Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PANCASILA : BHINEKA TUNGGAL IKA

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

BHINEKA TUNGGAL IKA

unesa-biru

Oleh :

Andreas P 094284036

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2013

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Bhineka Tunggal Ika”,tepat pada waktu yang telah
ditentukan.Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar-dasar pendidikan

Atas terselesaikannya makalah ini maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:

Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam penulisan makalah ini,

Dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila

Serta, semua pihak yang turut membantu terselesaikannya makalah ini.

Karena keterbatasan pengetahuan penulis maka penulisan makalah ini jauh dari sempurna,oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan makalah
ini. Besar harapan penulis agar makalah ini memperoleh nilai yang memuaskan, bahakan sempurna,
Amiiin…!!

Surabaya, 30 Oktober 2013

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman. Indonesia terdiri atas beraneka ragam
budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, dll. Namun Indonesia mampu
mepersatukan bebragai keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal
Ika” , yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah kepercayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman
budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks
pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga
terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai
kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta
orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah
dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah,
pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku
bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda.

Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang
ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga
berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesi juga ikut mendukung perkembangan
kebudayaan Indonesia sehingga mencerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa
Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya
yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa namun juga keanekaragaman
budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan. Dengan
keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan
dengan negara lainnya.

Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan, saling
mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri
sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam
konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel
dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh
terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai
”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya
mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.
Didasari pula bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh
nusantara, dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya,
pakaian adat, rumah adat kesenian adat bahkan makanan yang dimakan pun beraneka ragam.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki karakteristi yang unik ini dapat dilihat
dari budaya gotong royong, teposliro, budaya menghormati orang tua (cium tangan), dan lain
sebagainya.

Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat dari penggalan kitab
Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan
sebagai bercerai berai tetapi satu (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Motto ini digunakan sebagai
ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas
keanekaragaman.

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi bagian dari lambang negara
Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan bangsa, artinya Bhinneka Tunggal Ika adalah
pembentuk karakter dan jati diri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai pembentuk karakter dan jati diri
bangsa ini tak lepas dari campur tangan para pendiri bangsa yang mengerti benar bahwa Indonesia yang
pluralistik memiliki kebutuhan akan sebuah unsur pengikat dan jati diri bersama.

Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan geopolitik dan geobudaya di
Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam agama, ide, ideologis, suku bangsa dan bahasa.

Kebhinekaan Indonesia itu bukan sekedar mitos, tetapi realita yang ada di depan mata kita. Harus kita
sadari bahwa pola pikir dan budaya orang Jawa itu berbeda dengan orang Minang, Papua, Dayak, Sunda
dan lainnya. Elite pemimpin yang berasal dari kota-kota besar dan metropolitan bisa jadi memandang
Indonesia secara global akan tetapi elite pemimpin nasional dari budaya lokal tertentu memandang
Indonesia berdasarkan jiwa, perasaan dan kebiasaan lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara pandang
kita tentang Indonesia berbeda. Jadi tanpa kemauan untuk menerima dan menghargai kebhinekaan
maka sulit untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Apa yang dilakukan oleh pendahulu
bangsa ini dengan membangun kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan upaya untuk
menjaga loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa.

Selama ini sifat nasionalisme kita kurang operasional atau hanya berhenti pada tataran konsep dan
slogan politik. Nasionalisme bisa berfungsi sebagai pemersatu beragam suku, tetapi perlu secara
operasional sehingga mampu memenuhi kebutuhan objektif setiap warga dalam suatu negara-bangsa.
Tradisi dari suatu bangsa yang gagal memenuhi fungsi pemenuhan kebutuhan hidup objektif akan
kehilangan peran sebagai peneguh nasionalisme. Saat ini diperlukan tafsir baru nasionalisme sebagai
kesadaran kolektif di tengah pola kehidupan baru yang mengglobal dan terbuka. Batas-batas fisik negara-
bangsa yang terus mencair menyebabkan kesatuan negara kepulauan seperti Indonesia sangat rentan
terhadap serapan budaya global yang tidak seluruhnya sesuai tradisi negeri ini. Disamping itu realisasi
otonomi daerah yang kurang tepat akan memperlemah nilai dan kesadaran kolektif kebangsaan di
bawah payung nasionalisme.

