Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HUKUM PERJANJIAN ISLAM

ASPEK KEABSAHAN DAN BATALNYA PERJANJIAN

Dosen Pengampuh : Lalu Suprawan, M.E.I.

Di susun Oleh :

Kelompok II

1. NURANITA (170502052)

2. HAIRA RIZKA (170502064)

3. MUHAMMAD IMAM SYUKRI1 (170502060)

4. NIA KURNIA (170502047)

5. DENADA ISMI SUKMAYANTI (170502078)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

MATARAM

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan para
pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali
dengan proses negosisasi di antara para pihak. Melalui kontrak prbedaan tersebut
diakomodasikan dan selanjutnya dibingkai dengan pangkat hukum sehingga mengikat
para pihak.

Keabsahan berkontrak atau dalam suatu perjanjian merupakan ‘roh’ dan ‘nafas’
sebuah kontrak atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam
berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang. Dengan
demikian, diharapkan muncul kontrak yang adil dan seimbang pula bagi par pihak.
Namun demikian dalam praktik masih banyak ditemukan model kontrak standar (kontrak
baku) yang cenderung dianggap berat sebelah, tidak seimbang, dan tidak adil.

Fenomena adanya ketidakseimbangan dalam berkontrak atau perjanjian sebagaimana


tersebut dapat dicermati dari beberapa model kontrak, terutama kontrak-kintrak
konsumen dalam bentuk standar/baku yang di dalamnya memuat klausul-klausul yang
isinya (cenderung) berat sebelah. Dalam praktik pemberian kredit dilingkungan
perbankan, misalnya terdapat klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala
petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur kemudian.
Menyikapi hak tersebut tentunya diperlukan sikap dan pemahaman yang objektif serta
komprehensif dalam menilai isi kontrak, terutama terkait dengan klausul-klausul kontrak
yang dianggap berat sebelah1.

1
Agus Yudha Hernoko, “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2010), hlm. 1-4.
B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi perjanjian?

2. Apa saja aspek keabsahan perjanjian?

3. Apa saja penyebab batalnya perjanjian?

4. Bagaimana prosedur pembatalan perjanjian?

5. Kapan perjanjian itu berakhir?

C. Tujuan Masalaah

1. Mengetahui definisi perjanjian.

2. Mengetahui aspek keabsahan perjanjian.

3. Mengetahui batalnya perjanjian.

4. Mengetahui prosedur pembatalan perjanjian.

5. Mengetahui berakhirnya perjanjian.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian

secara etimologis perjanjian (yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah
Ittifa’, Akad) atau kontrak dapat diartikan sebagai :

“Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan di mana seseorang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih”. (Yan Pramadya Puspa,1977 :
248).

Sedangkan WJS. Poerwadarminta dalam bukunya Kamus Umum Bahasa Indonesia


memberikan definisi/pengertian perjanjian tersebut sebagai berikut:

“Persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana
berjanji akan menaati apa yang tersebut di persetujuan itu...” (WJS. Poerwadarminta,
1986: 402).2

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa, perjanjian


adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang
atau beberapa orang lainnya untuk melakukan seseuatu perbuatan tertentu. Di dalam hukum
kalau perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan
perbuatan hukum.

2
Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: SINAR
GRAFIKA, 1994), hlm 1-2
Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang
dilakukan oleh manusia secara sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam hal
perbuatan hukum ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Perbuatan hukum sepihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja
dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula misalnya:

a. Pembuatan surat wasiat.

b. Pemberian hadiah sesuatu benda (hibah).

2. Perbuatan hukum dua pihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak
dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi pihak (timbal balik)
misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa-menyewa dan lain- lain.

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa perbuatan hukum itu juga meliputi perjanjian-
perjanjian yang dilakukan oleh para pihak. Menyangkut apa yang telah diperjanjikan,
masing-masing pihak haruslah saling menghormati terhadap apa yang telah mereka
perjanjikan sebab di dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an antara lain
dalam surat Al-Maidah ayat 1 yang artinya berbunyi sebagai berikut:

“hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (Dewan Penyelenggara


Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1990: 156).

Adapun yang dimaksud dengan akad atau perjanjian adalah janji setia kepada Allah
SWT, dan juga meliputi perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan sesama manusia dalam
pergaulan hidupnya sehari-hari.

