Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

UJI KULTUR DAN SENSITIVITAS

Pembimbing :

dr. Willy Yulianto, Sp. B

Penyusun :

Yuni Rachmadani 030.12.293

Laras Hanum Istiningtias 030.12.147

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR SOESELO SLAWI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 5 NOVEMBER 2018 – 12 JANUARI 2019


REFERAT

UJI KULTUR DAN SENSITIVITAS

Telah disetujui oleh :

dr. Willy Yulianto, Sp. B

Pada tanggal 02 Januari 2019

Dalam rangka memenuhi tugas

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Bedah RS DR SOESELO SLAWI

periode 5 November 2018 – 12 Januari 2019

Slawi, 02 Januari 2019

Pembimbing

dr. Willy Yulianto, Sp.B


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat ”Uji Kultur dan Sensitivitas”.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Willy Yulianto, Sp B selaku pembimbing dalam penyusunan Referat ini, serta
kepada dokter-dokter pembimbing lain di bagian Bedah RSUD DR SOESELO Tujuan dari
pembuatan laporan kasus ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya,
juga ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Bedah.
Penulis sangat berharap bahwa laporan kasus ini dapat menambah wawasan mengenai
thalasemia. Dan diharapkan, bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan
mengenai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan hal tersebut.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput
dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran
yang membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini
dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Slawi, 02 Januari 2019

Penulis

Yuni Rachmadani & Laras Hanum I


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS .............................................................................................................. 2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 9

BAB IV DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………. 20


BAB I

PENDAHULUAN

Penemuan mikroskop pada awal abad ke-17 telah membuka cabang ilmu biologi yang
sempit menjadi suatu sistem ilmiah yang dapat dijelajahi, salah satunya adalah
mikroorganisme. Organisme dengan diameter 1 mm atau lebih kecil disebut mikroorganisme
dan memiliki cakupan yang cukup luas, termasuk beberapa hewan, protozoa, beberapa alga,
fungi, bakteri, dan virus. Keberadaan dari dunia mikroba ini tidak diketahui sampai adanya
penemuan mikroskop, suatu alat optik yang memungkinkan untuk melakukan perbesaran
suatu benda yang sangat kecil yang tidak dapat dilihat dengan jelas dengan mata manusia.
Akibat dari ukuran mikroorganisme yang kecil, informasi yang dapat diperoleh dari
hasil pengujian tersendiri tentang siklus hidupnya sangatlah terbatas, disamping itu populasi
dari mikroba tersebut merupakan kumpulan dari jutaan bahkan miliaran dari mikroba.
Populasi ini dapat diperoleh dari menumbuhkan mikroorganisme pada kondisi yang sesuai,
yang disebut kultur. Suatu kultur yang hanya mengandung satu macam mikroorganisme
disebut kultur murni. Sedangkan kultur yang mengandung lebih dari satu macam
mikroorganisme disebut kultur campuran jika terdapat dua macam mikroorganisme.
Mikroorganisme bila merugikan hospesnya harus segera dimatikan. Salah satunya
menggunakan antibiotik, yang dimana adalah sebuah zat anti bakteri yang diproduksi oleh
berbagai spesies mikroorganisme (bakteri, jamur dan actinomycota) yang dapat menekan
pertumbuhan dana tau membunuh mikroorganisme lainnya. Namun, ada berbagai mekanisme
yang menyebabkan suatu populasi kuman menjadi resisten terhadap antibiotik. Maka dari itu
perlu dilakukan tes sensitivitas bakteri terhadap antibiotik. Tes ini merupakan suatu metode
untuk menentukan tingkat kerentanan bakteri terhadap zat antibakteri dan untuk mengetahui
jenis zat antibakteri yang memiliki aktivitas antibakteri yang lebih kuat. Tes sensitivitas
antibiotik dilakukan untuk menentukan sensitivitas bakteri yang diisolasi terhadap agen
teraputik. Resistensi terhadap antibiotik yang menyebabkan populasi terdedah terhadap
organisme yang mempunyai gen untuk meningkatkan resistensi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Media Kultur Bakteri

Media kultur bakteri adalah suatu bahan yang terdiri atas campuran nutrisi atau zat –

zat hara (nutrisi) yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme diatas atau

didalamnya. Selain itu, media kultur mikroba dapat dipergunakan pula untuk isolasi,

perbanyakan, pengujian sifat – sifat fisiologis, dan perhitungan jumlah mikroorganisme.

