Anda di halaman 1dari 31

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Pada Tesis yang Berjudul


Analisis Ekspor dan Regulasi Serta Daya Saing
Perdagangan CPO di Indonesia

FALSAFAH ILMU

Dosen Pengampuh : . Prof. Dr. Ir. Sumono., M.S


Di Susun Oleh
Siswa Panjang Hernosa : 14 8104 009

PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2015

1
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Produksi kelapa sawit Indonesia dalam bentuk CPO (Crude Palm Oil) saat

ini telah menempati urutan nomor satu di dunia dan mengalahkan negara

Malaysia. Hal ini juga dikarenakan industri perkebunan, khususnya kelapa sawit

merupakan komiditas andalan bagi perekonomian masyarakat Indonesia terutama

di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Sekitar 2,5 juta kepala keluarga (KK) di

Indonesia kehidupannya bersumber dari perkebunan kelapa sawit. Tingginya

harga CPO mentah di pasar dunia dewasa ini, rendahnya biaya produksi

dibandingkan komoditas pertanian sejenis, produk turunan yang beraneka ragam,

dan meningkatnya konsumsi telah mendorong perusahaan perkebunan kelapa

sawit untuk meningkatkan produksinya, salah satunya adalah dengan memperluas

lahan.

Ekspor perdagangan CPO, meskipun hingga tahun 2008 ekspor Crude Palm

Oil (CPO) Indonesia meningkat dengan laju 5,22% per tahun, Malaysia masih

tetap unggul dibandingkan Indonesia. Ekspor Indonesia dan Malaysia pada tahun

2004 masing-masing 4.57 juta dan 5.6 juta ton menjadi 5.61 juta dan 8.78 juta ton

pada tahun 2008. Dalam periode tersebut, Indonesia akan menguasai 33,32%,

sedangkan Malaysia menguasai 56.90% dari total ekspor dunia (Badan Penelitian

dan Pengembangan Departemen Pertanian).

Persaingan antar negara di pasar global semakin ketat karena beberapa negara

memproduksi komoditas pertanian yang sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa

2
keunggulan komparatif relatif antara negara untuk komoditas tertentu ikut

menentukan apakah Indonesia lebih unggul dalam persaingan itu. Negara yang

mampu menekan biaya produksi komoditas pertaniannya sehingga mempunyai

keunggulan komparatif lebih tinggi dibanding negara lain, akan mampu bersaing

di pasar internasional.

Indonesia memiliki ekonomi yang relatif terbuka. Menurut Fane (1996),

Feridhanu setyawan dan Pangestu (2003), liberalisasi di Indonesia dimulai sejak

tahun 1980 dan modernisasi sistem pajak sekitar tahun 1983 dan 1985. Hal ini

dilakukan karena Indonesia merupakan anggota dari AFTA (Asian Free Trade

Area), APEC (Asia Pacific Economi Cooperation) dan WTO ( World Trade

Organization) sehingga perdagangan internasional menjadi sangat penting bagi

perekonomian Indonesia.

Produk CPO nasional harus memiliki daya saing dengan produk sejenis dari

negara pesaing seperti Malaysia. Fakta di lapangan seringkali menunjukkan

bahwa tingkat efisiensi untuk menghasilkan produk termasuk CPO cenderung

rendah. Berbagai retribusi besar dan tentunya terkalkulasi sebagai beban biaya

produksi secara keseluruhan, memiliki konsekuensi terhadap harga output itu

sendiri. Akibatnya hal tersebut akan mempengaruhi keunggulan komparatif atau

daya saing produk CPO di pasar internasional. Oleh karena itu, tingkat

keunggulan komparatif atau daya saing CPO nasional perlu lebih ditingkatkan lagi

jika menghendaki tetap memiliki keunggulan di pasar global.

Perdagangan dunia telah mengalami ekspansi besar-besaran selama tiga

dekade terakhir ini. Perubahan teknologi dalam bidang transportasi dan

3
komunikasi, keuangan dunia dan sistem perdagangan yang lebih terbuka telah

mendorong peningkatan pendapatan negara-negara di berbagai kawasan.

Beberapa negara telah sukses menggunakan pasar dunia sebagai landasan mereka

untuk pembangunan ekonomi sementara negara yang lain kemajuan ekonominya

terhambat karena mengabaikan dukungan perdagangan dan pengaruh dari luar

negeri. Dalam dua dekade terakhir ini hampir seluruh negara sepakat bahwa

mereka harus mendapatkan keuntungan dari meningkatnya globalisasi sebagai

suatu cara untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi domestik secara optimal.

Regulasi komisi Eropa menerapkan kriteria yang sulit, sehingga biodiesel

berbahan baku CPO Indonesia tidak bisa memenuhi syarat mendapatkan insentif

di pasar Eropa. Tanpa insentif, biodiesel CPO akan kalah bersaing dengan

biodiesel yang dibuat dari minyak lobak dan bunga matahari, karena harganya

lebih mahal. Guna mendukung pengembangan agribisnis kelapa sawit yang

berdaya saing, peranan lembaga penelitian dan pengembangan perkebunan,

kelembagaan dan kebijakan pemerintah cukup strategis. Lembaga penelitian dan

pengembangan perkebunan hingga saat ini telah berperan nyata melalui berbagai

inovasi teknologi. Inovasi tersebut mulai dari subsistem hulu, usahatani, hingga

pengolahan produk hilir. Pada aspek kelembagaan, berbagai organisasi, aturan dan

pelaku usaha mulai berkembang. Sedangkan pada aspek kebijakan, beberapa

kebijakan perlu diperhatikan, khususnya kebijakan fiskal (perpajakan dan

retribusi), dan perijinan investasi.

4
B. Perumusan Masalah

Dari hal di atas tersebut maka permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana perkembangan perilaku ekspor CPO di Indonesia ?

2. Bagaimana perilaku regulasi perdagangan CPO di Indonesia ?

3. Bagaimana perkembangan daya saing CPO di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis perkembangan perilaku ekspor CPO di Indonesia.

2. Mendeskripsikan berbagai regulasi dalam perdagangan CPO di Indonesia.

3. Untuk menganalisis daya saing CPO di Indonesia.

D. Kegunaan penelitian

1. Bagi Peneliti, sebagai latihan dalam mengembangkan pengetahuan,

pengalaman dan ketrampilan, serta untuk melengkapi salah satu syarat guna

memperoleh derajat Strata II, Program Pascasarjana Magister Manajemen

Perkebunan, Institut Pertanian Stiper (INSTIPER), Jogyakarta.