Dari ketentuan hukum di atas dapat dilihat, bahwa apa pun alasannya merupakan suatu
perbuatan melanggar huku, dan apabila seseorang itu telah melakukan sesuatu perbuatan
yang melanggar hukum, maka kepada pelakunya dapat dijatuhkan sesuatu sanksi. Perjatuhan
sanksi tersebut dengan alasan melanggar perjanjian atau yang dalam istilah lain dinamakan
dengan “wanprestasi”.3

3
Abdul Ghofur Ashori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2018),
hlm 24.
B. Aspek Keabsahan Perjanjian Menuru Islam

Dalam ajaran Islam untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi rukun dan syarat
dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa
dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa, dan
tindakan tersebut. Rukun akad yang utama adalah ijab dan qabul. Syarat yang harus ada
dalam rukun bisa menyangkut subyek dan obyek dari suatu perjanjian.

Dalam KUHPerdata, Pasal 1320 menyebutkan syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu
perjanjian; sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau setuju
mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang dibuat. Kesepakatan itu dianggap tidak ada
apabila sepakat itu diberikan karena kekeliruan / kekhilafan atau diperolehnya dengan
paksaan atau penipuan. Menurut KUHPerdata, suatu paksaan yang dapat mengakibatkan
pembatalan suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat sebagai berikut:

a) Paksaan dilakukan terhadap (pasal 1325):

 Orang yang membuat perjanjian; Suami atau istri dari orang yang membuat
perjanjian.

 Sanak keluarga dalam garis keturunan ke atas atau ke bawah.

b) Paksaan dilakukan oleh:

 Salah satu pihak dalam perjanjian.

 Pihak ketiga untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut dibuat.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Yang dimaksud dengan cakap disini adalah orang yang sudah dewasa, sehat akal
pikiran dan tidak dilarang oleh suatu perundang-undangan untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu. Orang-orang yang dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan
4
hukum yaitu:

a) Orang-orang yang belum dewasa. Menurut pasal 1330 KUHPer jo. Pasal 47 UU No.
1 / 1974 tentang Perkawinan, orang belum dewasa adalah anak dibawah umur 18
tahun, atau belum pernah melangsungkan pernikahan.

b) Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan. Menurut pasal 1330 jo. Pasal 433
KUHPer yaitu orang yang telah dewasa tetapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap
dan pemboros.

c) Orang-orang yang dilarang dalam undang-undang untuk melakukan perbuatan


hukum tertentu. Misalnya, orang yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan.

3. Mengenai suatu hal tertentu

Yang dimaksud mengenai suatu hal tertentu, artinya ialah apa yang akan diperjanjikan
harus jelas dan terinci (jenis, jumlah dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui
hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak terjadi suatu perselisihan antara para
pihak.

4. Suatu sebab (kausa) yang halal

Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzaak (Belanda) atau causa (Latin) yang
dimaksudkan dalam hal perjanjian ini bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang
membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya
dalam perjanjian jual beli, isi dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu
menghendaki hak milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang. Hal-hal
yang dimaksud dengan sebab yang halal dalam perjanjian, diantaranya adalah sebagai
berikut:

 Klausa yang halal berarti isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan undang-undang.5

4
Tri Wahyu Surya Lestari, “Komparansi Syarat Keabsahan “Sebab Yang Halal” Dalam Perjanjian Konvensional
dan Syariah”, Jurnal Hukum Islam, Vol 2, No. 1, 2017, hlm 5-9.
 Sebab dikatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum. Misalnya, tidak dipenuhinya ketentuan pasal 31 ayat (1) UU No. 24
/ 2009 dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk pelanggaran dalam undang-undang.
Oleh karena itu, tidak digunakannya Bahasa Indonesia dalam perjanjian yang
melibatkan pihak asing dapat dijadikan alasan bagi salah satu pihak untuk meminta
perjanjian dinyatakan “Batal Demi Hukum”, dengan alasan perjanjian tidak memenuhi
syarat sah pada pasal 1320 yaitu “suatu sebab yang halal”.

Menurut Lukman Santoso dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perikatan: Teori
Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak, Kerja sama, dan Bisnis” rukun dan syarat perjanjian
syariah terdiri dari 4 syarat, yaitu:

1. Dua pihak atau lebih yang melakukan akad, ialah dua orang atau lebih yang secara
langsung terlibat dalam akad. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki
kelayakan untuk melakukan akad sehingga akad tersebut baru dianggap sah. Kelayakan
terwujud dengan beberapa hal berikut:

a) Kemampuan membedakan yang baik dan buruk,yakni apabila pihak-pihak


tersebut sudah berakal lagi baliq dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang
tercekal dianggap idiot atau bankrut total, tidak sah melakukan perjanjian.

b) Bebas memilih, tidak sah akad yang akan dilakukan orang dibawah paksaan,
kalau paksaan itu terbukti. Misalnya, orang yang berhutang dan perlu pengalihan
hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya
untuk menutupi hutangnya.

c) Akad itu dapat dianggap berlaku bila tidak terdapat khiar (hak pilih).

2. Obyek Akad (Transaksi) atau mahal al ‘Aqd., yakni berupa barang yang dijual misalnya
pada akad jual beli. Atau akad sewa menyewa dan sebagainya. 6

Para ahli hukum Islam sepakat bahwa sesuatu obyek kontrak harus memenuhi
empat syarat: pertama kontrak harus sudah ada secara konkrit ketika kontrak

5
Ibid..., hlm 10-11.
6
Abdul Ghofur Ashori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia..., hlm 25.
dilangsungkan atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang. Dalam kontrak-
kontrak tertentu ketentuan ini dapat dibenarkan seperti kontrak salam (pesan barang
dengan pembayaran harga sebagian atau seluruhnya lebih dahulu), kontrak ijarah/ leasing
(sewa menyewa), atau juga dalam bentuk bagi hasil (mudharabah), dimana obyek akad
cukup diperkirakan akan ada pada masa yang akan datang. Kedua, dibenarkan oleh
syara’, sehingga segala hal yang tidak bersesuaian atau bertentangan dengan syara’ tidak
dapat dijadikan sebagai objek kontrak. Ketiga, kontrak harus dapat diserahkan ketika
terjadi kontrak, namun tidak harus diserahkan secara seketika, yakni dapat dimungkinkan
untuk diserahkan pada saat yang telah ditentukan dalam kontrak. Ke empat, kontrak harus
jelas atau dapat ditentukan (mu’ayyan) dan harus diketahui oleh kedua belah pihak yang
membuat kontrak.

3. Lafazh (Shighat) Akad, yaitu pengucapan akad ialah ungkapan yang dilontarkan oleh
orang yang melakukan akad untuk menunjukkan keinginannya yang mengesankan bahwa
akad itu harus mengandung serah terima (ijab-qabul).7

Menurut Wahbah Zuhaili, ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab dan
qabul dipandang sah serta memiliki akibat hukum, yakni jala’ul ma’na, tawafuq, dan
jazmul iradataini. Jala’ul ma’na berarti bahwa tujuan yang terkandung dalam pernyataan
suatu perjanjian itu harus jelas, sehingga dari pernyataan tersebut dapat dipahami jenis
kontrak yang dikehendaki. Sedangkan yang dimaksud dengan tawafuq adalah antara ijab
dan qabul harus memiliki kesesuaian. Dan terakhir ialah jazmul iradataini, yaitu antara
ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ada keraguan
sedikitpun, tidak berada di bawah tekanan dan tidak berada dalam keadaan terpaksa.
Kriteria dari pelaku kontrak disyaratkan harus mukhallaf (aqil baligh, berakal sehat,
dewasa dan cakap hukum). Para ahli hukum Islam sepakat bahwa batasan umur pelaku
kontrak diserahkan kepada ‘urf (adat) setempat dan atau undang-undang yang berlaku
dalam suatu negara.

4. Tujuan kontrak / maudhu’ul ‘aqd.

7
Ibid...,26.
Yang dimaksud tujuan kontrak / maudhu’ul ‘aqd adalah untuk apa suatu kontrak
dilakukan (al-maqshad al ashli alladzi syariah al ‘aqd min ajlih) oleh seseorang dengan
orang lain dalam rangka melaksanakan suatu muamalah antara manusia, dan yang
menentukan akibat hukum dari suatu kontrak adalah al mysyarri’ (yang menetapkan
syariat) yakni Allah. Dengan kata lain, akibat hukum dari suatu kontrak harus diketahui
melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar ini, semua kontrak
yang bertentangan dengan syara’ adalah tidak sah dan oleh karena itu tidak menimbulkan
hubungan hukum.

