Anda di halaman 1dari 14

Neuropati

DEFINISI

Neuropati adalah gangguan fungsi atau perubahan patologis pada saraf: pada satu saraf, mononeuropati;
pada beberapa saraf, mononeuropati multipleks; bersifat difus dan bilateral, polineuropati.1
Istilah neuropati merupakan terminologi yang luas, dimana saraf tepi mengalami gangguan fungsi yang
bisa disebabkan berbagai faktor antara lain metabolik, trauma, entrapment (terjepit), penyakit defisiensi,
keracunan (zat kimia, toksik, logam berat), gangguan imunologis bahkan etiologi yang sifatnya genetik.
Sedangkan polineuropati menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi dan distribusinya umumnya
bilateral simetris meliputi gangguan motorik, sensorik maupun otonom.

EPIDEMIOLOGI

Dari sedikit penelitian neuropati perifer yang bersifat umum, prevalensinya berkisar antara 2,4%
sampai 8%.Martyn dan Hughes melaporkan tiga studi populasi dengan prevalensi masing-masing antara
lain di Italia (penduduk usia lebih dari 55 tahun, prevalensi 8%), di Bombay India (semua penduduk
dewasa berbagai usia, 2,4%), dan Sisilia Italia(semua penduduk dewasa berbagai usia, 7%).Odenheim dan
kawan-kawan mendapatkan prevalensi neuropati perifer sensorik meningkat seiring pertambahan usia,
dimana ia menemukan prevalensi gangguan posisi pada 6% populasi usia 65-74 tahun, 9% pada populasi
usia 75-84 tahun, dan 13% pada populasi usia lebih dari 85 tahun.
Sedangkan Lor dan kawan-kawan yang melakukan penelitian pada komunitas urban di Petaling Jaya
Malaysia menemukan prevalensi neuropati sensorik sebesar 20%, dimana kecenderungannya juga
meningkat sesuai usia.

Tabel 1. Prevalensi Polineuropati 10

Prevalensi
Lokasi
(per 100.000 populasi)
Italy 8000
Overall
Bombay, India 2400
Diabetic Sicily 300
Gullain-Barre Minnesota, USA 2-4
syndrome Farrara, Italy 2-7
Libya 8
Nigeria 10
Charcot- South Wales 17
Marie-Tooth Northen Sweden 20
Northen Spain 28
Western Norway 41
South East asia 116
Africa 53
Leprosy
Central and South 46
America

ETIOLOGI

Gangguan metabolisme
Gambaran klinik neuropati terlihat pada 20% penderita diabetes melitus, tetapi dengan pemeriksaan
elektrofisiologi pada dibetes melitus asimptomatik tampak bahwa penderita sudah mengalami neuropati
subklinik. Pada kasus yang jarang, neuropati merupakan tanda awal suatu diabetes melitus. Neuropati
terjadi biasanya pada diabetes melitus yang lama dan tidak terkontrol pada orang usia lanjut. Gejala yang
sering terjadi yaitu menyerupai lesi pada ganglion radiks posterior. Disini dijumpai hipestesia perifer
dengan disertai hilangnya sensasi getar. Rasa nyeri tidak selalu dijumpai, kadang-kadang dijumpai
artropati tanpa rasa nyeri dan ulkus pada kaki. Dapat terjadi gangguan otonom seperti diare, hipotensi
postural, gangguan sekresi keringat dan impotensi. Neuropati merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap meningkatnya kerentanan pasien diabetes melitus terhadap infeksi, dimana akibat
neuropati sensorik akan menyebabkan berkurangnya rasa nyeri setempat sehingga luka kurang disadari
dan diabaikan oleh pasien, serta berakibat terlambatnya pengobatan. Neuropati motorik dapat berakibat
deformitas bentuk kaki dan gangguan titik-titik tekan pada telapak kaki. Lebih lanjut neuropati
autonomik dapat menyebabkan atoni kandung kemih serta gangguan mekanisme kelenjar keringat. Atoni
kandung kemih menyebabkan timbulnya stasis residu urin dalam kandung kemih yang merupakan faktor
predisposisi infeksi yang sering kambuh.

Keracunan

Neuropati karena keracunan jarang dijumpai. Timah dan logam berat akan menghambat aktifasi enzim
dalam proses aktifitas oksidasi glukosa sehingga mengakibatkan neuropati yang sukar dibedakan dengan
defisiensi vitamin B. Keracunan timah menyebabkan neuropati motorik, khususnya mempengaruhi
nervus radialis, medianus dan poplitea lateralis. Terkulainya tangan dan kaki (drop wrist dan drop foot)
merupakan gejala yang sering ditemukan.

Manifestasi alergi
Gangguan motorik pada sindrom Guillain-Bare biasanya timbul lebih awal daripada gangguan sensorik.
Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer dengan distribusi sarung tangan dan kaus kaki tetapi kadang-
kadang gangguan tampak segmental. Otot proksimal dan distal terganggu dan refleks tendon menghilang.
Nyeri bahu dan punggung biasanya ditemukan. Otot fasial dan otot okular kadang-kadang terganggu.
Perluasan dan kelemahan otot-otot batang tubuh menuju toraks akan menganggu pernapasan.

Infeksi
Lepra merupakan salah satu infeksi yang mempengaruhi saraf-saraf secara langsung, terjadi penebalan
lokal saraf pada sisi infeksi dan kulit daerah yang diinervasi mengalami pigmentasi dan anestesik. Lepra
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang mempunyai sifat neurotropis, yang bisa ditemukan
intraneural dan ekstraneural yang akan mengakibatkan kerusakan saraf. Bahkan Fite menyatakan bahwa
semua kusta merupakan penyakit saraf. Berdasarkan perlangsungan klinisnya, kerusakan saraf pada lepra
dibagi atas :
1. Neuropati akut : terjadi nyeri spontan
2. Neuropati sub akut : timbul nyeri bila dirangsang/palpasi
3. Neuropati kronis : tidak memberikan keluhan nyeri

PATOFISIOLOGI UMUM KERUSAKAN SARAF

Perubahan patologik dasar dalam hubungannya dengan patofisiologi neuropati termasuk


polineuropati meliputi demielinisasi segmental, degenerasi aksonal, dan degenerasi
Wallerian.

Demielinisasi Segmental
Segmen-segmen intermodal saraf perifer mengalami demielinisasi, sedang akson masih
dalam keadaan utuh. Meskipun demielinisasi telah terjadi secara luas, namun seringkali
aksonnya tidak mengalami perubahan degeneratif. Seringkali setelah mengalami
demielinisasi, serabut saraf menunjukkan adanya proses regenerasi berupa remielinisasi,
jumlah sel Schwann akan bertambah banyak.Jika proses patologis tersebut berlangsung
secara kronis dengan proses demielinisasi dan remielinisasi yang berulang- ulang, akan
terjadi proliferasi yang konsentrik dari sel Schwann, sehingga satu struktur seperti lapisan
bawang merah yang disebut “onion bulb”, yang dengan palpasi akan teraba benjolan-
benjolan pada saraf.

Degenerasi aksonal
Penyebab degenerasi aksonal berupa gangguan nutrisi, metabolik atau toksik sehingga
mengakibatkan gangguan metabolisme badan sel, transport aksonal serta fungsi lainnya.
Bagian ujung distal akson yang pertama mengalami degenerasi dan apabila proses terus
berlanjut degenerasi akan berjalan kea rah proksimal. Proses ini menimbulkan suatu
keadaan yang dikenal sebagai “dying back neuropathy”

Degenerasi Wallerian
Suatu trauma mekanik, khemis, termis ataupun iskemik lokal yang menyebabkan
terputusnya satu serabut saraf secara mendadak, akan diikuti oleh suatu proses degenerasi
aksonal di sebelah distal tempat terjadinya perlukaan, yang kemudian diikuti terputusnya
myelin secara sekunder. Proses tersebut dikenal sebagai degenerasi Wallerian. Kelainan
mulai timbul antara 12-36 jam setelah terjadinya perlukaan saraf. Perubahan awal
didapatkan pada akson yang terletak di dalam atau di sekitar nodus Ranvier sepanjang saraf
di sebelah distal dari tempat perlukaan. Perubahan yang sama juga terjadi pada akson di
sekeliling nodus Ranvier tepat di sebelah proksimal dari tempat perlukaan.Sel Schwann
pada bagian ini akan mengalami proliferasi hebat. Makrofag endoneuron akan membantu
sel Schwann dalam menghancurkan myelin yang rusak. Selubung myelin akan mulai pecah
dan berbentuk oval (ellipsoid). Ukuran myelin yang mengalami kerusakan dapat berguna
untuk melihat lamanya lesi (dengan biopsy saraf). Lamina basalis sel Schwann pada
bagian distal dari lesi akan rusak, sehingga permukaannya dilapisi langsung
galaktoserebrosida. Jumlah protein myelin dari sel Schwann menurun drastic. Akson
sebelah distal dari lesi menjadi hancur, aksoplasma dan aksolema berubah menjadi butir-
butir debris dalam 24-48 jam setelah terjadinya lesi dan butiran tersebut dikelilingi oleh
myelin yang pecah, selanjutnya akan dihancurkan oleh makrofag.Perubahan degenerasi
yang mengikuti robekan aksonal biasanya membaik dengan rangkaian respon perbaikan.
Dalam menyelubungi akson yang tumbuh, sel Schwann akan memperbaiki lamina basalis
dan mengaktifkan reseptor pertumbuhan saraf sehingga terjadi adhesi molekul-molekul sel.
Fibroblas pada daerah lesi akan memperbesar produksi kolagen intersisial dan membentuk
kerangka kolagen yang dibutuhkan untuk menyelubungi akson dan sel Schwann. Lesi saraf
sendiri dibagi 3 tingkatan sesuai komponen yang terlibat, yang paling ringan hanya
mengenai mielin, lesi derajat sedang sampai akson, dan yang paling berat bila terjadi
diskontinuitas jaringan saraf (connective tissue). Proses patologis ini menggambarkan
prognosisnya.

Gambar 4. Perubahan patologik dasar pada patofisiologi


polineuropati.10

Klasifikasi

Lesi derajat 1 : Neuropraksis

Terjadi hambatan pada fungsi hantaran saraf yang dihubungkan dengan “transient
ischemia”. Menurut Seddon lesi tipe ini berhubungan dengan keadaan akut, dimana terjadi
kerusakan mielin local di sekitar nodus Ranvier (demielinisasi segmental). Gangguan pada
hantaran saraf menetap sampai adanya perbaikan mielon local yang memerlukan waktu
beberapa minggu. Pada lesi neuropraksi ini kontinuitas akson masih baik. Contohnya pada
kasus “Saturday night palsy”, dimana terjadi paralisis pada otot-otot yang diinervasi nervus
radialis di sebelah distal dari lesi
Lesi derajat 2 : Aksonotmesis

Menunjukkan adanya diskontinuitas/ terputusnya akson, tetapi tanpa kerusakan pada lamina basal sel
Schwann dan jaringan endoneural. Terjadi degenerasi Wallerian di bawah lesi. Lesi ini dapat
menimbulkan gangguan/ hilangnya fungsi sensorik, motorik, dan simpatetik karena terputusnya serabut
yang tak bermielin maupun yang bermielin. Prognosis masih baik dengan adanya regenerasi aksonal yang
berlangsung dalam beberapa bulan.

Lesi derajat 3 : Neurotmesis

Merupakan lesi yang paling berat dengan terputusnya akson termasuk jaringan penyambung
endoneurium, perineurium, dan epineurium. Seperti pada aksonotmesis lesi ini juga berakibat adanya
degenerasi Wallerian. Terputusnya jaringan penyambung/ connective tissue ini juga mengakibatkan
terjadinya regenerasi aksonal yang menyimpang (aberrant regeneration). Prognosis jelek, diperlukan
pembedahan dengan atau tanpa autograft.

PATOFISIOLOGI KHUSUS PENYEBAB


Mekanisme yang mendasari neuropati perifer tergantung dari kelainan yang mendasarinya. Diabetes
sebagai penyebab tersering, dapat mengakibatkan neuropati melalui peningkatan stress oksidatif yang
meningkatkan Advance Glycosylated End products(AGEs), akumulasi polyol, menurunkan nitric oxide,
mengganggu fungsi endotel, mengganggu aktivitas Na/K ATPase, dan homosisteinemia. Pada
hiperglikemia, glukosa berkombinasi dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi, yang dapat
dirusak oleh radikal bebas dan lemak, menghasilkan AGE yang kemudian merusak jaringan saraf yang
sensitif. Selain itu, glikosilasi enzim antioksidan dapat mempengaruhi sistem pertahanan menjadi kurang
efisien.

Gambar 5. Patofisiologi pada Neuropati Diabetik.


Glukosa di dalam sel saraf diubah menjadi sorbitol dan polyol lain oleh enzim aldose reductase. Polyol
tidak dapat berdifusi secara pasif ke luar sel, sehingga akan terakumulasi didalam sel neuron,
yangmenganggu kesetimbangan gradien osmotik sehingga memungkinkan natrium dan air masuk ke
dalam sel dalam jumlah banyak. Selain itu, sorbitol juga dikonversimenjadi fruktosa, dimana kadar
fruktosa yang tinggi meningkatkan prekursor AGE. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf
menurunkan aktivitas Na/K ATPase.

Gambar 6. Jalur sorbitol


Nitric oxide memainkan peranan penting dalam mengontrol aktivitas Na/K ATPase. Radikal superoksida
yang dihasilkan oleh kondisi hiperglikemia mengurangi stimulasi NO pada aktivitas Na/K ATPase. Selain
itu penurunan kerja NO juga mengakibatkan penurunan aliran darah ke saraf perifer.

DIAGNOSTIK

Klinis

Langkah awal dalam mendiagnosis neuropati perifer adalah menentukan gejala dan tanda yang
berhubungan dengan disfungsi saraf perifer. Biasanya pasien mengalami munculan gejala yang
bermacam-macam.Pada pasien usia tua sering terjadi neuropati yang berkaitan dengan mielopati
spondilosis servikalis, dimana gejala neuropati aksonal predominan sensorik baru muncul pada onset
lanjut. Sama halnya dengan radikulopati spondilosis, yang bisa muncul dengan gejala neuropati
entrapment pada anggota gerak atas, patologi yang terlibat perlu digali secara cermat. Gejala neuropati
dapat dikelompokkan menjadi gejala negatif atau positif. Gejala positif mencerminkan aktivitas spontan
serabut saraf yang tidak adekuat, sedangkan gejala negatif menunjukkan terjadinya penurunan aktivitas
serabut saraf. Gejala negatif meliputi kelemahan, fatigue, dan wasting, sementara gejala positif mencakup
kram, kedutan otot, dan myokimia.Kelemahan biasanya belum bermanifestasi sampat 50-80% serabut
saraf mengalami kerusakan; gejala positif mungkin muncul pada awal proses penyakit. Gejala negatif
seperti hipestesia dan abnormalitas melangkah. Gejala lain yang juga sering adalah kesulitan
membedakan rasa panas atau dingin dan keseimbangan yang semakin memburuk terutama saat gelap
dimana input visual tidak cukup mengkompensasi gangguan propriopseptif. Gejala positif mencakup rasa
terbakar atau tertusuk, rasa geli/ kesemutan. Gejala yang mungkin melibatkan sistem saraf otonom
mencakup rasa haus, kembung, konstipasi, diare, impotensi, inkontinensia urin, abnormalitas keringat,
dan rasa melayang yang berkaitan dengan orthostasis. Pasien dengan gangguan vasomotor mungkin
melaporkan keempat anggota gerak terasa dingin sejalan dengan perubahan warna kulit dan trofi otot.
Riwayat sosial pasien perlu digali berkaitan dengan pekerjaan (kemungkinan paparan toksik dari bahan
kimia), riwayat seksual (kemungkinan HIV atau hepatitis C), konsumsi alkohol, kebiasaan makan, dan
merokok. Sedangkan dari riwayat keluarga dan pengobatan sebelumnya perlu difokuskan pada penyakit
yang berhubungan dengan neuropati, seperti endokrinopati (diabetes, hipotiroid), insufisiensi renal,
disfungsi hepar, penyakit jaringan penyambung, dan keganasan. Pengobatan yang pernah dikonsumsi
pasien juga perlu dijelaskan untuk menentukan kemungkinan adanya hubungan temporal antara obat
dengan neuropati. Kemoterapi, pengobatan HIV, dan antibiotik golongan kuinolon merupakan beberapa
contoh agen penyebab neuropati. Selain itu, konsumsi vitamin B6 (Pyridoxine) melebihi dosis 50-100 mg
per hari juga dapat mencetuskan neuropati.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda vital ortostatik dapat mengidentifikasi adanya
disautonomia.Pemeriksaan terstruktur dari sistem organ dapat menentukan kemungkinan adanya
endokrinopati, infeksi, vaskulopati, dan lain-lain. Selanjutnya, pemeriksaan saraf kranial mencakup
penilaian adanya anosmia (refsum disease, defisiensi vitamin B12), atrofi saraf optik, anisokoria dan
penurunan refleks cahaya (disautonomia parasimpatetik), gangguan gerakan okuler (sindrom Miller
Fisher), kelemahan otot wajah (sindrom Guillain Barre), dan sensorik trigeminal (sindrom Sjogren).
Pemeriksaan motorik komprehensif mencakup penilaian tonjolan otot, contohnya observasi atrofi otot
intrinsik tangan dan kaki. Selain itu dinilai hipereksitabilitas, tonus, dan kekuatan otot dengan skala
Medical Research Council. Dynamometri dapat dipakai untuk penilaian kekuatan otot yang lebih tepat.
Karena sebagian besar neuropati mengakibatkan kelemahan distal, otot intrinsik kaki dapat terkena lebih
dulu, dengan manifestasi kaki bengkok dan ibu jari seperti palu (hammer toes). Kelemahan saat fleksi dan
ekstensi jari kelingking dan kelemahan ekstensi ibu jari sering muncul pada fase awal. Sudut antara tibia
dan punggung kaki sekitar 130°. Sudut yang lebih besar menunjukkan kelemahan dorsofleksi pergelangan
kaki. Pada tangan, otot abduktor jari telunjuk dan kelingking yang terkena lebih dulu. Selain itu, perlu
diperhatikan gaya berjalan pasien. Pada pasien neuropati kronik, pasien mengalami kesulitan berjalan
dengan tumit dibanding berjalan dengan ujung jari.

Pemeriksaan sensorik

Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan sesuai anatomi saraf perifer dan pola penyakit. Pemeriksaan ini
terbagi tipe serabut saraf ukuran besar atau kecil. Penilaian serabut saraf besar mencakup sensasi getar,
posisi sendi, dan rasa raba ringan. Sedangkan penilaian serabut kecil mencakup uji pin- prick dan sensasi
suhu. Tes Romberg juga bermanfaat menilai fungsi serabut besar. Dalam melakukan pemeriksaan
sensorik, perlu memikirkan jenis neuropati yang dikeluhkan, mencakup mononeuropati,polineuropati
(distal simetrik atau multifokal), radikulopati, pleksopati. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi area
yang mengalami kelainan dan dibandingkan dengan area kontralateral yang simetris. Selain itu juga
dibandingkan dengan area lain yang normal, dan dikaitkan dengan dermatom saraf.Penurunan refleks
tendon sangat membantu dalam menentukan lokalisasi kerusakan lower motor neuron. Hiporefleks atau
arefleks sering ditemukan pada neuropati serabut saraf yang besar, namun pada neuropati serabut saraf
kecil refleks tendon dalam seperti refleks Achilles masih baik.

Elektrodiagnostik
Uji elektrodiagnostik pada pasien neuropati perifer mencakup kecepatan hantaran saraf dan needle
Electromyography. Kedua uji tersebut merupakan standar untuk neuropati, terutama neuropati serabut
besar. EMG dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis selain polineuropati, seperti miopati,
neuronopati, pleksopati, atau poliradikulopati. Sebagai pemeriksaan lanjutan setelah pemeriksaan klinis,
elektrodiagnostik memberikan gambaran mengenai keterlibatan relatif motorik atau sensorik, beratnya
kelainan neuropati, dan distribusi kelainan. Selain itu uji elektrodiagnostik dapat menilai kelainan dari
anatomi, apakah suatu aksonopati atau mielinopati. Demielinisasi dapat dikelompokkan sebagai
demielinisasi komplit atau sebagian. Dan elektrodiagnostik dapat dilakukan untuk emonitor progresivitas
penyakit. Risiko pemeriksaan elektrodiagnostik minimal, meskipun pada sebagian penderita terdapat
ketidaknyamanan.
Pemeriksaan hantaran saraf (Nerve Conduction Study=NCS) pada neuropati aksonal
diawali dengan menurunnya potensial aksi serabut sensorik (SNAP), kemudian diikuti oleh
penurunan amplitudo potensial aksi (CMAP).
Biopsi
Pemeriksaan biopsi saraf dilakukan untuk menilai etiologi, lokalisasi patologik, dan beratnya kerusakan
saraf. Namun pemeriksaan ini menjadi kurang penting dalam dua dekade terakhir seiring berkembangnya
teknologi di bidang elektrodiagnostik, laboratorium dan uji genetik. Biopsi saraf hanya berguna pada
neuropati progresif akut/ sub akut, asimetrik dan multifokal. AAN menganjurkan pemeriksaan ini pada
diagnosis penyakit inflamasi seperti vaskulitis, sarkoidosis, dan CIDP. Selain itu uji ini bisa dilakukan
pada penyakit infeksi seperti lepra.

Laboratorium dan Imaging

Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis cukup banyak, dan tergantung dari klinis
pada pasien. American Academy of Neurology (AAN) mengajukan parameter praktis pemeriksaan
laboratorium dan genetik pada polineuropati distal simetrik. Panduan tersebut merekomendasikan
pemeriksaan gula darah puasa, elektrolit untuk menilai fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan darah tepi
lengkap, kadar vitamin B12 serum, laju endap darah, uji fungsi tiroid, dan Immunofixation
Electrophoresis serum (IFE). Sedangkan pemeriksaan lainnya mencakup Myelin Associated Glycoprotein
(MAG), sulfatide, dan antibodi GD1B. Pada neuropati demielinisasi dengan pemanjangan latensi distal,
diperlukan pemeriksaan anti MAG. Sedangkan pada mononeuropati multifokal, perlu dilakukan
pemeriksaan anti GM1. Selanjutnya, pada pasien sindrom Guillain Barre, uji anti GQ1b, anti GM1, dan
anti GD1a dapat menunjang diagnosis. Pada pasien yang dicurigai menderita vaskulitis dan connective
tissue disorder (Sjogren syndrome, SLE, rheumatoid arthritis), pemeriksaan C-reactive protein,
antinuclear antibody, double-stranded DNA, rheumatoid factor, proteinase 3, myeloperoxidase,
complement, angiotensin converting enzyme, panel hepatitis B dan C, serta cryoglobulin perlu dilakukan.
Sedangkan pada pasien predominan neuropati sensorik, perlu dilakukan uji anti Hu antibody, dimana
keadaan ini berkaitan dengan neuropati paraneoplastik.
Pemeriksaan urin dapat mengkonfirmasi kemungkinan paparan bahan kimia logam berat, seperti uji kadar
arsenik dan tembaga dalam urin. Prosedur ini perlu dilakukan bila terdapat riwayat paparan logam berat,
setelah menjalani pembedahan bariatric, atau intake Zinc berlebihan.

TERAPI

Terapi Umum

Pengobatan neuropati perifer dibagi menjadi yang spesifik untuk subtipe neuropati dan yang berguna
untuk neuropati pada umumnya. Penyebab medis seperti diabetes melitus, gagal ginjal, hipotiroidisme,
kekurangan vitamin B12, atau vaskulitis sistemik membutuhkan pengobatan spesifik dan aktif. Immun-
mediated neuropati seperti sindrom Guillain-Barré atau CIDP merespon pengobatan yang spesifik. Jika
diperlakukan tepat, banyak pasien dengan dysimmune neuropati memiliki prognosis yang baik untuk
stabilisasi atau perbaikan. Perawatan harus spesifik untuk masing-masing pasien, dengan
mempertimbangkan faktor- faktor seperti keberhasilan, efek samping, ketersediaan, dan kondisi medis
yang bersamaan. Sayangnya, tidak ada pengobatan yang spesifik untuk neuropati kronis seperti
polineuropati idiopatik aksonal kronis atau neuropati yang diturunkan. Manajemen gejala penting bagi
semua jenis neuropati, termasuk pencegahan umum dan terapi paliatif serta pengobatan masalah yang
spesifik seperti nyeri neuropatik. Pengobatan nyeri merupakan aspek penting bagi banyak pasien dengan
polineuropati kronis. Nyeri neuropatik sulit untuk diobati. Obat-obatan yang paling berguna termasuk
obat antiepilepsi (gabapentin, carbamazepine), antidepresan (terutama amitriptyline, nortriptyline, dan
venlafaxine), dan tramadol, yang memiliki kedua agonis opioid mu-serta aksi antidepresan. Lidokain
topikal berguna untuk mengobati nyeri di daerah kulit. Beberapa pasien memerlukan obat opioid untuk
relief nyeri yang memadai.Aspek umum pencegahan dan manajemen paliatif meliputi penurunan berat
badan, perawatan kaki, sepatu yang baik, dan orthoses pergelangan kaki sesuai kebutuhan. Pasien dengan
kelemahan kaki sering perlu dibantu berjalan, dan orang-orang dengan kelemahan tangan mungkin perlu
splints pergelangan. Terapis fisik dan pekerjaan dapat sangat membantu dalam mengevaluasi dan
merancang peralatan adaptif untuk pasien cacat kronis.

Anda mungkin juga menyukai