Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

Unit Gawat Darurat (UGD) adalah salah satu bagian di rumah sakit yang

menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang

dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Di UGD dapat ditemukan dokter dari

berbagai spesialisasi bersama sejumlah perawat dan juga asisten dokter.Pelayanan

Gawat Darurat (​emergency Care)​ adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang

dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera (immediately) untuk menyelamatkan

kehidupannya (life saving). Pelayanan Unit Gawat Darurat (UGD) adalah salah satu

ujung tombak pelayanan kesehatan di sebuah rumah sakit. Setiap rumah sakit pasti

memiliki layanan UGD yang melayani pelayanan medis 24 jam.​1​

Pengetahuan dan keterampilan tenaga medis sangat dibutuhkan dalam upaya

penangan di UGD terutama dalam pengambilan keputusan klinis dimana

keterampilan penting dalam penilaian awal dan harus mampu memprioritaskan

perawatan pasien atas dasar pengambilan keputusan yang tepat, untuk mendukung hal

tersebut diperlukan pengetahuan dan keterampilan khusus dalam hal pemisahan jenis

dan kegawatan pasien dalam triase, sehingga dalam penanganan pasien bisa lebih

optimal dan terarah. Pemisahan yang dimaksud disebut Triase.​2

Sistem triase mulai dikembangkan mulai pada akhir tahun 1950an seiring

jumlah kunjungan UGD yang melampaui kemampuan sumber daya yang ada untuk

1
melakukan penanganan segera, dimana tujuan dari triase adalah memilih dan

menggolongkan semua pasien yang datang ke UGD dan menetapkan prioritas

penangannnya dan disaat pertama perawat menilai pasien perawat juga melakukan

tindakan diagnostik, sehingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan

pasien tidak terlalu lama.​2

Penanganan kasus gawat darurat pada setiap rumah sakit khususnya sering

menjadi sorotan publik sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan yang sering

merasa terabaikan dan tidak jarang berakhir pada kematian. Pelayanan kesehatan

tersebut dinyatakan sebagai bagian integral dari pelayanan dasar yang terjangkau

seluruh masyarakat, oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat di bagian

UGD dalam kasus kegawatdaruratan berdasarkan bantuan hidup dasar ​(primary

survey​ ) yang akan dibahasdalam makalah ini.​1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk

menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan atau

perawatan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi

kehidupan. Sifat pelayanan gawat darurat adalah cepat dan tepat.​3

Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan suatu instalasi di rumah sakit

yang bertujuan untuk mengurangi angka kematian dan kecacatan dengan cara

menyediakan pelayanan pertama secara terpadu dengan melibatkan berbagai multi

disiplin keilmuan medis untuk mengatasi masalah-masalah yang bersifat gawat

darurat, mengancam jiwa dan butuh penanganan segera, pada semua umur mulai dari

bayi hingga lanjut usia, terutama pasien dengan ancaman kematian dan kecacatan.

Klasifikasi pelayanan Instalasi Gawat Darurat terdiri dari Pelayanan Instalasi

Gawat Darurat Level IV sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas A,

pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level III sebagai standar minimal untuk Rumah

Sakit Kelas B, pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level II sebagai standar minimal

untuk Rumah Sakit Kelas C, dan pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level I sebagai

3
standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas D, dimana jenis pelayanan pada

masing-masing tingkat sebagai berikut:

Tabel 2.1 Jenis Pelayanan di IGD

Level IV Memberikan pelayanan sebagai berikut:


1) Diagnosis & penanganan : Permasalahan pd A, B, C dgn alat-alat
yang lebih lengkap termasuk ventilator
2) Penilaian ​disability​, Penggunaan obat, EKG, defibrilasi
3) Observasi HCU/ R. Resusitasi-ICU
4) Bedah ​cito
Level III Memberikan pelayanan sebagai berikut:
1) Diagnosis & penanganan : Permasalahan pd A, B, C dgn alat-alat
yang lebih lengkap termasuk ventilator
2) Penilaian ​disability, ​Penggunaan obat, EKG, defibrilasi
3) Observasi HCU/R. Resusitasi
4) Bedah ​cito
Level II Memberikan pelayanan sebagai berikut:
1) Diagnosis & penanganan : Permasalahan pd A : Jalan nafas (airway
problem), B : Pernafasan (Breathing problem), dan C : Sirkulasi
pembuluh darah (Circulation problem)
2) Penilaian Disability, Penggunaan obat, EKG, defibrilasi (observasi
HCU)
3) Bedah ​cito
Level I Memberikan pelayanan sebagai berikut:

4
1) Diagnosis &
penanganan Permasalahan pd A : Jalan nafas (airway problem), B :
Pernafasan (Breathing problem), dan C : Sirkulasi pembuluh darah
(Circulation problem)
2) Melakukan Stabilisasi dan evakuasi

Pengelolaan pada pasien yang mengalami trauma harus dilakukan secepat

mungkin karena waktu sangat berperan penting sehingga diperlukan adanya cara

yang mudah diingat dan dilaksanakan yang meliputi:

1. Persiapan

2. Triase

3​. Primary survey

4. Resusitasi

5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi

6. Pertimbangkan kemungkinan rujukan

7. ​Secondary survey​ (pemeriksaan ​head to toe ​dan anamnesis)

8. Tambahan terhadap ​secondary survey

9. Pemantauan dan reevaluasi berkesinambungan

10. Penanganan definitif

Primary survey ​maupun ​secondary survey ​dilakukan berulang agar dapat

mengenali penurunan keadaan pasien dan memberikan terapi bila diperlukan.Urutan

5
kejadian diatas diterapkan seolah-olah berurutan, namun dalam praktek sehari-hari

dapat berlangsung bersama-sama.​4

2.1 Persiapan

Persiapan pasien berlangsung dalam 2 fase yang berbeda. Fase pertama

adalah fase pre rumah sakit, dimana seluruh penganan pasien sebaiknya berlangsung

dalam koordinasi dokter di rumah.

Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas di

lapangan. Rumah sakit diberitahukan terlebih dahulu sebelum pasien mulai dibawa

dari tempat kejadian sehingga rumah sakit dapat mempersiapkan peralatan dan tim

trauma pada saat penderita tiba di rumah sakit. Pada fase ini titik berat diberikan pada

penjagaan ​airway,​ kontrol perdarahan, imobilisasi penderita dan pengiriman ke

rumah sakit terdekat.

Waktu ditempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari. Yang

paling penting adalah mengumpulkan keterangan yang dibutuhkan seperti waktu

kejadian, sebab dan riwayat penderita, mekanisme kejadian.​1

Fase kedua adalah fase rumah sakit dimana dilakukan persiapan untuk

menerima pasien, persiapan ruangan resusitasi, perlengkapan ​airway,​ perlengkapan

monitoring serta persiapkan tenaga medik tambahan, tenaga lab dan radiologi,

sehingga dapat dilakukan penanganan dalam waktu cepat.​1

6
Harus dilakukan perencanaan sebelum pasien tiba. Sebaiknya ada ruangan /

daerah khusus resusitasi untuk pasien trama. Perlengkapan ​airway (laringoskop, ETT,

dsb) sudah dipersiapkan, dicoba, dan diletakkan ditempat yang mudah terjangkau.​3

2.2 ​Triage

Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat

kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas

penanganan dan sumber daya yang ada. Terapi didasarkan pada prioritas ABC

(​Airway dengan kontrol servikal, ​Breathing,​ dan ​Circulation)​ . Pengelolaan pasien

meliputi ​primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi, ​secondary survey,​ dan

akhirnya terapi definitif.

Selama ​primary survey,​ keadaan yang mengancam nyawa harus segera

dikenali dan resusitasinya harus dilakukan pada saat itu juga. Keadaan-keadaan yang

mengancam nyawa teridir dari ​airway,​ ​breathing,​ ​circulation​, ​disability​, dan

exposure​/​environmental. G
​ angguan pada ​airway d​ iketahui dan diatasi ​dengan kontrol

servikal. Gangguan ​breathing diketahui dan diatasi dengan cara menjaga pernapasan

dengan ventilasi. Gangguan sirkulasi diketahui dan diatasi dengan kontrol

perdarahan. Kemudian, ketahui adanya ​disability d​ engan mengetahui status

neurologis pasien. Selanjutnya, buka baju pasien tetapi cegah hipotermia.

