Atresia Ani
Atresia Ani
“ATRESIA ANI”
DI RUANG 15 RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Oleh :
Krismaya Ismayanti
NIM. 180070300111025
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ a “ yang artinya tidak ada
dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah medis, atresia ani
adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal. Atresia
ani merupakan kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi
anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Dalam pustaka lain,
atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau
saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003). Atresia ani dapat dijelaskan sebagai
tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus
secara abnormal (Suradi, 2001). Sehingga, Dapat disimpulkan bahwa, atresia ani
adalah kelainan kongenital dimana anus tidak mempunyai lubang untuk
mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat
kehamilan.
2. Epidemiologi
3. Klasifikasi
Catatan:
4. Faktor resiko
Familial Factor
- Kejadian atresia ani yang berhungan dengan keluarga jika diprosentase
sekitar 8 %. Sebagian besar kejadian dikaitkan dengan pewarisan gen
autosomal resesif, walaupun demikian pernah dideskribsikan pula
pewarisan melalui gen terpaut X. Namun beberapa juga melaporkan
penyakit ini melalui pewarisan gen autosomal dominan.
- Rekurensi terjadinya atresia ani dalam satu keluarga dapat terjadi pada tiga
generasi.
5. Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum diketahui pasti, namun
kelainan bawaan anus dapat di sebabkan oleh (Arifin, 2011):
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau
3 bulan.
4. Berkaitan dengan sindrom down. Penelitian menunjukkan adanya hubungan
antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua
hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang
berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia
ani bersifat multigenik
5. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah
usus, rektumbagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu
keempat sampai keenam usia kehamilan.
6. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada
gastrointestinal.
7. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinary.
8. Risiko atresia ani meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan
atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum
sekitar 1 dalam 5000 kelahiran.
6. Manifestasi Klinis
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48
jam.
Gejala itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana
rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi
tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum
dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali
tidak ada (Departement of Surgery University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih abnormalitas
yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%. Makin tinggi
letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih sering.
Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa
diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler (Grosfeld J,
2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah:
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang
paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus,
diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi
duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum.
Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele,
meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani.
Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani
letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai
20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai
VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan
VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and
Limb abnormality) (Oldham K, 2005).
7. Patofisiologi
Gangguan
Gangguan pertumbuhan, fusi atau Kelainan bawaan
organogenesis pembentukan anus dari
tonjolan embrionik
Tidak sempurnanya
migrasi perkembangan
kolon pada minggu ke 7-
10
Stenosis anal
Atresia Ani
8. Pemeriksaan Diagnostik
9. Penatalaksanaan Medis
Anoplasty
PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal.
Jika bayitumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3
bulan. Kontrindikasi dari PSARP adalah tidak adanya kolon.Pada kasus fistula
rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau laparoskopi diperlukan untuk
menemukan memobilisasi rektum bagian distal.Demikian juga pada pasien
kloaka persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.
Penatalaksanaan Post-operatif
Perawatan Pasca Operasi PSARP
a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan
selama 8- 10 hari.
b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation,
2 kali sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator
yang dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya.
Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk.
1.Tindakan Sementara
b.Pada malformasi anus laki-laki tipe covered anal dilakukan insisi/ diiris hanya
pada garis hitam di kulitnya, kemudian diperlebar perlahan-lahan dan apabila ada
lubang dilanjutkan dengan kelingkin yang dilapisi vaselin didorong masuk sampai
teraba/ menonjol ujung rektum kemudian ujung rektum di insisi tanpa dijahit. Pada
defek letak rendah langsung dilakukan terapi definitif yaitu anorektoplasti posterior
sagital (PSARP), sisanya dilakukan kolostomi sementara.
2.Tindakan Definitif
b.Pada malformasi anus tindakan koreksi lebih lanjut tergantung pada defek ;
1) Pada malformasi anus yang tidak ada fistel tetapi tampak ada anal dimple
dilakukan insisi dianal dimple melalui tengah sfingter ani eksternus.
2) Jika fistel ano uretralis terapi anal dimple tidak boleh langsung ditembus tapi
lebih dulu fistel ano uretralis tersbeut diikat. Bila tidak bisa kasus dianggap dan
diperlakukan sebagai kasus malformasi rektum.
c.Pada agenesis anorektal pada kelainana tinggi setelah bayi berat badan
mencapai 10 kg tersebut harus diperbaiki dengan operasi sakroperineal atau
abdomino perineal dimana kolon distal ditarik ke aneterior ke muskulus
puborektalis dan dijahitkan ke perinuem. Pada anomali ini, sfingter ani eksternus
tidak memadai dan tidak ada sfingter internus, sehingga kontinensi fekal
tergantung pada fungsi muskulus pubo rektalis. Sebagai hasil dari anak dengan
kelainan tinggi tanpa muskulatur atau muskolatur yang buruk, kontinensia mungkin
didapat secara lambat tetapi dengan pelatihan intensif dengan menggunakan otot
yang ada, pengencangan otot kemudian dengan levator plasti, nasihat tentang diet
dan memelihara "neorektum" tetap kosong, kemajuan dapat dicapai. (Wong, 1999)
Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata klien.
b. Riwayat keperawatan.
1) Riwayat keperawatan/ kesehatan sekarang.
2) Riwayat kesehatan masa lalu.
c. Riwayat psikologis.
Koping keluarga dalam menghadapi masalah.
d. Riwayat tumbuh kembang anak.
1) BB lahir abnormal.
2) Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh
kembang pernah mengalami trauma saat sakit.
3) Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
4) Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.
e. Riwayat sosial.
f. Pemeriksaan fisik.
g. Pemeriksaan penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut:
1) Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2) Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari
sfingternya.
3) Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti
obstruksi oleh karena massa tumor.
4) CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5) Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6) Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
7) Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat, muntah.
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
dan prosedur perawatan.
Diagnosa postoperasi:
a. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder
terhadap luka kolostomi.
d. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
3. Perencanaan keperawatan
Perencanaan keperawatan pada diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
Tujuan: Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
Kriteria hasil:
1) Penurunan distensi abdomen.
2) Meningkatnya kenyamanan.
Intervensi:
1) Lakukan enema atau irigasi rektal.
2) Kaji bising usus dan abdomen.
3) Ukur lingkar abdomen.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,
muntah.
Tujuan: Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
Kriteria hasil:
1) Output urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.
2) Capillary refill 3-5 detik.
3) Turgor kulit baik.
4) Membran mukosa lembab.
Intervensi:
1) Pantau TTV.
2) Monitor intake-output cairan.
3) Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV.
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik Edisi
ke-3. Jakarta : EGC.
Buonocore, et al.2012.Neonatology: A Practical Approach to Neonatal
Disease.Italia:Springer
Wong Donna L. 1999. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol 1. Jakarta : EGC