Anda di halaman 1dari 5

Selulosa

Selulosa adalah polimer glukosa yang berbentuk rantai linier dan dihubungkan oleh
ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak
mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis. Di alam,
biasanya selulosa berasosiasi dengan polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin
membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple et.al 2003).

Unit penyusun (building block) selulosa adalah selobiosa karena unit keterulangan
dalam molekul selulosa adalah 2 unit gula (D-glukosa). Selulosa adalah senyawa yang tidak
larut di dalam air dan ditemukan pada dinding sel tumbuhan terutama pada tangkai, batang,
dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa merupakan polisakarida
struktural yang berfungsi untuk memberikan perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap
sel, dan jaringan (Lehninger 1993) (Gambar 1).

Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi selalu
berasosiasi dengan polisakarida lain seperti lignin, pectin, hemiselulosa, dan xilan (Goyskor
dan Eriksen 1980 dalam Fitriani 2003). Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan lignin
sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa dan lignin dihasilkan
dari proses fotosintesis. Di dalam tumbuhan molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril
yang terdiri atas beberapa molekul paralel yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik sehingga
sulit diuraikan (Goyskor dan Eriksen 1980 dalam Fitriani 2003). Komponen-komponen
tersebut dapat diuraikan oleh aktifitas mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu
menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri dan fungi
(Sukumaran et.al 2005).

Gambar 1. Sturuktur Kimia Selulosa

(Sumber : Lehninger 1993)


Rantai selulosa terdiri dari satuan glukosa anhidrida yang saling berikatan melalui
atom karbon pertama dan ke empat. Ikatan yang terjadi adalah ikatan ß1,4-glikosidik. Secara
alamiah molekul-molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril-fibril yang terdiri dari
beberapa molekul selulosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik. Fibril-fibril ini
membentuk struktur kristal yang dibungkus oleh lignin. Komposisi kimia dan struktur yang
demikian membuat kebanyakan bahan yang mengandung selulosa bersifat kuat dan keras.
Sifat kuat dan keras yang dimiliki oleh sebagian besar bahan berselulosa membuat bahan
tersebut tahan terhadap peruraian secara enzimatik. Secara alamiah peruraian selulosa
berlangsung sangat lambat (Fan et al., 1982).

Berdasarkan derajat polimerisasi dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida


(NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :

1. Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam
larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi 600 - 1500.
Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemurnian selulosa.
Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa α > 92%
memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan
dan atau bahan peledak, sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai
bahan baku pada industri kertas dan industri sandang/kain. Semakin tinggi kadar alfa
selulosa, maka semakin baik mutu bahannya (Nuringtyas 2010) (Gambar 2).

Gambar 2. Rumus Struktur α – selulosa

(Sumber : Nuringtyas 2010)


2. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan
NaOH 17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15 - 90, dapat mengendap
bila dinetralkan (Gambar 3).

Gambar 3. Rumus Struktur β – selulosa

(Sumber : Nuringtyas 2010).

3. Selulosa γ (Gamma cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi derajat


polimerisasinya kurang dari 15.

Bervariasinya struktur kimia selulosa (α, β, γ) mempunyai pengaruh yang besar pada
reaktivitasnya. Gugus-gugus hidroksil yang terdapat dalam daerahdaerah amorf sangat mudah
dicapai dan mudah bereaksi, sedangkan gugus-gugus 9 hidroksil yang terdapat dalam daerah-
daerah kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak
dapat dicapai sama sekali. Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam eterifikasi
(alkali) maupun dalam esterfikasi (asam) (Sjőstrőm 1995).

Selulosa memiliki struktur yang unik karena kecenderungannya membentuk ikatan


hidrogen yang kuat. Ikatan hidrogen intramolekular terbentuk antara: (1) gugus hidroksil C3
pada unit glukosa dan atom O cincin piranosa yang terdapat pada unit glukosa terdekat, (2)
gugus hidroksil pada C2 dan atom O pada C6 unit glukosa tetangganya. Ikatan hidrogen
antarmolekul terbentuk antara gugus hidroksil C6 dan atom O pada C3 di sepanjang sumbu b
(Gambar 4). Dengan adanya ikatan hidrogen serta gaya van der Waals yang terbentuk, maka
struktur selulosa dapat tersusun secara teratur dan membentuk daerah kristalin. Di samping
itu, juga terbentuk rangkaian struktur yang tidak tersusun secara teratur yang akan
membentuk daerah nonkristalin atau amorf. Semakin tinggi packing density-nya maka
selulosa akan berbentuk kristal, sedangkan semakin rendah packing density maka selulosa
akan berbentuk amorf. Derajat kristalinitas selulosa dipengaruhi oleh sumber dan perlakuan
yang diberikan. Rantai-rantai selulosa akan bergabung menjadi satu kesatuan membentuk
mikrofibril, bagian kristalin akan bergabung dengan bagian nonkristalin. Mikrofibril-
mikrofibril akan bergabung membentuk fibril, selanjutnya gabungan fibril akan membentuk
serat (Klemm 1998). (Gambar 5).

Gambar 4. Ikatan Hidrogen Intra dan Antar Rantai Selulosa

(Sumber : Klemm 1998).

Gambar 5. Model Fibril Struktur Supramolekul Selulosa

(Sumber : Klemm 1998).

Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomis yang lebih tinggi
seperti glukosa dan etanol dengan jalan menghidrolisis selulosa dengan bantuan selulase
sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis secara asam/basa (Ariestaningtyas 1991).
Selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon tingkat tinggi hingga organisme primitif
seperti rumput laut, flagelata, dan bakteria (Fengel and Wegener 1995). Luthfy (1988)
menyebutkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma sp ternyata mengandung kadar abu 19,92
%, protein 2,80 %, lemak 1,78 %, serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang
cukup tinggi yaitu sekitar 68,48 %. Kandungan karbohidrat yang tinggi menjadikan
makroalga jenis Eucheuma sp berpotensi sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol.

Makroalga jenis Sargassum sp mulai dikembangkan sebagai bahan pembuatan etanol.


Salah satu negara yang mengembangkannya adalah Jepang. Untuk mengembangkan
pembuatan bioetanol berbahan dasar Sargassum sp Jepang membuat proyek bernama Ocean
Sunrise Project yang bertujuan untuk memproduksi bioetanol dari rumput laut Sargassum
horneri (Maulana dan Wibowo 2011).

Anda mungkin juga menyukai