BAB I
Transfusi darah telah diselenggarakan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) sejak tahun 1950
dalam rangka membantu rumah sakit militer dan sipil setelah diserahkan oleh tentara Belanda
dan Pemerintah sipilnya. Sebelumnya transfusi darah diselenggarakan oleh NERKAI
(Nederlandse Rode Kruis Afdeling Indonesie = Palang Merah Belanda Bagian Indonesia)
yang dimulai pada tahun 1945. Sebagai usaha rutin pekerjaan tersebut diteruskan oleh Palang
Merah Indonesia dan pada mulanya tidak menemukan hambatan. Setelah Reglement op den
Dienst der Volksgezondheid yang berasal dari Pemerintah Kolonial Belanda diganti dengan
Undangundang tentang Kesehatan dikeluarkan, namun ketentuan khusus mengenai usaha
transfusi darah belum diatur, maka perlu usaha tranfusi darah tersebut diatur secara tersendiri
dengan suatu Peraturan Pemerintah. Pada hakekatnya upaya transfusi darah merupakan
bagian penting dari tugas Pemerintah di bidang pelayanan kesehatan rakyat dan juga
merupakan suatu bentuk pertolongan sesama umat manusia. Disamping aspek pelayanan
kesehatan, terkait pula aspek sosial, organisasi, interdependensi Nasional dan Internasional
yang luas, baik dalam rangka kerjasama antar Pemerintah maupun antar Perhimpunan-
perhimpunan Palang Merah Nasional.
Pemakaian darah sebagai salah satu obat yang belum ada gantinya semakin meningkat,
sedangkan sumber darah itu masih tetap manusia sendiri hal mana menimbulkan kepincangan
antara pengadaan darah dan kebutuhan darah yang dapat menimbulkan terjadinya jual beli
darah yang tidak sesuai dengan falsafah bangsa dan tidak sesuai pula dengan resolusi yang
diambil Kongres Internasional Palang Merah ke XXII di Teheran pada tahun 1973 maupun
World Health Assembly ke XXVIII tahun 1974. Sehubungan hal tersebut di atas maka
ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1980 yang mengatur pengadaan dan
penyumbangan darah, pengolahan dan pemindahan darahnya sendiri dalam arti yang luas dan
mengingat faktor-faktor kesukarelaan donor, larangan untuk memperdagangkan darah dan
pengawasan tentang pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah tersebut telah ditindaklanjuti
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 478/Menkes/Per/X/1990 tentang Upaya
Kesehatan Tranfusi Darah. Namun Peraturan Pemerintah tersebut saat ini sudah harus
disesuaikan dengan perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi di bidang kesehatan.
Sebagai penjabaran dari visi Departemen Kesehatan yaitu masyarakat yang mendiri untuk
hidup sehat, maka tujuan yang ingin dicapai adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan
secara berhasilguna dan berdayaguna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya. Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
diatur dalam pasal 35 bahwa transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu serta harus dipenuhi ketentuan syarat
dan tata cara transfusi darah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Transfusi darah bila digunakan
dengan benar dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat kesehatan. Indikasi tepat
transfusi darah dan komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan morbiditas
dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi dengan cara lain.
WHO telah mengembangkan strategi untuk transfusi darah yang aman dan meminimalkan resiko
transfusi. Strategi tersebut terdiri dari pelayanan transfusi darah yang terkoordinasi secara nasional,
pengumpulan darah hanya dari donor sukarela dari populasi resiko rendah, pelaksanaan skrining
terhadap semua donor dari penyebab infeksi antara lain HIV/AIDS, virus hepatitis, sifilis dan lainnya,
serta pelayanan laboratorium yang baik disemua aspek termasuk golongan darah, uji kompatibilitas,
persiapan komponen, penyimpanan dan transportasi darah/komponen darah, mengurangi transfusi
darah yang tidak perlu dengan penentuan indikasi transfusi darah dan komponen darah yang tepat, dan
indikasi cara alternatif transfusi. Pada tahun 1988, WHO mengeluarkan rekomendasi Developing a
National Policy and Guidelines on the Clinical Use of Blood. Rekomendasi ini membantu negara
anggota dalam mengembangkan dan implementasi kebijakan nasional dan pedoman serta menjamin
kerjasama aktif diantara pelayanan transfusi darah dan klinisi dalam mengelola pasien yang
memerlukan transfusi.
Dalam penyelenggaraan upaya transfusi darah, Departemen Kesehatan mempunyai peranan sebagai
berikut :
Departemen Kesehatan mempunyai peranan yang penting, utama dan pertama dalam
memantau penyelenggaraan upaya transfusi darah.
Departemen Kesehatan mempunyai kewenangan untuk membina, mengawasi dan mengatur
segala sesuatu yang berkaitan dengan upaya transfusi darah.
Departemen Kesehatan berkewajiban untuk berdaya upaya mencukupi kebutuhan darah untuk
transfusi darah.
Dalam memainkan peranan tersebut, Departemen Kesehatan juga secara terus menerus
Membina dan mengawasi UTD PMI yang ada.
Membuat, menggerakkan adanya UTD Departemen Kesehatan atau Pemerintah
Daerah bila tidak ada/tidak sanggup dilakukan oleh PMI.
Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan penyelenggaraan UTD di Indonesia.
Memonitor dan mengevaluasi penggunaan dana yang dikeluarkan berdasarkan
APBN/BLN
Departemen Kesehatan untuk kegiatan transfusi darah. Berdasarkan hal tersebut diperlukan penataan
ulang melalui Peraturan Pemerintah sebagai perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1980
tentang Transfusi Darah.
1.2 Tujuan
Tujuan disusunnya Naskah Akademik RPP tentang Pelayanan Darah adalah sebagai
bahan/masukan/materi muatan bagi penyusunan RPP tentang Pelayanan Darah sebagai revisi
dari Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1980. Pengaturan kembali peraturan perundang-
udangan ini juga bertujuan:
BAB II
PELAYANAN DARAH
Darah adalah materi biologis yang diproduksi oleh tubuh manusia dalam jumlahyang terbatas
dan belum dapat disintesis di luar tubuh. Pengadaannya hanyalah dari donasi secara sukarela
yang dilakukan para donor darah. Di luar tubuh manusia, darah merupakan materi biologis
yang labil. Untuk mempertahankan viabilitasnya diperlukan nutrien dan antikoagulan serta
persyaratan suhu tertentu. Disamping itu melalui darah transfusi dapat ditularkan beberapa
penyakit yang disebut dengan istilah Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD).
Penyakit yang banyak ditemui adalah HIV/AIDS, Hepatitis C, Hepatitis B, Sifilis disamping
Malaria dan Jamur. Oleh sebab itu penyelenggaraan pelayanan darah melibatkan banyak
sektor dan harus dilakukan sebaik mungkin. Secara keseluruhan hal ini merupakan tanggung
jawab Pemerintah untuk melindungi masyarakat dari segala resiko penyelenggaraan yang
tidak bertanggung jawab.
Untuk mendapatkan darah yang siap ditranfusikan diperlukan upaya-upaya, mulai dari
penggalangan masyarakat agar rela menyumbangkan sebagian darahnya (recruitment donor),
masyarakat yang mau menyumbangkan darahnya ini masih perlu disaring lagi (seleksi donor)
untuk menghindari resiko bagi penyumbang darah maupun penerima. Darah yang didapat
dari para donor sukarela (collecting blood), hatus dilakukan pengamanan dengan melakukan
seleksi melalui pemeriksaan skreening darah terhadap penyakit IMLTD, meski hasil
skreening non aktif, belum berarti darah terjamin bebas, karena pada window period belum
bisa terdeteksi. Pemeriksaan skreening darah transfusi ini dilakukan di Unit Transfusi Darah
(UTD). Darah yang telah dinyatakan aman untuk transfusi disimpan dan didistribusikan
kepada sarana pelayanan kesehatan (Bank Darah RS) sebagai stok persiapan penggunaan
setiap saat. Seluruh kegiatan harus dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi dan
mengikuti standar operasional prosedur dengan ketat dalam manajemen yang tersistem,
lengkap dengan pencatatan dan pelaporan. Pencatatan dan pelaporan merupakan bagian yang
penting untuk kepentingan penelusuran kembali dan perbaikan kualitas. UTDRS merupakan
bagian dari manajemen RS, maka seluruh kegiatan mulai dari penggalangan donor,
penyediaan darah aman sampai pada tindakan medis pemberian darah transfusi adalah
tanggung jawab RS tersebut. Agar stok darah dan kualitas pelayanan terjamin maka BDRS
harus membuat kesepakatan tertulis dengan UTD pemasok darah transfusi yang aman serta
ikut aktif dalam jejaring pelayanan darah setempat. Kebutuhan darah transfusi akan selalu
ada pada sarana-sarana pelayanan kesehatan terutama RS, sehingga perlu kepastian bahwa
RS tersebut mampu menyediakan darah transfusi yang aman. Sepanjang kepastian
pemenuhan prediksi kebutuhan dapat dipenuhi oleh UTD diluar RS, maka yang terbaik
adalah RS hanya memiliki Bank Darah Rumah Sakit (BDRS), namun bila hal tersebut tidak
dapat dipenuhi maka RS mempunyai kewajiban untuk mengupayakan sendiri ketersediaan
darah transfusi yang aman dengan mengambil darah dari vena donor (afftap), melakukan
pengamanan darah, pengolahan (bila perlu) serta penyimpanan sebagai stock. Seluruh
kegiatan tersebut harus sesuai standar.
BAB III
LANDASAN HUKUM
Undang – undang Dasar 1945 mengamanatkan agar Negara menjamin hak-hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan serta jaminan sosial tanpa diskriminasi, baik bagi yang
secara ekonomi mampu maupun yang miskin dan anak-anak terlantar, sebagaimana
tercantum dalam :
a. Pasal 28 H berbunyi :
1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
2) Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.
3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.
b. Pasal 34 berbunyi :
1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan
3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dengan Undang-
undang.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan darah antara lain : Undang
Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 33
Demikian juga perlu dikaji berbagai peraturan pelaksanaan upaya transfusi darah yang
meliputi :
(3) Hal-hal yang sudah jelas, umum tidak perlu diberikan definisi.
Pengertian yang terdapat dalam rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Darah
ini, antara lain :
a) Pemerintah bertanggung jawab atas penyediaan darah yang aman dalam jumlah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
b) Menteri dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan
darah.
c) Palang Merah Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan transfusi darah.
d) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada poin (b), Menteri
membentuk Komite Transfusi Darah.
e) Keanggotaan Komite Transfusi Darah terdiri dari unsur Departemen Kesehatan,
Departemen/ Badan terkait, PMI, Pemerintah Daerah, perguruan Tinggi, Organisasi
Profesi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain.
f) Fungsi Komite Transfusi Darah adalah merumuskan kebijakan dan strategi nasional
transfusi darah.
g) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada poin (b),
Pemerintah Daerah dapat membentuk Komite Transfusi Darah.
4.4 Pengorganisasian
a) UTD PMI adalah unit milik PMI yang melaksankan tugas sebagai UTD yaitu
mengumpulkan darah dari para donor, melakukan pengamanan terhadap darah donor
agar aman bagi pasien penerima transfusi darah (tidak tertular penyakit IMLTD).
b) URD Rumah Sakit (UTDRS) merupakan salah satu bidang di RS yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan tugas pengumpulan darah dari donor, pengamanan darah,
pengolahan darah menjadi komponen, melakukan penyimpanan, uji silang serasi,
distribusi ke ruang perawatan serta pencatatan dan pelaporan.
c) Bank darah RS (BDRS) merupakan suatu unit pelayanan di RS yang menerima dan
menyimpan darah dari UTD untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan RS
d) Balai Besar Darah merupakan suatu unit yang menlakukan koordinasi pelaksanaan
pelayanan darah.
Pengamanan darah dimulai dari pengerahan donor darah sukarela yang berasal dari
masyarakat yang sehat dengan pola hidup yang tidak beresiko untuk mendapatkan darah
donor dengan resiko rendah. Hal ini dilakukan dengan mengingat adanya window period atau
waktu tenggang dari masuknya virus ke dalam darah manusia sampai terdeteksi melalui test
uji saring. Dengan adanya waktu tenggang ini, meskipun hasil test uji saring tidak terdeteksi,
kemungkinan darah tercemar tercemar virus masih ada. Pengerahan donor dapat dilakukan
oleh seluruh stakeholder.
Petugas UTD melakukan seleksi terhadap calon donor yang dikerahkan untuk
mendapatkan donor yang sehat dengan resiko rendah. Selanjutnya petugas UTD melakukan
pengambilan darah dari vena donor lalu dikumpulkan dalam kantong darah dan sebagian (10
– 15 cc) dikumpulkan dalam tabung khusus untuk sampel. Pada kantong darah dilakukan
labeling yang sesuai denganlabel di tabung sampel. Proses pengambilan darah dari donor
harus memenuhi standar tertentu untuk menghindari resiko bagi donor maupun pasien yang
akan menerima darah. Pelaksanaan proses ini harus mengikuti Standard Operating Prosedur
(SOP) dan standar kantong darah yang menjamin terhindarnya darah dari infeksi virus,
kuman, atau jamur.
Darah yang diterima dari donor disimpan dalam blood refrigerator dengan suhu 2-6 C.
Pendistribusian darah juga harus dilakukan dengan Standard Operating Prosedur (SOP) yang
berlaku dan tetap dijaga dalam suhu 2-6 0C. Pemberian darah atau komponen darah kepada
pasien berdasarkan indikasi yang rasional dan tindakan medis, transfusi darah dilakukan
mengikuti Standard Operating Prosedur (SOP) tertentu. Seluruh proses dilaksanakan oleh
petugas yang memiliki kompetensi dan berwenang untuk itu.
11
Mengingat proses pengaman darah merupakan proses yang penting dalam menjamin
keamanan pasien dan donor, maka perlu didukung oleh sarana yang memenuhi standar
keamanan dan dilakukan oleh tenaga yang terlatih.
4.7. Pembiayaan
Pembiayaan dalam pengadaan darah yang aman sejak dari rekruitmen donor sampai kepada
tindakan medis transfusi darah berasal dari subsidi pemerintah dan masyarakat.
4.8. Perizinan
Perizinan yang diperlukan terhadap UTD dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan melalui
Dinas Kesehatan Provinsi.
4.9. Akreditasi
Akreditasi perlu dilakukan oleh Departemen Kesehatan terhadap UTD yang telah
beroperasional.
Penelitian dan pengembangan pelayanan darah dilakukan oleh UTD maupun RS Pendidikan
yang mampu, untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik.
4.11. Pengawasan
Dalam rangka untuk mengatasi terjadinya kekosongan hukum apabila peraturan pemerintah
telah disahkan tetapi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan darah
tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dan belum dicabut. Maka perlu dibunyikan dalam
pasal peralihan perauran pemerintah ini. Pada saat diundangkannya Peraturan Pemerintah ini
semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan transfusi darah masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini. Pelaksanaan transfusi darah sesuai PP Nomor 18 tahun 1980 tentang
Transfusi Darah, masih tetap berlaku.
12
4.13. Ketentuan Penutup
Materi yang diatur biasanya menyangkut pencabutan materi suatu peraturan pemerintah dan
pemberlakuan peraturan pemerintah yang baru.