C. Batalnya Perjanjian

Secara umum tentang pembatalan perjanjian tidak mungkin dilaksanakan, sebab dasar
perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.
Namun demikian pembatalan perjanjian dapat dilakukan apabila:
1. Jangka waktu perjanjian telah berakhir
Lazimnya suatu perjanjian selalu didasarkan kepada jangka waktu tertentu
(mempunyai jangka waktu yang terbatas), maka apabila telah sampai kepada waktu
yang telah diperjanjikan, secara otomatis (langsung tanpa ada perbuatan hokum lain)
batallah perjanjian yang telah diadakan para pihak.
Dasar hukum tentang hal ini terdapat dalam al-Qur’an surah at-taubah ayat 4 yang
artinya:
“kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka), dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjianmu) dan tidak
(pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaqwa” (Q.S at-Taubah: 4).
Berdasarkan ayat di atas, khususnya dengan kalimat “penuhilah janji sampai batas
waktunya”. Terlihat bahwa kewajiban untuk memenuhi perjanjian itu hanya sampai
batas waktu yang telah diperjanjikan, dengan demikian setelah berlakunya waktu yang
diperjanjanjikan maka perjanjian itu batal dengan sendirinya. 8

8
Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: SINAR GRAFIKA,
1994), hlm 4.
2. Salah satu pihak menyimpang dari perjanjian
Apabila salah satu pihak melakukan perbuatan menyimpang dari apa yang telah
diperjanjikan, maka pihak lain dapat membatalkan perjanjian tersebut.
Pembolehan untuk membatalkan perjanjian oleh salah satu pihak apabila pihak
lain menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan adalah didasarkan pada ketentuan al-
Qur’an surah at-Taubah ayat 7 yang artinya:
“maka selama mereka berlaku jujur (lurus) terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus
pula pada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”
Dari ketentuan ayat di atas, khusunya pada kalimat “selama mereka berlaku lurus
terhadapmu maka hendaklah kamu berlaku lurus pula terhadap mereka”, dalam hal ini
terkandung pengertian bahwa apabila salah satu pihak tidak berlaku lurus, maka pihak
yang lain boleh membatalkan perjanjian yang telah disepakati.
3. Jika ada kelancangan dan bukti pengkhianatan (penipuan)
Apabila salah satu pihak melakukan sesuatu kelancangan dan telah pula ada
bukti-bukti bahwa salah satu pihak mengadakan pengkhianatan terhadap apa yang telah
diperjanjikan, maka perjanjian yang telah diikat dapat dibatalkan oleh pihak yang
lainnya.
Dasar hukum tentang hal ini terdapat dalam al-Qur’an surah al-anfal ayat 58
yang artinya: “ dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) ada pengkhianatan dari suatu
golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan jujur,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”
Pembolehan pembatalan dalam hal ini dapat dipahami dari bunyi kalimat “jika
kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan. . maka kembalikanlah perjanjian itu”.
Dari bunyi kalimat yang demikian berarti perjanjian itu dapat dibatalkan apabila ada
suatu bukti pengkhianatan.9
4. Batal karena tidak terpenuhinya salah satu syarat sahnya perjanjian
Batalnya suatu kontrak menyangkut suatu persoalan tidak terpenuhinya syarat
sahnya suatu perjanjian yang berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, terdiri dari empat
syarat yakni syarat pertama yakni adanya kesepakatan kedua belah pihak, syarat kedua
adanya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, syarat ketiga adanya obyek

