Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

“Tetanus”

Pembimbing:
dr. Much. Maschun, Sp.PD

Disusun oleh:
Nada Shauti Sadida G1A014112
Ahmad Zulfikar G1A014113
Thomas Nata Nugraha G1A014114
Wafika Andira G1A014115
Azhar Naufaldi Saputra G1A014116

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF.


MARGONO SOEKARJO FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

“Tetanus”

Disusun oleh:
Nada Shauti Sadida G1A014112
Ahmad Zulfikar G1A014113
Thomas Nata Nugraha G1A014114
Wafika Andira G1A014115
Azhar Naufaldi Saputra G1A014116

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan


Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Pada tanggal, November 2017

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Much. Maschun, Sp.PD

i
I. PENDAHULUAN

Tetanus masih menjadi salah satu penyakit dengan angka mortalitas yang
tinggi, terutama pada negara yang masih berkembang. Terdapat kira-kira 800.000-
1.000.000 kematian diakibatkan oleh tetanus (Cook, 2001). Tetanus adalah
penyakit yang disebabkan oleh bakteri obligat anaerob, gram positif, Clostridium
tetani. Bakteri ini hidup dalam tanah, dan juga feses hewan. Bakteri ini motil,
membentuk spora. Clostridium tetani menimbulkan gejala klinis setelah
melepaskan eksotoksinnya yang kuat (CDC, 2006).
Spora Clostridium tetani tahan terhadap perubahan temperatur dan
kelembaban, dan bertahan hidup lama di tanah. Kontaminasi pada luka dapat
mengakibatkan inokulasi dari spora C. Tetani (Rodrigo, 2016). Kondisi anaerob
dalam jaringan yang nekrosis menjadi lingkungan ideal untuk spora C. Tetani
untuk bertambah menghasilkan toksin, tetanospasmin, dan tetanolysin (Ingole,
2016). Kegagalan dalam deteksi dan penanganan awal dapat berakibat fatal.
Toksin akan menyebar melalui darah dan sistem limfatik. Toksin ini
bekerja pada sistem saraf sentral, motor end plate, spinal cord, dan otak
(Ingole, 2016). Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh tetanus berkaitan dengan
toksin tetanus yang menganggu pelepasan neurotransmitter, menghalangi proses
inhibisi saraf. Hal ini mengakibatkan spasme dan kontraksi otot yang tidak teratur.
Selain itu, kejang juga dapat terjadi dan sistem saraf otonom bisa ikut terlibat
(Cook, 2001).
Manifestasi klinis yang biasa ditimbulkan oleh tetanus adalah trismus atau
locked jaw, yang disebabkan oleh karena spasme otot masseter (CDC, 2006).
Kekakuan tersebut lalu menyebar ke bawah menuju tangan, batang tubuh setelah
1-2 hari. Pemberian vaksin untuk tetanus sudah terbukti menurunkan angka
kejadian tetanus secara signifikan (Rodrigo, 2016).

1
II. STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien

 Nama : Tn. Nadir Nasrudi


 Usia : 61 tahun
 Status : menikah
 Agama : Islam
 No. RM : 02029385

 Tgl masuk : 14 November 2017


 Tgl periksa : 14 November 2017

B. Anamnesis
 Keluhan Utama :
Kaku di mulut dan badan sejak kemarin
 Keluhan tambahan :
Nyeri, tidak bisa makan minum, luka terbuka di telapak kaki, bernanah
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk melalui IGD RSMS dengan keluhan kaku di mulut, kaku
di badan, tidak bisa makan minum. Kronologis kejadian, 2 minggu lalu
telapak kaki kiri pasien terluka terkena cangkul saat bekerja di sawah
milik sendiri, sebelumnya sudah berobat ke Puskesmas setempat namun
tidak ada perubahan.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan serupa :-
Riwayat penyakit hipertensi :+
Riwayat penyakit diabetes melitus :-
Riwayat penggunaan obat :-
Riwayat alergi :-
Riwayat operasi :-
 Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluhan serupa :-
Riwayat memiliki hipertensi :+

2
3

Riwayat memiliki diabetes melitus :-


 Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien adalah seorang kepala keluarga. Saat ini pasien tinggal bersama
istri pasien