Media kultur yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme dalam bentuk

padat, semi padat, dan cair. Media kultur padat diperoleh dari dengan menambahkan agar –

agar. Agar – agar berasal dari ekstrak ganggang merah. Kandungan galaktan pada agar

sebagai pemadat adalah 1.5 – 2.0% dan membeku pada suhu 45º C. Agar - agar susah

diuraikan oleh bakteri. (Utami, 2004).

A. Media dan Cara Pembuatan Media

Pembiakan mikroba di laboratorium mem

erlukan media yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi

mikroba. Media adalah suatu bahan yang digunakan untuk menumbuhkan mikroba yang

terdiri atas campuran nutrisi atau zat-zat makanan. Selain untuk menumbuhkan mikroba,

media dapat juga digunakan untuk isolasi, memperbanyak, pengujian sifat-sifat fisiologis dan

perhitungan jumlah mikroba (Lay, 1994; Jutono dkk, 1980).

Syarat media yang baik untuk pertumbuhan mikroba adalah lingkungan kehidupannya

harus sesuai dengan lingkungan pertumbuhan mikroba tersebut, yaitu :

 susunan makanannya (media harus mengandung air untuk menjaga kelembaban dan

untuk pertukaran zat/metabolisme, juga mengandung sumber karbon, mineral, vitamin

dan gas)

 tekanan osmosis yaitu harus isotonik


 derajat keasaman/pH umumnya netral tapi ada juga yang alkali

 temperatur harus sesuai dan steril.

Media harus mengandung semua kebutuhan untuk pertumbuhan mikroba,

yaitu: sumber energi (contoh: gula), sumber nitrogen, juga ion inorganik essensial dan

kebutuhan yang khusus, seperti vitamin (Jawetz dkk, 1996).

Berdasarkan komposisi kimianya, media dapat dibedakan menjadi media

sintetik yaitu media yang susunan kimianya diketahui dengan pasti, medium ini

biasanya digunakan untuk mempelajari kebutuhan makanan mikroba. Media non

sintetik (kompleks) yaitu media yang susunan kimianya tidak dapat diketahui dengan

pasti, media ini digunakan untuk menumbuhkan dan mempelajari taksonomi mikroba.

Berdasarkan konsistensinya media dapat dibedakan menjadi: media cair, media padat,

dan media padat yang dapat dicairkan (Lay, 1994; Jutono dkk, 1980; Jawetz dkk,

1996).

B. Teknik-teknik Isolasi atau Penanaman Mikroba

Untuk menanam suatu mikroba perlu diperhatikan faktor-faktor nutrisi serta

kebutuhan akan oksigen (gas, O2 atau udara). Cara menumbuhkan mikroba yang

anaerob sangat berbeda dengan yang aerob. Mengisolasi suatu mikroba ialah

memisahkan mikroba tersebut dari lingkungannya di alam dan menumbuhkannya

sebagai biakan murni dalam medium buatan. Untuk isolasi harus diketahui cara-cara

menanam dan menumbuhkan mikroba pada medium biakan serta syarat-syarat lain

untuk pertumbuhannya (Jutono dkk, 1980). Mikroba jarang terdapat di alam dalam

keadaan murni. Kebanyakan merupakan campuran bermacam-macam spesies

mikroba.
Macam-macam cara mengisolasi dan menanam mikrobia adalah :

1. Spread plate method (cara tebar/sebar)

Spread PlateMethod (Cara Tebar/Sebar) Teknik spread plate merupakan teknik

isolasi mikroba dengan cara menginokulasi kultur mikroba secara pulasan/sebaran

di permukaan media agar yang telah memadat. Metode ini dilakukan dengan

mengencerkan biakan kultur mikroba. Karena konsentrasi sel-sel mikroba pada

umumnya tidak diketahui, maka pengenceran perlu dilakukan beberapa tahap,

sehingga sekurang-kurangnya ada satu dari pengenceran itu yang mengandung

koloni terpisah (30-300 koloni). Koloni mikrobia yang terpisah memungkinkan

koloni tersebut dapat dihitung.

2. Streak platemethod (cara gores)

Cara gores umumnya digunakan untuk mengisolasi koloni mikroba pada

cawan agar sehingga didapatkan koloni terpisah dan merupakan biakan murni.

Cara ini dasarnya ialah menggoreskan suspensi bahan yang mengandung mikroba

pada permukaan medium agar yang sesuai pada cawan petri. Setelah inkubasi

maka pada bekas goresan akan tumbuh koloni-koloni terpisah yang mungkin

berasal dari 1 sel mikroba, sehingga dapat diisolasi lebih lanjut (Jutono dkk,

1980).

Penggoresan yang sempurna akan menghasilkan koloni yang terpisah.

Bakteri yang memiliki flagella seringkali membentuk koloni yang menyebar

terutama bila digunakan lempengan yang basah. Untuk mencegah hal itu harus

digunakan lempengan agar yang benar-benar kering permukaannya (Lay, 1994)

3. Pour plate method (cara tabur).

Cara ini dasarnya ialah menginokulasi medium agar yang sedang mencair

pada temperatur 45-50oC dengan suspensi bahan 31 yang mengandung mikroba,


dan menuangkannya ke dalam cawan petri steril. Setelah inkubasi akan terlihat

koloni-koloni yang tersebar di permukaan agar yang mungkin berasal dari 1 sel

bakteri, sehingga dapat diisolasi lebih lanjut (Jutono dkk, 1980).

C. Pembuatan Pulasan Bakteri

Bakteri atau mikroba lainnya dapat dilihat dengan mikroskop cahaya tanpa

pewarnaan/pengecatan atau dengan pewarnaan/pengecatan.Pengamatan tanpa

pengecatan lebih sukar dan tidak dapat dipakai untuk melihat bagian-bagian sel

dengan teliti karena sel bakteri atau mikroba lainnya transparan atau semi

transparan. Dengan pengecatan, dapat dilihat struktur sel mikroba lebih seksama.

Fungsi pengecatan adalah

a).memberi warna pada sel atau bagian-bagiannya sehingga member kontras

dan tampak lebih jelas

b). dapat untuk menunjukkan bagian-bagian struktur sel

c). membedakan mikroba satu dengan yang lain

d). menentukan pH dan potensial oksidasi reduksi ekstraseluler dan

intraseluler (Jutono dkk., 1980).

Pengecatan bakteri umumnya menggunakan lebih dari satu tingkat

pengecatan. Hasil pengecatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti : fiksasi,

substrat, dekolorisator dan sebagainya.

Dalam pembuatan pulasan bakteri yang siap diwarnai, perlu dilakukan fiksasi

terlebih dahulu yang bertujuan antara lain :

a). mencegah mengkerutnya globula-globula protein sel

b). merubah afnitas cat

c). mencegah terjadinya otolisis sel


d). dapat membunuh mikroba secara cepat dengan tidak menyebabkan

perubahan-perubahan bentuk atau strukturnya

e). melekatkan bakteri di atas gelas benda

f). membuat sel-sel lebih kuat/keras.

Cara fiksasi yang paling banyak digunakan dalam pengecatan bakteri adalah

dengan membuat lapisan suspensi/pulasan bakteri di atas gelas benda, kemudian

dikeringanginkan dan dilalukan beberapa kali di atas nyala lampu spiritus (Jutono

dkk., 1980).

2.2 Antibiotik

a. Definisi

Antibiotika (L. Anti = lawan, bios = hidup) adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh

fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,

sedangkan toksisitasnya terhadap manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang dibuat secara

semisintetis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintetis dengan khasiat

antibakteri. Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab

infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin.

Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik

untuk hospes. Sifat toksisitas selektif yang absolut belum atau mungkin tidak akan diperoleh.

Dalam arti sebenarnya, antibiotik merupakan zat anti bakteri yang diproduksi oleh

berbagai spesies mikroorganisme (bakteri, jamur, dan actinomycota) yang dapat menekan

pertumbuhan dan atau membunuh mikroorganisme lainnya. Penggunaan umum sering

meluas kepada agen antimikroba sintetik, seperti sulfonamid dan kuinolon.

b. Mekanisme Kerja

Antibiotik diklasifikasikan berdasarkan struktur kimia dan mekanisme kerjanya,

sebagai berikut :
1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, termasuk golongan β-laktam

misalnya, penisilin, sefalosporin, dan carbapenem dan bahan lainnya seperti cycloserine,

vankomisin, dan bacitracin.

2. Antibiotik yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme, meningkatkan

permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa intraseluler, termasuk deterjen seperti

polimiksin, anti jamur poliena misalnya, nistatin dan amfoterisin B yang mengikat sterol

dinding sel, dan daptomycin lipopeptide.

3. Antibiotik yang mengganggu fungsi subunit ribosom atau untuk menghambat sintesis

protein secara reversibel, yang pada umumnya merupakan bakteriostatik misalnya,

kloramfenikol, tetrasiklin,eritromisin, klindamisin, streptogramin, dan linezolid.

4. Antibiotik berikatan pada subunit ribosom 30S dan mengganggu sintesis protein, yang

pada umumnya adalah bakterisida. Misalnya, aminoglikosida.

5. Antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, seperti rifamycin

misalnya, rifampisin dan rifabutin yang menghambat enzim RNA polimerase dan

kuinolon yang menghambat enzim topoisomerase.

6. Antimetabolit, seperti trimetoprim dan sulfonamid, yang menahan enzim-enzim penting

dari metabolisme folat.

c. Golongan Antibiotik

Ada beberapa golongan – golongan besar antibiotik, yaitu

1. Golongan Penisilin

Penisilin diklasifikasikan sebagai obat β-laktam karena cincin laktam mereka yang

unik. Mereka memiliki ciri-ciri kimiawi, mekanisme kerja, farmakologi, efek klinis, dan

karakteristik imunologi yang mirip dengan sefalosporin, monobactam, carbapenem, dan β-

laktamase inhibitor, yang juga merupakan senyawa β-laktam. Antibiotika β-laktam bekerja

dengan menghambat pembentukan peptidoglikan di dinding sel. Beta -laktam akan terikat
pada enzim transpeptidase yang berhubungan dengan molekul peptidoglikan bakteri, dan hal

ini akan melemahkan dinding sel bakteri ketika membelah. Dengan kata lain, antibiotika ini

dapat menyebabkan perpecahan sel (sitolisis) ketika bakteri mencoba untuk membelah diri.

Pada bakteri Gram positif yang kehilangan dinding selnya akan menjadi protoplas,

sedangkam Gram negatif menjadi sferoplas. Protoplas dan sferoplas kemudian akan pecah

atau lisis.

Gambar 1. Struktur penisilin

Penisilin dapat terbagi menjadi beberapa golongan :

- Penisilin natural (misalnya, penisilin G) Golongan ini sangat poten terhadap organisme

gram positif, coccus gram negatif, dan bakteri anaerob penghasil non-β-laktamase.

Namun, mereka memiliki potensi yang rendah terhadap batang gram negatif.

- Penisilin antistafilokokal (misalnya, nafcillin) Penisilin jenis ini resisten terhadap

stafilokokal β laktamase. Golongan ini aktif terhadap stafilokokus dan streptokokus tetapi

tidak aktif terhadap enterokokus, bakteri anaerob, dan kokus gram negatif dan batang

gram negatif.

- Penisilin dengan spektrum yang diperluas (Ampisilin dan Penisilin antipseudomonas). Obat

ini mempertahankan spektrum antibakterial penisilin dan mengalami peningkatan aktivitas

terhadap bakteri gram negatif

2. Golongan Sefalosporin dan Sefamisin


Sefalosporin mirip dengan penisilin secara kimiawi, cara kerja, dan toksisitas. Hanya

saja sefalosporin lebih stabil terhadap banyak beta-laktamase bakteri sehingga memiliki

spektrum yang lebih lebar. Sefalosporin tidak aktif terhadap bakteri enterokokus dan

L.monocytogenes. Sefalosporin termasuk golongan antibiotika Betalaktam. Seperti antibiotik

Betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba Sefalosporin ialah dengan menghambat

sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam

rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif

maupun garam negatif, tetapi spektrum masing-masing derivat bervariasi.

Gambar 2. Struktur sefalosporin

Sefalosporin terbagi dalam beberapa generasi, yaitu:

a. Sefalosporin generasi pertama

Sefalosporin generasi pertama termasuk di dalamnya sefadroxil, sefazolin, sefalexin,

sefalotin, sefafirin, dan sefradin. Obat - obat ini sangat aktif terhadap kokus gram positif

seperti pnumokokus, streptokokus, dan stafilokokus.

b. Sefalosporin generasi kedua

Anggota dari sefalosporin generasi kedua, antara lain: sefaklor, sefamandol, sefanisid,

sefuroxim, sefprozil, loracarbef, dan seforanid. Secara umum, obat – obat generasi kedua

memiliki spektrum antibiotik yang sama dengan generasi pertama. Hanya saja obat generasi

kedua mempunyai spektrum yang diperluas kepada bakteri gram negatif.

c. Sefalosporin generasi ketiga


Obat–obat sefalosporin generasi ketiga adalah sefeperazone, sefotaxime, seftazidime,

seftizoxime, seftriaxone, sefixime, seftibuten, moxalactam, dll. Obat generasi ketiga memiliki

spektrum yang lebih diperluas kepada bakteri gram negatif dan dapat menembus sawar darah

otak.

d. Sefalosporin generasi keempat

Sefepime merupakan contoh dari sefalosporin generasi keempat dan memiliki spektrum

yang luas. Sefepime sangat aktif terhadap haemofilus dan neisseria dan dapat dengan mudah

menembus CSS.

3. Golongan Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan inhibitor yang poten terhadap sintesis protein mikroba.

Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan memiliki spektrum luas dan aktif terhadap masing –

masing bakteri gram positif dan negatif baik yang aerob maupun anaerob. Mekanisme kerja

kloramfenikol menghambat sistesis portein pada bakteri dan dalam jumlah terbatas, pada sel

eukariot. Obat ini segera berpenetrasi ke sel bakteri, kemungkinan melalui difusi terfasilitasi.

Kloramfenikol terutama bekerja dengan memikat subunit ribosom 50S secara reversibel (di

dekat tempat kerja antibiotic makrlida dan klindamisin, yang dihambat secara kompetitif oleh

obat ini). Walaupun pengikatan tRNA pada bagian pengenalan kodon ini ternyata

menghalangi pengikatan ujung tRNA aminosil yang mengandung asam amino ke tempat

akseptor pada subunit ribosom 50S. interkasi antara pepdiltranferase dengan substrat asam

aminonya tidak dapat terjadi, sehingga pembentukan ikatan peptide terhambat.


Gambar 3. Struktur kloramfenikol

4. Golongan Tetrasiklin

Golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama untuk mengobati infeksi dari

M.pneumonia, klamidia, riketsia, dan beberapa infeksi dari spirokaeta. Tetrasiklin juga

digunakan untuk mengobati ulkus peptikum yang disebabkan oleh H.pylori. Tetrasiklin

menembus plasenta dan juga diekskresi melalui ASI dan dapat menyebabkan gangguan

pertumbuhan tulang dan gigi pada anak akibat ikatan tetrasiklin dengan kalsium. Tetrasiklin

diekskresi melalui urin dan cairan empedu.

Gambar 4. Struktur tetrasiklin

5. Golongan Makrolida

Eritromisin merupakan bentuk prototipe dari obat golongan makrolida yang disintesis

dari S.erythreus. Eritromisin efektif terhadap bakteri gram positif terutama pneumokokus,

streptokokus, stafilokokus, dan korinebakterium. Aktifitas antibakterial eritromisin bersifat

bakterisidal dan meningkat pada pH basa. Golongan Makrolida menghambat sintesis protein

kuman dengan jalan berikatan secara reversibel dengan Ribosom subunit 50S, dan bersifat

bakteriostatik atau bakterisid tergantung dari jenis kuman dan kadar obat Makrolida.
Gambar 5. Struktur makrolida

6. Golongan Aminoglikosida

Yang termasuk golongan aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin,

kanamisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin, dan lain – lain. Golongan aminoglikosida pada

umumnya digunakan untuk mengobati infeksi akibat bakteri gram negatif enterik, terutama

pada bakteremia dan sepsis, dalam kombinasi dengan vankomisin atau penisilin untuk

mengobati endokarditis, dan pengobatan tuberkulosis. Aminoglikosida berdaya kerja

bakterisida. Aminoglikosida terikat pada sub unit 30S dari ribosom maka sub unit 70S nya

tidak terbentuk sehingga terjadi inhibisi sintesis protein karena salah baca kode genetik.

Asam amino yang salah yang disambungkan pada rantai polipeptida sehingga terbentuk

protein yang berbeda. Mekanisme lain yaitu merusak membran sel bakteri sehingga bakteri

mati.
Gambar 6. Struktur aminoglikosida

7. Golongan Sulfonamida dan Trimetoprim

Sulfonamida dan trimetoprim merupakan obat yang mekanisme kerjanya menghambat

sintesis asam folat bakteri yang akhirnya berujung kepada tidak terbentuknya basa purin dan

DNA pada bakteri. Kombinasi dari trimetoprim dan sulfametoxazole merupakan pengobatan

yang sangat efektif terhadap pneumonia akibat P.jiroveci, sigellosis, infeksi salmonela

sistemik, infeksi saluran kemih, prostatitis, dan beberapa infeksi mikobakterium non

tuberkulosis.

Gambar 7. Struktur sulfonamida

8. Golongan Fluorokuinolon

Golongan fluorokuinolon termasuk di dalamnya asam nalidixat, siprofloxasin,

norfloxasin, ofloxasin, levofloxasin, dan lain–lain. Golongan fluorokuinolon aktif terhadap

bakteri gram negatif. Golongan fluorokuinolon efektif mengobati infeksi saluran kemih yang

disebabkan oleh pseudomonas. Golongan ini juga aktif mengobati diare yang disebabkan

oleh shigella, salmonella, E.coli, dan Campilobacter. Mekanisme kerjanya menghambat

replikasi DNA bakteri dengan cara mengganggu kerja topoisomerase II selama pertumbuhan

dan reproduksi bakteri.


Gambar 8. Struktur golongan flurokuinolon

d. Penggunaan Antibiotik

Hasil studi di Indonesia, Pakistan dan India menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien

diresepkan antibiotik. Dan hampir 90% pasien mendapatkan suntikan antibiotik yang

sebenarnya tidak diperlukan. Hasil sebuah studi pendahuluan di New Delhi mengenai

persepsi masyarakat dan dokter tentang penggunaan antibiotik, 25% responden menghentikan

penggunaan antibiotik ketika pasien tersebut mulai merasa lebih baik, akan tetapi pada

kenyataanya penghentian pemberian antibiotik sebelum waktu yang seharusnya, dapat

memicu resistensi antibiotik tersebut. Pada 47% responden, mereka akan mengganti

dokternya jika dokter tersebut tidak meresepkan antibiotik, dan 18% orang menyimpan

antibiotik dan akan mereka gunakan lagi untuk dirinya sendiri atau untuk keluarganya,

sedangkan 53% orang akan mengobati dirinya sendiri dengan antibiotik ketika sakit. Dan

16% dokter meresepkan antibiotik pada pasien dengan demam yang tidak spesifik, 17%

dokter merasa pasien dengan batuk perlu antibiotik, 18% dokter merekomendasikan

antibiotik untuk diare dan 49% dokter mengobati telinga bernanah dengan antibiotik.

Penggunaan dan penggunaan antibiotik yang terlalu berlebihan tersebut dapat memicu

terjadinya resistensi antibiotik

e. Efek Samping Antibiotik

Penggunaan antibiotik yang sembarangan dan tidak tepat dosis, dapat menggagalkan

terapi pengobatan yang sedang dilakukan. Selain itu dapat menimbulkan bahaya seperti :
1. Resistensi, ialah tidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik yang merupakan suatu

mekanisme alami untuk bertahan hidup. Ini dapat terjadi apabila antibiotik diberikan atau

digunakan dengan dosis yang terlalu rendah atau masa terapi yang tidak tepat.

2. Suprainfeksi, yaitu infeksi sekunder yang timbul ketika pengobatan terhadap infeksi primer

sedang berlangsung dimana jenis dan infeksi yang timbul berbeda dengan infeksi primer

2.2 Sensitivitas Antibiotik

a. Definisi

Sensitifitas menyatakan bahwa uji sentifitas bakteri merupakan suatu metode untuk

menentukan tingkat kerentanan bakteri terhadap zat antibakteri dan untuk mengetahui

senyawa murni yang memiliki aktivitas antibakteri. Metode Uji sensitifitas bakteri adalah

metode cara bagaimana mengetahui dan mendapatkan produk alam yang berpotensi sebagai

bahan anti bakteri serta mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau

mematikan bakteri pada konsentrasi yang rendah. uji sensitifitas bakteri merupakan suatu

metode untuk menentukan tingkat kerentanan bakteri terhadap zat antibakteri dan untuk

mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas antibakteri. Seorang ilmuan dari perancis

menyatakan bahwa metode difusi agar dari prosedur Kirby-Bauer, sering digunakan untuk

mengetahui sensitivitas bakteri. Prinsip dari metode ini adalah penghambatan terhadap

pertumbuhan mikroorganisme, yaitu zona hambatan akan terlihat sebagai daerah jernih di

sekitar cakram kertas yang mengandung zat antibakteri. Diameter zona hambatan

pertumbuhan bakteri menunjukkan sensitivitas bakteri terhadap zat antibakteri. Selanjutnya

dikatakan bahwa semakin lebar diameter zona hambatan yang terbentuk bakteri tersebut

semakin sensitif

Pada umumnya metode yang dipergunakan dalam uji sensitifitas bakteri adalah

metode Difusi Agar yaitu dengan cara mengamati daya hambat pertumbuhan
mikroorganisme oleh ekstrak yang diketahui dari daerah di sekitar kertas cakram (paper disk)

yang tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme. Zona hambatan pertumbuhan inilah yang

menunjukkan sensitivitas bakteri terhadap bahan anti bakteri

b. Metode Pengujian Sensitivitas Antibiotik

Tes sensitivitas antibiotik dilakukan untuk menentukan sensitivitas bakteri yang

diisolasi terhadap agen teraputik. Resistensi terhadap antibiotik dapat terjadi secara alami

atau didapat, dimana kesalahan dalam penggunaan antibiotik yang menyebabkan populasi

terdedah terhadap organisme yang mempunyai gen untuk meningkatkan resistensi.

Sensitivitas bakteri yang disolasi terhadap antibiotik tertentu diukur berdasarkan Minimum

Inhibitory Concenration (MIC), yang merupakan konsenrasi antibiotik terendah untuk tidak

terlihatnya pertumbuhan bakteri setelah inkubasi

Tujuan dari proses uji sensisitifitas ini adalah untuk mengetahui obat-obat yang paling

cocok (paling poten) untuk kuman penyebab penyakit terutama pada kasus-kasus penyakit

yang kronis dan untuk mengetahui adanya resistensi terhadap berbagai macam antibiotik.

Penyebab kuman resisten terhadap antibiotik yakni memang kuman tersebut resisten terhadap

antibiotik yang diberikan, akibat pemberian dosis dibawah dosis pengobatan dan akibat

penghentian obat sebelum kuman tersebut betul-betul terbunuh oleh antibiotic

Keterbatasan antibiotik untuk menimbulkan efek pada hospes, mendorong untuk

dilakukan uji sensitivitas dari galur bakteri yang di isolasi dari hewan sakit untuk menentukan

jenis antibiotik yang tepat. Uji ini dikembangkan untuk menemukan kemampuan

menghambat beberapa galur bakteri dengan satu jenis antibiotic. Ada dua macam metode

untuk uji sensitivitas yaitu :

A. Dilusi

Metode dilusi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dilusi cair (broth dilution) dan

dilusi padat (solid dilution). Pada dilusi cair dan dilusi padat digunakan antimikroba
dengan kadar yang menurun secara bertahap. Kemudian media diinokulasi bakteri uji

dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Larutan uji antimikroba pada kadar

terkecil yang tampak jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai

KHM (Kadar Hambat Minimum). Larutan uji yang ditetapkan sebagai KHM

selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun

senyawa antimikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat

jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Kadar Bunuh Minimum)

Uji aktivitas antimikroba dengan metode dilusi cair umumnya dilakukan


menggunakan tabung reaksi, namun karena kurang praktis dan jarang dipakai, maka
saat ini dapat digunakan cara yang lebih sederhana, yaitu menggunakan microdilution
plate. Keuntungan metode mikrodilusi cair ini adalah dapat memberi hasil kuantitatif
yang menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat viabilitas
bakteri (Jawetz et al., 2005). Pada metode mikrodilusi cair ini dapat digunakan
pereaksi warna sebagai agen pendeteksi. Salah satunya adalah dengan MTT (3-(4,5-
dimethylthiazol-2-yl)-2,5- diphenyltetrazolium bromide). Uji dilakukan dengan
mengukur reduksi warna kuning pada MTT oleh enzim mitokondrial reduktase pada
mitokondria sel hidup, dimana terdapat aktivitas metabolik di dalamnya. Enzim
mitokondrial reduktase akan memotong cincin tetrazolium pada MTT sehingga
terbentuk kristal formazan berwarna ungu yang tidak larut dalam aqueous. Perubahan
warna dari kuning menjadi ungu mengindikasikan adanya pertumbuhan mikroba.
Sebaliknya, jika tidak tampak perubahan warna dari kuning menjadi ungu berarti
mengindikasikan tidak adanya pertumbuhan mikroba

B. Difusi

Media difusi menggunakan kertas disk yang berisi antibiotik dan telah diketahui

konsentrasinya. Pada metode difusi, media yang dipakai adalah agar Mueller Hinton.

Ada beberapa cara pada metode difusi berdasarkan pada kemampuan difusi senyawa

antimikroba pada media Agar yang telah diinokulasi dengan bakteri uji. Terdapat

beberapa macam metode difusi, yaitu:

a) Disc Diffusion (tes Kirby Bauer)


Pada metode ini agen antimikroba yang berada di dalam piringan diletakkan pada
media Agar yang telah diinokulasi dengan mikroorganisme. Antimikroba akan
berdifusi pada media Agar dan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
ditunjukkan dengan area jernih di sekitar piringan.
b) E-test
Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari
kadar terendah hingga tertinggi. Strip plastik diletakkan pada permukaan media
Agar yang telah ditanami mikroorganisme. Area jernih yang ditimbulkan
menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme.
c) Ditch-plate Technique
Pada metode ini agen antimikroba diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara
memotong media Agar pada bagian tengah secara membujur. Mikroba uji
digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba.
d) Cup-plate Technique
Pada metode ini dibuat sumuran pada media Agar yang telah ditanami dengan
mikroorganisme, selanjutnya agen antimikroba yang akan diuji dimasukkan ke
dalam sumuran tersebut.
e) Gradient-plateTechnique
Pada metode ini digunakan agen antimikroba dengan konsentrasi di media Agar
bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media Agar kemudian dicairkan dan agen
antimikroba ditambahkan. Campuran tersebut dituang ke dalam cawan petri dan
diletakkan dalam posisi miring. Cawan petri diinkubasi selama 24 jam agar agen
antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji digoreskan
pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.

Hasil Interpretasi dari metode difusi diibaca hasilnya :

a) Zona radical
Suatu daerah disekitar disk dimana sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri.

Potensi antibiotik diukur dengan mengukur diameter dari zona radical.

b) Zona iradical

Suatu daerah disekitar disk yang menunjukkan pertumbuhan bakteri dihambat oleh antibiotik

tersebut, tapi tidak dimatikan. Disini akan terlihat adanya pertumbuhan yang kurang subur

atau lebih jarang dibanding dengan daerah diluar pengaruh antibiotik tersebut.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Manchanda V, Sanchaita, Sigh SP. Multidrug Resistant Acinetobacter. J glob Infect

Dis. 2010; 2: 291 – 304

2. WHO Techinal Report Series, Survilance for prevention and control hazard due to

antibiotic resistant enterobacteria. World Health Organization. 2007

3. Andrews JM. Determination of minimum inhibitory concentrations. J antimicrobd

Chemother. 2010; 48: 5-16

4. Fusilier PA, Garcia LS, Procop GW, Thomson RS. Laboratory methods and strategies

for antimicrobial suspectibility testing. InForbes BA, Sham DF, Weissfeld AS, editors

Bailey and Scotts Diagnostic microbiology 11 ed st Louis Mosby Inc 2010. p. 187-

214.

5. Anonymous. 1982. The Oxoid Manual Of Manual Of Culture Media, Ingredients and

other Laboratory Service. 55th. Basingstoke-England.

6. Cowan ST 1975. Cowan and Steel’s. Manual for Identification of Medical Bacteria.

2th. Cambridge University Press. Cambridge.

Anda mungkin juga menyukai