9
Ibid.., hlm 6.
tertentu dan syarat keempat yakni adanya kausa yang halal. Menurut Subekti keempat
syarat tersebut di bagi menjadi dua kategori, yaitu syarat subyektif dan syarat obyektif.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif, tidak terpenuhinya salah satu
atau kedua-dua unsur tersebut mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan/dapat
dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Perjanjian yang tidak dimintakan
pembatalan dianggap tetap berlaku, sehingga penekanan terhadap pembatalan ada pada
inisiatif para pihak. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif suatu
perjanjian, dengan konsekuensi tidak terpenuhinya salah satu atau keduanya
menyebabkan perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap
tidak pernah ada dan tujuan para pihak untuk mengadakan perjanjian tersebut untuk
melahirkan suatu perikatan hukum dianggap telah gagal, sehingga tidak ada dasar bagi
para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim. `
5. Batal Karena Adanya Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Seseorang
yang berjanji, tetapi tidak melakukan apa yang dijanjikannya, ia alpa, lalai atau ingkar
janji atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang
tidak boleh dilakukannya, maka ia dikatakan wanprestasi. Wanprestasi (kelalaian atau
kealpaan) dapat berupa empat macam:10
a) Tidak melakukan apa yang disanggupinya akan dilakukannya
b) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
c) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Pembatalan perjanjian dengan alasan wanprestasi sudah sering terjadi, dan dianggap
wajar. Apalagi jika alasan itu dibenarkan dalam termination clause yang sudah
disepakati bersama kedua pihak. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau
wanprestasi salah satu pihak, dalam KUHPerdata, terdapat pengaturan pada Pasal 1266,
yaitu suatu Pasal yang terdapat dalam bagian kelima Bab I, Buku III, yang mengatur
tentang perikatan bersyarat. Undang-undang memandang kelalaian debitur sebagai
suatu syarat batal yang dianggap dicantumkan dalam setiap perjanjian. dengan kata lain,
dalam setiap perjanjian dianggap ada suatu janji (clausula) yang berbunyi demikian
10
http://repository.unpas.ac.id
“apabila kamu, debitur, lalai, maka perjanjian ini akan batal.“ Walaupun demikian
perjanjian tersebut tidak secara otomatis batal demi hukum, tetapi pembatalan harus
dimintakan kepada hakim, hal ini juga harus tetap dilakukan walaupun syarat batal tadi
dicantumkan dalam perjanjian.

Pasal 1266 KUHPerdata, menjadi dasar bahwa hakimlah yang menentukan


apakah telah terjadi wanprestasi atau tidak dalam suatu kontrak. Pembatalan perjanjian
bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian
diadakan. Jika suatu pihak telah menerima sesuatu dari pihak lainnya, baik uang
ataupun barang, maka uang atau barang tersebut harus dikembalikan.

6. Pembatalan Perjanjian Secara Sepihak


Pembatalan sepihak atas suatu perjanjian dapat diartikan sebagai ketidaksediaan
salah satu pihak untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati kedua belah pihak
dalam perjanjian. Pada saat mana pihak yang lainnya tetap bermaksud untuk memenuhi
prestasi yang telah dijanjikannya dan menghendak untuk tetap memperoleh kontra
prestasi dari pihak yang lainnya itu.

Pembatalan tersebut harus dimintakan ke pengadilan, hal ini dimaksudkan agar


nantinya tidak ada para pihak yang dapat membatalkan perjanjian sepihak dengan
alasan salah satu pihak lainnya tersebut tidak melaksanakan kewajibannya
(wanprestasi). Menurut Pasal 1266 KUHPerdata, ada tiga hal yang harus diperhatikan
sebagai syarat supaya pembatalan itu dapat dilakukan. Tiga syarat itu adalah:

a) perjanjian bersifat timbal balik


b) harus ada wanprestasi
c) harus dengan putusan hakim

Perjanjian timbal balik, seperti yang telah dijelaskan di atas dimana kedua pihak
memenuhi kewajibannya masing-masing, yakni prestasi. Jika salah satu pihak ingkar
janji atau wanprestasi mengenai syarat pokoknya dari perjanjian, maka dapat diajukan
gugatan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim.11

11
Lista Kuspriatni, Hukum Perjanjian,(Jakarta: SINAR GRAFIKA, 1996), hlm 2-4.
Dalam praktek membuat surat perjanjian sering dinyatakan klausal “jika salah satu pihak
tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak yang lain dapat membatalkan perjanjian”,
sebenarnya klausal semacam ini tidak perlu dimasukkan kedalam perjanjian, karena hokum
perdata telah menerapkan prinsip umum dalam perjanjian berupa syarat batal. Dalam pasal
1266 KUHPerdata menyebutkan syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam
persetujuan yang timbal balik, andai kata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Syarat batal merupakan suatu batasan, dimana jika pihak tidak melaksanakan
kewajibannya dalam perjanjian (wanprestasi), maka pihak yang lain dalam perjanjian itu
dapat membatalkan perjanjian secara sepihak (tanpa persetujuan pihak yang wanprestasi).
Klausal semacam ini dianggap selalu ada dalam setiap perjanjian, sehingga meskipun suatu
perjanjian tidak menentukannya dalam bunyi pasal-pasal, prinsip ini tetap berlaku. Dalam
pemberlakuan prinsip ini tidak serta merta, meskipun syarat batal dianggap selalu berlaku
pada semua perjanjian, namun batalnya perjanjian itu tidak terjadi begitu saja, melainkan
harus dimintakan pembatalannya kepada pengadilan. Pihak yang menuduh pihak lainnya
wanprestasi, harus mengajukan pembatalan itu kepada pengadilan. Tanpa adanya putusan
pengadilan yang menyatakan bahwa salah satu pihak telah wanprestasi dan karenanya
perjanjian dibatalkan, maka bisa dikatakan tidak ada perjanjian yang batal.

