Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

RELASI HUKUM DAN POLITIK

NAMA : RIYANTO SAPUTRA

STAMBUK : B201 16 037

MATKUL :

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO PALU
2019
KATA PENGANTAR
Puji stukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan
rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga saya mampu
menyelesaikan makalah yang berjudul “Relasi Politik dan Hukum” tepat pada
waktunya.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
beberapa kekurangan dan masih sangat jauh dari kata sempurna, tetapi saya
berharap agar makalah ini dapat berguna bagi saya dan pembaca makalah ini,
kritik dan saran yang membangun sangat saya butuhkan agar menjadi bahan
perbaikan saya untuk penyusunan makalah-makalah selanjutnya. Terima kasih

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara
bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini
yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan dan nilai-nilai yang
dimaksud adalah keadilan. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan
mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai
keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan,
menuntut kepatuhan dan adanya sanksi, maka hukum yang berjalan akan
menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.
Hubungan antara hukum dan politik manakah yang seyogianya lebih
dominan, kekuasaan hukum atau kekuasaan politik ? jawaban atas pertanyaan
ini, tergantung pada persepsi kita sendiri tentang apa yang kita maksudkan
dengan politik. Jika kita berpandangaan non-dogmatik, dan memandang
hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik, maka
tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut
pandangan “positif” yang memandang hukum semata-mata hanya produk
kekuasaan politik, maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan
antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik, karena pada akhirnya mereka
mengidentikkan antara hukum dan politik tersebut.
Dalam kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan keterikatan
hukum dan politik. Bahkan dalam sistem pemerintahan hal tersebut telah
menjadi dasar. Dapat dikatakan bahwa struktur hukum dapat berkembang
dalam segala konfigurasi politik. Kerapkali hukum itu tidak ditegakkan
seperti sebagaimana mestinya karena adanya intervensi politik.

Sistem politik yang demikian ternyata menyebabkan lahirnya hukum-


hukum yang memiliki karakter tersendiri. Sistem hukum tercermin dari
politik yang berkembang. Tentu saja hukum tidak bisa dipisahkan dengan
politik. Bahwa pada kenyataannya keadaan politik tertentu dapat
mempengaruhi suatu produk hukum. Pengaruh politik terhadap hukum dapat
berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan karakteristik produk-produk
serta proses pembuatannya.

Idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan


untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung
perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum
yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Disini
kita akan membahas mengenai hubungan antara hukum dan politik di
Indonesia. Sejauh mana hubungan antara hukum dan politik tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh Politik dalam Pembentukan hukum di Indonesia
2. Bagaimana hubungan Hukum dan Politik secara umum ?
3. Bagaimana Hukum sebagai produk politik?
4. Bagaimana Determinasi Politik atas Hukum?
5. Bagaimana Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengaruh politik dalam pembentukan hukum di
Indonesia
2. Untuk mengetahui hubungan Hukum dan Politik secara umum
3. Untuk mengetahui Hukum sebagai produk politik
4. Untuk mengetahui Determinasi Politik atas Hukum
5. Untuk mengetahui Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengaruh Politik dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum
adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik, yaitu bahwa hukum sedikit
banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam
negara, tergantung pada keseimbangan politik, definisi kekuasaan, evolusi
idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut diatas tidak
diidentikan dengan maksud tersebut diatas tidak diidentikan dengan maksud
pembentukan hukum, namun dalam prakteknya seringkali proses dan
dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan
struktur kekuasaan politiklah yang berlaku ditengah masyarakat yang sangat
menentukan terbentuknya suatu produk di negara hukum. Maka untuk
memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu
dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam
masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi
hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang
hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga
(institutions) dalam proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan
hukum dalam kenyataan.
Dari kenyataan ini didasari, adanya suatu ruang yang absah bagi
masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk
terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata
kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum
yakni mencakup kata “process” dan kata ”institution” dalam mewujudkan
suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu
akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undangan oleh suatu
institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang
besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Mariam
Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum baik terbentuknya maupun akibat-
akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan. Dalam proses pembentukan
peraturan hukum oleh institusi politik pernanan kekuatan politik yang duduk
dalam isntitusi politik itu adalah sangat menentukan.
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum
yang berpengaruh kuat terhdap konsep-konsep dan implementasi kehidupan
hukum di Indonesia adalah teori hukum posditivisme. Pengaruh teori ini
dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis
hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum
internasional dan tradisional.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi
ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan check
and balances, seperti yang dianut undang-undang dasar 1945 mengenai
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan
wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-
batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan
fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara.
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-institusi
politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan
mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-insitusi politik.
Kekuatan tersebut sebagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui
keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai Negara yang
menganut system demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan,
kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama,
lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain.

B. Hubungan Hukum Dan Politik Secara Umum


Hubungan antara hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang
apa yang kita maksudkan sebagai hukum dan apa yang kita maksudkan
dengan politik. Jika kita berpandangan non-dogmatik dan memandang hukum
bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik maka tentu saja
persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan
politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan
positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik
maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan
hukum dan kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan
antara hukum dan politik tersebut.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah di atur dalam
sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam
penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip Indonesia adalah
negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar
atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok negara hukum adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada negara
hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi
bahwa hukum merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan
antara hukum dan politik, dapat dikatakan bahwa hukum dipandang
sebagai dependentvariable (variabel terpengaruh), sedangkan politik
diletakan sebagai independentvariable (variabel berpengaruh). Peletakan
hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang
determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa
kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-
pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik
yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama
pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada
hakikatnya merupakan adegan konstestasi agar kepentingan aspirasi semua
kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi
undang-undang.
Demikian pula hukum harus dapat membatasi kekuasaan politik agar
tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan,
sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan
menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu dalam wujud sanksi hukum.
Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam
pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan
politik melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi,
penuntut umum dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari
kekuasaan-politik hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada
masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum dapat pula
mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum.
C. Hukum sebagai Produk Politik
Dalam studi tentang hukum banyak identitifikasi yang diberikan
sebagai suatu sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak berlaku surut,
dan umum. Dalam berbagai studi hukum dikemukakan bahwasanya hukum
mempunyai sifat umum sehingga peraturan hukum tidak ditujukan kepada
seseorang dan tidak akn kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku terhadap
suatu peristiwa konkret. Peraturan hukum juga mempunyai sifat abstrak,
yakni mengatur hal-hal yang belum terkait dengan kasus-kasus konkret.
Selain itu juga ada yang mengidentifikasikan hukum bersifat imperatif dan
fakultatif. Dengan sifat imperatif yaitu peraturan hukum bersifat apriori harus
ditaati, mengikat, dan memaksa. Sedangkan hukum bersifat fakultatif yaitu
peraturan hukum tidak secara apriori mengikat, melainkan sekedar
melengkapi, subsidair, dan dispositif.
Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau
sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik,
individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan dan nilai-
nilai generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagai tahap dan
dilakukan oleh berbagai macam agent. Dalam berpolitik kita juga dihadapkan
dengan hukum. Hukum merupakan refleksi dari budaya hukum pada suatu
tatanan masyarakat.
Hukum merupakan produk politik sehingga setiap produk hukum akan
sangat ditentukan oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang
melahirkannya. Setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik
sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang
saling berinteraksi di kalangan para politisi.
Jika melihat fenomena yang telah terjadi, hukum tidak selalu dapat
dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat, atau
penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak
mempan memotong keseweang-wenangan, tidak mampu menegakkan
keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus
diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang harusnya bisa dijawab oleh
hukum. Banyak produk hukum yang lebih diwarnai oleh kepentingan-
kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.
Ternyata hukum itu tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya.
Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan
hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum
dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Disini hukum tidak
bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau
keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang
sebagai subsistem yang dalam kenyataan das sein bukan tidak mungkin
sangat di tentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-
pasalnya, maupun dalam implementasi penegakkannya.
Politik itu selalu berbicara mengenai kepentingan. Semua pemain
politik selalu membawa kepentingan yang kadang-kadang dan bahkan selalu
bertubrukan atau saling bertentangan. Karena muara kepentingan politik
adalah kekuasaan dan pengaruh, maka konflik kepentingan politik menjadi
lebih keras dari konflik lainnya. Karena itulah politik harus diikat dengan
norma-norma hukum dan tata cara yang disepakati bersama diantara para
pemain politik.
Fenomena politik berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat, manusia,
bangsa-bangsa, provinsi-provinsi, dan kelompok lainnya. Struktur politik
adalah pengelompokan sosial yang berbeda-beda. Elite politik memainkan
sejumlah skenario yang mengarah kepada kepentingan diri, partai, atau
golongannya sendiri. Politicsforitself menjadi sesuatu yang lazim dan
mengobsesi pikiran banyak politikus. Politikus yang di parlemen, yang
tengah menjalankan fungsi legislasi, dalam menjalankan tugasnya tidak
berorientasi kepada upaya memecahkan problemakonstitusional, melainkan
didasarkan pada upaya menutup kepentingan dan kelemahan pribadi masing-
masing elite politik.
Melihat logika berpikir para politikus, maka nyata benar bahwa
aroma politicsforitself sangat kental. Praktik politik demikian tentu tidak
dapat terlalu diharapkan untuk bisa membangun pemerintahan yang memiliki
komitmen terhadap kepentingan bangsa. Akan sulit membangun sebuah
pemerintahan yang memiliki statecapacity yang jelas dalam menyelesaikan
krisis, karena elite politik yang tengah memegang kekuasaan itu sendiri
ternyata menjadi sumber dan biang krisis. Politik memiliki unsur dominan
dan mengintimidasi hukum. Para pembuat hukum adalah orang-orang politik
yang memegang kekuasaan dan berwenang untuk menentukan hukum. Maka
hukum yang ada adalah cerminan dari politik. Hukum berkembang sesuai
dengan perkembangan politik. Sudah dibenarkan bahwa hukum merupakan
produk politik. Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap
penegakan hukumnya dan karateristik produk-produk serta proses
pembuatannya. Philipe None dan Philip Selznick pernah mengatakan bahwa
tingkat perkembangan masyarakat tertentu dapat mempengaruhi pola
penegakan hukumnya.
Maka masyarakat harus menunjukan dan membuktikan bahwa dirinya
mampu menguasai keadaan. Hukum yang di lahirkan dari politik sudah
seharusnya dapat memberikan perlindungan bagi warga negara dan seluruh
lapisan masyarakat, sehingga semua orang sama kedudukan di muka hukum
itu dapat berjalan dengan baik dan sempurna. Namun karena yang berpolitik
itu adalah manusia yang memiliki nafsu akan kekuasaan maka hukum di
bentuk dan di buat atas dasar kepentingan kelompok atau golongan mereka
dalam rangka melanggengkan kekuasaan atau melindungi diri mereka. Realita
ini tidak dapat di pungkiri, bahwa siapapun yang berkuasa maka mereka akan
membentuk peraturan perundang-undangan itu atas dasar sikap egoistik pada
perlindungan kelompoknya sendiri dengan mengabaikan kepentingan rakyat
pemilik kedaulatan negara.
Produk hukum yang berlaku di indonesia didasari dengan suatu
kekuatan politik yang mengatur hukum yang direkomendasikan oleh
pemangku jabatan sehingga produk-produk hukum yang berlaku bukan
menjadi suatu proyek dasar yang berdasarkan penghayatan pengamalan
pancasila, hingga tak jarang mendengar kebijakan yang tak berpihak kepada
masyarakat dalam budaya dan etika moral kekuasaan yang diamanatkan
kepada seorang presiden dan di koordinasikan ke DPR sebagai pemangku
amanat rakyat. Peradaban yang menjunjung tinggi atas keadilan sosial bagi
masyarakat yang mengartikan bahwa masyarakat memiliki kebijakan secara
sosial dan politik akan menciptakan sistem hukum yang tetap menjunjung
norma-norma produk hukum yang berlaku tanpa mengesampingkan moralitas
peradaban tersebut.
D. Determinasi Politik atas Hukum
Berangkat dari asumsi bahwasanya hukum merupakan produk politik,
sehingga hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik.
Eksistensi hukum dan kinerja hukum sangat dipengaruhi dengan konfigurasi
politik yang sedang terjadi pada periode tertentu. Sepanjang perjalanan
sejarah negara Republik Indonesia telah terjadi tolak dan tarik atau pasang
surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan politik yang otoriter.
Penetapan demokrasi dan otoriter itu didasarkan pada konsep dan
indikator-indikator tertentu sebab kedua istilah tersebut ambigu. Indikator-
indikator yang dipergunakan adalah peranan lembaga perwakilan rakyat,
peranan eksekutif, dan tingkat kebebasan pers. Beberpa hal yang juga tampak
dari hasil studi tersebut adalah: Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan
otoriter tidak ditentukan oleh UUD. UUD yang sama pada periode ynag
berbeda (seperti UUD 1945) dapat melahirkan konfigurasi politik demokratis
(periode 1945-1949 dan 1966-1961/1971) dan konfigurasi politik yang
otoriter (periode 1959-1966 dan 1969/1971-sekarang); Dengan demikian,
demokratis atau tidaknya suatu sistem politik tidak tergantung semata-mata
pada UUD-nya tetapi lebih banyak ditentukan oleh pemain-pemain
politiknya.
Khusus untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan
kekuasaan, ternyata konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum
dengan karakter tertentu, yakni “konfigurasi politik yang demokratis
senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan
konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter
konservatif. Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau
sebaliknya berimplikasi pada perubahan karakter produk hukum. Pernyataan
tersebut bisa dilihat dari bagan berikut ini.

Variabel Bebas Variabel Terpengaruh

Konfigurasi Politik Karakter Produk Hukum

Demokratis Responsif/Populistik

Otoriter Konservatif/ Ortodoks/


Elitis

E. Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum


Persoalan hukum sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa dari
multi disiplin ilmu baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi,
antropologi, politik dan lain-lain. Politik dan hukum tidak dapat dipisahkan,
keduanya merupakan satu kesatuan. Dalam kaitannya dengan hubungan
keduanya, ada beberapa pendapat :
1. Menurut Arbi Sanit, bahwa hubungan antara hukum dengan politik
memang berjalan dalam dua arah sehingga kedua aspek kehidupan ini
saling mempengaruhi.
2. Menurut Soeharjo SS, bahwa politik dan hukum merupakan pasangan.
Politik membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan wujud pada
politik.
3. Dari kedua pendapat diatas, dapat dilihat bahwa hukum dan politik
berhubungan sangat erat dikarenakan:
a. Hukum merupakan produk politik.
b. Hukum merupakan salah satu alat politik, dimana penguasa dapat
mewujudkan kebijakannya.
c. Jika sudah menjadi hukum, maka politik harus tunduk pada hukum.
4. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat hubungan
antara subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik
memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu
berada pada posisi yang lemah. Politik sangat menentukan bekerjanya
hukum.
Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan
kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada
sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan
merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya.
Meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena
dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi
kepentingan masyarakatnya akan menjadi relevan. Tetapi kaum realis pada
sudut pandang das sein mengatakan bahwa “hukum selalu berkembang sesuai
dengan perkembangan masyarakatnya”. Ini berarti hukum, mau tidak mau
menjadi independent variabel atas keadilan di luarnya, terutama keadaan
politiknya.
Untuk kasus Indonesia, kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974
(tentang Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama).
Meskipun kedua Undang-undang itu lahir pada era Orde Baru, tetapi
hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara
Negara dan Agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana
yang berbeda. UU No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik konflik dan saling
curiga, sedangkan UU No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan
umat Islam sedang melakukan akomodasi.
Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat
tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu:
1. Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus
menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik.
2. Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya,
baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat
dipengaruhi dan menjadi dipendentvariable atas politik.
3. Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung,
seperti bunyi bahwa, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-
wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.
Sebaliknya para sarjana hukum melihat negara sebagai lembaga atau
institusi dan menganggapnya sebagai organisasi hukum yang mengatur hak-
hak dan kewajiban manusia. Fungsi negara adalah menyelenggarakan
penertiban, tetapi oleh ilmu hukum penertiban ini dipandang semata-mata
sebagai tata hukum. Manusia dilihatnya sebagai obyek dari sistem hukum,
dan dianggap sebagai pemegang hak serta kewajiban politik semata-mata.
Ilmu hukum tidak melihat manusia sebagai makhluk sosial-budaya.
Akibatnya adalah bahwa ada kecenderungan pada ilmu hukum untuk
“meremehkan” kekuatan-kekuatan social dan budaya. Namun, dari aspek-
aspek daya yang “memaksa” inilah ilmu politik memandang perlu untuk
mengungkap dalam kaitannya seperti dengan kesadaran maupun partisipasi
politik. Hal ini sesuai dengan pendapat Hans Kelsen, bahwa negara sebagai
suatu badan hukum atau Rechtsperson (juristicperson). Dalam pengertian
tersebut badan hukum merupakan sekelompok orang yang oleh hukum
diperlaskukan sebagai suatu kesatuan sebagai suatu person yang mempunyai
hak dan kewajiban. Setelah mengurai mengenai hubungan antara politik dan
hukum, maka penulis mengambil satu asumsi determinan, yaitu politik yang
determinan terhadap hukum, karena penulis berpendapat bahwa asumsi inilah
yang secara nyata menggambarkan kondisi di Indonesia saat ini.
Di indonesia jika dilihat secara realitanya maka akan cenderung bahwa
politik determinan atas hukum. Seperti yang telah diasumsikan penulis
bahwasanya politiklah yang berperan aktif dalam mengendalikan hukum.
Dimana pada keadaan politik tertentu hukum yang dihasilkan juga berjalan
sesuai keadaan politik tersebut.
Maka hukum di pandang sebagai dependent variabel (variabel
terpengaruh), sedangkan politik diletakkan sebagai independent
variabel (variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang
tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah
dipahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannnya hukum dalam
artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal imperatif) merupakan
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan
bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-
undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontesasi
agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di
dalam keputusan politik dan menjadi UU. UU yang lahir dari kontesasi
tersebut dengan mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan politik.
Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum
kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal
policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah
Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan
dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik
hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan
arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan.
Hukum menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang
mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Suatu proses dan
konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya
terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya.
Studi teoritis tentang politik dan produk hukum dilakukan secara lebih
mendalam akan terbukti bahwa “aksioma” tersebut berlaku pada produk
hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan. Hubungan
kausalitas yang yang perangkat teorinya menggunakan dikotomi tentang
sistem politik demokratis dan otoriter serta dikotomi antara hukum responsif
dan ortodoks/konservatif.
Harus dipisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik
dengan wayoflife masyarakat. Oleh karena demokrasi adalah sistem tang
memberi kebebasan dan partisipasi masyarakat, apa yang tampil di publik
sangat tergantung dari kecenderungan populasi. Demokrasi adalah cara yang
efektif untuk mengontrol operasi kekuasaan agar tidak menghasilkan
penyalahgunaan wewenang. Hal yang lazim jika pembela demokrasi adalah
lapisan masyarakat yang terdidik, sedangkan penentangnya adalah mereka
yang sedang mengendalikan pemerintahan.
Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh
penguasa negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat
terbaca dari konteks dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan
bagaimana hukum tersebut dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama yang
didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan
kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan
kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung
yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan
sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik.
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran
yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami
sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya
hukum. Perubahan karakter produk hukum juga terjadi secara tolak-tarik
dengan senantiasa mengikuti konfigurasi politik yang melatar belakanginya.
Oleh karena itu, jika masyarakat mendambakan lahirnya hukum-hukum yang
berkarakter responsif, yaitu produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan
dan memenuhi harapan masyarakat. Maka yang lebih dulu diupayakan adalah
menata kehidupan politiknya agar menjadi demokratis. Sebab bagaimanapun
juga hukum terus mengikuti arus politik. Politik sebagai subsistem
kemasyarakatan senantiasa mempengaruhi produk hukum sehingga muncul
paham baku bahwa “hukum adalah produk politik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Relasi hukum dan politik dapat dibagi menjadi tiga model hubungan.
Pertama sebagai das sollen, hukum determinan atas politik kerena setiap
agenda politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, sebagai das
sein, politik determinan atas hukum karena dalam faktanya hukum
merupakan produk politik sehingga hukum yang ada di depan kita tak lebih
dari kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing. Ketiga,
politik dan hukum berhubungan secara interdeterminan karena politik tanpa
hukum akan zalim sedangkan hukum tanpa pengawalan akan lumpuh.
B. Saran
Saran saya yaitu agar pemerintah dalam suatu negara senantiasa
menciptakan stabilitas politik, sehingga keputusan-keputusan hukum dapat
dilaksanakan secara konsisten dalam upaya menuju kepada kepastian hukum,
demi ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdus Salam. 2015. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia.
Shariah Department. STIS. Samarinda. Di akses pada tanggal 10 Oktober
2019.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari.2007. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta :
PT Grafindo Persada.
Moh. Mahfud MD. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai