PENDAHULUAN
Unit Gawat Darurat (UGD) adalah salah satu bagian di rumah sakit yang
menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang
Gawat Darurat (emergency Care) adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang
kehidupannya (life saving). Pelayanan Unit Gawat Darurat (UGD) adalah salah satu
ujung tombak pelayanan kesehatan di sebuah rumah sakit. Setiap rumah sakit pasti
perawatan pasien atas dasar pengambilan keputusan yang tepat, untuk mendukung hal
tersebut diperlukan pengetahuan dan keterampilan khusus dalam hal pemisahan jenis
dan kegawatan pasien dalam triase, sehingga dalam penanganan pasien bisa lebih
Sistem triase mulai dikembangkan mulai pada akhir tahun 1950an seiring
jumlah kunjungan UGD yang melampaui kemampuan sumber daya yang ada untuk
1
melakukan penanganan segera, dimana tujuan dari triase adalah memilih dan
penangannnya dan disaat pertama perawat menilai pasien perawat juga melakukan
tindakan diagnostik, sehingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan
Penanganan kasus gawat darurat pada setiap rumah sakit khususnya sering
menjadi sorotan publik sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan yang sering
merasa terabaikan dan tidak jarang berakhir pada kematian. Pelayanan kesehatan
tersebut dinyatakan sebagai bagian integral dari pelayanan dasar yang terjangkau
seluruh masyarakat, oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat di bagian
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
perawatan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi
yang bertujuan untuk mengurangi angka kematian dan kecacatan dengan cara
darurat, mengancam jiwa dan butuh penanganan segera, pada semua umur mulai dari
bayi hingga lanjut usia, terutama pasien dengan ancaman kematian dan kecacatan.
Gawat Darurat Level IV sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas A,
pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level III sebagai standar minimal untuk Rumah
Sakit Kelas B, pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level II sebagai standar minimal
untuk Rumah Sakit Kelas C, dan pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level I sebagai
3
standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas D, dimana jenis pelayanan pada
4
1) Diagnosis &
penanganan Permasalahan pd A : Jalan nafas (airway problem), B :
Pernafasan (Breathing problem), dan C : Sirkulasi pembuluh darah
(Circulation problem)
2) Melakukan Stabilisasi dan evakuasi
mungkin karena waktu sangat berperan penting sehingga diperlukan adanya cara
1. Persiapan
2. Triase
4. Resusitasi
5
kejadian diatas diterapkan seolah-olah berurutan, namun dalam praktek sehari-hari
2.1 Persiapan
adalah fase pre rumah sakit, dimana seluruh penganan pasien sebaiknya berlangsung
lapangan. Rumah sakit diberitahukan terlebih dahulu sebelum pasien mulai dibawa
dari tempat kejadian sehingga rumah sakit dapat mempersiapkan peralatan dan tim
trauma pada saat penderita tiba di rumah sakit. Pada fase ini titik berat diberikan pada
Waktu ditempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari. Yang
Fase kedua adalah fase rumah sakit dimana dilakukan persiapan untuk
monitoring serta persiapkan tenaga medik tambahan, tenaga lab dan radiologi,
6
Harus dilakukan perencanaan sebelum pasien tiba. Sebaiknya ada ruangan /
daerah khusus resusitasi untuk pasien trama. Perlengkapan airway (laringoskop, ETT,
dsb) sudah dipersiapkan, dicoba, dan diletakkan ditempat yang mudah terjangkau.3
2.2 Triage
penanganan dan sumber daya yang ada. Terapi didasarkan pada prioritas ABC
meliputi primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey, dan
dikenali dan resusitasinya harus dilakukan pada saat itu juga. Keadaan-keadaan yang
exposure/environmental. G
angguan pada airway d iketahui dan diatasi dengan kontrol
servikal. Gangguan breathing diketahui dan diatasi dengan cara menjaga pernapasan
7
Gambar 2.1 Kategori pasien dalam triage
8
Gambar 2.2 Bagan pelaksanaan triage
9
2.2.1 Airway
dan sebagian, dan/atau progresif dan berulang. Hal pertama yang harus dinilai pada
airway adalah kelancaran jalan napas. Beberapa tanda objektif sumbatan airway
kurangnya oksigenasi. Sianosis dapat dilihat pada kuku dan sekitar mulut. Tanda lain
berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau
10
Airway management atau manajemen jalan napas adalah tindakan yang
bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi leher. Pemeriksa sebaiknya
jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Sumbatan ini dapat segera diatasi
dengan mengangkat dagu (chin lift maneuver) atau dengan mendorong rahang bawah
otot pangkal lidah ke depan, caranya dengan menempatkan jari-jemari salah satu
tangan pemeriksa di bawah rahang. Kemudian secara hati-hati diangkat ke atas untuk
membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama menahan bibir bawah untuk
membuka mulut. Chin lift maneuver t idak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
airway. Tindakan-tindakan tersebut dapat memperburuk cedera spinal. Maka dari itu
11
Gambar 2.1 Chin lift maneuver.