D. Prosedur Pembatalan Perjanjian


Adapun prosedur pembatalan perjanjian ialah dengan cara: terlebih dahulu kepada
pihak yang tersangkut dalam perjanjian tersebut diberi tahu, bahwa perjanjian atau
kesepakatan yang telah diikat akan dihentikan (dibatalkan), hal ini tentunya harus juga
diberitahu alasan pembatalannya.
Setelah berlalu waktu yang memadai barulah perjanjian dihentikan secara total. Maksud
setelah berlalu waktu yang memadai adalah agar pihak yang tersangkut dalam perjanjian
mempunyai waktu untuk bersiap-siap untuk menghadapi risiko pembatalan. Adapun dasar
hukum ketentuan ini adalah kterdapat dalam al-Qur’an surah al-anfal 58 sebagaimana
dikemukakan di atas.
Dasar pembolehan tercakup dalam kalimat “kembalikanlah perjanjian kepada mereka
dengan cara yang baik”, cara yang baik di sini ditafsirkan sebagai pemberitahuan dan adanya
tenggang waktu yang wajar untuk pemutusan perjanjian secara total.12

E. Berakhirnya Perjanjian
Pada umumnya perjanjian akan hapus bila tujuan perjanjian telah tercapai, dan masing-
masing pihak telah saling menunaikan kewajibannya atau prestasinya sebagaimana yang
dikehendaki mereka bersama. Perjanjian dapat hapus karena:
1) Tujuan dari perjanjian telah tercapai dan masing-masing pihak telah memenuhi
kewajibannya atau prestasinya.
2) Perjanjian hapus karena adanya putusan oleh hakim.
3) Salah satu pihak mengakhirinya dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan setempat
terutama dalam hal jangka waktu mengakhiran.
4) Para pihak sepakat untuk mengakhiri perjanjian yang sedang berlangsung, misalnya
dalam peristiwa tertentu perjanjian akan hapus seperti yang disebutkan dalam Pasal
1603 ayat j KUHPerdata yang menyebutkan dengan meninggalnya salah satu pihak
perjanjian akan hapus.
5) Perjanjian akan hapus apabila telah lewat waktu yang telah ditentukan bersama.
6) Perjanjian akan berakhir menurut batas waktu yang ditentukan Undang-undang.

12
Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam…., hlm 8.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam ajaran Islam untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi rukun dan syarat
dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal,
peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan tersebut. Rukun akad yang utama adalah ijab dan qabul. Syarat
yang harus ada dalam rukun bisa menyangkut subyek dan obyek dari suatu perjanjian.
pembatalan perjanjian dapat dilakukan apabila Jangka waktu perjanjian telah berakhir,
Salah satu pihak menyimpang dari perjanjian, Jika ada kelancangan dan bukti
pengkhianatan (penipuan), Batal karena tidak terpenuhinya salah satu syarat sahnya
perjanjian, Batal Karena Adanya Wanprestasi, dan Pembatalan Perjanjian Secara
Sepihak.
Daftar Pustaka

Agus Yudha Hernoko, “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas”, Jakarta: Prenadamedia


Group, 2010.
Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, cet. Ke-1, Jakarta:
SINAR GRAFIKA, 1994.
Abdul Ghofur Ashori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gadja Mada
University Press, 2018.
Tri Wahyu Surya Lestari, “Komparansi Syarat Keabsahan “Sebab Yang Halal” Dalam Perjanjian
Konvensional dan Syariah”, Jurnal Hukum Islam, Vol 2, No. 1, 2017.
http://repository.unpas.ac.id
Lista Kuspriatni, Hukum Perjanjian,Jakarta: SINAR GRAFIKA, 1996.

Anda mungkin juga menyukai