PENDAHULUAN
Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per
100.000 anak berusia dibawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6
per 100.000 anak per tahun, sedangkan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan
penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan
penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000. Perbandingan
anak laki-laki dan perempuan 2:1.
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3 yaitu kongenital,
glomerulopati primer/ idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada
purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sistemik. Sindrom nefrotik pada tahun
pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan
kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2. ANAMNESIS
Tidak ada anggota keluarga OS yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat
Keluarga dengan Hipertensi disangkal.
Status Gizi
BB/U : 19/20 x 100% = 95%
TB/U : 103/115 x 100% = 89%
BB/TB : 18/20 x 100% = 90%
Kesan : Status gizi tidak dapat dihitung karena ada edema
Kepala :
3
Normocephali, rambut berwarna hitam, tidak mudah dicabut, muka sembab (+)
Mata :
Bentuk simetris, pupil isokor, sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), Edema
palpebra (+/+).
Kelenjar getah bening
Thorax :
o Jantung :
- Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : iktus kordis teraba
- Perkusi :
Batas atas jantung di ICS II midclavicula line sinistra
Batas kanan jantung sejajar ICS IV parasternal line dextra
Batas kiri jantung di ICS V midclavicula line sinistra .
- Auskultasi : bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
o Paru :
- Inspeksi : simetris, tidak ada hemithorax yang tertinggal pada saat statis dan
dinamis
- Palpasi : gerak simetris vocal fremitus sama kuat pada kedua hemithorax
- Perkusi : sonor pada kedua hemithorax, batas paru-hepar pada sela iga VI pada
linea midklavikularis dextra, dengan peranjakan 2 jari pemeriksa, batas paru-
lambung pada sela iga ke VIII pada linea axilatis anterior sinistra.
4
Abdomen
- Inspeksi : abdomen simetris, datar, tidak terdapat jaringan parut, striae dan
kelainan kulit, tidak terdapat pelebaran vena
- Palpasi : teraba supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan,
maupun nyeri lepas, pada pemeriksaan ballottement didapatkan hasil positif,
asites (+)
- Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen, tidak ada nyeri ketok
CVA, ballotment (+)
Genitalia :
Tidak tampak kelainan
Ekstremitas
Superior Inferior
Oedem -/- +/+
Varises -/- -/-
Reflek fisiologis +/+ +/+
Reflek patologis -/- -/-
Hematologi rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hematokrit 36 % 36 – 41 %
5
Leukosit 7.730 /µL 4000 – 11000 /µL
MCV 85 fl 82-92 fl
MCH 27 pg 27-33 pg
MCHC 35 % 32-37 %
Urine rutin
Warna Kuning muda Kuning
pH 5,5 4,4-8,0
Nitrit - -
Protein urin 3+ -
Glukosa (reduksi) - -
Keton - -
Bilirubin - -
Epitel + +/-
Kristal - -
Silinder - -
Lain-lain - -
6
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan Radiologi
2.5. RESUME
Berdasarkan autoanamnesis dari Ny. S datang ke IGD RSUD Meranti
dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh sejak 10 hari yang lalu sebelum
masuk RS. Bengkak diawali pada daerah kelopak mata dan muka sejak 2 minggu
yang lalu, terutama pada pagi hari saat bangun tidur, dan bengkak berkurang saat
siang dan sore hari yang kemudian menjalar ke daerah kaki sejak 1 minggu yang
lalu sebelum masuk rumah sakit, bengkak makin bertambah, menyebar ke daerah
muka, perut, dan kedua tungkai. Selama bengkak, ibu penderita mengeluh BAK
berwarna kuning keruh. Pasien mengaku frekuensi BAK 4 kali dalam sehari.
Keluhan Riwayat sering terbangun pada malam hari untuk BAK disangkal.
Keluhan bengkak ini tidak disertai sesak napas saat tidur dan masih bisa tidur
dengan satu bantal. Pasien tidak pernah muntah-muntah, demam, dan kejang.
Selama bengkak, pasien tidak pernah tampak pucat, lemah, lesu atau kehilangan
nafsu makan. Pasien masih bisa beraktivitas ringan. Riwayat adanya bercak merah
diwajah tidak ada. Keluhan ini tidak disertai dengan sesak napas, sakit perut hebat,
atau kemerahan pada kulit.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien juga mendukung diagnosis
sindroma nefrotik di mana pada kedua palpebra, muka dan kedua kaki tampak
edema. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan ascites, dan palpasi ditemukan
pitting edema pada kedua kaki.
2.6. DIAGNOSA
7
Sindrom Nefrotik
Diet SN
Balance Urin
Simvastatin 1 x 20 mg (p.o)
Metylprednisolon 3 x 16 mg (p.o)
2.9. PROGNOSA
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanatiam : dubia ad bonam
8
2.10. FOLLOW UP
Auskultasi : BU
1x/menit lemah
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Etiologi
11
dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu
jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah
1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom
nefrotik idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara
histologis :sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis
proliferative (mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis fokal
segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan
manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga gangguan ini
mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
Klasifikasi
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus
terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel
mesangial dan matriksnya. Penemuan pada mikroskop
immunofluorescence biasanya negatif, dan mikroskop elektron hanya
memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit) pada
glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan terapi
kortikosteroid.
12
segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada lumen
kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada infeksi HIC,
refluks vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20%
pasien dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednisone. Penyakit ini
biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua
glomeruli, dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage
renal disease) pada kebanyakan pasien.
13
Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal
3.3 Patofisiologi
Protenuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya
sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan
integritas membrana basalis glomerulus terhadap protein plasma dan protein
utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal
membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan
ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik
(change barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut
terganggu. Selain konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos
tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan
non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin.
Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya
albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari
molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan
oleh keutuhan struktur MBG.
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin
dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati
biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan
albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan
faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskular ke jaringan intestitium dan terjadi edema. Akibat penurunan
tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia
dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan
14
air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular
tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga
edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat
teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan
konsentrasi hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus
ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
(natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf
simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau
resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan
LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi
penurunan ekskresi natrium.
Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan
peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer
(penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate
density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid
distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
15
diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang ditemukan. Differensial
diagnosis untuk anak dengan edema adalah penyakit hati, penyakit jantung
kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan
bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial
dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan,
seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke
skrotum atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umunya normal atau
rendah, namun 21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya
sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume
intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi rennin berlebihan,
sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lainnnya, sebagai respon tubuh terhadap
hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang
menetap. Dalam laporan ISKDC (Internasional Study of Kidney Disease in
Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20%
disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum
darah yang bersifat bersementara. Pasien sindrom nefrotik perlu diwaspadai
sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau
akibat peritonitis.
3.5 Diagnosis
Gejala dan tanda klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi hernia.
Pada hernia reponibel keluhan satu-satunya adalah adanya benjolan di lipat paha
yang muncul waktu berdiri, batuk, bersin, mengangkat benda berat atau mengedan,
dan menghilang saat berbaring. Pasien sering mengatakan sebagai turun berok,
burut atau kelingsir. Keluhan nyeri jarang dijumpai; kalau ada biasanya dirasakan
di daerah epigastrium atau paraumbilikal berupa nyeri visceral karena regangan
pada mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong. Nyeri
yang disertai mual dan muntah baru muncul kalau terjadi inkarserata karena ileus
atau strangulasi karena nekrosis.1,2,6
16
Pada inspeksi, saat pasien diminta mengedan dalam posisi berdiri dapat
dilihat hernia inguinalis lateralis muncul sebagai penonjolan di regio inguinalis
yang berjalan dari lateral atas ke medial bawah. Perlu diperhatikan keadaan
asimetri pada kedua sisi lipat paha, skrotum atau labia dalam posisi berdiri dan
berbaring. Pasien lalu diminta mengedan atau batuk sehingga adanya benjolan yang
asimetri dapat dilihat. 1,2,4
Pada palpasi, dilakukan saat ada benjolan hernia, diraba konsistensinya, dan
dicoba mendorong apakah dapat direposisi. Bila hernia dapat direposisi, waktu jari
masih berada di annulus internus, pasien diminta mengedan, kalau ujung jari
menyentuh hernia berarti hernia inguinalis lateral, sementara jika bagian sisi jari
yang menyentuh, berarti hernia inguinalis medialis. Kantong hernia yang kosong
kadang dapat diraba pada funikulus spermatikus sebagai gesekan dari dua lapis
kantong yang memberikan sensasi gesekan dua kain sutera. Disebut tanda sarung
tangan sutera. Kalau kantong hernia berisi organ, palpasi mungkin meraba usus,
omentum (seperti karet) atau ovarium.1,2
3.6 Tatalaksana
17
akan menyebabkan malnutrisi energy protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan
anak. Diet rendah garam (1-2gram/hari) hanya diperlukan jika anak menderita
edema.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney
Diseases in Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai
dengan pemberian prednisone dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari
(maksimal 80mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi.
