Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN RESUME KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

FRAKTUR BASIS CRANII


A. Konsep Medis
1. Definisi

Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak
yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii
paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital
condylar.
Fraktur basis cranii/ Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan
langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita);
transmisi energi yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek remote dari
benturan pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi dari titik benturan atau
perubahan bentuk tengkorak).
Cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon
terhadap cidera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial.
2. Etiologi

Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai
mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral
cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala
3. Klasifikasi
a. Fraktur temporal

Fraktur temporal dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 subtipe dari
fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur longitudinal terjadi pada
regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior
dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah
satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine
capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells.
Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur
transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua
fraktur longitudinal dan transversal. Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah
diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous
fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak
disertai dengan deficit nervus cranialis.
b. Fraktur condylar occipital

Fraktur condylar occipital adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi
aksial, lateral bending, atau cidera rotational pada pada ligamentum alar. Fraktur tipe ini
dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cidera. Klasifikasi alternative
membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu dengan dan tanpa cidera
ligamen.Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari
kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cidera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari
pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan
sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami
kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal
ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
c. Fraktur clivus

Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan
kendaraan bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah di deskripsikan dalam
literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem
vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini

4. Patofisiologi
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengorak yang diklasifikasikan menjadi:
a. Fraktur sederhana : suatu fraktur linear pada tulang tengkorak.
b. Fraktur depresi apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari tulang
tengkorak.
c. Fraktur campuran bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini disebabkan
oleh laserasi pada fraktur atau suatu frakturbasis crania yang biasanya melalui sinus-sinus.

Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis crania. Biasanya
disertai robekan durameter dan terjadi pada daerah – daerah tertentu dari basis crania.
Fraktur basilar adalah fraktur linear meliputi dasar pertengahan pada tulang tengkorak.
Fraktur ini biasanya berhubungan dengan dural. Sebagian besar fraktur basilar berlangsung
pada 2 lokasi spesifik seperti regio temporal dan regio kondilar oksipital.
Fraktur temporal dapat dibagi dalam 3 subtipe yaitu longitudinal, transversal, dan campuran.
Fraktur longitudinal adalah adalah subtipe yang paling umum (70-90%) dan meliputi bagian
skuamous pada tulang temporal, inding superior pada canalis auditory eksterna dan tegmen
timpani. Fraktur dapat terjadi pada anterior atau posterior ke koklea dan kapsul labirin,
berakhir pada fossa cranial media dekat foramen spinosum atau pada sel udara mastoid.
Fraktur transversal (5-30%) berasal dari foramen magnum dan keluar mengelilingi koklea
dan labirin berakhir pada fossa cranial media. Dinamakan fraktur campuran jika memiliki
kedua komponen fraktur longitudinal dan fraktur transversal.
Fraktur condylar oksipital biasanya diakibatkan oleh trauma tumpul dengan kekuatan yang
tinggi yang menekan axial, bagian sudut lateral, atau berputar ke jaringan ikat kontinyu.
Fraktur ini dapat dibagi dalam tiga tipe dasar berdasarkan morfologi dan mekanisme trauma
atau secara alternatif dalam kestabilan dan displace fraktur tergantung dari ada tidaknya
kerusakan ligamen. Fraktur tipe I adalah trauma kompresi axial yang menghasilkan fraktur
comuniti pada oksipital condilar. Fraktur ini bersifat stabil. Fraktur tipe II disebabkan oleh
pukulan langsung dan meluas pada daerah basioccipital, hl ini berhubungan dengan trauma yang
menetap karena melindungi ligamen alar dan membran tectorial. Fraktur tipe III secara potensial
tidak stabil dan berhubungan dengan suatu luka avulsion sesuai dengan putaran dan sudut lateral.
5. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis dari fraktur basis crania yaitu :


a. Hemotimpanum.
b. Ekimosis periorbita (racoon eyes)
c. Ekimosis retroauricular ( Battle’s sign)
d. Kebocoran cairan serebrospinal dari telinga dan hidung
e. Parese nervus cranialis ( nervus I, II, III, IV, VII, dan VIII ) dapat terjadi.
f. Hematoma, hemoragi.

6. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi dari fraktur basis cranii meliputi:
a. Mengingoensefalitis
b. Abses serebri.
c. Lesi nervii cranialis permanen
d. Liquorrhea.
e. CCF (Carotis cavernous fistula).

7. Prognosa

Walaupun fraktur pada cranium memiliki potensi risiko tinggi untuk cidera nervus cranialis,
pembuluh darah dan cidera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis
fraktur linear pada anak – anak dan tidak disertai dengan hematom epidural.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Labolatorium: sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap,
pemariksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid.
b. Pemeriksaan Radiologi.

1) Foto Rontgen
2) CT scan
3) MRI ( magnetic resonance imaging)

9. Penatalaksanaan
a. Mediis
1) Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan jangan banyak
memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat disingkirkan.
2) Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi korban agar tetap
normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10
gr/dl.
3) Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan
pemeriksaan batang otak secara periodik.
4) Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada penderita dengan
ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang mencolok.
5) Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 3×1, furosemide diuretik 1
mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri, berikan anti perdarahan.
6) Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang jika penderita
kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka, rhinorea, otorea.
7) Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan gastrointestinal.
8) Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.
9) Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi.
10) Fisioterapi dan rehabilitasi.

b. Keperawatan
Terdapat bebeapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan dalam trauma kepala, yaitu:

1) Mempertahan fungsi ABC (airway, breathing, circulation)


2) Menilai status neurologis (disabilitas dan pajanan)
3) Penurunan resiko iskemi serebri, dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
meskipun pada otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih
rendah
4) Mengontrol kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang diakibatkan
edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk
menurunkan TIK dapat dilakukan dengan menurunkan PaCO2 melalui hiperventilasi yang
menurunkan asidosis intraserebral dan meningkatkan metabolisme intraserebral.

B. KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan
sehubungan dengan cidera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :
a. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan
penanggung jawab.
b. Primary Survey (Pengkajian Primer)
1) Airway dan cervical control

Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan
nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama
memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan
ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.

2) Breathing dan ventilation


Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat
bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi: fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
3) Circulation dan hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung

Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3
observasi yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability

Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, GCS, adanya
nyeri.
5) Exposure dan Environment control

Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas, pemeriksaan suhu, lokasi luka.
c. Pengkajian Sekunder

Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to toe,
dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai
stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian
penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah
kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. Pengkajian riwayat
pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa,
budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Tanda-tanda vital untuk Nilai normal Keterangan
pasien dewasa menurut
Emergency Nurses
Association:
Komponen
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui
oral, aksila, dan rectal.
Untuk mengukur suhu
inti menggunakan
kateter arteri pulmonal,
kateter urin, esophageal
probe, atau monitor
tekanan intracranial
dengan pengukur suhu.
Suhu dipengaruhi oleh
aktivitas, pengaruh
lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan
injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan
nadi perlu dievaluais
irama jantung,
frekuensi, kualitas dan
kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi,
auskultasi suara nafas,
dan inspeksi dari usaha
bernafas. Tanda dari
peningkatan usah
abernafas adalah
adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak
mampu mengucapkan 1
kalimat penuh.

Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di


monitor melalui
oksimetri nadi, dan hal
ini penting bagi pasien
dengan gangguan
respirasi, penurunan
kesadaran, penyakit
serius dan tanda vital
yang abnormal.
Pengukurna dapat
dilakukan di jari tangan
atau kaki.
Tekanan darah 120/80 mmHg Tekanan darah
mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi
jantung, volume
sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer.
Tekanan sistolik
menunjukkan cardiac
output, seberapa besar
dan seberapa kuat darah
itu dipompakan.
Tekanan diastolic
menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler
perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui di
UGD karena berhubungan dengan
keakuratan dosis atau ukuran.

Misalnya dalam pemberian antikoagulan, vasopressor, dan medikasi lain yang tergantung dengan
berat badan.

d. Pemeriksaan Fisik
1) Kulit kepala
Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cidera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang
berasal dari bagian belakang kepala penderita. Inspeksi dan palpasi adanya pigmentasi, laserasi,
massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala.
2) Wajah

Inspeksi kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat cidera di sekitar mata jangan lalai
memeriksa mata, karena pembengkakan mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit.
3) Mata
Periksa kornea ada cidera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau unisokor, bagaimana reflex
cahaya, apakah pupil miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata, konjungtivanya
anemis, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan.
4) Hidung

Perdarahan,nyeri, penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan


palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
5) Telinga

Periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan / hilangnya pendengaran, periksa dengan
senter keutuhan membrane timpani / adanya hemotimpanum.
6) Rahang

Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas


Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
7) Mulut dan faring
Inspeksi mucos, tekstur, warna, kelembaba, lesi, amati lidah, pegang dan tekan daerah pipi,
rasakan apa ada massa/ tumor pembengkakkan dan nyeri, amati adanya tonsil meradang atau
tidak (tonsillitis), palpasi adanya respon nyeri.
8) Vertebra servikalis dan leher

Periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa, kaji keluhan
disfagia (kesulitan menelan), suara serak, cidera tumpul atau tajam, deviasi trakea.
9) Toraks

Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang, adanya trauma tumpul/tajam,luka,
lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kesimetrisan
expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral,
frekuensi dan irama denyut jantung. Palpasi: adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan,
nyeri tekan, krepitasi. Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
Auskultasi: suara nafas tambahan (ronki, wheezing), bunyi jantung (desah, gallop).
10) Abdomen

Cidera intra-abdomen kadang luput terdiagnosis misalnya pada keadaan cidera kepala dengan
penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri
perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, adanya trauma tajam, tumpul adanya perdarahan
internal adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, ecchymosis, bekas
luka. Auskultasi bising usus. Perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi
abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans
muskuler, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil.
11) Pelvis (perineum/rectum/vagina)

Diperiksa adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan
uretra. Colok dubur dilakukan sebelum
memasang kateter uretra. Diteliti kemungkinan adanya darah dari rectum, prostat, fraktur pelvis,
utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina
dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina
dicatat karakter dan jumlah kehilangan darah dilaporkan lakukan tes kehamilan pada semua
wanita usia subur. Pasien dengan keluhan kemih ditanya rasa sakit atau terbakar dengan buang air
kecil. frekuensi, hematuria kencing berkurang sampel urin dianalisis.
12) Ektremitas

Pemeriksaan look-feel-move. Inspeksi, memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuka). Pelapasi, memeriksa denyut nadi distal dari fraktur punggung. Perdarahan, lecet, luka,
hematoma, ecchymosis, edema, nyeri pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
13) Neurologis

Pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik,
GCS, paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer,
Imobilisasi penderita dengan kolar servikal, imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada
fraktur servikal, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese
(ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran mengkoordinasi otot), vertigo dan respon sensori.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cidera kepala meluas sampai batang otak karena edema
otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.

Anda mungkin juga menyukai