Bribadi & Sosial
11. Pengembangan Diri
Jumlah

 Struktur Kurikulum SMPLB


KELAS/ ALOKASI WAKTU
KOMPONEN / MATA PELAJARAN
VII VIII IX
1. Pendidikan Agama
2. Pendidikan Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia
4. Bahasa Inggris
5. Matematika
6. Ilmu Pengatahuan Alam
7. Ilmu Pengetahuan Sosial

9
8. Seni Budaya dan Keterampilan
9. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
10. Keterampilan Vokasional/ Teknologi Informasi
dan Komunikasi
11. Muatan Lokal
12. Program Khusus (sesuai kelainannya)
 Orientasi & Mobilitas
 Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi & Irama
 Bina Gerak
 Bina Bribadi & Sosial
13. Pengembangan Diri
Jumlah

 Struktur Kurikulum SMALB


KELAS/ ALOKASI WAKTU
KOMPONEN / MATA PELAJARAN
X XI XII
1. Pendidikan Agama
2. Pendidikan Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia
4. Bahasa Inggris
5. Matematika
6. Ilmu Pengatahuan Alam
7. Ilmu Pengetahuan Sosial
8. Seni Budaya dan Keterampilan
9. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
10. Keterampilan Vokasional/ Teknologi Informasi
dan Komunikasi
11. Muatan Lokal
12. Program Khusus (sesuai kelainannya)
 Orientasi & Mobilitas
 Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi & Irama
 Bina Gerak
 Bina Bribadi & Sosial
13. Pengembangan Diri
Jumlah

10
3. Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus Luar Biasa
Pendidikan khusus yang dimaksud dalam pendoman ini adalah pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan ditambah
lagi masih mengalami hambatan intelektual.
Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam
mengimplementasikan Kurikulum 2013 untuk pendidikan khusus atau sekolah luar
biasa (SDLB, SMPLB, dan SMALB) dimulai pada tahun ajaran 2014/2015 untuk
semua satuan pendidikan dan dilaksanakan dengan pola secara bertahap. Pelaksanaan
secara bertahap yakni :
1. Pada tahun ajaran 2014/2015 diawali dengan kelas I, IV, VII, dan X.
2. Pada tahun ajaran 2015/2016 menyasar pada kelas I, II, IV, V, VII, VIII, dan X,
XI.
3. Pada tahun ketiga, yaitu tahun ajaran 2016/2017 kelas I, II, III, IV, V, VI, VII,
VIII, IX, X, dan XI.
4. Kemudian, pada tahun ajaran 2017/2018 seluruh kelas baik SDLB, SMPLB,
maupun SMALB diharapkan telah melaksanakan Kurikulum 2013 untuk
Pendidikan Khusus.

Agar pengimplementasian Kurikulum 2013 bagi peserta didik berkebutuhan


khusus di seluruh Satuan Pendidikan Khusus (SDLB, SMPLB, dan SMALB) yang
pada umumnya memiliki hambatan intelektual tetap berjalan dengan baik, maka
diperlukan Pedoman Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus.

1.) Landasan Hukum


Dalam penyusunan Pedoman Implementasi Kurikulum 2013 untuk
Pendidikan Khusus ini berdasarkan pada beberapa peraturan perundang-
undangan sebagai berikut.
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas.
3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan
Menengah.
4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah.
5. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
6. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
7. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar.

11
Kompetensi dalam Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus dirumuskan dalam
Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI), dan Kompetensi
Dasar (KD). Kompetensi dalam Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus
mencangkup tiga ranah yang memiliki lintasan perolehan (proses
psikologis)yaitu
1. Ranah sikap yang dapat diperoleh melalui aktivitas “menerima,
menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”.
2. Ranah pengetahuan Pengetahuan dapat diperoleh melalui aktivitas
“mengingat, memahami, menerapkan,menganalisis, mengevaluasi,
mencipta”, dan
3. Ranah keterampilan dapat diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya,
mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”.

Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus menerapkan pendekatan proses berpikir


ilmiah (saintifik) yang diperkuat dengan pendekatan, tematik terpadu (tematik
antarmatapelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan
pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning),
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan pembelajaran berbasis
projek (project based learning).

2.) Tujuan dan Fungsi Panduan


Konsep dasar dari penyusunan pedoman implementasi kurikulum ini yakni :
1. Bertujuan adalah untuk memandu guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah
dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus.
2. Berfungsi sebagai acuan dalam implementasi kurikulum secara opersional di
sekolah khusus/sekolah luar biasa (SDLB, SMPLB dan SMALB).

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kurikulum terus berkembang seirama dengan dinamika masyarakat dan kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum harus disesuaikan dengan dinamika
dan tuntutan masyarakat karena kurikulum rancangan / program (pembelajaran) yang
bertujuan untuyk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat. Kurikulum
tidak boleh terlalu jauh tertinggal dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
selaras dengan salah satu fungsi pendidikan sebagai konservasi kebudayaan, sedangkan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni merupakan bagian dari kebudayaan.
Perkembangan sistem layanan pendidikan luar biasa di Indonesia memang sedikit
terlambat dibandingkan dengan sistem yang dipakai oleh berbagai negara maju. Sistem
layanan PLB/SLB yang paling tua adalah sistem segregatif, yaitu menyediakan layanan
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di tempat-tempat khusus, terpisah dari
teman sebayanya yang normal.

B. Saran
Oleh karena itu, untuk lembaga pendidikan yang telah di bentuk atau yang akan baru
dibentuk seperti sekolah agar memiliki kurukulum yang efisien serta efektif dalam proses
belajar mengajar di sekolah guna melancarkan aktivitas di sekolah. Dan semoga dengan
adanya pembentukan kurikulum di sekolah-sekolah khususnya pada sekolah luarb iasa
diharapkan dapat memberikan contoh untuk para siswa, orang tua siswa, dan bahkan
guru-guru serta staf yang ada di ruang lingkup sekolah. Baik itu sekolah inklusi,
adiwiyata, alam, Islam terpadu, home schooling serta sekolah khusus seperti Sekolah Luar
Biasa (SLB) agar dapat menjaga dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang
serta kelembutan.

13
DAFTAR PUSTAKA
Desma Husni, dkk. 2012. Psikologi Sekolah. Pekanbaru: Al-Mujtahaddah Press.
Drs. Wasty Soemanto, M. Pd. 2003. Psikologi Pendidikan Edisi Baru. Jakarta: Rineka Cipta.
Haryanto. 2011. Diktat Pengembangan Kurikulum Pendidikan Luar Biasa. Yogyakarta.
Prof. Dr. S. Nasution, M.A. 2012. Kurikulum & Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Penerbit: Kencana Prenada.
Sunardi. 2010. Kurikulum Pendidikan Luar Biasa di Indonesia Dari Masa Ke Masa. Pusat
Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional.
http://www.scribd.com/doc/51709600/172/Psikologi-sekolah. Diakses pada 20 September
2019 Pukul: 16.21.
https://yuswan62.wordpress.com/kurikulum-2013-pendidikan-khusus/implementasi-
kurikulum-pendidikan-khusus-di-tahun-2017-2018/. Diakses pada 20 September 2019
Pukul: 16.21.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum. Diakses pada 20 September 2019 Pukul: 16.23.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_khusus. Diakses pada 21 September Pukul: 12.15.

14

Anda mungkin juga menyukai