13
BAB V
PEMBAHASAN
Menimbang :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAYANAN
DARAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
TANGGUNG JAWAB
Pasal 2
Pasal 4
Pelayanan darah merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang terintegrasi dengan
sistem kesehatan. Pelayanan darah bersifat sosial dan tidak dipergunakan untuk
mencari keuntungan. Jenis pelayanan darah terdiri dari pelayanan transfusi darah,
apheresis, fraksionasi plasma dan pelayanan stemcell darah.
Pasal 5
Pengiriman atau penerimaan darah dan atau komponennya dari dan ke Indonesia
hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri. Izin sebagaimana dimaksud ayat (1)
diberikan atas permintaan tertulis disertai penjelasan yang menyangkut antara lain :
Jenis dan jumlah darah.
Tujuan pengiriman dan penerimaan.
Negara tujuan atau negara asal.
Tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pasal 6
Organisasi pelayanan darah terdiri dari organisasi di tingkat pusat dan daerah.
Organisasi di tingkat pusat meliputi Departemen Kesehatan dan Badan/unit yang
dibentuk Menteri.
Organisasi di tingkat daerah meliputi Dinas Kesehatan Propinsi, Kabupaten/Kota,
Rumah Sakit dan Unit Transfusi Darah.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan ayat (3)
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
Pasal 7
Pelayanan transfusi darah meliputi rangkaian kegiatan pengerahan dan pelestarian donor,
pengambilan, pengamanan, pengolahan, penyimpanan, pendistribusian, pemeriksaan uji
silang serasi dan tindakan medis pemberian darah kepada resipien. Bagian Kedua Pengerahan
dan Pelestarian Donor
Pasal 8
Menteri mengatur pengerahan dan pelestarian donor darah serta membina dan mengawasi
kelompok donor darah sukarela. Dalam rangka pelestarian donor darah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menteri dapat menunjuk instansi atau organisasi lain.
Pasal 9
Dalam melaksanakan pengerahan dan pelestarian donor darah harus memperhatikan etika dan
norma yang berlaku dalam masyarakat.
Bagian Ketiga
Pengamanan
Pasal 10
Pengamanan pelayanan transfusi darah harus dilaksanakan pada kegiatan pengerahan dan
pelestarian donor, pengambilan darah, pengolahan darah, penyimpanan darah,
pendistribusian, dan pemberian darah. Pengamanan darah harus dilaksanakan untuk menjaga
keselamatan pasien, petugas dan donor serta masyarakat dari penularan penyakit akibat
transfusi darah.
Bagian Keempat
Pengambilan Darah
Pasal 11
Proses pengambilan darah memperhatikan keselamatan donor dan petugas. Donor darah
dilakukan secara sukarela tanpa pamrih. Darah dilarang diperjual belikan dengan alasan
apapun.
Pasal 12
Petugas wajib memberikan informasi terlebih dahulu kepada donor mengenai resiko
pengambilan darah. Donor harus memberikan informasi yang benar perihal kesehatan dan
perilaku hidupnya. Donor wajib diperiksa kesehatannya terlebih dahulu oleh dokter yang
berkompeten dan berwenang. Darah hanya dapat diambil dari donor sukarela sehat dan
berperilaku sehat serta memenuhi kriteria seleksi dan mendapat persetujuan tertulis dari
donor dan dilakukan sesuai dengan standar pengambilan darah. Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan
peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pengolahan Darah
Pasal 13
Pengolahan darah harus dilaksanakan sesuai dengan standar, meliputi uji saring terhadap
infeksi penyakit menular lewat transfusi darah, pengolahan komponen darah, pengolahan
produk plasma dan menjamin pengamanan kerahasiaan hasil pemeriksaan darah. Pengolahan
darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menyiapkan darah yang aman
dan siap pakai untuk transfusi atau pengolahan lain menjadi komponenkomponen darah,
sesuai dengan kebutuhan pelayanan darah. Dalam hal terdapat hasil pengolahan darah yang
tidak memenuhi syarat sesuai dengan standar harus dilakukan pemusnahan sesuai persyaratan
kesehatan lingkungan. Penggunaan metode uji saring terhadap infeksi penyakit menular perlu
dievaluasi secara berkala sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi uji
saring. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Penyimpanan Darah
Pasal 14
Penyimpanan darah harus memenuhi persyaratan teknis penyimpanan yang meliputi suhu,
tempat, lama penyimpanan dan persyaratan lain untuk memelihara mutu darah. Ketentuan
lebih lanjut mengenai standar penyimpanan darah ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pendistribusian Darah
Pasal 15
Untuk menjamin keamanan dan kelancaran pelayanan darah maka pendistribusian harus
dilakukan secara tertutup. Pendistribusian darah harus sesuai standar dan memperhatikan
pemerataan pelayanan sesuai dengan kebutuhan. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Pemberian Darah
Pasal 16
Pemberian darah aman hanya dilaksanakan untuk mengatasi kondisi yang dapat
menyebabkan kesakitan atau kematian yang tidak dapat dicegah atau diatasi secara tindakan
medis. Untuk keamanan pasien harus dilakukan uji saring serasi antara darah donor dengan
darah resipien sesuai dengan standar sebelum tindakan medis transfusi darah. Pemberian
darah hanya dapat dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan dan harus dilakukan
pemantauan sesuai standar. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Pasal 17
Penyelenggaraan penyediaan darah transfusi ditugaskan kepada UTD yang ditetapkan oleh
Menteri. UTD menyerahkan darah yang telah dinyatakan aman kepada Bank Darah Rumah
Sakit (BDRS) sebagai persediaan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi
stándar pelayanan UTD dan BDRS yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 18
Penanggung jawab unit transfusi darah adalah dokter yang kompeten dan berwenang dalam
bidang transfusi darah. Penanggung jawab tindakan medis pemberian darah kepada resipien
adalah dokter yang kompeten dan berwenang dalam bidangnya yang mengacu kepada
Pedoman Penggunaan Darah Rasional yang ditetapkan oleh Menteri. Pelaksanaan penyediaan
darah aman oleh UTD harus dilakukan oleh tenaga teknisi transfusi darah dan tenaga
kesehatan lainnya yang berwenang. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknisi transfusi
darah, pemerintah harus menyediakan tenaga transfusi darah sesuai dengan kebutuhan
pelayanan transfusi darah. Pelaksanaan tindakan medis transfusi darah harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang kompeten dan berwenang.
Pasal 19
Pendidikan dan latihan untuk tenaga pelaksana transfusi darah diselenggarakan oleh badan
atau institusi yang kompeten dan mendapat persetujuan Menteri.
Bagian Kesepuluh
Jejaring Pelayanan Transfusi Darah
Pasal 20
Untuk menjamin mutu, keamanan, akses, rujukan dan efisiensi pelayanan darah perlu
dibentuk jejaring pelayanan transfusi darah. Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi semua institusi terkait dengan pelayanan transfusi darah. Jejaring sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terdiri dari jejaring tingkat Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Pembentukan jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sistem informasi
yang efektif dan efisien sesuai perkembangan teknologi. Bimbingan teknis pelayanan
transfusi darah. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
ditetapkan oleh Menteri.
BAB V
PELAYANAN APHERESIS
Pasal 21
Pasal 22
Seleksi donor meliputi tindakan seleksi secara umum bagi donor, pemeriksaan fisik dan
laboratorium, serta riwayat kesehatan donor bebas dari penyakit. Persetujuan donor adalah
persetujuan yang diberikan oleh donor secara tertulis setelah mendapatkan informasi tentang
tindakan medis dan risikonya. Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah risiko
tertular penyakit dan gangguan fungsi organ. Tindakan medis sebagaimana dimaksud ayat (2)
merupakan tindakan pengaliran darah donor kedalam mesin apheresis dan pengembalian
darah setelah komponen tertentu dipisahkan.
Pasal 23
Tenaga pelaksana pelayanan apheresis dilakukan oleh dokter yang kompeten dan berwenang.
Pelayanan apheresis hanya dapat dilakukan di rumah sakit sesuai ketentuan yang berlaku.
Sarana, prasarana dan peralatan yang digunakan dalam pelayanan apheresis berdasarkan
standar. Penyelenggaraan pelayanan apheresis berdasarkan standar dan persyaratan.
29
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan
oleh Menteri.
BAB VI
PELAYANAN FRAKSIONASI
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Pemeriksaan plasma meliputi tindakan seleksi uji saring dengan teknologi tinggi. Bahan baku
produk plasma harus diperoleh dari donor sukarela dan tanpa pamrih serta dijamin
keamanannya. Pemilahan derivat plasma merupakan penguraian protein plasma menjadi
protein–protein sesuai kebutuhan. Pengolahan plasma menjadi produk plasma hanya dapat
dilakukan di sarana fraksionasi yang telah memiliki izin oleh Menteri. Produk plasma dapat
diperjualbelikan sesuai aturan yang ditetapkan oleh Menteri. Pengiriman plasma untuk
kepentingan fraksionasi dan proses produksi serta jenis produk plasma yang dihasilkan harus
mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 27
Tenaga pelaksana pelayanan fraksionasi oleh dokter atau tenaga ahli yang kompeten dan
berwenang. Pengumpulan plasma untuk kepentingan pelayanan fraksionasi dilakukan di unit
transfusi darah sesuai standar. Sarana, prasarana dan peralatan yang digunakan dalam
pelayanan fraksionasi plasma harus sesuai standar. Penyelenggaraan pelayanan fraksionasi
plasma berdasarkan standar dan persyaratan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
BAB VII
Pasal 28
Pelayanan stemcell darah (sel induk darah) meliputi rangkaian kegiatan yang terdiri dari
penyiapan sel induk, penyimpanan, pengolahan dan pemberian sel induk darah kepada
resipien. Pasal 29 Penyiapan sel induk darah dapat dilakukan dari darah tali pusat, darah tepi
dan sum– sum tulang. Penyiapan sel induk darah dilakukan atas persetujuan donor.
Penyimpanan, pengolahan dan pemberian sel induk darah sesuai standar.
Pasal 30
Tindakan medis merupakan tindakan pengambilan sel induk darah. Persetujuan donor adalah
persetujuan yang diberikan oleh donor secara tertulis setelah mendapatkan informasi tentang
tindakan medis dan risikonya. Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah risiko
tertular penyakit dan gangguan fungsi organ.
Pasal 31
Tenaga pelaksana pelayananan sel induk darah dilakukan oleh dokter yang kompeten dan
berwenang. Pelayanan sel induk darah hanya dapat dilakukan di Rumah Sakit tertentu sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Sarana, prasarana dan peralatan yang digunakan dalam
pelayanan sel induk darah berdasarkan standar. Penyelenggaraan pelayanan sel induk darah
berdasarkan standar dan persyaratan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pelayanan transfusi darah adalah upaya pelayanan kesehatan yang meliputi
perencanaan, pengerahan dan pelestarian pendonor darah, penyediaan darah, pendistribusian
darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan. Keberhasilan pengelolaan pelayanan darah sangat
tergantung pada ketersediaan pendonor darah, sarana, prasarana, tenaga, pendanaan, dan
metode. Oleh karena itu pengelolaannya harus dilakukan secara terstandar, terpadu dan
berkesinambungan serta dilaksanakan secara terkoordinasi antara Pemerintah, pemerintah
daerah, dan partisipasi aktif masyarakat termasuk organisasi sosial yang tugas pokok dan
fungsinya di bidang kepalangmerahan sebagai mitra Pemerintah.