pada angulus mandibula kiri dan kanan. Setelah itu dorong rahang bawah ke arah
depan. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala. Bila
cara ini dilakukan sambil menggunakan masker dari alat bag-valve dapat dicapai
12
Oro-pharyngeal airway adalah pembebasan jalan napas dengan menyisipkan
alat ke dalam mulut di balik lidah. Cara ini dilakukan dengan menggunakan spatula
lidah untuk menekan lidah kemudian menyisipkan alat tersebut ke belakang. Alat ini
tidak boleh dipasang pada pasien sadar karena dapat menyebabkan sumbatan,
dimasukkan alat tersebut dilumasi dengan baik. Apabila dirasa terdapat tahanan,
13
Gambar 2.4 Naso-pharyngeal airway.
Laryngeal mask airway ( LMA) adalah alat yang berguna bila intubasi
endotrakeal atau sungkup wajah gagal. Laryngeal mask airway bukan merupakan
airway definitif. Kejadian aspirasi pada pemasangan LMA kecil namun apabila
Gum elastic bougie (GEB) atau Eschmann tracheal tube introducer ( ETTI)
adalah alat yang baik dipasang apabila airway sulit. Alat ini memiliki panjang 60 cm
14
dengan stilet intubasi 15 french, resin terbuat dari poliester wol, dan gradasi ujung
distal 10 cm. Gum elastic bougie dipasang apabila pita suara tidak tampak.
Airway d efinitif terdiri atas pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan surgical
15
Gambar 2.7 Intubasi endotrakeal.
efinitif
Tabel 2.1 Indikasi Airway D
● Paralisis neuromuskular
● Tidak sadar
● Takipnu
● Hipoksia
● Hiperkarbia
● Sianosis
● Muntah-muntah
● Stridor
2.2.2 Breathing
16
Posisi saat melakukan penilaian menurut AHA 2010 penilaian breathing ini
tidak dilakukan secara khusus seperti pada guidelines AHA 2005 yang mengenal
istilah look.listen, and feel. Penilaian breathing dilakukan diawal simultan ketika kita
menilai apakah korban masih respon atau tidak. Ketika korban kolaps dan didapatkan
seperti layaknya proses inspirasi dan ekspirasi. Saat pemberian penapasan buatan
perlu diperhatikan adanya pertukaran udara keluar masuk paru-paru dan tercukupnya
oksigen yang akan mengalami pertukaran gas. Volume udara yang diberikan sebesar
yaitu 6-7ml/kgBB atau sampai dengan dada korban terlihat mengembang. Hati-hati,
jangan terlalu kuat atau terlalu banyak karena dapat melukai paru-paru korban atau
masuk ke lambung
17
Yang perlu diperhatikan saat melakukan pertolongan adalah pada saat
dengan ukuran yang dibutuhkan dan ketat, bila korban terdapat gigi palsu, biarkan
2.2.3 Circulation
diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi
pada pasien trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status
hemodinamik pasien.
Ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemo-dinamik ini, yakni tingkat kesadaran, warna kulit, dan nadi.
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
b. Warna kulit
18
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma yang
kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam
c. Nadi
(kiri-kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak
cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normo-volemia (bila pasien
tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda
yang normal bukan jaminan bahwa normo-volemia. Nadi yang tidak teratur
2.2.3.2 Perdarahan
eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara (pneumatic splinting
device) juga dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Spalk jenis ini harus
jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga
19
tourniquet hanya dipakai bila ada amputasi traumatik. Pemakaian hemostat dan dapat
toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retro-peritoneal, atau fraktur
pelvis.3
2.2.4 Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi secara cepat. Yang dinilai
disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat
GCS belum dilakukan pada survey primer, harus dilakukan pada secondary survey.
penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan
dan perfusi.
20
sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma kapitis dianggap sebagai penyebab
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. Setelah pakaian dibuka, penting
bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia. Harus dipakaikan selimut
hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
21
dihangatkan. Yang penting adalah suhu tubuh pasien, bukan rasa nyaman petugas
kesehatan.3
pemeriksaan tanda vital. Peluang untuk membuat kesalahan dalam peilaian penderita
yang tidak sadar atau gawat cukup besar, sehingga diperlukan pemeriksaan teliti yang
menyeluruh.
termasuk mecatat skor GCS bila belum dilakukan dalam primary survey. Pada
secondary survey ini juga dikerjakan foto roentgen yang diperlukan. Prosedur khusus
2.3.1 Anamnesis
22
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri dan
A : Alergi
L : Last meal
perlukaan
mekanisme kejadian perlukaan itu. Trauma biasanya dibagi dalam 2 jenis: tumpul dan
tajam.
1. Trauma tumpul
kegiatan rekreasi atau pekerjaan. Keterangan penting yang dibutuhkan pada KLL
kerusakan kendaraan dalam bentuk kerusakan mayor pada bentuk luar, atau hal-hal
23
penumpang. Terlempar keluarnya penumpang akan sangat menambah kemungkinan
parahnya perlukaan. Pola perlukaan pada pasien dapat diramalkan dari mekanisme
2. Trauma tajam
Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin sering
ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan adalah daerah tubuh
yang terluka, organ yang terkena dan velositas (kecepatan). Dengan demikian maka
velositas, kaliber, arah, dan jarak dari senjata merupakan informasi yang penting
diketahui.
Luka bakar dapat terjadi sendiri atau dalam kombinasi dengan trauma tumpul
ataupun tajam akibat mobil terbakar, ledakan, benda yang jatuh, usaha penyelamatan
diri maupun serangan pisau atau senjata api. Cedera dan keracunan karbon
monoksida daoat menyertai luka bakar. Dengan demikian perlu diketahui hal-hal
perlukaan (ruang tertutup atau terbuka) atau bahan yang ikut terbakar (bahan kimia,
plastik, dsb) dan perlukaan lain yang menyertai. Hipotermia akut atau kronis dapat
jumlah besar dapar terjadi walaupun pada suhu yang tidak terlalu dingin (15-200 C)
24
yaitu bila penderita memakai pakaian yang basah, tidak bergerak aktif atau minum
4. Bahan berbahaya
Kontak dengan bahan kimia, toksin atau radiasi perlu diketahui karena 2
sebab. Yang pertama karena bahan-bahan ini dapat mengakibatkan berbagai ragam
kelainan pada jantung, paru atau organ tubuh lain. Yang kedua bahan-bahan ini dapat
Kepala
Secondary survey mulai dengna evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan
kepala harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena kemungkinan
bengkaknya mata yang akan mempersulit pemeriksaan yang teliti, mata harus
a. Ketajaman visus
b. Ukuran pupil
25
e. Lensa kontak (ambil sebelum terjadu edema)
f. Dislocation lentis
Ketajaman visus dapat diperiksa dengan membaca gambar Snellen, membaca huruf
pada botol infus atau bungkus perban. Gerakan bola mata harus diperiksa karena
Maksilo-fasial
dilakukan dengan aman. Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada
fraktur pada lamina cribosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui
jalan oral.7
Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Nyeri daerah vertebra
servikalis, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan fraktur laring dapat ditemukan pada
pemeriksaan yang teliti. Dilakukan palpasi dan auskultasi pada a. karotis. Adanya jejas pada
a. karotis harus dicatat karena kemungkinan adanya perlukaan. Penyumbatan dapat terjadi
26
secara lambat tanpa gejala. Angiografi atau Doppler Sonografi dapat menyingkirkan kelainan
ini.