7
Gambar 2.1 Kategori pasien dalam triage

8
Gambar 2.2 Bagan pelaksanaan triage

9
2.2.1 ​Airway

Gangguan ​airway ​dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan

dan sebagian, dan/atau progresif dan berulang. Hal pertama yang harus dinilai pada

airway ​adalah kelancaran jalan napas. Beberapa tanda objektif sumbatan ​airway

dapat diketahui dengan langkah ​look​, ​listen,​ dan ​feel​.5​

​Look,​ lihat, pasien mengalami agitasi atau penurunan kesadaran. Agitasi

memberi kesan adanya hipoksia sedangkan penurunan kesadaran memberi kesan

adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan adanya hipoksemia yang disebabkan oleh

kurangnya oksigenasi. Sianosis dapat dilihat pada kuku dan sekitar mulut. Tanda lain

adanya gangguan ​airway ​adalah retraksi otot bantu napas.​5

Listen,​ dengar, adanya suara-suara pernapasan yang abnormal. Suara

mendengkur (​snorring)​ , berkumur (​gurgling)​ , dan bersiul (​crowing sound​, stridor)

berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau

(​hoarseness, dysphonia​) menunjukkan sumbatan pada laring. Pasien yang melawan

dan berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia.​5

Pada pemeriksaan ​feel,​ lakukan perabaan pada trakea. Pemeriksa segera

menentukan adanya deviasi trakea atau tidak. 5​

2.3.1.1 Pengelolaan ​airway

10
Airway management atau manajemen jalan napas adalah tindakan yang

dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol

servikal. Tujuannya adalah membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan

masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase

tubuh. Selama memeriksa dan memperbaiki ​airway​, pemeriksa harus memerhatikan

bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi leher. Pemeriksa sebaiknya

menganggap adanya fraktur servikal apabila terdapat gangguan kesadaran atau

perlukaan di atas klavikula.​5

Pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran pangkal lidahnya dapat

jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Sumbatan ini dapat segera diatasi

dengan mengangkat dagu (​chin lift maneuver)​ atau dengan mendorong rahang bawah

ke depan (​jaw-thrust ​maneuver​). ​Chin Lift dilakukan dengan maksud mengangkat

otot pangkal lidah ke depan, caranya dengan menempatkan jari-jemari salah satu

tangan pemeriksa di bawah rahang. Kemudian secara hati-hati diangkat ke atas untuk

membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama menahan bibir bawah untuk

membuka mulut. ​Chin lift maneuver t​ idak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.

Selanjutnya ​airway d​ ipertahankan dengan ​oro-pharyngeal airway atau ​nasofaringeal

airway​. Tindakan-tindakan tersebut dapat memperburuk cedera spinal. Maka dari itu

harus dilakukan imobilisasi segaris (​inline immobilization)​ .​5

11
Gambar 2.1 ​Chin lift maneuver.

Jaw-thrust maneuver d​ ilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah

pada angulus mandibula kiri dan kanan. Setelah itu dorong rahang bawah ke arah

depan. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala. Bila

cara ini dilakukan sambil menggunakan masker dari alat bag-valve dapat dicapai

kerapatan yang baik dan ventilasi yang adekuat.​5

Gambar 2.2 ​Jaw-thrust maneuver.

12
Oro-pharyngeal airway adalah pembebasan jalan napas dengan menyisipkan

alat ke dalam mulut di balik lidah. Cara ini dilakukan dengan menggunakan spatula

lidah untuk menekan lidah kemudian menyisipkan alat tersebut ke belakang. Alat ini

tidak boleh dipasang pada pasien sadar karena dapat menyebabkan sumbatan,

muntah, dan aspirasi.​5

Gambar 2.3 Pemasangan ​oro-pharyngeal airway.

Naso-pharyngeal airway adalah alat yang dimasukkan pada salah satu

lubang hidung dan dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior. Sebelum

dimasukkan alat tersebut dilumasi dengan baik. Apabila dirasa terdapat tahanan,

maka lakukan pada lubang hidung lainnya.​5

13
Gambar 2.4 ​Naso-pharyngeal airway.

Laryngeal mask airway (​ LMA) adalah alat yang berguna bila intubasi

endotrakeal atau sungkup wajah gagal. ​Laryngeal mask airway bukan merupakan

airway ​definitif. Kejadian aspirasi pada pemasangan LMA kecil namun apabila

terjadi, maka aspirasi tidak dapat dicegah.​5

Gambar 2.5 ​Laryngeal mask airway.

Gum elastic bougie (GEB) atau ​Eschmann tracheal tube introducer (​ ETTI)

adalah alat yang baik dipasang apabila ​airway ​sulit. Alat ini memiliki panjang 60 cm

14
dengan stilet intubasi 15 ​french,​ resin terbuat dari poliester wol, dan gradasi ujung

distal 10 cm. ​Gum elastic bougie ​dipasang apabila pita suara tidak tampak.

Gambar 2.6 ​Gum elastic bougie.

Airway d​ efinitif terdiri atas pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan ​surgical

airway​. ​Surgical airway t​ erdiri atas krikotiroidotomi atau trakeostomi. ​Airway

definitif dilakukan untuk melindungi ​airway d​ an memenuhi kebutuhan ventilasi.

Berikut indikasi ​airway definitif.5​

15
Gambar 2.7 Intubasi endotrakeal.

​ efinitif
Tabel 2.1 Indikasi ​Airway D

Kebutuhan untuk perlindungan ​airway Kebutuhan untuk ventilasi

Tidak sadar Apnu

● Paralisis neuromuskular

● Tidak sadar

Fraktur maksilofasial berat Usaha napas tidak adekuat

● Takipnu

● Hipoksia

● Hiperkarbia

● Sianosis

Resiko aspirasi Cedera kepala tertutup berat yang

● Perdarahan membutuhkan hiperventilasi

● Muntah-muntah

Resiko sumbatan Kehilangan darah yang masif dan

● Hematoma leher memerlukan resusitasi volume

● Cedera laring, trakea

● Stridor

2.2.2 ​Breathing

16
Posisi saat melakukan penilaian menurut AHA 2010 penilaian breathing ini

tidak dilakukan secara khusus seperti pada ​guidelines AHA 2005 yang mengenal

istilah ​look.listen, and feel.​ Penilaian ​breathing dilakukan diawal simultan ketika kita

menilai apakah korban masih respon atau tidak. Ketika korban kolaps dan didapatkan

tidak bernafas dengan normal apalagi henti nafas termasuk ​gasping.​

Pengelolaan gangguan breathing

Pernapasan buatan adalah memberikan udara bertekanan positif yang

mengandung oksigen. Kemudian membiarkan udara mengalir keluar seacara pasif,

seperti layaknya proses inspirasi dan ekspirasi. Saat pemberian penapasan buatan

perlu diperhatikan adanya pertukaran udara keluar masuk paru-paru dan tercukupnya

oksigen yang akan mengalami pertukaran gas. Volume udara yang diberikan sebesar

yaitu 6-7ml/kgBB atau sampai dengan dada korban terlihat mengembang. Hati-hati,

jangan terlalu kuat atau terlalu banyak karena dapat melukai paru-paru korban atau

masuk ke lambung

Terdapat berbagai cara yaitu sebagai berikut:

1. Pernapasan buatan mulut-mulut

2. Pernapasan buatan mulut-hidung

3. Penapasan buatan mulut-masker/ sungkup muka

4. BVM (Bag Valve Mask)

17
Yang perlu diperhatikan saat melakukan pertolongan adalah pada saat

pemompaan udara pernapasan dilakukan saat korban inspirasi, pemberian bantuan

napas disesuaikan dengan kebutuhan korban, pemasangan masker harus sesuai

dengan ukuran yang dibutuhkan dan ketat, bila korban terdapat gigi palsu, biarkan

gigi palsu tersebut tetap pada tempatnya.​6,7

2.2.3 Circulation

2.2.3.1 Volume darah dan ​cardiac output

Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca-trauma yang mungkin dapat

diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi

pada pasien trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti

sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status

hemodinamik pasien.

Ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi

mengenai keadaan hemo-dinamik ini, yakni tingkat kesadaran, warna kulit, dan nadi.

a. Tingkat kesadaran

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan

mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik: pasien yang sadar

belum tentu normo-volemik)

b. Warna kulit

18
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma yang

kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam

keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit

ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.

c. Nadi

Periksalah pada nadi yang besar seperti a. femoralis atau a.karotis

(kiri-kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak

cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normo-volemia (bila pasien

tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda

hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi

yang normal bukan jaminan bahwa normo-volemia. Nadi yang tidak teratur

biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi

dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera untuk

memperbaiki volume dan cardiac output.

2.2.3.2 Perdarahan

Perdarahan eksternal harus dikenali dan dikelola pada ​primary survey​.Perdarahan

eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara (​pneumatic splinting

device)​ juga dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Spalk jenis ini harus

tembus cahaya untuk dapat dilakukan pengawasan perdarahan. ​Tourniquet sebaiknya

jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga

19
tourniquet hanya dipakai bila ada amputasi traumatik. Pemakaian hemostat dan dapat

merusak jaringan seperti syaraf dan pembuluh darah.

Sumber perdarahan internal (tidak terlihat adalah perdarahan dalam rongga

toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retro-peritoneal, atau fraktur

pelvis.​3

2.2.4 Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi secara cepat. Yang dinilai

disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan

tingkat (level) cedera.

GCS (​Glasgow Coma Scale)​ adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat

meramal kesudahan (​outcome)​ pasien terutama motoric terbaiknya. Bila pemeriksaan

GCS belum dilakukan pada survey primer, harus dilakukan pada ​secondary survey​.

Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/dan

penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan

kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi

dan perfusi.

Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran pasien.

Walaupun demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau hipovolemia

20
sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma kapitis dianggap sebagai penyebab

penurunan kesadaran dan bukan alkoholisme, sampai terbukti sebaliknya.

Tabel Skoring Penilaian GCS

Jenis Pemeriksaan Nilai


Respon buka mata (​​Eye opening, ​E)
Spontan 4
Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respon motorik (M)
Ikut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggota tubuh yang dirangsang) 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi normal (deserebrasi) 2
Tidak ada (flasid) 1
Respon verbal (V)
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau (bingung) 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1

2.2.5 Exposure/Kontrol Lingkungan


Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara

menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. Setelah pakaian dibuka, penting

bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia. Harus dipakaikan selimut

hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah

21
dihangatkan. Yang penting adalah suhu tubuh pasien, bukan rasa nyaman petugas

kesehatan.​3

2.3 Secondary Survey

Secondary survey baru dilakukan setelah ​primary survey selesai, resusitasi

dilakukan dan ABC-nya penderita dipastikan membaik. ​Secondary survey adalah

pemeriksaan kepala sampai kaki (​head to toe examination)​ , termasuk re-evaluasi

pemeriksaan tanda vital. Peluang untuk membuat kesalahan dalam peilaian penderita

yang tidak sadar atau gawat cukup besar, sehingga diperlukan pemeriksaan teliti yang

menyeluruh.

Pada ​secondary survey i​ ni dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap,

termasuk mecatat skor GCS bila belum dilakukan dalam primary survey. Pada

secondary survey ini juga dikerjakan foto roentgen yang diperlukan. Prosedur khusus

seperti lavase peritoneal, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan laboratorium juga

dikerjakan pada kesempatan ini. Evaluasi lengkap penderita memerlukan

pemeriksaan fisik berulang-ulang.

2.3.1 Anamnesis

22
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat

perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri dan

harus didapat dari petugas lapangan atau keluarga.

Riwayat “AMPLE” perlu diingat:

A : Alergi

M : Medikasi (obat yang diminum saat ini)

P : Past illness (penyakit penyerta)/Pregnancy

L : Last meal

E : Event/environment (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian

perlukaan

Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Petugas lapangan

seharusnya melaporkan mekanisme perlukaan. Jenis perlukaan dapat diramalkan dari

mekanisme kejadian perlukaan itu. Trauma biasanya dibagi dalam 2 jenis: tumpul dan

tajam.

1. Trauma tumpul

Trauma tumpul dapat disebebakan kecelakaan lalu lintas (KLL), terjatuh,

kegiatan rekreasi atau pekerjaan. Keterangan penting yang dibutuhkan pada KLL

mobil adalah pemakaian sabuk pengaman, deformasi kemudi, arah tabrakan,

kerusakan kendaraan dalam bentuk kerusakan mayor pada bentuk luar, atau hal-hal

yang berhubungan dengan perlengkapan penumpang terlempar keluarnya

23
penumpang. Terlempar keluarnya penumpang akan sangat menambah kemungkinan

parahnya perlukaan. Pola perlukaan pada pasien dapat diramalkan dari mekanisme

traumanya. Pola perlukaan juga sangat dipengaruhi usia dan aktivitas.