2. Bagi pemerintah, dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk

menentukan kebijaksanaan dalam pengembangan sektor perkebunan,

sehingga tercipta perkebunan yang harmonis, adil, menguntungkan serta

aman berkelanjutan.

3. Bagi perusahaan, dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam

menentukan kebijakan yang berhubungan dengan usaha pemberdayaan

masyarakat di sekitarnya.

4. Bagi pembaca, sebagai bahan perbandingan untuk penelitian berikutnya.

5
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Robert Hardi Sibaga (2008), dalam Tesisnya yang berjudul “Analisis Daya

Saing Minyak Sawit Indonesia di China 2007” menyatakan bahwa alternatif -

alternatif strategi untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di

China, yaitu : (1) Strategi promosi, negosiasi dan peningkatan hubungan bilateral

dengan China serta peningkatan infrastruktur khususnya pelabuhan (2) Strategi

kerjasama dengan Malaysia sebagai negara pesaing utama minyak sawit Indonesia

di China, (3) Strategi pengembangan kelapa sawit yang terintegrasi dengan

industrinya (Cluster) melalui program Revitalisasi Perkebunan, dan (4) Strategi

kebijakan dalam investasi dengan memberikan jaminan keamanan berusaha dan

kemudahan berinvestasi di sektor perkebunan khususnya kelapa sawit dan juga

melakukan "deregulasi" terhadap peraturan perpajakan dan retribusi yang

"disinsentif" atau menimbulkan efek negatif dalam peningkatan daya saing

minyak sawit dan pengembangan kelapa sawit Indonesia di masa yang akan

datang.

Menjaga perimbangan antara dua kepentingan yaitu kebutuhan akan minyak

goreng di dalam negeri dan kebutuhan devisa ekspor, maka pada tahun 1984

Pemerintah melakukan pengendalian ekspor melalui Keputusan Menteri

Perdagangan No.47/KMK/001/84 dengan menetapkan pajak ekspor Crude Palm

Oil (CPO) dan produk sejenisnya sebesar 37,18 persen. Dua tahun kemudian,

karena harga di dalam negeri jauh lebih bagus dari harga ekspor, terjadi kelesuan

ekspor dengan pajak ekspor yang cukup besar tersebut. Pemerintah tanggap

6
dengan keadaan tersebut, dan mengeluarkan keputusan Menteri Perdagangan

No.549/KMK.001/86 tanggal 20 Juni 1986.

Krisis ekonomi (mulai pertengahan 1997), dimana nilai tukar rupiah melemah

terhadap dollar Amerika Serikat. Kondisi demikian justru menguntungkan bagi

pihak eksportir (swasta) untuk dapat meraup keuntungan dari devisa ekspor.

Sementara, pada saat krisis tersebut, harga-harga kebutuhan masyarakat termasuk

minyak goreng cenderung melambung dan bahkan langka. Kelangkaan ini diduga

karena tindakan spekulatif dari beberapa distributor minyak goreng untuk

menimbunnya dan juga mungkin adanya kesulitan supply bahan baku minyak

goreng CPO dari pengusaha CPO, akibat action pengusaha untuk memperoleh

dollar dari ekspor yang dinilai lebih menguntungkan.

Kondisi di atas, pemerintah tanggap, maka dalam rangka stabilitas harga

minyak goreng dalam negeri dengan menaikkan pajak ekspor CPO sebesar 60

persen. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan harga yang mulai

stabil maka pajak ekspor CPO mulai diturunkan menjadi 40 persen, lalu 30

persen, lalu 10 persen dan menjadi 5 persen. Selanjutnya sejak 9 Februari 2001,

pajak ekspor hanya menjadi 3 persen (Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor, 2006).

Hasil kajian ICBS (2000), American Soybean Association (ASA) melakukan

kebijakan unfair trade (tidak adil) dengan mengkampanyekan bahwa CPO dan

Coconut Crude Oil (CCO) mengandung lemak jenuh (Saturated Fatty Acid) dan

kolesterol tinggi yang kurang baik bagi kesehatan. Hal ini tentunya akan

membangun brand image negative terhadap produk CPO khususnya dari

7
Indonesia. Hal ini, sesunggguhnya disebabkan karena minyak kedelai yang

diproduksi negara-negara Amerika lebih mahal dari CPO sehingga tidak mampu

bersaing dengan CPO, bahkan pangsa ekspor minyak kedelai sudah mulai diambil

alih oleh CPO. Biaya produksi CPO hanya US$ 180/ton, sedangkan minyak

kedelai (Soybean Oil) US$ 315/ton dan rapeseed oil US$ 750/ton. Melihat kondisi

ini, ASA yang dimotori oleh USA mengkampanyekan isu negatif terhadap CPO

dengan harapan konsumen akan kembali mengkonsumsi minyak kedelai.

WTO (World Trade Organization) yang didirikan pada 1 januari 1995

memegang peranan penting dalam mengatur sistem perdagangan multilateral yang

melibatkan banyak negara. Sistem tersebut merupakan pengembangan dari

kesepakaan-kesepakatan perjanjian perdagangan multilateral di bawah kerangka

GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang dibentuk pada tahun 1947.

GATT telah berhasil merumuskan serangkaian aturan perjanjian perdagangan

multilateral. Pengurangan tarif merupakan fokus pembahasan yang mengemuka di

tahun-tahun awal perundingan (1947-1961), diikuti dengan pembahasan

persetujuan anti dumping (Anti Dumping Agreement) pada tahun berikutnya

(1964-1967). Upaya terbesar pertama dilakukan untuk menanggulangi hambatan

perdagangan (Non Tariffs Barrier) dan perbaikan sistem perdagangan dilakukan

pada perundingan di Tokyo (Tokyo Round) dari tahun 1973-1979. Sementara itu,

putaran perundingan Uruguay (Uruguay Round) tahun 1986-1994 membawa

perubahan yang signifikan dan memberikan hasil yang nyata bagi sistem

perdagangan dunia (tabel 2.1).

8
Tabel 2.1 The GATT Trade Rounds

Tahun Cakupan Pembahasan Jumlah Negara


1947 Tariffs 23
1949 Tariffs 13
1951 Tariffs 38
1956 Tariffs 26
1960 -1961 (Dillon Round) Tariffs 26
1964-1967 (Kennedy Tariffs and anti-dumping 62
Round) measures
1973-1979 (Tokyo Round) Tarriffs, non tarrifs measures, 102
“framework” agreement
1986-1994 (Uruguay Tarriffs, non tarrifs measures, 123
Round) rules, services, intellectual
property, dispute settlement,
texttiles, agriculture, and
creation of WTO
Sumber : http//www.wto.org.

Adang Agustian dan Prajogo (2005), Analisis Dinamika Ekspor dan

Keunggulan Komparatif Minyak Kelapa Sawit CPO di Indonesia. Kedua peneliti

ini mendapatkan beberapa kesimpulan bahwa; pertama, selama kurun waktu

1996-2001, volume ekspor Crude Palm Oil (CPO) nasional mengalami

peningkatan yang pesat sebesar 19,91 persen/tahun, sedangkan nilai ekspornya

hanya meningkat 1,52 persen/tahun. Volume ekspor CPO pada tahun 1996

berjumlah 1671,96 ribu ton senilai 825,42 juta US$ yang kemudian tahun 2001

meningkat menjadi 4903,22 ribu ton senilai 1080,91 juta US$. Dilihat dari segi

negara tujuan ekspornya, ternyata tiga negara tujuan ekspor CPO terbesar adalah

9
India, Belanda dan Cina, dengan pangsa ekspor dari total masing-masing 17,90;

14,27 dan 7,41 persen.

Kedua, distribusi CPO juga telah diatur oleh pemerintah yang dalam hal ini

oleh Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan. Kebijakan ini mengatur

distribusi CPO untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor. Untuk

menjaga perimbangan antara dua kepentingan yaitu kebutuhan akan minyak

goreng di dalam negeri dan kebutuhan devisa ekspor dilakukan pengendalian

ekspor dengan pajak ekspor (PE). PE CPO mengalami beberapa perubahan sesuai

kondisi stabilitas harga minyak goreng dalam negeri.

Ketiga, PE CPO secara langsung mempengaruhi harga CPO lokal. Besarnya

PE CPO tergantung pada harga patokan ekspor. Sementara CPO dihitung berdasar

harga CPO Rotterdam: CIF-Freight. Harga CPO lokal digunakan sebagai dasar

dalam menghitung harga TBS oleh PKS. Dengan demikian PE CPO secara

langsung dan proporsional mengurangi harga CPO lokal yang pada akhirnya

mengurangi harga TBS dari petani.

Keempat, terkait mengenai kebijakan impor yaitu melalui tarif bea masuk

(BM) terutama dalam produk CPO tampaknya masih dipertahankan sebesar 5

persen. Namun negara-negara pengimpor CPO, cenderung menerapkan tarif

impor lebih tinggi dan adanya kuota impor yang memiliki implikasi langsung

terhadap BM tersebut.

Kelima, kebijakan tidak adil (Unfair trade) masih cenderung dilakukan oleh

pihak luar negeri seperti oleh ASA dengan mengkampanyekan bahwa CPO

mengandung lemak jenuh dan kolesterol tinggi yang tidak baik bagi kesehatan.

10
Hal ini tampaknya membangun citra negatif terhadap CPO yang dihasilkan salah

satunya oleh Indonesia. Ini sesungguhnya agar minyak nabati lain dari negara

tersebut mudah masuk pasaran dan ekspornya lebih meningkat.

B. Landasan Teori

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh

penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan

bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu

dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau

pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

Daya saing didefinisikan sebagai “the sustained ability to profitability gain

and maintained market share” (Martin, Westgren and van Duren, 1991, dalam

Hadi, dkk., 1999). Jelas bahwa usaha suatu komoditas perkebunan mempunyai

daya saing jika ia mampu mempertahankan profitabilitasnya dan pangsa pasarnya.

Sementara menurut Simatupang (2002), analisis daya saing ini sangat penting

untuk mengetahui apakah suatu usaha tersebut layak dikembangkan secara

ekonomis. Daya saing suatu usaha dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu

usaha untuk tetap layak secara privat (finansial) pada kondisi teknologi usahatani,

lingkungan ekonomi dan kebijakan pemerintah yang ada.

Penelitian ini digunakan beberapa teori yang mendukung sebagai pedoman

masalah juga sumber inspirasi peneliti dalam memecahkan masalah-masalah

penelitian.

11
a) Paradigma dari Teori Porter`s Four Diamond

Negara dapat memberikan suatu lingkungan yang akan menstimulasi

perusahaannya menjadi perusahaan yang kompetitif secara internasional yang

akan meng-up-grade produk dan keahliannya secara terus menerus sehingga

mereka memperoleh pendapatan yang tinggi dan pengembalian investasi

(return on investment) yang tinggi pula. Artinya negara asal tersebut harus

memiliki pasar yang dinamis, menantang, dan terdiskriminasi, supaya

perusahaan tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan yang memaksa

mereka meng-up-grade produknya atau akan kehilangan pasar. Negara tersebut

harus terfokus pada produk yang mengandung seluruh usur bagi keberhasilan

suatu industri dan dinamis untuk melestarikan keberhasilan tersebut. Hal ini

kedengarannya tidak mudah, tetapi dapat dibayangkan bahwa faktor-faktor ini

dibutuhkan untuk memenuhi permintaan konsumen yang selalu berubah.

Porter mengklasifikasikan lingkungan keberhasilan tersebut menjadi empat,

yaitu kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait (related industries)

dan industri pendukung (supporting industries), serta strategi, struktur dan

pesaing perusahaan. Setiap faktor ini memiliki aspek yang relevan dengan

industri tertentu di negara yang tertentu pula. Ada kalanya salah satu faktor

tersebut lebih penting daripada faktor yang lain, akan tetapi perusahaan yang

berhasil biasanya memiliki aspek yang berhubungan dengan keseluruhan faktor

tersebut. Setiap faktor akan dibahas secara tersendiri.

12
1. Kondisi faktor

Dasar dari teori umum tentang keunggulan komparatif dan keuntungan

perdagangan adalah perbedaan faktor-faktor di antara negara-negara. Negara

yang hasil buminya melimpah akan mengekspor produk yang bersifat land-

intensive, sementara negara yang pekerjanya melimpah akan mengekspor

produk yang bersifat labor-intensive. Paradigma daya saing mengakui bahwa

faktor yang berlimpah dan alamiah sangatlah penting, akan tetapi paradigma

tersebut memandang faktor ini dalam berbagai gradasi dan keadaan yang lebih

baik bahwa faktor-faktor tersebut bukanlah benar-benar alamiah tetapi dibuat.

Pengembangan keahlian tenaga kerja yang lebih tinggi dalam hal tertentu

merupakan elemen kunci dari daya saing.

Porter mengklasifikasikan faktor-faktor sebagai faktor basis (basic factor)

atau faktor unggul (advanced factor). Setiap negara memiliki faktor basis di

mana hanya dengan sedikit investasi dapat mengubah faktor tersebut. Faktor-

faktor ini sering kali diwariskan. Faktor-faktor basis di antaranya adalah

kelimpahan sumber daya alam, iklim, lokasi dan sejumlah tenaga kerja yang

tidak terlatih dan semi terlatih. Memang tidak ada yang bisa dilakukan oleh

negara untuk mengubah lokasinya (meskipun investasi dibuat untuk mengatasi

beberapa ketidakunggulan secara lokasi tersebut) atau iklimnya. Lingkup

tenaga kerja yang tidak terlatih dan semi terlatih dapat diubah dan di-up-grade.

Akan tetapi, di banyak negara, kelimpahan faktor ini ditentukan oleh tingkat

kelahiran dan kematian. Faktor basis ini kurang penting pada keunggulan

kompetitif karena tidak begitu penting bagi industri yang spesifik.

13
Faktor unggul lebih langka dan biasanya memerlukan investasi yang besar

dan berkelanjutan untuk pembangunan. Ini merupakan faktor unggul yang

menentukan perbedaan daya saing yang besar di antara negara-negara. Faktor-

faktor unggul mencakup antara lain infrastruktur transportasi, sistem

komunikasi, jumlah lulusan sekolah menengah, jumlah ilmuwan, jumlah

teknisi dan ilmuwan komputer, dan pekerja lain yang memiliki keahlian tinggi.

Perlu diperhatikan bahwa umumnya faktor-faktor ini berasal dari investasi

dalam faktor basis (sering kali faktor yang unggul sebelumnya menjadi faktor

basis pada saat ini). Dalam kenyataannya, faktor unggul dapat digunakan untuk

mengatasi gangguan dari faktor basis.

Faktor-faktor basis dan fakor-faktor unggul (tertentu) yang ada di suatu

negara sangat krusial atau penting bagi keberhasilan perekonomian secara

umum. Faktor-faktor tersebut menentukan tingkat keberhasilan pengembangan

industri yang akan menghasilkan nilai tambah dan kesejahteraan yang besar

sehingga perusahaan dapat membayar upah yang tinggi kepada para

pekerjanya. Namun faktor basis dan unggul ini umumnya tidak berkaitan

dengan industri secara individual. Faktor-faktor tersebut ada karena investasi

pemerintah atau perorangan yang selanjutnya dapat digunakan oleh industri

untuk memproduksi barang dan jasa. Dalam beberapa hal, ada faktor-faktor

generik atau lazim yang kemudian dapat dibentuk menjadi faktor-faktor yang

spesifik yang digunakan dalam perusahaan dan industri yang kompetitif. Cara

lain dalam mengelompokkan faktor-faktor adalah membedakan antara faktor-

faktor yang tergeneralisasi dan yang terspesialisasi. Faktor yang tergeneralisasi

dapat digunakan pada berbagai macam industri, namun menjadi faktor penting

14
bagi keberhasilan. Sistem komunikasi yang telah berkembang dan infrastruktur

lainnya, besarnya persentase lulusan sekolah menengah, dan sistem finansial

yang berfungsi dengan baik sangat penting untuk membuat suatu industri

menjadi lebih produktif. Namun faktor ini sangat mudah untuk diakses bagi

semua industri tanpa kecuali.

Faktor yang dibentuk untuk industri tertentu disebut faktor yang

terspesialisasi. Faktor-faktor ini meliputi tenaga kerja trampil yang terbatas,

infrastruktur yang spesifik, atau kemampuan spesifik lain yang berhubungan

dengan industri secara individual. Pengembangan dari faktor spesifik ini lebih

berisiko daripada faktor lain karena berhubungan dengan industri yang spesifik

dan industri dapat mengalami kegagalan meskipun investasinya besar dalam

faktor tersebut. Umumnya investasi yang spesifik ini dilakukan oleh

pemerintah perusahaan yang bergerak dalam bidang pendidikan tertentu,

industri, perusahaan itu sendiri, atau beberapa kombinasinya. Eksistensi dari

faktor ini sangat esensial bagi pengembangan industri yang kompetitif.

Eksistensi mereka juga membuat sumber daya sulit untuk bergerak dari industri

satu ke industri lain. Oleh karenanya diperlukan sikap loyal terhadap industri

yang telah ada dan adakalanya terdapat permintaan yang besar akan proteksi

seiring dengan perubahan kondisi pasar.

Daya saing berdasarkan faktor basis dan tergeneralisasi dapat berakhir

dengan cepat karena faktor-faktor ini merupakan hasil alamiah dari proses

pembangunan. Sering dengan berkembangnya suatu negara maka kuantitas dan

kualitas kelompok faktor basis dan tergeneralisasi akan meningkat sehingga

negara dapat berkompetisi secara efektif dalam dunia industri yang telah maju.

15
Hal ini menimbulkan beberapa masalah bagi negara tersebut karena industrinya

secara terus-menerus terfokus pada kompetisi dengan negara yang telah

berkembang. Jika tersedia cukup waktu, suatu negara selalu dapat menemukan

cara untuk mengatasi ketidakunggulannya dalam faktor basis dan

tergeneralisasi melalui inovasi yang mampu menghemat tenaga kerja,

mengurangi dampak iklim, mengontrol tata guna ruang, dan menggunakan

lebih sedikit sumber daya alam yang ada. Karena manfaat dari faktor-faktor

yang tingkatannya lebih rendah (lower-order factor) ini hanya berlangsung

dalam waktu yang singkat maka penting bagi industri untuk memiliki faktor

unggul dan faktor terspesialisasi untuk memberinya kekuatan.

Fakultas pertanian dari suatu universitas yang berada di negara Amerika

mendapat hibah tanah dapat dipandang sebagai salah satu tempat di mana

faktor terspesialisasi dikembangkan. Para lulusan yang sarjana, master dan

doktor dapat memperlengkapi perusahaan dengan individu yang berkeahlian

tinggi sehingga dapat membantu pertanian Amerika untuk relatif kompetitif

dibanding industri pertanian di negara lain. Aktivitas penelitian dan

penyuluhan dari Departemen Pertanian Amerika Serikat dan sistem hibah tanah

juga dapat digunakan sebagai perbaikan faktor-faktor yang meningkatkan daya

saing pertanian. Investasi di fakultas pertanian berasal dari setiap individu

mahasiswa, pemerintah negara bagian dan federal serta perusahaan swasta. Hal

ini mungkin bisa dilakukan pula di Indonesia

2. Kondisi Permintaan

Perusahaan yang kompetitif harus memiliki beragam cara untuk mengetahui

keinginan dan kebutuhan masyarakat saat ini, akan tetapi juga penting untuk

16
memiliki keahlian dalam memprediksi keinginan konsumen di masa yang akan

datang. Pembeli yang berpengalaman menjadi pemimpin dunia yang

menginginkan banyak produk yang sangat terdiferensiasi dan memberikan

keuntungan yang dinamis bagi industri di pasar domestik. Mereka memberikan

gambaran yang lebih jelas akan kebutuhan pembeli dan menarik industri untuk

terus mendesain dan menghasilkan produk yang inovatif sesuai permintaan

konsumen. Perusahaan yang mampu mengantisipasi kebutuhan konsumen di

masa yang akan datang (apakah itu produk turunan dari CPO yang dijadikan

bahan kosmetik terbaik) di pastikan akan memperoleh kesuksesan. Sering kali

permintaan konsumen ini berupa barang yang sangat spesifik dan hanya

menjangkau sedikit sedikit pasar, akan tetapi produk yang tersegmentasi

tersebut dipastikan akan menjadi kebutuhan konsumen di seluruh dunia dalam

beberapa tahun ke depan.

Penting bagi perusahaan atau industri untuk mengantisipasi kebutuhan

konsumen di masa yang akan datang adalah mendapatkan konsumen yang

selalu dinamis dan selalu memberikan feedback atas produk-produk yang ada.

Jika suatu perusahaan menjual di pasar yang menghendaki perbaikan terus-

menerus dalam kualitas atau fitur-fitur produk yang baru, maka perusahaan

yang menjual di pasar tersebut akan dituntut untuk memenuhi permintaan

konsumen dengan mengubah fitur produk secara terus-menerus. Bila

perusahaan tersebut menjual di pasar internasional di mana konsumen tidak

melakukan diskriminasi sehingga perusahaan tidak terbiasa untuk melakukan

perbaikan produk terus-menerus maka produk baru ini akan cepat terjual.

17
Banyak contoh di mana suatu negara memiliki industri terkemuka karena

pola permintaan konsumen. Bangsa Eropa lebih unggul selama bertahun-tahun

karena tradisi turun-temurun tentang kualiats makanan (anggur, saus, keju, roti

dan lain-lain). Namun pada tahun-tahun terakhir ini, Amerikanisasi pola

konsumsi makanan (makanan yang lezat dengan penyajian yang cepat,

konsumsi makanan cepat saji, dan lain-lain) ke seluruh dunia telah

meningkatkan daya saing industri makanan Amerika Serikat di luar negeri.

Popularitas makanan cepat saji ala Amerika telah mendunia dan pengaruh

perusahaan makanan Amerika Serikat telah mengalami peningkatan melalui

tren ini.

Porter berpendapat bahwa masa hidup produk elektronik di Jepang hanya

sekitar enam bulan (dibandingkan dua belas bulan di negara lain), karena

konsumen Jepang sangat berminat akan perlatan elektronik terbaru. Oleh

karena itu perusahaan manufaktur di Jepang harus terus meng-up-grade

peralatan elektroniknya agar dapat berkompetisi dengan perusahaan Jepang

lainnya. Para pemilik perusahaan manufaktur di Jepang dapat menarik produk

yang sudah ketinggalan jaman di Jepang dan menjualnya di pasar ekspor untuk

jangka waktu yang lebih lama sehinga menjadikan mereka sebagai pesaing

yang sangat kuat di pasar elektronik dunia. Dalam kenyataannya, siklus produk

yang pendek di Jepang memaksa perusahaan untuk mengekspor agar mendapat

pembiayaan penelitian dan pengembangan produk baru yang dibutuhkan pasar

domestik.

Dinamika konsumen yang melakukan diskriminasi di pasar domestik

memungkinkan perusahaan untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi di

18
seluruh dunia di masa yang akan datang. Tidak diragukan lagi bahwa

konsumen seperti itu akan memberikan keunggulan bagi perusahaan domestik

di atas pesaing internasionl, dengan asumsi bahwa mereka memperhatikan

konsumen.

3. Industri Terkait dan Pendukung

Permintaan akan produk yang lebih kompleks yang dihasilkan melalui

sejumlah tahapan produksi dan pemasaran semakin meningkat. Sering kali

suatu perusahaan menemukan bahwa hal terbaik adalah jika sebagian tahapan

produksi atau pemasaran tersebut dilakukan oleh perusahaan lain. Perusahaan

biasanya kurang terintegrasi secara penuh mulai dari bahan baku sampai

distribusi eceran terakhir . Dalam situasi dunia seperti ini, perusahaan harus

bergantung terhadap industri lain guna mendukung aktivitasnya dengan

memasok input berkualitas tinggi dan menjaga atau mempertahankan kualitas

output. Jika perusahaan tersebut berhubungan dengan industri hulu

(downstream) dan hilir (upstream) yang bersifat subpar (terpisah). Maka hal

itu akan membuat perusahaan menjadi kurang kompetitif. Apapun bentuk

hubungan antar- perusahaan dalam mata rantai pemasaran, diperlukan

koordinasi yang tinggi agar terjadi proses inovasi dan perbaikan yang terus-

menerus untuk mempertahankan keunggulan industri.

Situasi yang paling baik bagi perusahaan adalah menciptakan kerja sama

dengan pemasok input dunia yang terbaik (mengirimkan produk terbaik dengan

cepat pada harga yang lebih rendah). Pemasok harus mau bekerja sama dengan

perusahaan untuk mengembangkan proses dan produk yang akan memperbaiki

kualitas produk sehingga membedakan output perusahaan tersebut dari produk

19
lainnya. Komunikasi harus mengalir di antara perusahaan dan pemasoknya

untuk memperbaiki proses inovasi produksi. Dengan cara yang sama

perusahaan harus dapat bekerja sama dengan perusahaan hilir dunia yang

terbaik sehingga outpunya akan bergantung pada perubahan kondisi pasar

dunia. Hubungan yang dekat antara perusahaan dengan pasar hilir akan

membantu perusahaan melakukan perbaikan pentig dalam kualitas produk dan

meningkatkan daya saingnya di seluruh rantai penawaran. Arus informasi

mulai dari konsumen sangat penting bagi kesuksesan suatu perusahaan. Sekali

lagi, jika perusahaan bekerja sama dengan perusahaan hilir yang sukses, maka

hal itu akan menjadi lebih baik bagi keduanya. Sulit untuk membayangkan

suatu perusahaan dapat menjadi kompetitif jika ia berhubungan dengan

perusahaan hulu dan hilir yang tidak kompetitif.

4. Strategi Perusahaan, Struktur, dan Pesaingnya

Paradigma daya saing ini berhubungan dengan bagaimana suatu perusahaan

didirikan, diorganisasikan dan dikelola, serta bagaimana persaingan

antarperusahaan di negara asal mempengaruhi daya saing. Tujuan, strategi,

organisai, manajemen dan karakteristik di tingkat perusahaan lainnya sangat

beragam antarnegara dan variasi ini dapat memberikan pemahaman industri

mana yang kompetitif dalam suatu negara. Beberapa industri akan sesuai

dengan budaya dan tendensi suatu negara, sementara yang lain tidak.

Paradigma daya saing seperti yang diperkenalkan oleh Porter yang paling

kontroversial berkaitan dengan penentu keempat elemen dari daya saing,

terutama yang berkaitan dengan persaingan. Sebagian besar persaingan yang

berlangsung di antara perusahaan tidak hanya menuju kompetisi harga yang

20
sederhana. Paradigma daya saing berpendapat bahwa persaingan yang ketat di

pasar domestik memaksa perusahaan untuk terus menurunkan biaya (dan

harga) dan memperbaiki kualitas produk agar sukses di pasar domestik.

Tekanan untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus membuat

perusahaan domestik menjadi unggul ketika memasuki pasar internasional.

Pandangan daya saing yang berbeda menurut Porter, yaitu bahwa

persaingan di pasar domestik di beberapa negara telah berkurang dalam

beberapa dekade terakhir, terutama di Amerika Serikat, sebagai hasil dari

penggabungan dan akuisisi. Konsolidasi ini mengarah pada perusahaan yang

lebih besar yang memiliki tekanan yang lebih sedikit dari pesaingnya.

Beberapa ahli juga berpendapat bahwa terdapat beberapa industri yang

konsolidasinya dapat mengurangi kompetisi sehingga perusahaan dapat

menetapkan harga yang lebih tinggi dan mendapatkan keuntungan lebih besar.

Perbedaan ini dijadikan sebagai referensi di masa yang akan datang tentang

kebijakan daya saing dan persaingan, kecuali ada yang mengatakan bahwa

sangat sulit untuk menentukan apakah merger dan akuisisi dapat menurunkan

biaya yang besar (dan oleh karenanya membuat perusahaan menjadi lebih

kompetitif), mengurangi jumlah perusahaan pesaing, atau memberikan subsidi

silang dalam pelaksanaan aktivitas di antara beberapa konglomerat.

Salah satu aspek budaya yang penting dan berpengaruh pada perusahaan

adalah sikap terhadap pengambilan risiko dan kegagalan. Bangsa Amerika

dikenal di seluruh dunia karena sikapnya yang positif dalam pengambilan

resiko. Mungkin hal ini berasal dari sifat dasar imigran dan gerakan menuju ke

barat oleh para pendahulunya. Mencoba dan gagal sangat wajar di Amerika

21
Serikat, akan tetapi hal ini belum tentu dapat diterima di negara lain (contoh,

Jerman dan Jepang). Banyak sekali pengusaha Amerika yang kaya dan

menemukan keberuntungan setelah beberapa kali mengalami kegagalan,

namun hal itu tidak terjadi di masyarakat lain. Hukum kepailitan di masyarakat

Amerika memperbolehkan adanya kegagalan dalam bisnis dan pelaku bisnis

tersebut dapat memulai lagi dari awal (bila mereka menemukan seseorang yang

dapat memenuhi kebutuhan akan modal investasi).

Sikap dan perangkat hukum ini memudahkan perusahaan Amerika untuk

masuk dan memimpin dunia dalam industri yang penuh dengan resiko. Sangat

umum bagi orang yang bekerja di suatu perusahaan yang sukses unttuk

berhenti dan memulai usahanya sendiri (seperti pertanian penduduk Amerika)

untuk mendapatkan penerimaan yang lebih rendah karena mereka ingin

mandiri, Keinginan akan kebebasan dan kekuasaan membuat Amerika menjadi

pemimpin di banyak bidang yang padat teknologi di mana produk dan ide-ide

baru sangat penting.

Hubungan antara manajemen dan tenaga kerja juga beragam di setiap

perusahaan di negara yang berbeda dan menjadikannya suatu keunggulan bagi

beberapa industri terhadap industri lain. Amerika Serikat terkenal dengan

ketidakcocokan hubungan antara tenaga kerja dengan manajemen, sementara

hubungan orang Jepang lebih mengarah pada saling berbagai visi. Kedua

bangsa yang ekstrem ini telah melewati lebih dari pertengahan zaman seperti

perubahan masyarakatnya. Namun budaya Jepang masih terus mencanangkan

tentang arti kebersamaan, sementara budaya Amerika terus menekankan pada

manfaat dari “kerjakan tugasmu sendiri” (doing your own thing).

22
b) Teori keunggulan komparatif

Banyak alasan mengapa negara-negara terlibat dalam perdagangan

internasional. David Ricardo (1951), mengembangkan teori keunggulan

komparatif (Comparative Advantage) Menurutnya, perdagangan internasional

terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antar negara. Ia berpendapat

bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu

memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah

daripada negara lainnya.

Keunggulan komparatif dapat dicontohkan, apabila suatu wilayah geografis

dapat menyediakan dan memproduksi suatu produk dengan cara yang lebih

efisien dan murah atau dapat memberi peluang yang lebih baik untuk suatu

bisnis daripada peluang untuk bisnis yang lain maka wilayah tersebut

mempunyai comparative advantage. Brasil mempunyai peluang yang baik

dalam produksi kopi , tetapi tidak untuk Norwegia. Indonesia mempunyai

peluang yang lebih baik dalam bisnis padat karya (labor intensive) seperti

produksi sepatu dan tekstil (milsanya; karena ongkos buruh yang murah).

Perdagangan akan saling menguntungkan jika kedua negara bersedia bertukar

kelebihan masing-masing.

Teori keunggulan komparatif, suatu bangsa dapat meningkatkan standar

kehidupan dan pendapatannya jika negara tersebut melakukan spesialisasi

produksi barang atau jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi.

c) Teori keunggulan kompetitif negara

Michael Porter 1998, dalam bukunya The Competitive Advantage of

Nations mengembangkan sebuah model yang membantu kita menjawab

23
pertanyaan mengapa sejumlah negara lebih kompetitif dari pada negara-negara

lain dan mengapa sejumlah perusahaan yang berlokasi di negara-negara

tertentu lebih kompetitif daripada perusahaan-perusahaan di negara lain. Model

ini menyatakan bahwa lokasi pusat kegiatan (National Home Base)

perusahaan-perusahaan sangat berpengaruh terhadap daya kompetisi

perusahaan-perusahaan tersebut di persaingan internasional. Home base ini

menyediakan faktor-faktor dasar yang dapat mendorong atau pun sebaliknya

menghambat daya kompetisi perusahaan-perusahaan. Porter membedakan

empat faktor dasar dimaksud, yakni (i) faktor kondisi-kondisi, (ii) faktor

permintaan domestik, (iii) faktor industri-industri pendukung, dan (iv) faktor

strategi, struktur, dan persaingan perusahaan. Keempat faktor ini saling terkait.

Karena keterkaitan empat faktor tersebut terlihat secara visual seperti bentuk

Diamond, teori ini lebih dikenal dengan Teori Diamond (Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Faktor-faktor dasar teori Diamond

Strategi, struktur, dan


persaingan
perusahaan

Kondisi permintaan
Faktor kondisi-
domestik
kondisi

Industri pemasok dan


pendukung

Sumber : Porter, 1998

Faktor-faktor kondisi adalah “kekuatan” sebuah negara yang terkait

dengan faktor-faktor produksi. Faktor-faktor ini selanjutnya dibagi ke dalam

24
faktor sumber daya manusia, faktor sumber daya alam, faktor ilmu

pengetahuan (Knowledge), faktor kapital, dan faktor infrastruktur. Tidak semua

faktor-faktor tersebut berupa modal alam (Natural Resources). Hal-hal seperti

kualitas riset di universitas-universitas, fleksibilitas di pasar tenaga kerja, dan

kedalaman pasar modal juga termasuk dalam faktor tersebut. Faktor-faktor ini

umumnya merupakan kondisi awal dan dasar yang dimiliki oleh suatu negara.

Negara tersebut dapat mengembangkan industri-industri tertentu dengan

memanfaatkan kondisi dasar ini dengan optimal. Porter menekankan bahwa

faktor kondisi-kondisi ini tidak semuanya merupakan anugerah alam atau

warisan, namun sesuatu yang bisa berubah, dibangun, dan dikembangkan.

Faktor permintaan domestik adalah hal-hal yang terkait dengan permintaan

terhadap barang dan jasa yang dihasilkan di suatu negara. Mereka berpengaruh

terhadap kecepatan dan arah dari inovasi dan pengembangan produk. Menurut

Porter, permintaan domestik sendiri dipengaruhi oleh tiga hal, yakni (i)

komposisi dari keinginan dan kebutuhan konsumen, (ii) jangkauan (Scope),

tingkat pertumbuhan pasar, dan (iii) mekanisme yang menyalurkan keinginan

dan kebutuhan konsumen domestik ke pasar internasional. Umumnya pasar

domestik lebih berpengaruh dan berperan dalam pengembangan kemampuan

perusahaan untuk mengenal kebutuhan konsumen daripada pasar luar negeri.

Faktor-faktor industri pendukung adalah keberadaan ataupun sebaliknya

ketiadaan industri-industri pemasok dan pendukung yang kompetitif dalam

persaingan internasional. Industri pemasok yang kompetitif secara

internasional akan memperkuat inovasi dan internasionalisasi industri utama

pada fase perkembangan berikutnya. Sementara itu, industri pendukung adalah

25
industri yang dapat memanfaatkan kegiatan bisnis tertentu secara bersama-

sama dengan industri utama. Mereka juga bisa menjalin hubungan bisnis yang

bersifat saling melengkapi dengan industri utama, seperti misalnya hubungan

bisnis antara perusahaan piranti lunak dan perusahaan piranti keras.

Faktor Strategi, struktur dan persaingan perusahaan merujuk pada kondisi

yang berpengaruh terhadap hal-hal yang terkait dengan bagaimana perusahaan-

perusahaan di suatu negara didirikan, diorganisasi, dan dijalankan, serta dengan

karakteristik persaingan antar perusahaan di pasar domestik. Aspek-aspek

perijinan iklim usaha turut berpengaruh disini. Sruktur manajemen, budaya

perusahaan, dan hubungan perusahaan berbeda-beda antar negara. Ini dapat

memberikan keuntungan atau pun kerugian tersendiri bagi industri-industri

tertentu.

Teori Diamond dari Porter dapat digunakan dalam berbagai tataran. Dalam

tataran nasional, pemerintah dapat merumuskan strategi untuk memperkuat

keunggulan kompetitif negara, yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan-

perusahaan nasional negara tersebut dalam kancah persaingan internasional.

Menurut Porter, pemerintah misalnya bisa memperkuat keunggulan kompetitif

dengan melakukan standardisasi kualitas produk nasional, menyusun baku

mutu lingkungan dan keamanan, serta mendorong kerja sama vertikal antara

pemasok dan pembeli di pasar domestik.

d) Teori keunggulan mutlak (absolut)

Teori keunggulan mutlak dikemukakan oleh Adam Smith (1776) dalam

bukunya The Wealth of Nation. Adam Smith menganjurkan perdagangan bebas

sebagai kebijakan yang mampu mendorong kemakmuran suatu negara. Dalam

26
perdagangan bebas, setiap negara dapat menspesialisasikan diri dalam produksi

komoditas yang memiliki keunggulan mutlak/absolut dan mengimpor komoditi

yang memperoleh kerugian mutlak. Dengan spesialisasi, masing-masing negara

dapat meningkatkan pertambahan produksi dunia yang dapat dimanfaatkan

secara bersama-sama melalui perdagangan internasional. Jadi melalui

perdagangan internasional yang berdasarkan keunggulan mutlak, masing-

masing negara yang terlibat dalam perdagangan akan memperoleh keuntungan

yang serentak melalui spesialisasi, bukan dari pengorbanan negara lain.

e) Teori merkantilisme

Merkantilisme (abad 16-18), adalah suatu teori ekonomi yang menyatakan

bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau

modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan, dan bahwa besarnya

volum perdagangan global teramat sangat penting.

Suatu falsafah ekonomi berdasarkan keyakinan bahwa kemakmuran suatu

negara bergantung pada harta yang terakumulasi (emas)

Untuk meningkatkan kemakmuran negara hendaknya meningkatkan ekspor

dan mengurangi impor

Campur tangan pemerintah dlm pembatasan import dgn tarif dan quota

diperlukan.

f) Hukum permintaan dan penawaran

Pandangan ekonomi hukum permintaan menyatakan bahwa “Apabila

harga sesuatu barang turun, jumlah yang diminta akan bertambah. Sebaliknya

apabila harga barang itu meningkat, jumlah yang diminta akan berkurang.”

27
Hukum penawaran adalah “Apabila harga sesuatu barang itu meningkat,

sanggup menawarkan lebih banyak barang. Apabila harga barang turun maka

jumlah penawaran juga turun.

g) Teori bauran pemasaran (marketing mix)

Pengertian marketing mix menurut Philip Kotler dalam bukunya yang

berjudul Principles of Marketing, adalah : “Marketing mix is the a set of

marketing tools used by companies to continuously achieve their marketing

goals in the target market”. Seperangkat alat pemasaran yang digunakan

perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar

sasaran.

Variabel-variabel bauran pemasaran dapat dikelompokkan menajdi empat

kelompok utama yang dikenal dengan 4 p’s yaitu :

a. Product (Produk)

b. Price (Harga)

c. Promotion (Promosi)

d. Place (Tempat)

Definisi harga menurut Philip Kotler adalah : “price is the amount of

money charged for a product or service. More broadly, price is the sum of all

the value that consumers exchange for the benefits of having or using the

product or service”. Harga adalah sejumlah uang yang dibebankan untuk

sebuah produk atau jasa. Secara lebih luas, harga adalah keseluruhan nilai yang

ditukarkan konsumen untuk mendapatkan keuntungan dari kepemilikan

terhadap sebuah produk atau jasa.

28
KERANGKA BERPIKIR

Faktor yang mempengaruhi ekspor adalah produksi, konsumsi, perkembangan


harga dan nilai tukar rupiah. Produksi CPO yang melimpah akan mewujudkan
ekspor CPO kemudian pertambahan populasi penduduk dapat meningkatkan
konsumsi dari CPO. Harga berpengaruh pada ekspor, jika harga naik para
pengusaha CPO akan memperbesar volume ekspornya. Nilai tukar rupiah
merupakan indikator yang menentukan prilaku eksportir.
Regulasi perdagangan dibagi yaitu regulasi perdagangan pajak ekspor CPO
dan hambatan non tarif ; kuota, syarat lisensi dan restriksi. Regulasi dari
perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization (WTO)
pada level global. Pajak ekspor dapat dikumpulkan secara langsung dari para
eksportir CPO atau tidak langsung melalui lembaga pemasaran milik pemerintah
dengan harga yang lebih rendah dari pada harga dunia. Pajak ekpor lebih lazim
dilakukan beberapa negara maju karena pajak ekspor merupakan cara mudah bagi
pemerintah untuk memperoleh uang dari sedikit industri yang sehat di bidang
ekonomi, yaitu pertanian.
Hambatan non tarif adalah kebijakan dari perdagangan yang tidak termasuk
pajak. Misalnya kuota, syarat lisensi dan restriksi. Roundtable On Sustainable
Palm Oil (RSPO) adalah proses pengelolaan kebun dan pabrik kelapa sawit untuk
mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan guna produksi barang dan jasa
secara terus menerus dengan tidak mengurangi nilai inheren dan produktivitas
masa depannya, serta tanpa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan terhadap
lingkungan biologi, fisik, dan sosial. Maka CPO yang dapat bersaing di pangsa
pasar internasional adalah yang sudah melewati sertifikasi. Agreement On Tariff
And Trade (GATT) adalah salah satu organisasi perdagangan yang berfokus pada
perjanjian tarif atau pajak ekspor. Salah satu perubahan mendasar yang terjadi di
pasar internasional Putaran Uruguay (Uruguay Round) adalah regulasi liberalisasi
perdagangan untuk sektor pertanian, dimana beberapa produk perkebunan
termasuk di dalamnya. Sebagai contoh, dampak liberalisasi terhadap minyak
nabati, dimana CPO termasuk didalamnya, diperkirakan akan lebih besar
dibandingkan karet yang relatif tidak banyak mengalami intervensi pemerintah.
Hal ini membuktikan bahwa GATT akan mempengaruhi perkembangan ekspor
CPO Indonesia.
Indonesia memiliki potensi lahan perkebunan sawit mencapai 18 juta hektare.
Saat ini total ijin perkebunan sawit yang telah dikeluarkan pemerintah, mencapai
7,9 juta hektare, namun baru 8,7 hektare yang dipergunakan. Ada 1,8 juta hektare
lahan yang belum dimanfaatkan ijinnya (www.antaranews.com). Dengan kondisi
ini, maka potensi ekspor CPO masih cukup tinggi dan industri CPO nasional
memiliki prospek yang berdaya saing demi mewujudkan perdagangan CPO yang
berkelanjutan. Industri CPO sangat penting bagi Indonesia karena memiliki
peranan dalam mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Pemerintah ingin
mengarahkan pembangunan industri CPO dari hulu sampai hilir.

29
Perdagangan CPO
Berkelanjutan

Daya Saing CPO


Indonesia

Regulasi Perdagangan Hambatan Non tarif

- Pajak Ekspor CPO Regulasi - Kuota


- Syaratl Lisensi dan Restriksi

Faktor yang Mempengaruhi Ekspor

- Produksi dan konsumsi CPO Indonesia


- Perkembangan harga
- Nilai Tukar Rupiah

Analisis ekspor dan regulasi serta daya saing perdagangan CPO di Indonesia.

30
KERANGKA KONSEP

Penganalisaan ekspor CPO harus mengetahui produksi dan konsumsi CPO


Indonesia, perkembangan harga dan nilai tukar rupiah. Regulasi pada perdagangan
CPO mempunyai peranan dalam menjaga mutu CPO itu sendiri. Dengan
memperhatikan ekspor dan regulasi maka peneliti disini dapat memahami
permasalahan dari judul penelitiannya. Paradigma daya saing mengakui bahwa
faktor yang berlimpah dan alamiah sangatlah penting, akan tetapi paradigma
tersebut memandang faktor ini dalam berbagai gradasi dan keadaan yang lebih
baik bahwa faktor-faktor tersebut bukanlah benar-benar alamiah tetapi dibuat.
Pengembangan keahlian tenaga kerja yang lebih tinggi dalam hal tertentu
merupakan elemen kunci dari daya saing. Dengan tujuan penelitan ini adalah; (a)
untuk menganalisis perkembangan perilaku ekspor CPO di Indonesia; (b)
mendeskripsikan berbagai regulasi dalam perdagangan CPO di Indonesia; (c)
Untuk menganalisis daya saing CPO di Indonesia, Demi menciptakan
perdagangan CPO yang berkelanjutan.

31

Anda mungkin juga menyukai