Di samping itu bangsa Indonesia relatif berhasil membentuk identitas nasional. Beberapa
bentukidentitas bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:

Bahasa Nasional atau persatuan, bahasa Indonesia.

Dasar filsafat Negara yaitu pancasila.

Lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Lambang Negara Garuda Pancasila.

Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika

Bendera Negara Sang Merah Putih.

Konstitusi Negara yaitu UUD 1945.

Bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia.

Konsep Wawasan Nusantara.

Kebudayaan daerah yang diterima sebagai kebudayaan nasional.

Dari ke-10 identitas bangsa Indonesia tersebut akan dibahas salah satu yaitu mengenai semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang merupaka semboyan pemersatu bangsa Indonesia.

UUD Republik Indonesia menyatakan dengan tegas tentang realitas multikultural Bangsa Indonesia.
Kenyataan tersebut dilukiskan di dalam lambang negara “Bhinneka Tunggal Ika.” Kebhinnekaan
masyarakat dan bangsa Indonesia diakui bahkan dijadikan sebagai dasar perjuangan nasional permulaan
abad ke-20. Untuk itu integrasi nasional bangsa Indonesia pun harus diwujudkan di tengah masyarakat
Indonesia yang majemuk karena masyarakat yang majemuk merupakan salah satu potensi sumber
konflik yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Agar identitas bangsa Indonesia di mata dunia terkenal
dengan bangsa yang majemuk tetapi satu dalam keanekaragaman (suku, bahasa, agama, dll, yang
berbeda-beda) semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus diwujudkan.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang kami jabarkan diatas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah
guna menunjang isi makalah ini, antara lain :

Bagaimana perjalanan Sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai bentuk identitas Bangsa Indonesia.
Kapan pertama ditetapkannya, penerapan Bhineka Tunggal Ika, dan Pengimplementasiaan Lambang
Bhineka Tunggal Ika pada saat ini?

C. Tujuan

Tujuan yang dapat diperoleh dari Lambang Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu jua, yang
dimana kita sebagai penerus bangsa agar tetap bersatu di era Globalisasi ini.

D. Manfaat

Dari makalah ini dapat kami peroleh manfaat bagi semua orang dan orang yang membacanya,
bahwasanya dalam hidup berbangsa dan bernegara dapat memaknai dan melakukan apa yang
terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika dan Bisa menjadikan dalam kehidupan untuk lebih
mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi. Dan juga dapat Memaknai arti
Bhineka Tunggal Ika yang saat ini sudah mulai memudar dan dapat menjaga persatuan Bangsa Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Bhineka Tunggal Ika

Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat panjang, yaitu Bhineka
Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya
pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini
dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.

Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha mengatasi
keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan sehubungan usaha bina Negara
kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan Negara Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif
terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah menumbuhkan
semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan dalam hal
kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di kalangan masyarakat Majapahit. Namun, sebagai
semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka Tungggal Ika bukan hanya perbedaan
agama dan kepercayaan menjadi fokus, tapi pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika sebagai
semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan suku, bangsa, budaya (adat istiadat),
beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang menuju persatuan dan kesatuan Nusantara.

Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti Satu, dan Ika berarti Itu. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda, tapi pada hakekatnya satu. Dengan kata lain, seluruh
perbedaan yang ada di Indonesia menuju tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan Negara
Indonesia.

Berbicara mengenai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 pada 17 Oktober 1951 dan di-Undang-kan pada 28 Oktober
1951 sebagai Lambang Negara. Usaha pada masa Majapahit maupun pada masa pemerintahan
Indonesia berlandaskan pada pandangan yang sama, yaitu pendangan mengenai semangat rasa
persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara.

Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa dipakai sebagai motto lambang Lembaga
Pertahanan Nasional (Lemhanas). Makna dari semboyan itu adalah “Tidak ada kebenaran yang bermuka
dua”. Namun, Lemhanas kemudian mengubah semboyan tersebut mejadi yang lebih praktis dan ringkas,
yaitu “Bertahan karena benar”. Makna “Tidak ada kebenaran bermuka dua” sebenarnya memiliki
pengertian agar hendaknya manusia senantiasa berpegangan dan berlandaskan pada kebenaran yang
satu.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalaha ungkapan yang meamaknai
kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit. Tidak hanya Siwa dan Budha, tapi juga seajumlah
aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih duku sebagian besar anggota masyarakat Majapahit
yang memiliki sifat majemuk.

Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari, yakni pada masa
Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (candi Jago), semboyan tersebut dan Candi Jago
disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, kedua simbol tersebut lebih dikenal
sebagai hasil peradaban masa Kerajaan Majapahit.

Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang majemuk. Selain
adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, muncul juga gejala sinkretisme
yang sangat menonjol antara Siwa dan Budha serta pemujaan terhadap roh leluhur. Namun, kepercayaan
pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki peranan tertinggi dan terbanyak di
kalangan mayoritas masyarakat.

Pada saat itu, masyarakat majapahiat tebagi menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan orang-
orang Islam yang datang dari barat dan menetap di Majapahit. Kedua, golongan orang-orang China yang
mayoritas beasal dari Canton, Chang-chou, dan Fukien yang kemudian bermukin di daerah Majapahit.

Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan agama Islam. Ketiga, golongan
penduduk pribumi. Penduduk pribumi ini jika berjalan tidak menggunakan alas kaki, rambutnya
disanggul di atas kepala. Penduduk pribumi sepenuhnya percaya pada roh-roh leluhur.

B. Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular, pujangga agung kerajaan
Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389).
Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan
hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.”
Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit
itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada
waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.

Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diungkap
oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi Negara Republik
Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan
bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam
Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi
satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai
semboyan resmi yang terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD 1945 yang
menyebutkan :”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang merupakan kesepakatan bangsa,
yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup
berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk
selanjutnya difahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.

Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang terikat dalam
suatu kesatuan. Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas yang mengakui adanya
kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan
ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat
mengikat keanekaragaman tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan
dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh masing-
masing komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa
untuk dimanfaatkan dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.

Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan terjadinya perkembangan
tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi
keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah merupakan syarat bagi berkembangnya
masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah,
memungkinkan terbentuknya masyarakat yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat
menghormati, tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi
keyakinannya kepada pihak lain. Segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah
harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan multikutural, dengan tetap berpegang
teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya
peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk
mengakomodasi kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan
daerah harus dari putra daerah, menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata
untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak
mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut secara
konsisten akan terwujud masyarakat yang damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan
keadilan akan terwujud.

C. Penerapan Bhineka Tunggal Ika

Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat multikultural/majemuk sebagai pilar


nasionalisme, sekaligus untuk memberi wacana dan sumbang saran kepada semua pihak, terutama para
pelaksana dan penentu kebijakan diberbagai instansi tekait, agar dapat dijadikan tambahan acuan dalam
menentukan peraturan berkaitan dengan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an
oleh masyarakat multikultural sebagai pilar nasionalisme yang kokoh dan trengginas dalam menghadapi
perubahan globalKalimat yang terpampang pada pita putih yang tercengkeram oleh kaki burung garuda,
lambang negara Indonesia yaitu BHINNEKA TUNGGAL IKA memiliki makna yang menggambarkan
keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan
satu kesatuan Indonesia.

Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari asal usul kalimatnya yang
tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah penggambaran dari dua ajaran atau keyakinan yang berbeda
kala itu, namun pada dasarnya memiliki satu kesamaan tujuan.

Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya memahami benar arti dan makna
yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat itu merupakan bentuk pernyataan beliau dari suatu
keadaan yang sedang dialami, namun kenyataannya dapat diterapkan dan diterima hingga saat sekarang
ini. Dan memang seperti itulah seorang yang populis, berani menyampaikan sesuatu yang belum pernah
diperdengarkan sebelumnya dan menyampaikan dengan bahasa yang populer, yaitu bahasa yang bisa
diterima saat itu, saat ini dan suatu saat yang akan datang.

Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa yang dapat dipahami
atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau pembacanya sesuai tingkat pemahamannya
masing-masing.

Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika dalam perwujudan sehari-hari.
Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari seringkali ditemui, namun untuk memahaminya
terkadang masih terasa sulit, apalagi mengakuinya. Ada ungkapan yang menyatakan “perbedaan adalah
rahmat” dan inipun terkadang menjadi bahan perdebatan.

Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang dan malam itu berbeda tetapi
saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan beda tapi saling mengisi dalam kehidupan, salah dan
benar, baik dan buruk yang Tuhan ciptakan tentu tidak dapat disangkal, lalu mengapa Tuhan ciptakan itu
semua? Apabila perbedaan itu seharusnya tidak perlu ada, apakah kemudian kita berpikir bagaimana
sebaiknya Tuhan? Mengakui perbedaan terkadang terasa sulit seperti halnya mengakui kebenaran orang
lain daripada melihat sisi salahnya. Tangan dan kaki, telinga dan mata, yang kanan dan kiri memiliki
bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi saling menyempurnakan bentuk manusia itu secara utuh. Ketika
dalam satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya masing-masing memiliki perbedaan
pendapat apakah itu tidak boleh? dan apabila si anak memiliki keinginan yang bertentangan dengan
orang tuanya apakah kemudian menjadikan terputusnya hubungan darah? Kemudian apabila alam
semesta yang beraneka ragam ini tercipta karena adanya hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, apakah
akan menjadikan putusnya hubungan, apabila ciptaan tidak mengakui penciptanya? Perbedaan adalah
kenyataan yang tidak bisa terelakan lagi, mulai dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara atau
dunia.

Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras tidak saling mendahului tentu
terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena keselarasan itu maka dalam pertemuan malam dengan
siang terlahir fajar yang indah, begitu pula siang yang digantikan malam tercipta senja yang penuh
misteri, hal itu terwujud karena adanya keselarasan alam yang berbeda tetapi bersatu menciptakan
hari.Lalu bagaimana dengan perbedaan diantara kita, apakah bisa berjalan selaras agar tercipta
kedamaian?

Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang sangat besar dengan menjadikan
kalimat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” ini sebagai simbolis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan
memahami arti dan makna yang terkandung didalamnya serta dengan mewujudkan dalam kehidupan
sehari-hari mulai dari diri sendiri, berharap bangsa ini berjalan dengan selaras dan tumbuh menjadi
bangsa yang besar.

Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi yang berjiwa persatuan dan kesatuan
wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-Bhinneka Tunggal Ika-an (persatuan dalam
perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan nasional guna mencapai tujuan nasional. Artinya, sudah
menjadi hal yang tidak dapat dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu jamak, plural, dan daerah yang
beragam, terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan, agama, kepercayaan
kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal
Ika-an harus diwujudkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Implementasinya dalam kehidupan nasional adalah, memahami kemajemukan sosial dan
budaya atau multikulturalisme sebagai dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat, bernegara
dan berbangsa. Pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dimaksud adalah
menerapkan atau melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kehidupan sehari-hari, baik
secara individu, kelompok masyarakat, dan bahkan secara nasional, mencakup kehidupan politik,
ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat yang jumlahnya
besar (sekitar 230 juta jiwa) dan beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang kondusif untuk
pembangunan masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.

Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang menunjukkan
perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok, dalam berkehidupan kemasyarakatan,
kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan berkebangsaan Faktor utama mendorong terjadinya proses
perubahan tersebut adalah pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan
bahkan pemimpin atau penguasa mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat dilihat dari
kecenderungan terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang berbeda agama, ras,
suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta rendahnya moral penguasa seperti banyaknya
kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat hukum akibat korupsi.

Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat dengan integrasi nasional
dalam masyarakat multikultural, nilai-nilai budaya bangsa sebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan
negara bangsa harus tetap dipelihara sebagai pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah
persatuan dan kesatuan bangsa itu akan lenyap tanpa bekas, atau akan tetap kokoh dan mampu
bertahan dalam terpaan nilai-nilai global yang menantang kesatuan negara bangsa (union state)
Indonesia? Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke Bhinnekatunggal Ikaan Hal
inilah yang menjadi permasalahan dalam kajian ini agar terwujud dan terpelihara secara langgeng
integrasi sebagai pilar nasionalisme

Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam pribadi masyarakat
yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas sosial mutual differentiation model dari Brewer
& Gaertner (2003) yang diterapkan pada diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation
model adalah suatu model dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas
asal (kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga memiliki suatu
tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.
Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian seseorang tidak akan
melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama yang lebih tinggi nilainya. Sebagai
contoh seseorang tidak melupakan asalnya sebagai orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan
bersama yang lebih diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan
atau daerah lebih rendah nilai dan

keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri,
dimana persatuan adalah harga mati.

Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha mempersatukan seluruh bangsa
dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika kita Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan “Inggris kita
Linggis” dimana pada kesempatan tersebut beliau menebar propaganda bahwa setiap warga negara
Indonesia memiliki musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang, Amerika dan Inggris.

Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan tumbuhnya perasaan
senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan setanah air. Perasaan, semangat dan tujuan
seperti itulah yang akan membuat masyarakat heterogen menjadi bersatu, membentuk suatu identitas
sosial nasional yang lebih kuat daripada kepentingan kelompok, golongan dan pribadi.

Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah kuatnya
mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu model identitas sosial
yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama antar semua golongan tanpa pernah
menyinggung perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan
bangsa.

Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama lain, melarang adanya
dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap minoritas, baik secara suku, budaya
dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama.

Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa ini adalah
menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita, imperialis, orientalis, penyusupan
paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti pengkhianatan,
fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan memperkeruh keadaan, menyulut konflik dan
kesenjangan sehingga terjadi aksi-aksi dengan hasil keadaan yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian
cita-cita luhur.

D. Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia

Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka
Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan konsep baru dari
keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh
di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan
Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa
adanya, namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-
prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang kita
pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir
Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk
mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.

Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak
mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu
terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain,
memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat
inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya
pada golongan minoritas.

Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku semu. Bhinneka
Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta
mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.

Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang terjadi dalam
keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan
bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif,
dan rukun.

Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai:

inklusif, tidak bersifat eksklusif,


terbuka,

ko-eksistensi damai dan kebersamaan,

kesetaraan,

tidak merasa yang paling benar,

toleransi,

musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda.

Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka langkah
selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.

1. Perilaku inklusif.

Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa
dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian
dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan
bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki
peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.

2. Mengakomodasi sifat pluralistik.

Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka
adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan
menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain.
Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman
secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati,
mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak
memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama,
merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan
dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan
bersama yang disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada
agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama
berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan.
Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya
dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian
ideal ini telah tergerus arus reformasi.
3. Tidak mencari menangnya sendiri.

Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling
benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal
Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan
yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan
divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai
keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.

4. Musyawarah untuk mencapai mufakat.

Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawa-rah


untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi
common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan
tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang
timbul diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa
disebut sebagai win win solution.

5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.

Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi
oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai
harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan
berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi,
sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk
memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai
dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih
pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.

6. Toleran dalam perbedaan.

Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa, dan adat-istiadat
antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama dengan agama lain, sebagai aset bangsa
yang harus dihargai dan dilestarikan. Pandangan semacam ini akan menumbuhkan rasa saling
menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap
individu.
Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya bagi
landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan secara
tepat dan benar, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.

Bhineka Tunggal Ika pada era Glablisasi saat ini, Indonesia pada saat ini banyak mengalami kemunduran
persatuan dan kesatuan. Penyebabnya adalah adanya ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, belum
stabilnya kondisi politik pemerintahan di Indonesia menjadikan rakyat tumbuh menjadi rakyat yang
apatis terhadap pemerintah. Dampak buruk globalisasi yang membawa kebudayaan-kebudayaan baru
menjadikan komposisi kebudayaan masyarakat Indonesia menjadi lebih kompleks atau rumit. Karena
banyaknya kebudayaan baru yang datang dan diterima begitu saja, menyebabkan terjadinya
penyimpangan kebudayaan di masyarakat. Belum lagi masalah klasik yang sepele namun berdampak
serius seperti perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan yang semakin memecah belah kesatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia. Melihat kondisi seperti ini tentu kita semua tidak boleh pesimis dan
patah semangat, Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu
jua, selamanya akan tetap relevan untuk mengiringi kehidupan bernegara di negeri yang multikultural ini,
karena komposisi kehidupan rakyat Indonesia akan terus beragam sampai kapanpun. Ketimpangan
sosial, kesenjangan ekonomi, perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan di antara kita janganlah
dijadikan pembeda. Perkembangan jaman yang cepat dan masuknya budaya baru biarkanlah berlalu,
karena pada dasarnya kita semua satu, satu bangsa, Bangsa Indonesia. Satu tanah air, Tanah air
Indonesia. Satu bahasa, bahasa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua.
Jaya Indonesia !

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemahaman nilai-nilai Bhinneka-Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia dapat wujud secara integral
dengan kerjasama seluruh komponen bangsa, baik oleh pemerintah selaku penyelenggara negara
maupun setiap insan pribadi warga. Peningkatan sosialisasi aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an harus dilakukan melalui tindakan nyata dalam kehidupan keseharian seluruh
kompenen warga dalam rangka memperkuat integrasi nasional, karena Indonesia dengan keberagaman
budaya, suku/etnik, bahasa, agama, kondisi geografis, dan strata sosial yang berbeda. Indonesia dengan
gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah kekuasaan
sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya pemerintah yang menjalankan proses pembangunan
masyarakat harus bersinergis untuk bersama-sama dengan rakyat tanpa membedakan keberagaman
budaya, bahasa, agama, suku/etnik, dan bahkan strata sosial, mewujudkan cita-cita bangsa sesuai
dengan komitmen bersama, berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tungal Ika-an
yang termaktub dalam Pancasila. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia yang terintegrasi secara
nasional adalah sangat penting sebagai kekayaan dan merupakan potensi yang dapat dikembangkan
sehingga dapat dimanfaatkan dalam sistem komunikasi sebagai acuan utama bagi menunjukkan jati diri
bangsa Indonesia sebagai nasionalisme

Peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan sosial budaya sebagai pencitraan dari budaya bangsa
Indonesia yang semakin dewasa merupakan upaya membangun citra diri didasarkan aktualisasi
pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka-an yang dimiliki, dapat menjadi investasi yang diandalkan pada
pelaksanaan pembangunan nasional sebagai salah satu pilar demokrasi. Untuk itu diharapkan tindakan
nyata oleh pemerintah agar memaknai pentingnya kondisi kemajemukan yang terintegrasi secara
nasional melalui wawasan kebangsaan di era globalisasi saat ini untuk menjaga kedaulatan NKRI. Untuk
merealisasikan harapan ini, masyarakat dan segenap komponen bangsa harus lebih dewasa dalam
mengaktualisasikan pemahaman nila-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam mewujudkan integrasi
nasional di negara yang dikenal dengan kemajemukannya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 demi
pencapaian tujuan nasional

Anda mungkin juga menyukai