2. Trauma tajam

Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin sering

ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan adalah daerah tubuh

yang terluka, organ yang terkena dan velositas (kecepatan). Dengan demikian maka

velositas, kaliber, arah, dan jarak dari senjata merupakan informasi yang penting

diketahui.

3. Perlukaan karena suhu panas/dingin

Luka bakar dapat terjadi sendiri atau dalam kombinasi dengan trauma tumpul

ataupun tajam akibat mobil terbakar, ledakan, benda yang jatuh, usaha penyelamatan

diri maupun serangan pisau atau senjata api. Cedera dan keracunan karbon

monoksida daoat menyertai luka bakar. Dengan demikian perlu diketahui hal-hal

sekitar kejadian. Secara khusus perlu ditanyakan tempat terjadinya kejadian

perlukaan (ruang tertutup atau terbuka) atau bahan yang ikut terbakar (bahan kimia,

plastik, dsb) dan perlukaan lain yang menyertai. Hipotermia akut atau kronis dapat

menyebabkan kehilangan panas umum ataupun lokal. Kehilangan panas dalam

jumlah besar dapar terjadi walaupun pada suhu yang tidak terlalu dingin (15-20​0 C)

24
yaitu bila penderita memakai pakaian yang basah, tidak bergerak aktif atau minum

alkohol, sehingga tubuh tidak dapat menyimpan panas.

4. Bahan berbahaya

Kontak dengan bahan kimia, toksin atau radiasi perlu diketahui karena 2

sebab. Yang pertama karena bahan-bahan ini dapat mengakibatkan berbagai ragam

kelainan pada jantung, paru atau organ tubuh lain. Yang kedua bahan-bahan ini dapat

berbahaya untuk petugas kesehatan yang merawat penderita. Seringkali petugas

hanya mengetahui prinsip-prinsip dasar penangan, dan perlu menghubungi ​Regional

Poison and Control Center.

2.3.2 Pemeriksaan fisik

Kepala

Secondary survey mulai dengna evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan

kepala harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena kemungkinan

bengkaknya mata yang akan mempersulit pemeriksaan yang teliti, mata harus

diperiksa akan adanya:

a. Ketajaman visus

b. Ukuran pupil

c. Perdarahan konjungtiva dan fundus

d. Luka tembus pada mata

25
e. Lensa kontak (ambil sebelum terjadu edema)

f. Dislocation lentis

g. Jepitan bola mata

Ketajaman visus dapat diperiksa dengan membaca gambar Snellen, membaca huruf

pada botol infus atau bungkus perban. Gerakan bola mata harus diperiksa karena

kemungkinan terjepitnya bola mata oleh fraktur orbital.

Maksilo-fasial

Trauma maksilofasial dapat mengganggu airway atau perdarahan yang hebat,

yang harus ditangani saat ​primary survey.​

Trauma maksilofasial tanpa gangguan ​airway atau perdarahan hebat, baru

dikerjakan setelah penderita stabil sepenuhnya dan pengelolaan definitif dapat

dilakukan dengan aman. Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada

fraktur pada lamina cribosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui

jalan oral.​7

2.3.3. Vertebra servikalis dan leher

Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Nyeri daerah vertebra

servikalis, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan fraktur laring dapat ditemukan pada

pemeriksaan yang teliti. Dilakukan palpasi dan auskultasi pada a. karotis. Adanya jejas pada

a. karotis harus dicatat karena kemungkinan adanya perlukaan. Penyumbatan dapat terjadi

26
secara lambat tanpa gejala. Angiografi atau Doppler Sonografi dapat menyingkirkan kelainan

ini.

Trauma arteri besar daerah leher paling banyak disebabkan trauma tajam, namun

trauma tumpul leher atau cedera karena sabuk pengaman dapat menyebabkan kerusakan

intima, diseksi, dan thrombosis. Bila penderita memakai helm harus berhati-hati jika

kemungkinan terdapat fraktur servikal.

Penanganan luka daerah leher yang menembus platisma membutuhkan ahli bedah

sebagai supervise maupun untuk tindakan operatif. Perdarahan aktif, hematoma yang meluas,

bruit, atau gangguan ​airway ​membutuhkan tindakan operatif. Monoparesis satu lengan sering

disebabkan kerusakan radiks pleksus brakhialis.

Toraks

Inspeksi depan dan belakang untuk melihat adanya ​flail chest a​ tau ​open pneumothorax​.

Palpasi tiap iga dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada fraktur sternum

atau ada ​costochomdral separation.​ Kelainan pada toraks akan disertai nyeri dan/atau

dispneu.

Auskultasi untuk mengetahui adanya bising napas untuk menentukan pneumotoraks

dan bagian posterior untuk hemotoraks. Tamponade jantung atau ​tension pneumothorax d​ apat

dilihat dari adanya distensi vena jugularis. Tanda lain ​tension pneumothorax ​yaitu

27
melemahnya suara napas dan hipersonor pada perkusi disertai syok, dan perlu dekompresi

segera. Foto toraks dapat menunjukkan hemotoraks atau pneumotoraks, ruptur aorta.

​Abdomen

Trauma abdomen harus ditangani segera, diperlukan pemeriksaan ulang,

observasi ketat, dan konsultasi ahli bedah. ​Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL),

USG abdomen, atau CT Scan dengan kontras diperlukan jika terdapat kelainan

neurologis, gangguan kesadaran karena alcohol atau obat, hipotensi yang tidak

diketahui penyebabnya, dan pemeriksaan fisik abdomen yang meragukan.

Perineum/rektum/vagina

Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui adanya kontusio, hematoma, laserasi,

dan perdarahan uretra. Colok dubur dilakukan sebelum pemasangan kateter uretra.

Dilihat adanya darah dari lumen reckum, prostat letak tinggi, fraktur pelvis, utuh

tidaknya dinding rektum dan tonus m. sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok

vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi. Tes kehamilan

juga dilakukan pada wanita usia subur.

Muskuloskeletal

Pemeriksaan di ekstremitas untuk melihat adanya luka atau deformitas. Nyeri,

krepitasi, atau gerakan abnormal untuk melihat adanya fraktur. Fraktur pelvis ditandai

jejas daerah ​ala ossis illi,​ pubis, labia, atau skrotum. Nyeri pada kompresi kedua

28
SIAS, atau adanya mobilitas pelvis dan simfisis pubis. Tes kompresi dilakukan hanya

sekali oleh ahli karena menyebabkan perdarahan.

Penilaian pulsasi untuk menentukan adanya gangguan vaskular. Gangguan

sensasi dan hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan saraf

perifer atau iskemia. Fraktur torakolumbal dapat diketahui dari pemeriksaan fisik dan

riwayat trauma.

2.3.4 Neurologis

Pemeriksaan meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,

pemeriksaan motorik dan sensorik. Perubahan dalam status neurologis dikenal

dengan pemeriksaan GCS.

Bila terjadi penurunan status neurologis harus menilai perfusi, oksigenasi, dan

ventilasi (ABCDE). Tindakan bedah diperlukan bila ada perdarahan epidural,

subdural, atau fraktur kompresi. Imobilisasi dengan ​long spine board​, kolar servikal,

dan alat yang lain dilakukan sampai terbukti tidak ada fraktur servikal.​3

BAB III
SIMPULAN

29
Pasien gawat darurat perlu penilaian yang cepat dan tepat. Dilakukan primary

survey dan secondary survey agar dapat mengenali penurunan keadaan pasien dan

dapat dengan segera memberikan terapi yang di butuhkan.

Primary survey, hal yang perata kali dilakukan adalah pembebasan jalan napas

dengan control servikal pada trauma yang mengancam jiwa, trauma multiple, trauma

di atas klavikula, trauma kepala, dan trauma dengan GCS <8. Primary survey terdiri

dari airway, breathing, circulation, disability dan exposure.

Secondary survey, baru dilakukan setelah primary survey selesai. Yang perlu

dilakukan yaitu mendapatkan riwayat AMPLE (alergi, medikasi, past illness, last

meal, dan event/environment) dan mekanisme cedera, pemeriksaan dan

penatalaksanaan cedera kepala dan leher, penilaian cedera tulang belakang, dan

penilaian neurologis.

30

Anda mungkin juga menyukai