C. Pemeriksaan Fisik
KU/KES : sedang/Compos Mentis
TD : 147/86 mmHg
N : 89 x/min
RR : 20 x/min
T : 36 ˚C
BB : 60 kg
TB : 160 cm
IMT : 23.4 (normal)
Kepala : mesosefal
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/- Pupil isokor
Hidung : napas cuping hidung –, discharge -
Mulut : bibir sianosis -, lidah sianosis – trismus (+)
Leher : simetris, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada
pembesaran tiroid, deviasi trakea –, kaku leher (+)
Paru
 Inspeksi : simetris, tidak ada retraksi, wheezing-/-
 Palpasi : vokal fremitus D = S
 Perkusi : sonor di semua lapang paru
 Auskultasi : suara dasar vesikular +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Cor
 Inspeksi : pulsasi iktus kordis tak terlihat.
 Palpasi : iktus kordis teraba di SIC 5 linea mid-klavikula
sinistra.
 Perkusi : batas jantung normal.
 Auskultasi : S1 > S2, Gallop -, Murmur -.
4

Abdomen
 Inspeksi : datar
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani
 Palpasi : tidak ada nyeri tekan, kaku perut (+)

Hepar : dbn
Lien : tidak teraba besar
Pemeriksaan punggung :
 Columna Vertebrae : dbn
 Ginjal : Nyeri ketok CVA -
Ekstremitas
 Superior : edema -/-, sianosis -/-
 Inferior: edema -/-, sianosis -/-
Pemeriksaan limfonodi : dbn
Pemeriksaan refleks :
 Refleks fisiologis : +/+/+/+
 Refleks patologis : -/-/-/- Kaku kuduk (+)
Pemeriksaan turgor kulit : <2 detik
Pemeriksaan akral : hangat
5

SOAP PASIEN

S O A P
16 November 2017 RL+diazepam 2A(drip) 20 tpm
Mulut kaku KU/KES: Inj Ceftriaxon 2x1 gr IV
Badan kaku sedang /CM Tetanus Inj Metronidazol 3x500 mg IV
Sulit makan TD: 130/80 Inj Ranitidin 2x50 mg IV
Luka pada kaki N: 90 x/min Inj Tetagam 3000 IU boka +
RR: 26x/min 3000 IU boki
S : 36.3 C Diet sonde NGT +TKTP cair

17 November 2017 RL+diazepam 2A(drip) 20 tpm


Mulut kaku KU/KES: Inj Ceftriaxon 2x1 gr IV
Badan kaku sedang /CM Inj Metronidazol 3x500 mg IV
Sulit makan TD: 160/100 Tetanus Inj Ranitidin 2x50 mg IV
Luka pada kaki N: 161 x/min Diet sonde NGT +TKTP cair
RR: 34x/min Pindah ICU
S : 36.5 C

Sa O2 : 98%

D. Pemeriksaan Penunjang
Tgl 14-11-2017

Hb: 15.8
Leu : 15.980 (H)
Ht : 446
Erit : 5.2
Trom: 422.000 (L)
Ur: 37.2
Cr: 0.77
GDS: 126
Na: 142 (L)
K: 4,7 (H)
Cl: 104(L)
6

E. Diagnosis
Tetanus

F. Terapi yang diberikan


Non Farmakologis:
 Edukasi keluarga tentang penyakit dan prognosis penyakit
 Mengatur pola dan porsi makan
 Debridement luka
 NGT
 O2 4 LPM
 Pemasangan kateter
Farmakologis:
 IVFD RL+2A Diazepam (drip) 20 tpm
 INJ Ceftriaxon 2x1 gr (IV) ST
 INJ Metronidazol 3x500 mg
 INJ Ranitidin 2x50 mg
 INJ Tetagam 3000 IU BOKA+ 3000 IU BOKI (IM) ST
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tetanus, juga dikenal sebagai lockjaw, adalah infeksi yang ditandai
dengan kejang otot. Pada tipe yang paling umum, kejang dimulai di rahang
dan kemudian berlanjut ke bagian tubuh lainnya. Kejang ini biasanya
berlangsung beberapa menit setiap kali dan sering terjadi selama tiga sampai
empat minggu. Kejang yang parah bisa mengakibatkan juga patah tulang.
Gejala lainnya yaitu demam, berkeringat, sakit kepala, masalah menelan,
tekanan darah tinggi, dan denyut jantung yang cepat. Gejala-gejala tersebut
biasanya muncul selama tiga sampai dua puluh satu hari setelah infeksi.
Diperlukan waktu berbulan-bulan untuk sembuh. Sekitar 10% kasus
menyebabkan kematian pada penderitanya (Atkinson, 2012).