Dosis prednisone dihitung berdasarkan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednisone dalam dosis penuh inisial diberikan
selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid dalam 2 minggu pertama,
remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah
pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada remisi pada 4
minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara
alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah
4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid.
(Gambar 1)
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94%
pasien, tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan
50% diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps
dapat dilihat di gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis penuh sampai
remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednisone dosis
alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik yang mengalami
18
proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian
prednisone, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran
napas atas. Bila ada infeksi, diberikan antibiotic 5-7 hari dan bila setelah
pemberian antibiotic kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu
diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+
disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan
relaps.
19
Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi di
gigi atau cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps
sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednisone
dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang
diturunkan perlahan/ bertahap 0,2mg/kgBB sampai dosis terkecil yang
tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5mg/kgBB alternating.
Dosis ini disebut threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan,
kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat
mentolerir prednisone 0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai
1mg/kgBB secara alternating.
20
selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari
selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
Atau
prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal
selama 12 minggu dan prednisone alternating 40 mg/m 2 LPB/hari selama
12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari
selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi
steroid dalam menginduksi remisi pada penderita ketergantungan
steroid dan kambuh sering. Dosis yang umumnya digunakan adalah
0,2 mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu.
3. Levamisol
21
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat
ini juga mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya,
tetapi sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis levamisol
2,5 mg/kgBB diberikan selang sehari selama 4-12 bulan.
4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi
dicapai dengan steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila
siklofosfamid kurang efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu 5
mg/kgBB/hari.
Dalam penggunaannya, kadar dalam darah perlu dikontrol
karena memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat
menyebabkan kelainan histologist bahkan pada penderita yang
ginjalnya normal sekalipun. Efek samping lain yang sering
ditemukan yaitu hipertrikosis, hyperplasia gusi, gejala
gastrointestinal, dan hipertensi.
22
antibiotika (ampisillin atau amoksisillin) 3-5 hari. Bila tetap ada
proteinuria maka dianggap sebagai relaps.
g. Pengobatan tambahan
Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik,
furosemid 1-2mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau
plasma 10-20 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1
mg/kgBB/kali
Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia
(1,5g/dL) berikan albumin atau plasma darah
3.7 Komplikasi
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering
adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi
kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi
penyulit infeksi bacterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis,
selulitis, sepsis, ISK) diberikan antibiotic yang sesuai dan dapat disertai
pemberian immunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi
digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan menambah
resiko terjadinya infeksi virus seperti campak, herpes. Bila terjadi
peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman gram negatif dan
Streptococcus pneumoniae) perlu sefalosporin generasi ketiga yaitu
sefataksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi
peningkatan kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan
lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal.
Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada sindrom
nefrotik sensitive steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut sementara,
cukup dengan pengurangan diit lemak.
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
23
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan
osteoporosis dan osteopenia
Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik
resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari
dan vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas
50mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom
nefrotik relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala
hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok
hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun).
Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila
terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan
transplantasi ginjal.
3.8 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang
baik terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis
jangka panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun
menunjukan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada
glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada
sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.
24
BAB IV
ANALISA KASUS
Dari pemeriksaan penunjang seperti EKG dan roentgen thorax tidak ditemukan
adanya kelainan. Namun dari hasil laboratorium ditemukan kesan hiperkolesterolemia,
hipoalbuminemia, proteinuria massif, sehingga diagnosis sindroma nefrotik bisa
ditegakkan dan dapat dilakukan penanganan pada pasien ini yaitu evaluasi pengaturan diet,
penanggulangan edema, dan memulai pengobatan steroid. Dikarenakan pasien menderita
sindroma nefrotik yang tidak disertai komplikasi dan penanganan yang tepat dan baik
maka prognosis pasien ini baik.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada
Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, h.1-18.
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI pp. 381-426
3. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J (on line) (20) : screens. Available
from : URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm. akses : on September
8, 2009
th
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18 ed.
Saunders. Philadelpia.
5. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h.50-54
6. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius :
Jakarta
7. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia Kedokteran
No. 134. Jakarta, h.32-37
8. Markum, et.al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
9. Noer MS, Soemyarso N. 2009. Sindrom Nefrotik. (on line) (1) : screens. Available
from : URL:http//www.pediatrik.com. Akses : 8 september 2009
10. Suraatmaja S, Soetjiningsih, Penyunting. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2. Denpasar:Lab./SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah; 2000. h.159-162
11. Cohen Eric P. Nephrotic Syndrome: Differential Diagnoses & Workup. Update:
Aug 25, 2009
12. Garna, Herry dkk. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD.
h.601-606
1.
26