Trauma arteri besar daerah leher paling banyak disebabkan trauma tajam, namun
trauma tumpul leher atau cedera karena sabuk pengaman dapat menyebabkan kerusakan
intima, diseksi, dan thrombosis. Bila penderita memakai helm harus berhati-hati jika
Penanganan luka daerah leher yang menembus platisma membutuhkan ahli bedah
sebagai supervise maupun untuk tindakan operatif. Perdarahan aktif, hematoma yang meluas,
bruit, atau gangguan airway membutuhkan tindakan operatif. Monoparesis satu lengan sering
Toraks
Inspeksi depan dan belakang untuk melihat adanya flail chest a tau open pneumothorax.
Palpasi tiap iga dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada fraktur sternum
atau ada costochomdral separation. Kelainan pada toraks akan disertai nyeri dan/atau
dispneu.
dan bagian posterior untuk hemotoraks. Tamponade jantung atau tension pneumothorax d apat
dilihat dari adanya distensi vena jugularis. Tanda lain tension pneumothorax yaitu
27
melemahnya suara napas dan hipersonor pada perkusi disertai syok, dan perlu dekompresi
segera. Foto toraks dapat menunjukkan hemotoraks atau pneumotoraks, ruptur aorta.
Abdomen
observasi ketat, dan konsultasi ahli bedah. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL),
USG abdomen, atau CT Scan dengan kontras diperlukan jika terdapat kelainan
neurologis, gangguan kesadaran karena alcohol atau obat, hipotensi yang tidak
Perineum/rektum/vagina
dan perdarahan uretra. Colok dubur dilakukan sebelum pemasangan kateter uretra.
Dilihat adanya darah dari lumen reckum, prostat letak tinggi, fraktur pelvis, utuh
tidaknya dinding rektum dan tonus m. sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok
vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi. Tes kehamilan
Muskuloskeletal
krepitasi, atau gerakan abnormal untuk melihat adanya fraktur. Fraktur pelvis ditandai
jejas daerah ala ossis illi, pubis, labia, atau skrotum. Nyeri pada kompresi kedua
28
SIAS, atau adanya mobilitas pelvis dan simfisis pubis. Tes kompresi dilakukan hanya
sensasi dan hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan saraf
perifer atau iskemia. Fraktur torakolumbal dapat diketahui dari pemeriksaan fisik dan
riwayat trauma.
2.3.4 Neurologis
Bila terjadi penurunan status neurologis harus menilai perfusi, oksigenasi, dan
subdural, atau fraktur kompresi. Imobilisasi dengan long spine board, kolar servikal,
dan alat yang lain dilakukan sampai terbukti tidak ada fraktur servikal.3
BAB III
SIMPULAN
29
Pasien gawat darurat perlu penilaian yang cepat dan tepat. Dilakukan primary
survey dan secondary survey agar dapat mengenali penurunan keadaan pasien dan
Primary survey, hal yang perata kali dilakukan adalah pembebasan jalan napas
dengan control servikal pada trauma yang mengancam jiwa, trauma multiple, trauma
di atas klavikula, trauma kepala, dan trauma dengan GCS <8. Primary survey terdiri
Secondary survey, baru dilakukan setelah primary survey selesai. Yang perlu
dilakukan yaitu mendapatkan riwayat AMPLE (alergi, medikasi, past illness, last
penatalaksanaan cedera kepala dan leher, penilaian cedera tulang belakang, dan
penilaian neurologis.
30