Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

“ATRESIA ANI”
DI RUANG 15 RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Profesi Ners


Departemen Anak

Oleh :

Krismaya Ismayanti

NIM. 180070300111025

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
1. Definisi

Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ a “ yang artinya tidak ada
dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah medis, atresia ani
adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal. Atresia
ani merupakan kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi
anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Dalam pustaka lain,
atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau
saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003). Atresia ani dapat dijelaskan sebagai
tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus
secara abnormal (Suradi, 2001). Sehingga, Dapat disimpulkan bahwa, atresia ani
adalah kelainan kongenital dimana anus tidak mempunyai lubang untuk
mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat
kehamilan.

2. Epidemiologi

Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam


5000 kelahiran (Grosfeld J, 2006). Secara umum, atresia ani lebih banyak
ditemukan pada laki-laki dari pada perempuan. Fistula rektouretra merupakan
kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal.
Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak ditemui
adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal (Oldham K,
2005). Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa
atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan atresia letak tinggi
(Boocock G, 1987).
Angka kejadian penyakit atresia ani pada tahun 1990-1994 di RSUP dr. M.
Jamil, Padang diperoleh 36 kasus , 25 (69.4 %) bayi laki-laki dan 11 (30,6%) bayi
perempuan. Dan, pada saat peneliti studi pendahuluan di ruang bedah anak RSUP
H. Adam Malik Medan diperoleh data bahwa, pada bulan Januari 2010 sampai
bulan Maret 2010 terdapat 13 anak yang mengalami tindakan pembedahan
kolostomi. Perempuan lebih banyak mengalami tindakan ini dibanding laki-laki.
Perempuan berjumlah 8 anak, dan selebihnya laki-laki berjumlah 5 anak.

3. Klasifikasi

Buonocore (2012) menjelaskan bahwa klasifikasi atresia ani berdasarkan The


Melbourne Classification (1970) yang dimodifikasi oleh Wingspread (1984)
berdasarkan garis pubokoksigeal line (garis khayal yang menghubungkan tulang
pubis dengan coksae), yaitu:

 Atresia ani letak tinggi: apabila rektum berhenti diatas pubo-coccygeal


(p-c). Gambar a

 Atresia ani letak intermediet: apabila rektum berhenti pubo-coccygeal.


Gambar b

 Atresia ani letak rendah: apabila rektum berhenti di bawah pubo-


coccygeal, mendekati perineal. Gambar c

Catatan:

a. Rectal agenesis berada diatas


pubo coccygeal line dan
berhubungan dengan organ
genital atau urinary

4. Faktor resiko

Moore (2013) menuliskan beberapa hal yang berhubungan dengan kejadian


atresia ani, diantaranya:

Familial Factor
- Kejadian atresia ani yang berhungan dengan keluarga jika diprosentase
sekitar 8 %. Sebagian besar kejadian dikaitkan dengan pewarisan gen
autosomal resesif, walaupun demikian pernah dideskribsikan pula
pewarisan melalui gen terpaut X. Namun beberapa juga melaporkan
penyakit ini melalui pewarisan gen autosomal dominan.

- Rekurensi terjadinya atresia ani dalam satu keluarga dapat terjadi pada tiga
generasi.

Genetic and Chromosomal Factor

- Kejadian atresia ani dihubungkan dengan trisomi 8, Downs.

Penggunaan obat selama kehamilan

- Walaupun masih sedikit bukti, penggunaan obat seperti thalidomide dan


tridione diduga sebagai agen penyebabnya. Thalidomide yang dikenal
sebagai obat anti-angiogenesis diduga berhubungan dengan kemunduran
pembelahan selama masa gestasi.

Paparan agen infeksius

- Hubungan paparan agen infeksius dengan kejadian atresia ani sebenarnya


masih belum begitu jelas. Terpapar agen infeksius seperti Cytomegalovirus
atau Toxoplasmosis diduga sebagai agen penyebabnya.