B. Epidemiologi
Tetanus banyak ditemukan di negara-negara berkembang. Hal ini
biasa terjadi di daerah di mana tanah dibudidayakan, di daerah pedesaan, di
daerah beriklim hangat, dan musim panas yang berjangka panjang. Di negara-
negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terutama
berkembang pada neonatus dan anak-anak (Fetuga, 2010). Meskipun tetanus
mempengaruhi semua umur, prevalensi tertinggi yaitu pada bayi baru lahir
dan muda. Pada tahun 1992, diperkirakan 578.000 kematian bayi disebabkan
oleh tetanus neonatal. Pada tahun 1998, 215.000 kematian terjadi akibat
tetanus, lebih dari 50% di antaranya terjadi di Afrika.
Tetanus adalah penyakit target Program Perluasan Imunisasi oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Secara keseluruhan, kejadian tahunan
tetanus adalah 0,5-1 juta kasus. WHO memperkirakan bahwa pada tahun
2002, ada 213.000 kematian tetanus dengan 198.000 di antaranya pada anak-
anak di bawah 5 tahun.
1. Demografi terkait usia
Tetanus neonatal jarang terjadi, paling sering terjadi di negara-
negara tanpa program vaksinasi yang komprehensif. Risiko

7
8

pengembangan tetanus dan bentuk penyakit yang paling parah tertinggi


pada populasi lanjut usia. Di Amerika Serikat, 59% kasus dan 75%
kematian terjadi pada orang berusia 60 tahun atau lebih. Dari tahun 1980
sampai 2000, 70% kasus tetanus yang dilaporkan di Amerika Serikat
termasuk di antara orang berusia 40 tahun atau lebih. Dari semua pasien
ini, 36% lebih tua dari 59 tahun dan hanya 9% lebih muda dari 20 tahun
(Pascual, 2003).
2. Demografi terkait seks
Tetanus mempengaruhi kedua jenis kelamin. Tidak ada predileksi
gender secara keseluruhan yang dilaporkan, kecuali laki-laki memiliki
lebih banyak pemaparan tanah di beberapa budaya. Di Amerika Serikat
dari tahun 1998 sampai 2000, kejadian tetanus 2,8 kali lebih tinggi pada
pria berusia 59 tahun dan lebih muda dari pada wanita pada rentang usia
yang sama (Pascual, 2003).
Perbedaan tingkat kekebalan tetanus ada di antara jenis kelamin.
Secara keseluruhan, pria diyakini lebih terlindungi dari pada wanita,
mungkin karena vaksinasi tambahan diberikan selama dinas militer atau
kegiatan profesional. Di negara-negara berkembang, wanita memiliki
kekebalan yang meningkat dimana toksoid tetanus diberikan kepada
wanita usia subur untuk mencegah tetanus neonatal (Pascual, 2003).
3. Demografi terkait ras
Tetanus mempengaruhi semua ras. Dari tahun 1998 sampai 2000,
kejadian tetanus di Amerika Serikat paling tinggi di antara orang Hispanik
(0,38 kasus per juta penduduk), diikuti oleh orang kulit putih (0,13 kasus
per juta penduduk) dan kemudian oleh orang Afrika Amerika (0,12 kasus
per juta penduduk) (Pascual, 2003).

C. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang
memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C.
tetani adalah basil, gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat
anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses
9

pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan


bentuk yang dapat menimbulkan tetanus (Ang J, 2003).
Spora C. tetani relatif resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan
pemanasan. Spora tahan terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan kimia
lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan di dalam air mendidih selama
15 menit dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi menggunakan uap
tersaturasi dengan tekanan 15 lbs selama 15-20 menit pada suhu 121°C juga
dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi menggunakan panas
kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu 160°C)
tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat
membunuh spora (Edlich RF, et al., 2003).
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan.
Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah
banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan
pertanian, manusia dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat
ditemukan pada permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi (Ang J,
2003).
Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan
terkontaminasi sampai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke
bentuk vegetatif. Transformasi terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen
akibat: (a) terdapat jaringan mati dan benda asing, (b) crushed injury, dan (c)
infeksi supuratif (Ang J, 2003).

Gambar 3.1. Pewarnaan Gram C. Tetani (Todar, 2007).


10

D. Faktor Risiko
Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Seseorang biasanya
terinfeksi tetanus saat C. tetani masuk ke luka atau terluka akibat benda yang
terkontaminasi C.tetani. Kuman tetanus biasanya tumbuh dalam luka tusukan
yang disebabkan oleh kuku yang kotor, pisau dan alat-alat yang
terkontaminasi, serpihan kayu, dan gigitan hewan.
Wanita cenderung memiliki risiko infeksi tambahan jika alat yang
digunakan saat proses persalinan terkontaminasi. Bayi yang baru lahir juga
dapat terinfeksi jika pisau, pisau cukur, atau instrumen lain yang digunakan
untuk memotong dan membalut tali pusatnya, atau tangan tenaga medis dan
yang mengantar si bayi terkontaminasi. Pada anak-anak juga perlu
diwaspadai kontaminasi C. tetani pada alat untuk sirkumsisi, tindik kulit, dan
sebagainya, yang dapat menjadi media transmisi kuman (WHO, 2010).

E. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih
lama tiga atau beberapa minggu) (Sudoyo,2006). Karakteristik tetanus :
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7
hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari
leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw)
karena spasme otot masetter.
5. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus, nuchal rigidity).
6. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
7. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya
kesadaran tetap baik.
11

F. Patomekanisme
Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolysin
dan tetanospasmin. Tetanolysin merupakan suatu hemolisin dan bersifat
oxygen labile (mudah diinaktivasi oleh oksigen), sedangkan tetanospasmin
merupakan suatu neurotoksin yang bersifat heat labile (tidak tahan panas).
Tetanolysin dikode oleh plasmid. Toksin ini secara serologis mirip dengan
Streptolysin O (Streptococcus pyogenes) dan hemolysin yang dihasilkan
oleh Clostridium perfringens dan Listeria monocytogenes. Kepentingan
klinis dari toksin ini tidak diketahui karena sifatnya yang mudah dihambat
oleh oksigen dan serum kolesterol (Murray, 2013).
Tetanospasmin adalah toksin yang berperan dalam manifestasi klinis
tetanus. Begitu toksin ini terikat dengan saraf, toksin tidak dapat dieliminasi.
Penyebaran tetanospasmin dapat melalui jalur hematogen ataupun limfogen,
kemudian mencapai targetnya yaitu di ujung saraf motorik. Toksin ini
memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A (light chain) dan subunit B
(heavy chain). Begitu toksin disekresikan, suatu protease endogen akan
memecah tetanospasmin mejadi 2 subunit. Reseptor untuk toksin ini adalah
gangliosida pada neuron motoris. Domain pengikat karbohidrat
(Carbohydrate-binding Domain) pada ujung carboxy-terminal subunit B
berikatan dengan reseptor asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada
permukaan sel saraf motorik. Kemudian toksin akan diinternalisasi oleh
vesikel endosome. Asidifikasi endosome akan menyebabkan perubahan
konformasi ujung N-terminus subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B
kedalam membrane endosome, sehingga memungkinkan subunit A keluar
menembus membran endosome menuju ke sitosol. Toksin mengalami
retrograde axonal transport dari perifer kemudian menu saraf presinaps,
tempat toksin tersebut bekerja (Farrar, 2014).
Subunit A merupakan suatu zinc-dependent metalloprotease
yang

memecah vesicle-associated membrane protein-2 (VAMP-2) (atau


sinaptobrevin). Protein ini merupakan komponen utama SNARE-complex
yang berperan dalam endositosis dan pelepasan neurotransmitter. Toksin ini
12

menghambat pelepasan inhibitory neurotransmitter, yaitu glycine dan


GABA (gamma-amino butyric acid) sehingga aktifitas motor neuron menjadi
tidak terinhibisi dan memberikan gambaran kekakuan otot, spasme dan
paralisis spastik. Proses ini terjadi di semua sinaps, termasuk neuromuscular
junction (NMJ). Otot-otot yang memiliki jaras persarafan (neuronal
pathways) terpendek akan terkena lebih dahulu, seperti otot-otot mastikasi.
Sehingga pada awal gejala timbul trismus (kaku rahang) dan disfagia (Farrar,
2014).

G. Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi
klinis dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Manifestasi klinis
yang paling sering ditemukan yaitu trismus, selain itu, pemeriksaan fisik
menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat,
kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf
sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal
maupun general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2
minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus
toksoid yang jelas (Edlich RF, et al., 2003).
Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam
dimana pertumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang
paling umum adalah luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum
atau post-abortus, injeksi intramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka.
Penting untuk menekankan bahwa trauma minor dapat menimbulkan tetanus.
Pada 30% pasien tidak tampak adanya tempat masuk (portal of entry).
Tetanus telah diidentifikasi setelah berbagai cedera jaringan, termasuk injeksi
intravena dan intramuskular, akupuntur, tindik telinga, dan bahkan luka akibat
tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti otitis media
dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk
berdasarkan manifestasi klinisnya yakni tetanus lokal, tetanus sefalik, tetanus
general, serta tetanus neonatorum (Cottle LE, et al., 2011).
13

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang.


Pemeriksaan cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
akibat kontraksi otot. Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya
normal dan tidak membantu diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat
keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang
T. Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat
dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi
tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil untuk
memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif
(Ongurin, 2009).
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan
penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya
adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga
sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis (Sjamsuhidajat , et al., 2005).
Tabel 3.1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus
Parameter Nilai
Masa < 48 jam 5
inkubasi 2-5 hari 4
6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1
Lokasi Internal dan umbilikal 5

infeksi Leher, kepala, dinding tubuh 4


Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1
Status Tidak ada 10

imunisasi Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi 8


(pada neonatus)
> 10 tahun yang lalu 4
14

< 10 tahun yang lalu 2


Imunisasi lengkap 0
Faktor Penyakit atau trauma yang mengancam 10

pemberat nyawa
Keadaan yang tidak langsung mengancam 8
nyawa
Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan


didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut
dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan,
(b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.

Tabel 3.2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett


Grade I Trismus ringan hingga sedang, spastisitas
(ringan) general, tidak ada distres pernapasan, tidak ada
spasme dan disfagia.
Grade II Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme
(sedang) ringan hingga sedang dengan durasi pendek,
takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme
(berat) spontan yang memanjang, distres pernapasan
dengan takipnea ≥ 40 kali/menit, apneic spell,
disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit.
Grade III B Keadaan seperti pada grade III ditambah
(sangat berat) disfungsi otonom berat yang melibatkan sistem
kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia
bergantian dengan hipotensi relatif dan
15

bradikardia, salah satunya dapat menjadi


persisten.

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967


dan menurut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering
digunakan (Afshar M, et al., 2011). Udwadia (1992) kemudian sedikit
memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia.

Tabel 3.3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia


Grade I Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general,
(ringan) tidak ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan
disfagia.
Grade II Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme
(sedang) ringan hingga sedang dengan durasi pendek,
takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme
(berat) spontan yang memanjang, distres pernapasan
dengan takipnea ≥ 40 kali/menit, apneic spell,
disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit,
keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.

Grade IV Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi


(sangat berat) otonom berat yang melibatkan sistem
kardiovaskuler: hipertensi menetap (> 160/100
mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik

< 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang sering


diikuti hipotensi.

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di


Dakar, Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar
dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama (Ogunrin O,
2009).
16

Tabel 3.4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus


Faktor Skor 1 Skor 0
prognostik

Masa inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak


diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari

Tempat masuk Umbilikus, luka Penyebab lain dan


bakar, uterus, penyebab yang tidak
fraktur terbuka, luka diketahui
operasi, injeksi
intramuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam o o
> 38.4 C < 38.4 C
Takikardia Dewasa > 120 Dewasa < 120
kali/menit kali/menit
Neonatus > 150 Neonatus < 150
kali/menit kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai


berikut:
 Skor 0-1: tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
 Skor 2-3: tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
 Skor 4: tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
 Skor 5-6: tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

H. Tatalaksana
1. Farmakologis
a. Eleminasi produksi toksin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan di debridement
untuk mengurangi muatan bakteri dan mencegah produksi toksin lebih
lanjut. Antimikroba digunakan untuk mengurangi jumlah bentuk
vegetatif C tetani (sumber toksin) pada luka. Selama bertahun-tahun,
17

penisilin G digunakan secara luas untuk tujuan ini, namun bukan lagi
menjadi obat pilihan saat ini. Hal ini dikarenakan penisilin juga
diketahui merupakan agonis tetanospasmin (toksin tetanus) yang
bekerja menghambat pelepasan neurotransmiter GABA (Laksmi,
2014).
Di Indonesia, Metronidazol IV (misalnya 0,5 g setiap 6 jam)
merupakan terapi pilihan saat ini. Antibiotik ini memiliki aktivitas
antimikroba yang sebanding atau lebih baik dari pensilin G, dikaitkan
pula dengan mortalitas yang lebih rendah (Ahmadsyah,1985).
Antimikroba lain yang dapat digunakan yaitu klindamisin, eritromisin,
tetrasiklin, dan vankomisin.
b. Netralisasi toksin tak terikat
Tetanus immune globulin (TIG) dianjurkan untuk pengobatan
tetanus. Harus diingat bahwa TIG hanya bisa membantu
menghilangkan racun tetanus yang tidak terikat dan tidak dapat
mempengaruhi toksin yang terikat pada ujung saraf. Dosis
intramuskular tunggal (IM) 3000-5000 unit umumnya
direkomendasikan untuk anak-anak dan orang dewasa, dengan
sebagian dosis disusupi sekitar luka jika dapat diidentifikasi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan TIG 500 unit
melalui suntikan IM atau secara intravena (IV) - tergantung pada
persiapan yang tersedia - sesegera mungkin. Sebagai tambahan, 0,5
mL vaksin tetanus yang mengandung tetanus sesuai usia (Td, Tdap,
DT, DPT, DTaP, atau tetanus toxoid, tergantung pada usia atau alergi),
harus diberikan melalui suntikan IM di tempat terpisah (Laksmi,
2014). Penyakit tetanus tidak menyebabkan imunitas, pasien tanpa
riwayat vaksinasi toksoid tetanus primer harus mendapat dosis kedua
1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan kemudian.
c. Pengendalian manifestasi penyakit
Benzodiazepin merupakan golongan obat andalan terapi
simptomatik tetanus. Diazepam adalah obat yang paling sering
18

dipelajari dan digunakan. Obat ini mengurangi kecemasan, berperan


sebagai obat penenang, dan melemaskan otot. Alternatif lain yang
efektif adalah Lorazepam. Dosis yang dapat diberikan hingga 600
mg/hari jika diperlukan. Untuk mencegah kejang yang berlangsung
lebih lama dari 5-10 detik, berikan diazepam IV, biasanya 10-40 mg
setiap 1-8 jam. Vecuronium (dengan infus kontinyu) atau
pancuronium (dengan injeksi intermiten) adalah alternatif yang tepat,
atau dapat pula diberikan midazolam 5-15 mg / jam IV (Petitjeans,
2009).
Jika kejang tidak terkontrol dengan benzodiazepin, dibutuhkan
blokade neuromuskular jangka panjang. Phenobarbital adalah
antikonvulsan lain yang dapat digunakan untuk memperpanjang efek
diazepam. Phenobarbital juga digunakan untuk mengobati kejang otot
yang parah dan memberi obat penenang saat agen penghambat
neuromuskular digunakan. Agen lain yang digunakan untuk
pengendalian spasm meliputi baclofen, dantrolene, barbiturat short-
acting, dan chlorpromazine. Propofol juga disarankan untuk sedasi.
(Petitjeans, 2009).
2. Non farmakologis
a. Terapi oksigen
b. Rehidrasi cairan
c. Debridement luka
d. Pemasangan NGT
e. Pemasangan kateter urin
f. Mengatur pola dan porsi makan
g. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit tetanus
3. Vaksinasi
Pencegahan tetanus dilakukan melalui vaksinasi dengan DTP atau
DTaP pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 12-18 bulan, dan 4-6 tahun.
Pada tahun 2006, Komite Penasihat Praktik Imunisasi (ACIP)
mengeluarkan rekomendasi untuk penggunaan Tdap (Kretsinger, 2006).
Untuk orang berusia 7 tahun atau lebih yang belum pernah divaksinasi
19

terhadap tetanus, difteri, atau pertusis (tidak pernah menerima dosis DTP /
DTaP / DT atau Td), diberikan 3 vaksinasi yang mengandung toksoid
tetanus dan difteri. Jadwal yang dipilih adalah dosis tunggal Tdap, diikuti
oleh dosis Td paling sedikit 4 minggu setelah Tdap dan dosis lain dari Td
6-12 bulan kemudian. Namun, Tdap dapat diberikan sekali sebagai
pengganti Td dalam seri primer 3 dosis (Kretsinger, 2006).
Sebagai alternatif, jika orang dewasa telah menerima vaksinasi
terhadap tetanus dan difteri namun tidak tercatat, penyedia vaksin dapat
mempertimbangkan pengujian serologis untuk antibodi terhadap tetanus
dan toksin difteri dengan tujuan untuk menghindari vaksinasi yang tidak
perlu. Jika kadar antitoksin tetanus dan difteri masing-masing lebih tinggi
dari 0,1 IU / mL, vaksinasi sebelumnya dengan vaksin toksoid tetanus dan
difteri diperkirakan, dan dosis tunggal Tdap diindikasikan
(Kretsinger,2006). Orang dewasa yang menerima seri vaksinasi tidak
lengkap lainnya terhadap tetanus dan difteri harus divaksinasi dengan Td
untuk melengkapi rangkaian primer tetanus dan vaksin yang mengandung
toksin pada difteri. Satu dosis Tdap harus digunakan menggantikan Td
jika pasien tidak pernah menerima dosis Tdap.
Kehamilan bukanlah kontraindikasi terhadap penggunaan Tdap
pada trimester kedua dan ketiga. Pencegahan tetanus sekunder dilakukan
setelah pemaparan melalui pembersihan dan debridemen luka yang tepat
dan pemberian toksin tetanus (Td, Tdap, DT, DPT, atau DTaP, seperti
ditunjukkan) dan TIG, bila diindikasikan. Formulasi pediatrik (DT dan
DTaP) mencakup jumlah toksoid tetanus yang sama seperti Td dewasa
tetapi mengandung toxoid difteri sebanyak 3-4 kali.
Pasien dengan luka rawan tetanus harus menerima Td atau DPT
IM jika mereka berusia kurang dari 7 tahun dan jika sudah lebih dari 5
tahun sejak dosis toksoid tetanus terakhir mereka. Luka berikut
merupakan luka yang harus dianggap rentan terhadap tetanus: luka yang
telah hadir lebih lama dari 6 jam, luka dalam (> 1 cm), luka yang sangat
terkontaminasi, luka yang terpapar air liur atau tinja, stellata, atau iskemik
atau infeksi (termasuk abses), dan avulsions, tusukan, atau luka bakar.
20

Pasien yang sebelumnya telah menerima kurang dari 3 dosis


toksin tetanus dan pasien berusia 60 tahun atau lebih tua harus menerima
TIG 250-500 unit IM, selalu berada di ekstremitas ekstrem ke toksoid.
Orang dewasa tanpa luka rawan tetanus harus diberikan Td atau Tdap jika
sebelumnya mereka telah menerima kurang dari 3 dosis toksoid tetanus
atau jika lebih dari 10 tahun telah berlalu sejak dosis terakhirnya. Untuk
orang dewasa yang sebelumnya divaksinasi dengan Tdap (setelah usia 7
tahun), Td harus digunakan jika vaksin yang mengandung tetanus toxoid
diindikasikan untuk perawatan luka.
Penting untuk meninjau status imunisasi semua pasien yang hadir
ke bagian gawat darurat untuk perawatan apapun (terlepas dari keluhan
utama). Imunisasi harus diberikan jika terjadi selang lebih dari 10 tahun
sejak penguat tetanus terakhir. Jika pasien tidak ingat atau tidak dapat
memberikan riwayat imunisasi, tes dipstick immunochromatographic
mungkin tepat dan hemat biaya untuk menentukan kekebalan tetanus
dalam kondisi ini, walaupun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan penerapan pendekatan ini (Hatamabadi, 2011).

I. Komplikasi
Berikut merupakan komplikasi tetanus pada berbagai sistem organ
tubuh (Brooks, 2013):
1. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi
oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi
akibat dilakukannya trakeostomi.
2. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat
kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa.
21

Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans


sirkumskripta.
4. Komplikasi yang lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam
satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin
yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
21

DAFTAR PUSTAKA

Afshar M, et al. 2011. Review: Tetanus—A Health Threat After Natural Disasters
in Developing Countries. Ann Intern Med. Vol 154:329-35.

Ahmadsyah, I., Salim, A. 1985. Treatment of tetanus: an open study to compare


the efficacy of procaine penicillin and metronidazole. Br Med J (Clin Res
Ed) Vol 291(6496):648-650.

Ang, J. 2003. Tetanus. [online].


www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdf, diakses pada tanggal
19 November 2017.
Atkinson, William. 2012. Tetanus Epidemiology and Prevention of Vaccine-

Preventable Diseases. Public Health Foundation.

Basu, S., Paul, DK., Ganguly, S., Chandra, PK. 2006. Risk factors for mortality
from neonatal tetanus: 7 years experience in North Bengal, India. Ann Trop
Paediatr Vol 26(3):233-9.

Blencowe, H., Cousens, S., Mullany, LC., Lee, AC., Kerber, K., Wall, S., et al.
2011. Clean birth and postnatal care practices to reduce neonatal deaths
from sepsis and tetanus: a systematic review and Delphi estimation of
mortality effect. BMC Public Health Vol 3:11.

Brooks, GF., Caroll, KC., Butel, JS., Morse, SA., Mietzner, TA. 2013. Jawetz,
Melnick &Adelberg’s Medical Microbiology International Edition, Twenty
Sixth ed. New York: McGraw-Hill Companies.

CDC. 2006. Preventing Tetanus, Diphtheria, and Pertussis Among Adolescents:


Use of Tetanus Toxoid, Reduced Diphtheria Toxoid and Acellular Pertussis
Vaccines. MMWR Vol 55:1-34.

Cook, T.M., Protheroe, R., Handel, J. 2001. Tetanus: A Review of The Literature.
British Journal of Anaesthesia Vol 87:477-487.

Cottle, LE., et al. 2011. Tetanus. [online]


https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection, diakses pada
tanggal 19 November 2017.

Edlich, RF, et al. 2003. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-
Term Effects of Medical Implants Vol 13(3):139-54.

Farrar, J., Hotez, PJ., Junghanss, T., Kang, G., Lalloo, D., White, NJ. 2014.
Manson’s Tropical Diseases, Twenty-Third Edition. Philadelphia: Elsevier.
22

Fetuga, BM., Ogunlesi, TA., Adekanmbi, FA. 2010. Risk factors for mortality in
neonatal tetanus: a 15-year experience in Sagamu, Nigeria. World J Pediatr
Vol 6(1):71-5.

Hatamabadi, HR., Abdalvand, A., Safari, S., Kariman, H., Dolatabadi, AA.,
Shahrami, A., et al. 2011. Tetanus Quick Stick as an applicable and cost-
effective test in assessment of immunity status. Am J Emerg Med Vol
29(7):717-720.

Ingole, KV., Mundhada, SG., Powar, RM. 2016. Tetanus in Developing Countries:
A Review and Case Series. International Journal of Applied Research Vol
2(6):556-560.

Kretsinger, K., Broder, KR., Cortese, MM., Joyce, MP., et al. 2006. Preventing
tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid,
reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine recommendations
of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and
recommendation of ACIP, supported by the Healthcare Infection Control
Practices Advisory Committee (HICPAC), for use of Tdap among health-
care personnel. MMWR Recomm Vol 55:1-37.

Laksmi, N.K.S. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-22 Vol 41(11):823-827.

Murray, PR., Rosenthal, KS., Pfaller, MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh
Edition. Philadelphia: Elsevier.

Ogunrin, O. 2009. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management.


Journal of Postgraduate Medicine Vol 11(1):46-61.

Pascual, FB., McGinley, EL., Zanardi, LR., Cortese, MM., Murphy, TV. 2003.
Tetanus surveillance--United States, 1998--2000. MMWR Surveill Summ Vol
52(3):1-8.

Petitjeans, F., Turc, J., Coulet, O., Puidupin, M., Eve, O., Benois, A. 2009. The use
of boluses of propofol for the management of severe tetanus in a child. Trop
Doct Vol 39(1):52-53.

Rodrigo, Chaturaka, Deepika, Fernando, Senaka, Rajapakse. 2016.


Pharmacological Management of Tetanus: An Evidence-Based Review.
Critical Care Vol 18:217.

Sjamsuhidajat, R., Jong, WD. 2005. Tetanus dalam Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta: EGC.

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
23

WHO, 2010. Imunisasi Tetanus. [online]


http://www.who.int/immunization/topics/tetanus/en/index1.html, diakses
pada tanggal 19 November 2017.

Anda mungkin juga menyukai