Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PRAKTEK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

TENTANG
TRAUMA KAPITIS

OLEH :
KELOMPOK 6
HOSSY SRI RAMADANI
ILGIA MELFA DIARA

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SYEDZA SAINTIKA
PADANG 2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas segala limpahan rahmat tuhan yang maha esa dan sholwat kita
persembahkan buat junjungan kita pastinya, dan terimakasih juga ibu pembimbing kami
dalam mata kuliah praktek keperawatan gawat darurat yaitu ibu Ns. Vino Rika Nofia,M.Kep
yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini sesuai yang di perintahkan dan makalah ini selesai dengan waktu yang telah
ditentukan.

Makalah ini bertujuana memenuhi tugas mata kuliah praktek keperawatan gawat
darurat, Makalah ini tidak jauh dari kata sempurna karena kelompok masih keterbatasan ilmu
maka dari itu kami meminta kritik dan saran untuk kelompok kami, harapan kami semoga
makalah yang kelompok buat dapat bermanfaat untuk yang membacan dan untuk kita semua.

Penulis

10 0ktober 2019

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I ......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1

A. Latar belakang .................................................................................................................... 1

B. Rumusan masalah ............................................................................................................... 1

C. Tujuan ................................................................................................................................. 2

BAB II........................................................................................................................................ 3

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3

TRAUMA KAPITIS .................................................................................................................. 3

1. Anatomi .............................................................................................................................. 3

2. Morfologi cedera kepala ................................................................................................... 10

3. Tanda Lateralisasi ............................................................................................................. 11

4. Pengelolaan cedera kepala ................................................................................................ 12

5. SOP GCS .......................................................................................................................... 15

BAB III .................................................................................................................................... 17

PENUTUP................................................................................................................................ 17

KESIMPULAN ........................................................................................................................ 17

SARAN .................................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 18

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Trauma kapitis merupakan kejadian yang sering dijumpai. Lebih dari 50%
penderita trauma adalah penderita trauma kapitis. Sebanyak 10% penderita dengan
cedera kepala meninggal sebelum sampai di rumah sakit.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, oleh sebab itu setiap tenaga
medis di unit. Gawat darurat / di ambulans gawat darurat yang pertama kali
mendapatkan penderita tersebut diharapakan mmepunyai pengetahuan praktis untuk
melakukan pertolongn pertama pada penderita, sebelum ahli bedah saraf datang atau
sebelum melakukan rujukan / medevac ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
bedah saraf.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan usaha mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk mempertahankan perfusi otak dan menghindari
terjadinya cedera otak sekunder, merupakan tindakan yang sangat tepat untuk
keberhasilan pertolongan yang diberikan kepada penderita cedera kepala. Setelah
melakukan primary survey selanjutnya melakukan identifikasi adanya lesi / massa
yang memerlukan tindakan pembedahan dengn pemeriksaan penunjang lain yang ada
seperti pemeriksaan CT Scan kepala.

B. Rumusan masalah
1. Menjelaskan dasar - dasar anatomi dan fisiologi organ intrakranial.

2. Melakukan penilaian keadaan penderita dan pemeriksaan penderita dengan cedera


kepala

3. Melakukan tata cara tindakan stabilitasi dan resusitasi yang di perlukan penderita
dengan cedera kepala.

4. Menentukan tahapan pengelolaan penderita dengan tepat pada penderita dengan


cedera kepala.

1
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan dasar - dasar anatomi dan fisiologi organ intrakranial.

2. Untuk melakukan penilaian keadaan penderita dan pemeriksaan penderita dengan


cedera kepala

3. Untuk melakukan tata cara tindakan stabilitasi dan resusitasi yang di perlukan
penderita dengan cedera kepala.

4. Untuk menentukan tahapan pengelolaan penderita dengan tepat pada penderita


dengan cedera kepala.

2
BAB II
PEMBAHASAN

TRAUMA KAPITIS
Trauma kapitis merupakan kejadian yang sering dijumpai. Lebih dari 50% penderita
trauma adalah penderita trauma kapitis. Sebanyak 10% penderita dengan cedera kepala
meninggal sebelum sampai di rumah sakit.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, oleh sebab itu setiap tenaga medis di
unit. Gawat darurat / di ambulans gawat darurat yang pertama kali mendapatkan penderita
tersebut diharapakan mmepunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongn pertama
pada penderita, sebelum ahli bedah saraf datang atau sebelum melakukan rujukan / medevac
ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas bedah saraf.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan usaha mempertahankan tekanan darah
yang cukup untuk mempertahankan perfusi otak dan menghindari terjadinya cedera otak
sekunder, merupakan tindakan yang sangat tepat untuk keberhasilan pertolongan yang
diberikan kepada penderita cedera kepala. Setelah melakukan primary survey selanjutnya
melakukan identifikasi adanya lesi / massa yang memerlukan tindakan pembedahan dengn
pemeriksaan penunjang lain yang ada seperti pemeriksaan CT Scan kepala.

Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu di catat informasi penting berikut ini :
a. Umur penderita, waktu dan mekanisme cedera (MIST).
b. Status respiratorik dan kardiovakular (terutama tekanan darah)
c. Pemeriksaan mini neurologis (GCS) dan reaksi cahaya pupil mata.
d. Adanya cedera penyerta serta jenis cedera penyerta.
Rujukan tidak boleh tertunda karena adanya penunjang diagnostik seperti CT Scan atau foto
rontgen lain apalagi bila dirumah sakit ada fasilitas CT Scan atau foto rontgen lain.

1. Anatomi
mengulas kembali tentang anatomi tengkorak kepala sangat berguna dalam
mempelajari akibat - akibat cedera kepala.

3
a. Kulit kepala (Scalp)

kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :

1. Skin dan kulit kepala

2. Connective tissue atau jaringan penyambung

3. Aponeurosis atau jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak.

4. Loose oreolar tissue atau jaringan penunjang longgar

5. Perikranium

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah, sehingga bila terjadi perdarahan
akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan kehilangan darah, terutama pada bayi dan
4
anak serta orang dewasa yang cukup lama sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk mengeluarkan darah tersebut. Vaskularisasi kepala sangat baik sehingga bila luka kecil
saja akan banyak mengeluarkan darah.

b. Tulang kepala (kranium)

Terdiri dari kalvaria (atap tengkorak ), dan basis kranium (dasar tengkorak), basis
kranil berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga bila terjadi cedera kepala dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian dasar tengkorak yang bergerak akibat cedera akselerasi
dan deselerasi. Rongga dasar tengkorak terbagi menjadi 3 fosa yaitu :

1. Fosa anterior / lobus frontalis

2. Fosa media / lobus temporalis

3. Fosa posterior / ruang batang otak dan cerebelum.

Patah tulang kalvaria dapat berbentuk garis (linear) yang bisa non impressi (tidak
masuk menekan ke dalam) atau impressi (masuk ke dalam). Bila patah terbuka (ada
hubungan dengan dunia luar), maka diperlukan operasi segera.

Pada fraktur basis kranium, mungkin keluardarah dari hidung atau / dari telinga.
Dalam keadaan ini harus berhati - hati memasang naso-gastric tube (NGT-maagslang), karena
dapat masuk ke rongga tengkorak. Yang juga diwaspadai pada fraktur basis adalah

5
perdarahan yang hebat. Bila penderita tidak sadar, maka perdarahan mungkin mengganggu
jalan nafas.

c. Isi Tengkorak :

1. Lapisan pelindung otak (meningen)

 Meningen terdiri dari 3 lapisan, yakni durameter adalah selaput yang keras (menempel
ketat pada bagian dalam tengkorak), terdiri atas jaringan ikat fibrosa melekat erat
dibagian dalam kranium. Namun durameter tidak melekat pada selaput arakhnoid
dibawahnya sehingga potensial terdapat ruangan yang dapat menyimpan darah yang
disebut ruang subdural atau perdarahan subdural.

 Lapisan kedua adalah arakhnoid yang tipis dan tembus pandang.

 Lapisan ketiga adalah piameter (menempel ketat pada permukaan korteks serebril. Cairan
serebro spinsl bersirkulasi diantara selaput arakhnoid dan piameter dalam ruang
subarakhniod. Bila terjadi perdarahan subarakhnoid maka darah bebas akan berada dalam
ruang ini, perdarahan ini umumnya disebabkan oleh pecahnya anuerysma intra cranial
atau akibat cedera kepala.

Rongga tengkorak tidak besar, dan tertutup oleh tengkorak yang keras. Perdarahan
yang terjadi di dalam rongga tengkorak sebanyak 100cc mungkin sudah dapat menimbulkan
kematian. Dengan demikian sering dikatakan perdarahan pada penderita cedera kepala tidak
dapat menyebabkan syok karena terbatasnya ruang kosong yang dapat menyimpan darah
pada tulang tengkorak kepala lebih dari 100cc, apabila mendapatkan penderita trauma kapitis
yang dalam keadaan syik, maka syok tersebut biasanya bukan berasal dari perdarahan di
kepala akan tetapi berasal dari tempat lain (rongga toraks, abdomen, tulang pelvis, atau tulang
panjang).

2. Otak

Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang botak. Serebrum terdiri atas
hemister kanan dan hemister kiri yang dipisahakan oleh falk serebri, yaitu lipatan durameter
yang berada di sinus sagitalis superior. Pada hemisfer kiri terdapat pusat bicara manusia yang
bekerja dengan mengunakan tangan kanan, juga 85% pada orang yang bekerja dengan tangan
kidal/kiri. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara mutorik). Lobus parieltalis

6
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orieantasi ruang. Lobus temporalis mengatur fungsi
memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan kanan dan sebagian besar
orang kidal/kiri, lobus temporalis kiri tetap merupakan lobus dominan karena bertanggung
jawab terhadap kemampuan berbicara. Lobus oksipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi
untuk penglihatan.

Otak dapat mengalami pembengkakan (edema), baik karena trauma langsung (primer)
ataupun setelah trauma (sekunder). Pembengkakan otak ini dikenal sebagai edema serebri,
dan karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan
menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian tekanan intra-
kranial).

 Batang otak

Terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian
atas berisi sistim aktivitas retikulasi yang berfungsi mengatur fungsi kesadaran dan
kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat vital kardiorespiratorik sampai medula
spinalis dibawahnya (kauda inguina). Lesi yang kecil saja pada batang otak sudaj dapat
menyebabkan defisit neurologis yang berat, namun pada pemeriksaan CT Scan kepala lesi
dibatang otak sering tidak tampak terlihat.

Serebelum berfungsi mengatur fungsi koordinasi dan keseimbangan dan terletak


dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang otak dan kedua hemisfer
serebri.

 Cairan Cerebrospinal

Cairan serebrospinal/liquid cerebro spinal (LCS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus


dengan kemampuan produksi sebanyak 30ml/jam. Pleksus khoroideus terletak pada ventrikel
lateralis sebelah kanan maupun sebelah kiri, mengalir melalui foramen montoe ke ventrikel
ketiga. Selanjutnya pada di ventrikel kedua mengalirkan melalui akuaduktus dari syhlus
menuju ventrikel keempat. Selanjutnya keluar melalui ventrikel dan masuk kedalam ruang
subarakhnoid yang berada diseluruh permukaan otak dan medulla spinalis. Cairan
serebrospinal akan di serap kedalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam LCS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan LCS dan dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intrakranial (hidroefalus komunikan).

7
 Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (fosa


kranil anterior dan fosa kranil media) dan ruang infratentorial (fosa kranil posterior).
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak (pons dan
medulla oblongata) dan berjalan melalui celah insisura tentorial. Nervus okulomotorius (saraf
otak ketiga) berada disepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan herniasi
otak yang disebabkan adanya masa supratentorial atau edema otak.

Serabut - serabut parasimpatik berfungsi melakukan konstriksi pada pupil mata.


Berada pada permukaannervus okulomotorius. Paralisis serabut - serabut parasimpatis ini
dapat menyebabkan dilatasi pupil karena adanya penekanan akibat aktivitas serabut tersebut
tidak dihambat.

 Tekanan Intra-kranial

Berbagai proses patologis yang mengenai bagian otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan
intra-kranial yang selanjutnya akan menggangu fungsi otak dan berdampak buruk terhadap
kondisi penderita cedera kepala. Tekanan intra-kranial (TIK) tidak hanya merupakan adanya
indikasi masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya pada
cedera kepala. TIK normal pada keadaan istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O), TIK
lebih dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan lebih dari 40mmHg termasuk dalam kenaikan
TIK yang penderita dengan cedera kepala berat.

8
Klasifikasi Cedera Kepala :

Cedera kepala dapat di klasifikasi menjadi 3 hal yaitu berdasarkan mekanisme, berat
ringan nya dan morfologi.

1. Mekanisme cdera kepala


Cedera kepala di bagi menjadi cedera kepala tumpul dan cedera kepal
tembus/tajam. Cedera kepala tumpul biasa berkaitan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh dari ketinggian atau pukulan akibat benda tumpul, sedangakan cedera
kepala luka tembus disebabkan oleh luka tembak dan luka tusuk.
2. Berat ringannya cedera kepala
Secara umum untuk menetapkan berat ringannya cedera kepala digunakan
metode penilaian Glasgow Coma Scale (GCS), yaitu menilai respon buta mata pasien,
respon bicara/ verbal pasien dan respon motorik. Nilai normal GCS pada pasien
cedera kepala ringan adalah berkisar 14-15, sedangkan untuk cedera kepala sedang
nilai GCS berkisar 9-13 dan untuk cedera kepala berat nilai GCS berkisar 3- 8. Dalam
penilaian GCS jika ditemukan adanya asimetris ektremitas kanan dan kiri, maka yang
dipergunakan adalah respon motorik yang terbaik dan harus di catat.
Respon buka mata (eye opening ) :
 Membuka mata spontan :4
 Membuka mata terhadap suara/perintah :3
 Membuka mata terhadap rangsang nyeri :2
 Tidak ada respon :1

Respon bicara ( verbal ) :

 Berorientasi baik :5
 Btidak berbicara mengacau ( bingung ) :4
 Kata – kata tidak teratur ( kacau ) :3
 Suara tidak jelas ( mengerang/merintih ) :2
 Tidak ada respon :1

Respon motorik ( motorik ) :

 Mengikuti perintah :6
 Melokalisir nyeri :5

9
 Fleksi normal ( menarik anggota yang dirangsang ) : 4
 Fleksi abnormal ( dekortikasi ) :3
 Ekstensi abnormal ( deserebrasi ) :2
 Tidak ada respon/flasid :1

2. Morfologi cedera kepala


1. Fraktur kranial
Fraktur kranial dapat terjadi pada bagian atas atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang, dan dapat pula terbuka maupun tertutup. Adanya
tanda klinis fraktur dasar tengkorak merupakan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda – tanda tersebut antara lainadanya ekomosis
periorbital
( Raccon eyes ), ekomosis retroaurikuler ( Battle Sign ), kebocoran cairan
cerebrospina/liquid cerebrospinal ( LCS ) seperti Rhinorrhea dan Otorrhea, paresis
nervus facialis dan kehilangan pendengaran, yang dapat timbul segera atau beberapa
hari setelah mengalami trauma .
Fraktur kranial terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput durameter. Adanya
fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukan adanya benturan yang
cukup hebat/ keras.
2. Lesi intrakranial
Lesi intrakranial diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua
jenis lesi ini sering terjadi secara bersamaan. Yang termasuk lesi fokal adalah
perdarahan epidural, pendarahan subdural dan pendarahan intra serebral.
a. Cedera Otak Difus
Pada konkusi ringan penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesi retro/anterograd.
Cedera otk difus biasanya disebabkan oleh hipoksia, iskemia dari bagian otak
karena syok yang berkepanjangan atau periode apnue yang segera setelah
mengalami trauma. Selama ini dikenal dengan istilah Cedera Aksonal Difus (
CDA ) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk,
yang menunjukan adanya kerusakan pada akson yang terlihat pada manifestasi
klinisnya.
b. Perdarahan Epidural

10
Perdarahan epidural relatif jarang ditemukan ( 0,5% ) dari semua penderita
cedera kepala, dan yang mengalami koma hanya 9% dari semua penderita cedera
kepala.
Perdarahan epidural terjadi diluar durameter tetapi masih berada di dalam rongga
tengkorak, dengan ciri berbentuk Bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
Sering terletak diarea temporal atau tempoparietal yang biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media, akibat terjadi fraktur tulang tengkorak namun
dapat juga terjadi akibat robekan vena besar.
c. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (30%
pada cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena - vena kecil
dipermukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutup seluruh
permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
prognosisnya pun jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan epidural.
d. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio dan perdarahan intraserebral sering terjadi (20% - 30% pada cedera
otak berat ). Sebagian besar terjadi di area lobus frontal dan lobus temporal,
walaupun demikian dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri didapat dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari setelah trauma,
kemudian berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan
operasi segera.

3. Tanda Lateralisasi
Tanda lateralisasi disebabkan karena adanya suatu proses pada satu sisi otak, seperti
misalnya perdarahan intrakranial.

a. Pupil
Kedua pupil mata harus selalu diperiksa. Biasanya sama lebar (3 mm) dan
reaksi sama cepat. Apabila salah satu lebih lebar ( lebih dari 3 mm ). Maka keadaan
ini disebut sebagai anisokoria.

b. Motorik
Dilakukan perangsangan pada kedua lengan dan tungkai. Apabila salah satu
lengan atau dan tungkai kurang atau sama sekali tidak bereaksi, maka disebut sebagai
adanya tanda lateralisasi.

11
3. Tanda – tanda meningkatnya tekanan intrakranial (TIK) :

a. Pusing dan muntah


b. Tekanan darah sistolik meningkat
c. Nadi melambat (bradikardia)

Tanda – tanda meningkatnya tekanan intrakranial tidak mudah untuk dikenali, namun apabila
ditemukan maka harus sangat waspada.

4. Pengelolaan cedera kepala


1. Cedera Kepala Ringan ( GCS = 13 – 15 )
Penderita dengan cedera kepala yang di bawa ke unit gawat darurat ( UGD )
RS kurang lebih 80% dikategorikan dengan cedera kepala ringan, penderita tersebut
masih sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan cedera kepala yang
dialaminya. Dapat disertai dengan riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun
sulit untuk dibuktikan terutama pada kasus pasien dengan pengaruh alkohol dan obat
– obatan.
Sebagian besar penderita cedera kepala ringan dapat sembuh dengan sempurna,
walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat kecil.
Pemeriksaan CT scan idealnya harus dilakukan pada semua cedera kepala
ringan yang disertai dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit
kepala hebat, terdapat nyeri pada palpasi leher. Pemeriksaan foto polos dilakukan
untuk mencari fraktur linear atau depresi pada servikal, fraktur tulang wajah ataupun
adanya benda asing didaerah kepala, akan tetapi harus diingat bahwa pemeriksaan
foto polos tidak boleh menunda transfer penderita/medevac ke RS yang lebih
memadai. Apalagi bila ditemukan adanya gejala neurologis yang abnormal, harus
segera dikonsulkan kepada ahli bedah saraf.
Bila penderita cedera kepala mengalami asimtomatis, sadar, neourologis
normal, observasi diteruskan selama beberapa jam dan dilakukan pemeriksaan ulang.
Bila kondisi penderita tetap normal maka dapat dianggap penderita aman. Akan tetapi
bila penderita tidak sadar penuh atau berorientasi kurang terhadap rangsang verbal
maupun tulisan, keputusan untuk memulangkan penderita harus ditinjau ulang.
2. Cedera Kepala Sedang (GCS = 9 - 13 )
Dari semua penderita cedera kepala yang masuk ke UGD RS hanya 10% yang
mengalami cedera kepala sedang. Mereka pada umum nya masih mampu menuruti

12
perintah sederhana, namun biasanya tampak bingiung atau terlihat mengantuk dan
disertai dengan defisit neourologis fokal seperti hemparese. Sebanyak 10% - 20% dari
penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam keadaan
koma, pada saat dilakukan pemeriksaan di UGD dilakukan anamnesa singkat dan
stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilakukan. Penderita
harus dirawat diruang perawatan intensif yang setara, dilakukan observasi ketat dan
pemeriksaan neuorologis serial selama 12 - 2 jam pertama.
3. Cedera kepala berat (GCS = 3 - 8
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah
sederhana walaupun status kardiopulmoner nya telah stabil, memiliki resiko
morbiditas dan mortalitas cukup besar. Penderita dengan cedera kepala berat adalah
sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang sangatlah penting. Jangan
menunda transfer/medevac karena menunggu pemeriksaan penunjang seperti CT-
scan.
Primary Survey dan Resusitasi
Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspada adanya fraktur servikal.
Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera kepala berat
dengan hipotesis mempunyai status mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan dengan
penderita cedera kepala berat tanpa hipotensi (60% vs 27%), adanya hipotensi akan
menyebabkan kematian yang cepat. Oleh karena itu tindakan stabilisasi dan resusitasi
kardiopulmoner yang harus segera dilakukan.
Airway dan Breathing
Terhentinya pernafasan sementara dapat terjadi pada penderita cedera kepala
berat dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal
(ETT)/Laryngeal Mask Airway (LMA) harus segera dipasang pada penderita cedera
kepala berat yang koma, dilakukan ventilasi dan oksigenisasi 100% dan pemasangan
pulse oksimetri/ monitor saturasi oksigen. Tindakan hiperventilasi harus dilakukan
secara hati - hati pada penderita cedera kepala berat yang menunjukan perburukan
neurologis akut.
Gangguan airway dan breathing sangatlah berbahaya pada trauma kapitis
karena akan dapat menimbulkan hipoksia dan hiperkarbia yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan otak sekunder.
Oksigen selalu diberikan, dan bila pernapasan meragukan, lebih baik memulai
ventilasi tambahan.

13
Circulation
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada
stadium terminal yaitu bila medulla oblongata mengalami gangguan. Perdarahan
intracranial tidak dapat menyebabkan syok haemoragik pada cedera kepala berat,
penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi dan resusitasi untuk
mencapai euvolemia (Euvolemia adalah peningkatan air bebas dengan perubahan kecil
Na- tubuh).
Hipotensi merupakan tanda klinis kehilangan darah yang cukup hebat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga dicurigai kemungkinan penyebab syok
lain seperti syok neurologis (Trauma Medula Spinalis), kontusio jantung atau
tamponade jantung dan tension pneumothoraks.
Penderita hipotensi yang tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun dapat
memperlihatkan respon normal segera setelah tekanan darah normal.
Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi darah ke
otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok dengan
trauma kapitis harus dilakukan penanganan dengan agresif.
Pemeriksaan neurologis / Disability
Pemeriksaan neurologis harus segera dilakukan segera setelah status
kardiopulmoner stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan GCS dan refleks
cahaya pupil. Pada penderita koma respon motorik dapat dilakukan dengan
merangsang / mencubit otot trapezius atau menekan kuku penderita. Bila penderita
menunjukan reaksi yang bervariasi, yang digunakan oleh respon motorik terbaik
karena merupakan indikator prognostik yang paling akut dibandingkan respon yang
lebih buruk. Pemeriksaan GCS dab refleks cahaya pada pupil dilakukan sebelum
pemberian sedasi atau paralisis, karena akan menjadi dasar pada pemeriksaan berikut
nya. Selama primary survey, pemakaian obat - obatan paralisis jangka panjang tidak
dianjurkan, bila diperlukan analgesia sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan
diberikan secara intravena.

Secondary Survey
Pemeriksaan neurologis serial (GCS, Lateralisasi dan reflek pupil) harus segera
dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus
temporal adalah dilatasi pupil dan hilangnya reflek pupil terhadap cahaya, adanya
trauma langsung pada mata juga dapat menyebabkan respon pupil abnormal dan

14
membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit. Bagaimanapun, dalam hal ini pemikiran
terhadap adanya trauma otak harus di pikirkan terlebih dahulu.

5. SOP GCS
 GCS (Glasgow Coma Scale) adalah suatu skala neurologik yang diapakai untuk
menilai secara obyektif derajat kesadaran seseorang.
 Tujuannya adalah : untuk menilai kesadaran saat memberikan pertolongan darurat
medis.

NO LANGKAH /KEGIATAN SCORE


A. EYES RESPONSE
1. Spontan 4
2. Terhadap rangsangan suara (Membuka mata dengan perintah) 3
Menyuruh klien membuka mata
3. Terhadap rangsangan nyeri (Membuka mata dengan 2
rangsangan nyeri)
Membuka mata hanya dengan rangsangan nyeri
Tidak ada reaksi/respon 1
5. Klien tidak bisa membuka mata, diberi rangsangan nyeri klien tidak
bisa membuka mata, diminta membuka mata tidak bisa membuka
mata, diberi rangsangan nyeri juga tidak bisa membuka mata.
B. VERBAL RESPONSE
1. Berorientasi baik (Merespon dengan jawaban semuanya benar) 5
2. Bingung (Confused) (Merespon tapi dengan sedikit bingung) 4
Menanyakan dimana berada , nama ,hari, tanggal (dapat
memberikan jawaban tapi kebingungan / disorientasi)
3. Tidak tepat (Merespon tapi dengan jawaban yang tidak 3
menyambung)
Dapat mengucapkan kata – kata, namun tidak berupa kalimat dan
jawaban yang tepat / tidak nyambung.
4. Tidak dapat mengerti (Merespon tapi tidak dengan kalimat 2
yang jelas)

15
Mengeluarkan suara yang tidak punya arti, tidak mengucapkan kata,
hanya suara mengerang.
5. Tidak ada respon (Suara tidak ada) 1
Ketika ditanya tidak ada respon dari klien.
C. MOTORIK RESPONSE
1. Menuruti perintah (melakukan gerakan motorik dengan 6
perintah)
Menyuruh pasien mengangkat tangan.
2. Melokalisir nyeri 5
Bila diberi rangsangan nyeri, klien mengangkat tangan sampai
melewati / menepis rangsangan nyeri berarti dapat menegetahui
lokasi nyeri
3. Menghidari rangsangan nyeri 4
Memberikan rangsangan nyeri pada kuku klien bisa menhindari
nyeri yang diberikan.
4. Merespon dengan fleksi abnormal 3
Memberikan rangsangan nyeri dengan gerakan fleksi abnormal.
5. Merespon dengan ekstensi abnormal 2
Memberikan rangsangan nyeri tetapi terjadi ekstensi pada
siku/tangan.
6. Tidak ada gerakan / reaksi (tidak merespon dengan rangsangan 1
nyeri)
Diberi rangsangan pada 3 tempat (sternum, Bahu (seperti pijatan)
ujung kuku) namun tidak memberikan respon apa – apa.

16
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Trauma kapitis merupakan kejadian yang sering dijumpai. Lebih dari 50% penderita
trauma adalah penderita trauma kapitis. Sebanyak 10% penderita dengan cedera kepala
meninggal sebelum sampai di rumah sakit.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, oleh sebab itu setiap tenaga medis di
unit. Gawat darurat / di ambulans gawat darurat yang pertama kali mendapatkan penderita
tersebut diharapakan mmepunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongn pertama
pada penderita, sebelum ahli bedah saraf datang atau sebelum melakukan rujukan / medevac
ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas bedah saraf.

SARAN
Makalah yang kelompok buat jauhlah dari kata sempurna untuk itu kami berharap
kritik dan saran dari teman – teman semua, dan kami berharap atas makalah yang kelompok
buat dan bermanfaat untuk kita semua dan bagi pembaca.

17
DAFTAR PUSTAKA

18

Anda mungkin juga menyukai