5. Etiologi

Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum diketahui pasti, namun
kelainan bawaan anus dapat di sebabkan oleh (Arifin, 2011):
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau
3 bulan.
4. Berkaitan dengan sindrom down. Penelitian menunjukkan adanya hubungan
antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua
hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang
berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia
ani bersifat multigenik
5. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah
usus, rektumbagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu
keempat sampai keenam usia kehamilan.
6. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada
gastrointestinal.
7. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinary.
8. Risiko atresia ani meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan
atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum
sekitar 1 dalam 5000 kelahiran.

6. Manifestasi Klinis

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48
jam.
Gejala itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana
rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi
tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum
dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali
tidak ada (Departement of Surgery University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih abnormalitas
yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%. Makin tinggi
letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih sering.
Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa
diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler (Grosfeld J,
2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah:
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang
paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus,
diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi
duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum.
Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele,
meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani.
Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani
letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai
20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai
VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan
VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and
Limb abnormality) (Oldham K, 2005).
7. Patofisiologi
Gangguan
Gangguan pertumbuhan, fusi atau Kelainan bawaan
organogenesis pembentukan anus dari
tonjolan embrionik
Tidak sempurnanya
migrasi perkembangan
kolon pada minggu ke 7-
10

Kegagalan pembentukan septum urorektal secara


sempurna

Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian


belakang

Ujung ekor bagian belakang berkembang menjadi kloaka

Stenosis anal

Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui


anus

Atresia Ani
8. Pemeriksaan Diagnostik

1. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.


2. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
3. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah.
4. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila:
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran
berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital
Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila
akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran
rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa
rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
5. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi
terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran <
1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm
dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
6. Bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal
maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka
kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah
18-24 jam setelah lahir agar usus terisi udara, dengan cara Wangenstein Reis
(kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee
chest position (sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling
distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.
7. Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala
obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada
pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan
dengan memasukkan termometer melalui anus.
8. Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama
beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar
melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian
distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang
menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup
tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu,
harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada
bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty.
9. Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai
dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa
pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini
berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy.
10. Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak
rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag
yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat
keluarnya mekonium)
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dan sfingternya.
2. USG
USG abdomen dapat digunakan untuk melihat fungsi organ internal
terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible,
seperti obstruksi oleh karena massa tumor. USG juga bisa dilakukan
transperineal atau infracoccygeal yang digunakan untuk mengetahui jarak
kantung perineal.
3. CT Scan/MRI
CT scan dan MRI pelvis dilakukan untuk memfisualisasikan secara
langsung otot sfingter. Pemeriksaan ini digunakan untuk evaluasi struktural
dari otot dasar pelvis dan hubungannya dengan kantung, serta untuk
evaluasi pre dan post operasi. Perneriksaan CT Scan dapat menentukan
anatomi yang jelas otot-otot sfingter ani dalam hubungannya dengan usus
dan jumlah massa yang ada. Pemeriksaan ini berguna untuk rencana
preoperatif dan memperkirakan prognosa penderita.
4. Aspirasi Jarum
Digunakan untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum
tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat
jarum sudah masuk 1,5 cm, defek tersebut dianggap defek derajat tinggi.
5. Pyelografi Intra Vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Rontgenogram Abdomen dan Pelvis
Digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan
dengan traktus urinarius.
7. Foto Invertogram
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam
ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai
keujung kantong rectal. Foto invertogram (Wangenstein Rice) adalah foto
yang:
 Dikerjakan 8 – 10 jam postpartum, sehingga diharapkan udara telah
mencapai stom distal usus
 Tekniknya: bayi diletakkan posisi kepala di bawah, atau posisi pronasi,
kemudian dengan sinar X horizontal diarahkan ke trochanter mayor.
Dari gambaran yang terbentuk, akan dapat dinilai ujung udara yang
ada di distal rektum ke marka anus.
 Sedangkan penilaian foto invertogram, yaitu dengan cara menarik
garis imajiner pubococcigeal, bila kontras udara proksimal dari garis ini
berarti letak tinggi, bila tepat pada garis letak intermediet, dan bila lebih
distal dari garis ini berarti letak rendah.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang Foto Wangenstein Rice ini, dapat
dibedakan beberapa jenis atresia ani, sebagai berikut:
 Atresia Ani membranosa
 Atresia Ani Letak Rendah (< 1 cm)
 Atresia Ani Letak Sedang (1 – 1,5 cm)
 Atresia Ani Letak Tinggi (> 1,5 cm) dengan atau tanpa fistel
8. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan:
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal. Pada
pemeriksaan radiologis, dapat ditemukan:
a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah
tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan
gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus,
pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah
sigmoid, kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala
dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada
foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara
tertinggi dapat diukur.

9. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya.Pada atresia


ani letak tinggi, harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu.Pada beberapa
waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal
pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps
mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982
memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital
anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan
muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan
pemotongan fistel.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya
secara jangka panjang,meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk
kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus
ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan
berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang
serta perawatan post operasi yang buruk.Dari berbagai klasifikasi
penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum
dan ada tidaknya fistula.
Leape (1987) menganjurkan pada :
a. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD
dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).
b. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tesprovokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi
dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan
diversi.Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling
banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited atau
full postero sagital anorektoplasti.
Teknik Operasi
a. Dilakukan dengan general anestesi, dengan intubasi endotrakeal,
dengan posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan.
b. Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk
identifikasi anal dimple.
c. Insisi bagian tengah sakrum kearah bawah melewati pusat spingter
dan berhenti 2 cm didepannya.
d. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle
complex.
e. Os koksigeus dibelah sampai tampak muskulus levator, dan muskulus
levator dibelahtampak dinding belakang rektum.
f. Rektum dibebas dari jaringan sekitarnya.
g. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.
h. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension.
Penatalaksanaan malformasi anorektal

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus


laki-laki. Dengan inspeksi perineum dapat ditentukan adanya malformasi
anorektal pada 95% kasus malformasi anorektal pada bayi perempuan. Prinsip
penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan hampir sama
dengan bayi laki-laki.
Penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus
perempuan

Anoplasty
PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal.
Jika bayitumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3
bulan. Kontrindikasi dari PSARP adalah tidak adanya kolon.Pada kasus fistula
rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau laparoskopi diperlukan untuk
menemukan memobilisasi rektum bagian distal.Demikian juga pada pasien
kloaka persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.

Penatalaksanaan Post-operatif
Perawatan Pasca Operasi PSARP
a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan
selama 8- 10 hari.
b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation,
2 kali sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator
yang dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya.
Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk.

Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan


serta tidak ada rasa nyeri bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu
merupakan indikasi tutup kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.
Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7
hari.Sedangkan padakasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga
10-14 hari. Drainase suprapubikdiindikasikan pada pasien persisten kloaka
dengan saluran lebih dari 3 cm. Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari,
dan antibiotik topikal berupa salep dapat digunakan pada luka.
Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi.Untuk pertama kali
dilakukan oleh ahlibedah, kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh
petugas kesehatan ataupun keluarga.Setiap minggu lebar dilator ditambah 1
mm tercapai ukuran yang diinginkan.Dilatasi harusdilanjutkan dua kali sehari
sampai dilator dapat lewat dengan mudah.Kemudian dilatasidilakukan sekali
sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan
berikutnya,sekali seminggu dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali
sebulan selama tiga bulan.Setelah ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan
penutupan kolostomi.
Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi
karena kulitperineum bayi tidak pernah kontak dengan feses
sebelumnya.Salep tipikal yang mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan
desitin dapat digunakan untuk mengobati eritema popok ini.

Adapun dari referensi lain menyebutkan bahwa :

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan penyakit maformasi


anorektal ada dua macam yaitu dengan tindakan sementara dan tindakan
definitive, sebagai berikut:

1.Tindakan Sementara

a.Tindakan spontan tergantung tinggi rendahnya atresia. Anak segera dipuasakan


untuk pembedahan. Bila diduga ada malformasi rektum, bayi harus segera dikirim
ke ahli bedah yaitu dilakukan kolostomi transversum akut. Ada 2 tempat yang
kolostomi yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi yaitu
transversokolostomi dan sigmoidkolostomi. Khusus untuk defek tipe kloaka pada
perempuan selain kolostomi juga dilakukan vaginostomi dan diversi urine jika perlu
(setelah anak lebih besar 1 – 1,5 tahun).

b.Pada malformasi anus laki-laki tipe covered anal dilakukan insisi/ diiris hanya
pada garis hitam di kulitnya, kemudian diperlebar perlahan-lahan dan apabila ada
lubang dilanjutkan dengan kelingkin yang dilapisi vaselin didorong masuk sampai
teraba/ menonjol ujung rektum kemudian ujung rektum di insisi tanpa dijahit. Pada
defek letak rendah langsung dilakukan terapi definitif yaitu anorektoplasti posterior
sagital (PSARP), sisanya dilakukan kolostomi sementara.

2.Tindakan Definitif

a.Pembedahan definitif ini dimaksudkan untuk menghilangkan obstruksi dan


mempertahankan kontak kontinensi. Untuk malformasi rectum setelah bayi
berumur 6 bulan dilakukan ano-rekto-vagina-uretroplasti posterior sagital
(PSAVURP).

b.Pada malformasi anus tindakan koreksi lebih lanjut tergantung pada defek ;

1) Pada malformasi anus yang tidak ada fistel tetapi tampak ada anal dimple
dilakukan insisi dianal dimple melalui tengah sfingter ani eksternus.

2) Jika fistel ano uretralis terapi anal dimple tidak boleh langsung ditembus tapi
lebih dulu fistel ano uretralis tersbeut diikat. Bila tidak bisa kasus dianggap dan
diperlakukan sebagai kasus malformasi rektum.

c.Pada agenesis anorektal pada kelainana tinggi setelah bayi berat badan
mencapai 10 kg tersebut harus diperbaiki dengan operasi sakroperineal atau
abdomino perineal dimana kolon distal ditarik ke aneterior ke muskulus
puborektalis dan dijahitkan ke perinuem. Pada anomali ini, sfingter ani eksternus
tidak memadai dan tidak ada sfingter internus, sehingga kontinensi fekal
tergantung pada fungsi muskulus pubo rektalis. Sebagai hasil dari anak dengan
kelainan tinggi tanpa muskulatur atau muskolatur yang buruk, kontinensia mungkin
didapat secara lambat tetapi dengan pelatihan intensif dengan menggunakan otot
yang ada, pengencangan otot kemudian dengan levator plasti, nasihat tentang diet
dan memelihara "neorektum" tetap kosong, kemajuan dapat dicapai. (Wong, 1999)
Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata klien.
b. Riwayat keperawatan.
1) Riwayat keperawatan/ kesehatan sekarang.
2) Riwayat kesehatan masa lalu.
c. Riwayat psikologis.
Koping keluarga dalam menghadapi masalah.
d. Riwayat tumbuh kembang anak.
1) BB lahir abnormal.
2) Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh
kembang pernah mengalami trauma saat sakit.
3) Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
4) Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.
e. Riwayat sosial.
f. Pemeriksaan fisik.
g. Pemeriksaan penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut:
1) Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2) Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari
sfingternya.
3) Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti
obstruksi oleh karena massa tumor.
4) CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5) Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6) Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
7) Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat, muntah.
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
dan prosedur perawatan.

Diagnosa postoperasi:
a. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder
terhadap luka kolostomi.
d. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

3. Perencanaan keperawatan
Perencanaan keperawatan pada diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
Tujuan: Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
Kriteria hasil:
1) Penurunan distensi abdomen.
2) Meningkatnya kenyamanan.
Intervensi:
1) Lakukan enema atau irigasi rektal.
2) Kaji bising usus dan abdomen.
3) Ukur lingkar abdomen.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,
muntah.
Tujuan: Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
Kriteria hasil:
1) Output urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.
2) Capillary refill 3-5 detik.
3) Turgor kulit baik.
4) Membran mukosa lembab.
Intervensi:
1) Pantau TTV.
2) Monitor intake-output cairan.
3) Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV.

c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit


dan prosedur perawatan.
Tujuan: Kecemasan orang tua dapat berkurang.
Kriteria hasil:
1) Klien tidak lemas.
Intervensi:
1) Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan
fisiologi saluran pencernaan normal.
2) Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua.
3) Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi.

Perencanaan keperawatan pada diagnosa postoperasi:


a. Nyeri berhubungan dengan teruma pembedahan/ insisi luka.
Tujuan: Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
Kriteria hasil:
1) Klien tampak tenang dan merasa nyaman.
2) Klien tidak meringis kesakitan.
Intervensi:
1) Kaji skala nyeri.
2) Kaji lokasi, waktu dan intensitas nyeri.
3) Berikan lingkungan yang tenang.
4) Atur posisi klien.
5) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari


kolostomi.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
Kriteria hasil:
1) Penyembuhan luka tepat waktu.
2) Tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi:
1) Kaji area stoma.
2) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area
stoma.
3) Tanyakan apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
4) Kosongkan kantong kolostomi setelah terisi ¼ atau ⅓ kantong.
5) Lakukan perawatan luka kolostomi.

c. Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap luka


kolostomi.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi.
2) TTV normal.
3) Leukosit normal.
Intervensi:
1) Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
2) Pantau TTV.
3) Pantau hasil laboratorium.
4) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
5) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

d. Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.


Tujuan: Gangguan pola eliminasi teratasi.
Kriteria hasil:
1) BAB normal.
2) Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari.
Intervensi:
1) Kaji pola dan kebiasaan buang air besar.
2) Kaji faktor penyebab konstipasi/ diare.
3) Anjurkan orang tua klien untuk memberi minum banyak dan mengandung tinggi
serat jika konstipasi.
4) Lakukan perawatan kolostomi.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. 2011. BAB 2 Tianjauan Pustaka.


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf.
Diakses pada 22 Oktober 2018.

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik Edisi
ke-3. Jakarta : EGC.
Buonocore, et al.2012.Neonatology: A Practical Approach to Neonatal
Disease.Italia:Springer

Faradilla, Nova. 2009. Anestesi Pada Tindakan Posterosagital Anorektoplasti


Pada Kasus Malformasi Anorektal. Riau: Faculty of Medicine University of
Riau.
Gangopadhyay, Ajay Narayan dan Pandey, Vaibhav. 2015. Anorectal
Malformation: Review Articles. Journal of Indian Association of Pediatric
Surgeons/ Jan-Mar 2015/ Vol. 20/ Issue 1.
Hidayat, A., A. 2009. Asuhan Neonatus, Bayi, & Balita. Jakarta: EGC.
Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Malformasi anorektal.
Hal 379. Editor: Mansjoer A. Jakarta: Media Aesculapius.
Moore, Sam W.2013. Associations of Anorectal Malformations and Related
Syndromes. Pediatr Surg Int 29:665–676
Novitasari, Arifatus, et. al. 2014. Askep pada Pasien Atresia Ani. Online
(http://www.academia.edu/8685826/ASKEP_PADA_PASIEN_ATRESIA_A
NI). Diakses tanggal 22 Oktober 2018.

Wong Donna L. 1999. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol 1. Jakarta : EGC

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri


Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). Edisi ke-4. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai