Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

TUBERKULOSIS PARU

DI RUANG 26P

RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

PERIODE TANGGAL 21 - 27 Oktober 2019

Oleh :

NAMA : RINA YULIA AYU ANDARI

NIM. : 172303101020

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

KAMPUS LUMAJANG

2019
A. KONSEP PENYAKIT

1. PENGERTIAN
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis yang merupakan kuman aerob tahan asam, menginfeksi melalui udara dengan
cara inhalasi partikel kecil (diameter 1-5 mm) menyerang parenkim paru-paru, droplet tersebu
keluar saat bicara, batuk, tertawa, bersin, atau menyanyi. (Somantri, 2009; Rab, 2010; Black
and Hawks, 2014)

2. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri atau kuman
ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar
kuman berupa lemak atau lipid, sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih tahan
terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah
dengan banyak oksigen, dan daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi yaitu apikal atau
apeks paru. Daerah ini menjadi predileksi pada penyakit tuberkulosis. (Marni, 2014)
Smeltzer (2013) menjelaskan factor resiko yang dapat menyebabkan seseorang
terpapar tubrekulosis antara lain, yaitu:
a. Kontak dekat dengan seseorang yang menderita TB aktif.
b. Status gangguan imun (missal., lansia, kanker, terapi kortikosteroid, dan HIV)
c. Penggunaan obat injeksi dan alkoholisme
d. Masyarakat yang kurang mendapat layanan kesehatan yang memadai (misal, gelandangan
atau penduduk miskin, kalangan minoritas, anak-anak, dan dewasa muda)
e. Kondisi medis yang sudah ada, termasuk diabetes, gagal ginjal kronis, silicosis, dan
malnutrisi.
f. Imigran dari negara dengan insidensi TB paru yang tinggi (misal, Haiti, Asia Tenggara)
g. Institusionalisasi (missal, fasilitas perawatan jangka panjang, penjara).
h. Tinggal di lingkungan padat penduduk dan dibawah standar
i. Pekerjaan (missal, tenaga kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas beresiko tinggi).

3. PATOFISIOLOGI
Seseorang yang dicurigai menghirup basil mycrobacterium tuberculosis akan menjadi
terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan nafas ke alveoli, dimana pada daeah tersebut
bakteri bertumpuk dan berkembangbiak. Penyebaran basil ini bisa juga melalui sistem limfe
dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteks serebri) dan area lain dari paru-
paru (lobus atas).
Sistem kekebalan tubuh berespons dengan melakukan rekasi inflamasi. Neutrofil dan
makarofag memfagositosis (menelan) bakteri. Limfosit yang sepesifik terhadap tuberkulosis
menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
terakumulasinya eksudat dalam alveoli dan terjadila bronkopneumonia. Infeksi awal baisanya
timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar.
Masa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basilyang hidup dan
yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding granuloma berubah
bentuk menjadi masa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari masa tersebut disebut Ghon
Tubrcle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik, membentuk
perkijuan ( necrotizing caseosa). Setelah itu kan terbentuk klasifikasi, membentuk jaringan
kolagen. Bakteri menjadi non aktif.
Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal, karena respons sistem
imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat juga timbul akibat infeksi ulang atau aktifnya
kembali bakteri yang tidak aktif. Pada kasus ini, terjadi ulserasi pada Ghon Tubrcle, dan
akhirnya menjadi perkijuan. Tuberkel yang ulserasi mengalami proses penyembuhan bentuk
jaringan parut. (Marni, 2014)

PATHWAY TB PARU
4. MANFESTSI KLINIK
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yag mempunyai banyak
kemiripan dengan penyakit lain yang juga memeberikan gejala umum seperti lemah dan
demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabakan bahkan
kadang-kadang asimtornatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi dua golongan, gejala respiratorik dan gejala
sistemik:
a. Gejala respiratorik meliputi:
1. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini. Gejala ini ditemukan. Batuk terjadi karena adanya
iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan utnuk membuang produk-produk radang keluar.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setalah timbul peradangan
menjadi produktif (menghasilkan sputum) ini terjadi lebih dari 3 minggu. Keadaan yang lanjut
adalah batuk darah (hemoptoe) karena terdapat pembulu darah yang pecah.

2. Batuk berdarah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau
bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk
darah terjadi karena pecahnya pembulu darah. Berat ringanya batuk darah tergantung dari
besar kecilnya pembulu darah yang pecah.
Gejala klinis haemoptoe:
Kita harus mematikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Batuk darah
a) Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b) Darah berbuih bercampur udara
c) Darah segar berwarna merah muda
d) Darah bersifat alkalis
e) Anemia kadang-kadang terjadi
f) Benzidine test negatif
2. Muntah darah
a) Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b) Darah bercampur sisa makanan
c) Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d) Darah bersifat asam
e) Anemia sering terjadi
f) Benzidine test positif
3. Epistaksis
a) Darah menetes dari hidung
b) Batuk pelan kadang keluar
c) Darah berwarna merah segar
d) Darah bersifat alakalis
e) Anemia jarang terjadi
3. Sesak nafas
Akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah bagian
dari paru-paru.
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang
menyertai seperti efusi pleura, pneumotorak, anemia, dan lain-lain.
4. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila
sistem persarafan di pleura terkena.
b. Gejala sistemik, meliputi :
1. Demam
Biasanya sub febris menyerupai demam influenza. Tapi kadang-kadang panas bahkan
dapat mencapai 40-411̊ C. Keadaanya ini sangat dipegaruhi oleh daya tahan tubuh penderita
dan berat ringanya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
Demam merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari
mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang
masa bebas serangan makin pendek.
2. Gejala sistemik lain
Ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise (gejala malaise
sering ditemukan berupa: tidak ada nafsu makan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan lain-
lain.)
Menurut (Tempo, 2013) timbulnya gejala TB paru biasanya gradual dalam beberapa
minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun
jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksan laboratorium
a. Darah
Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan deferensiasi pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju
endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh jumlah leukosit kembali normal
dn jumlah limfosit masih tetap tinggi. Laju endap darah menurun ke arah normal lagi.
Pemerisaan ini kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif
palsunya masih besar.
b. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukanya kuman BTA,
diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memeberikan efaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Kriteria sputum BTA
posistif adalah bila ditemukan sekurang-kurangnya 3 batang kuman BTA pada satu sediaan.
Dengan kata lain diperlukan kuman dala 1 ml sputum.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif jika sedikitnya 2 dari 3 spesimen BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang. Apabila fasilitas
memungkinkan, maka dilakukan pemeriksaan lain misalnya biakan. Bila ke 3 spesimen
hasilnya negatif diberikan anti biotik spektrum luas (misalnya kontrimoksasol atau
amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perbaikan gejala klinis tetap mencurigakan
TBC, ulangi pemeriksaan SPS.
1) Hasil pemeriksaan SPS positif didiagnosis TBC, BTA positif.
2) Hasil SPS negatif, lakukan pemeriksaan rongen toraks:
a) Hasil mendukung TBC, menderita TBC BTA (-) rongen (+).
b) Hasil tidak mendukung TBC bukan penderita TBC.
c. Test tuberkulin
Pemeriksan ini masih banyak dipakai untuk membantu penegakan diagnostik
tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya diakai cara mantoux yakni dengan
menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purifidied protein Derfatif) intracutan berkekuatan 5
T.U. ( intermediet strength).
Hasil tes mantoux ini dibagi dalam satu
1) Indurasi 0-5 mm (diameternya): mantoux negatif = golongan no sensitifity. Disini peran
antibody humoral paling menonjol.
2) Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan golongan low grade sensitivity. Di sini peranan
antibody humoral masih menonjol.
3) Indurasi 10-15 mm : mantoux positif = golongan normal sensitivity. Disini peranan kedua
antibody seimbang.
4) Indurasi lebih dari 16 mm : mantoux positif kuat = golongan hyper-sensitivity. Disini
peranan antibody seluler paling menonjol

d. Foto thorax
Foto thorax PA dengan atau tanpa literal merupakan pemeriksaan radiologi standat.
Jenis pemeriksaan radiologi lain hanya atas indkasi top foto, oblik, tomogram dan lain-lain.

Menurut (Abdul Wahid, 2013) adapun karakteristik radiologi yang menunjang diagnostik TB
paru antara lain:
1) Bayangan lesi radiologi yang terletak di lapangan atas paru
2) Bayangan yang berawan (patcy) atau berbercak (noduler).
3) Kelainaan yang bilateral, terutama bila terdapat di lapangan atas paru
4) Bayang yang menetap atau relatif menetap setelah beberapa minggu
5) Bayangan bilier.

6. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain untuk menyembuhkan atau mengobati
penderita juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta
memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan TB paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu:
a. Tahap intensif ( 2-3 bulan)
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung
untuk mencegah terjadinya kekeabalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB paru BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat.
b. Tahap lanjutan (4-7 bulan)
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman peresisten (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat
utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH,
Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin,
Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Kalavulanat, derivat Rifampisin/INH.

Jenis, sifat dan dosis OAT

WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)
merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :

Kategori 1 :

a. 2HRZE/4H3R3

b. 2HRZE/4HR

c. 2HRZE/6HE

Kategori 2 :

a. 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
b. 2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori 3 :

a. 2HRZ/4H3R3
b. 2HRZ/4HR
c. 2HRZ/6HE
(Kepmenkes, 2009)
7. PROGNOSIS
Sebelum ditemukan anti tuberkulosis, penderita tuberkulosis paru mempunyai masa
depan yang suram, seperti halnya penderita kanker paru pada saat ini. Tetapi sejak ditemukan
obat anti tuberkulosis, apalagi ditemukan rifampisin dan lain-lain, maka masa depan penderita
tuberkulosis paru sangat cerah. Kecuali penderita yang telah mengalami relaps (kekambuhan),
atau terjadi penyulit pada organ paru dan orang lain di dalam rongga dada, maka penderita-
penderita demikian banyak yang jatuh ke korpulmonal. Bila terbentuk kaverne yang cukup
besar, kemungkinan batuk darah berat dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan
kematian, walaupun secara tidak langsung. Untuk diabetes melitus yang sulit dilakukan
regulasi, dapat menyebabkan penyembuhan penderita tuberkulosis menjadi lama, walaupun
telah memakai regimen yang adekuat. (Hood Alsagaff, 2005)

8. KOMPLIKASI
Menurut (Depkes RI, 2013) komplikasi dapat ditemukan pada penderita stadium lanjut,
seperti :
a. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
c. Bronkiektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada
proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena
kerusakan jaringan paru.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
f. Insufisiensi kardiopulmoner (Cardio Pulmunary Insufficiency)
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata
Penyakit tuberkulosis dapat menyerang semua umur, mulai dari anak – anak hingga
dewasa, dengan komposisi antara laki – laki dan perempuan hampir sama. Biasanya timbul di
lingkungan rumah dengan kepadatan tinggi yang tidak memungkinkan cahaya matahari
masuk ke dalam rumah.
TB paru pada anak umumnya terjadi pada umur antara 1- 4 tahun. Anak lebih sering
mengalami TB luar paru – paru (extrapulmonary) dibanding TB paru – paru dengan
perbandingan 3:1. TB luar pau – paru merupakan TB yang berat, terutama pada usia < 3
tahun. Angka kejadian (prevalensi) TB paru pada usia 5-12 tahun cukup rendah, kemudian
meningkat setelah masa remaja, di mana TB paru – paru menyerupai kasus pada orang
dewasa. Dari segi ekonomi,TB paru sering diderita oleh klien golongan ekonomi menengah
ke bawah. (Somantri, 2012)
2. Riwayat Kesehatan
Keluhan yang sering muncul antara lain, yaitu :
a. Demam : sub febris (40-410C) hilang timbul
b. Batuk : terjadi karena adanya iritasi pada bronkus, sebagai reaksi tubuh untuk
membuang atau mengeluarkan produksi radang, mulai dari batuk kering – batuk
purulen (menghasilkan sputum) timbul dalam jangka waktu lama (> 3 minggu)
c. Sesak napas : timbul pada tahap lanjut ketika infiltrasi radang – setengah paru
d. Nyeri dada : jarang ditemukan, nyeri timbul jika infiltrasi radang – ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis
e. Malaise : ditemukan berupa anoreksi, napsu makan dan berat badan menurun, sakit
kepala, nyeri otot, serta berkeringat pada malam tanpa sebab
f. Pada atelektasis terdapat gejala berupa : syanosis, sesak napas, kolaps. Bagian dada
klien tidak bergerak pada saat bernapas dan jantung terdorong ke sisi yang sakit. Pada
foto thoraks tanpak bayangan hitam pada sisi yang sakit dan diafragma menonjol ke
atas.
g. Perlu ditanyakan dengan siapa klien tinggal karena biasanya penyakit ini muncul bukan
karena sebagai penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit infeksi menular.
(Somantri, 2012)

3. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum dan tanda-tanda vital


Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas pandang
dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum
tentang kesadaran klien. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru
biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas
meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan
peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai
dengan adanya penyakit penyulit seperti hipertensi.
b. B1 (Breathing)
1) Inspeksi:
Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya
tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada
antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB
paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrisan
rongga dada, pelebaran intercostal space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan
TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami
perubahan.
Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya didapatkan
batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi sekresi sputum yang
purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya
bronkhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum
yang sangat banyak.
2) Palpasi:
Palpasi trakhea. Adanya pergeseran trakhea menunjukkan penyakit dari lobus atas
paru. Pada TB paru yang disertai adanya efusi pleura masif dan pneumothoraks akan
mendorong posisi trakhea ke arah berlawanan dari sisi sakit.
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskursi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada
saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal dan seimbang
antara bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya
ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vocal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan
tangannya di dada saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran
dalam laring arah distal sepanjang pohon bronkhial untuk membuat dinding dada
dalam gerakan resonan, terutama pada bunyi konsonan. Adanya penurunan taktil
fremitus pada klien dengan TB paru biasanya ditemukan pada klien yang disertai
komplikasi efusi pleura masif, sehingga hantaran suara menurun karena transmisi
getaran suara harus melewati cairan yang berakumulasi di rongga pleura.
3) Perkusi:
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan
bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien TB paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi
yang sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai
pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonan.
4) Auskultasi:
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang
sakit
c. B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
Inspeksi: Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.
Palpasi: Denyut nadi perifer melemah.
Perkusi: Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura masif
mendorong ke sisi sehat.
Auskultasi: Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran output volume urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena
itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda
awal dari syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga
pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi
karena meminum OAT terutama Rifampisin.
e. B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan.
f. B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul
antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, dan jadwal olahraga
menjadi tak teratur. (Muttaqin, 2008)

B. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk


mengeluarkan sekret pada jalan napas.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru, hipertensi pulmonal,
penurunan perifer yang mengakibatkan asidosis laktat dan penurunan curah jantung.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun.
4. Hipertermia behubungan dengan dehidrasi
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
6. Resiko penyebaran infeksi pada diri sendiri berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan untuk mencegah paparan dari kuman pathogen.
7. Resiko penyebaran infeksipada orang lain berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan untuk mencegah paparan dari kuman pathogen.

C. Intervensi Keperawatan
1. Masalah Keperawatan 1 (Ketidakefektifan bersihan jalan napas)
a. Definisi
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran napas guna
mempertahankan jalan napas yang bersih. (Wilkinson, 2016)

b. Batasan karakteristik
1) Subjektif
Dispnea
2) Objektif
Suara napas tambahan (mis., rale, crackle, ronki, dan mengi)
Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
Sianosis
Kesulitan untuk berbicara
Penurunan suara napas
Sputum berlebih
Batuk tidak efektif atau tidak ada
Ortopnea
Gelisah
Mata terbelalak. (Wilkinson, 2016)

c. Faktor yang berhubungan


Lingkungan: merokok, menghirup asap rokok, dan perokok pasif
Obstruksi jalan napas: spasme jalan napas, retensi sekret, mukus berlebih, adanya jalan
napas buatan, terdapat benda asing di jalan napas, sekret di bronki, dan eksudat di
alveoli
Fisiologis: disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding bronkial, PPOK (Penyakit
Paru Obstruktif Kronik), infeksi, asma, jalan napas alergik (trauma). (Wilkinson,
2016)

d. Rencana tindakan
NOC NIC
1) Tujuan Tuliskan tindakan keperawatan yang dapat
Setelah dilakukan tindakan
digunakan untuk mengatasi masalah keperawatan
keperawatan jalan napas menjadi
yang meliputi:
efektif
1. Pendidikan kesehatan
2) Kriteria hasil
a. Jelaskan penggunaan yang benar peralatan
- Klien mengatakan bahwa
pendukung (mis., oksigen, mesin
batuk berkurang atau hilang,
penghisap, spirometer, inhaler)
sekret berkurang
b. Informasikan kepada pasien dan keluarga
- Suara napas normal (vesikular)
- Frekuensi napas 16-20x/menit tentang larangan merokok, beri
- Tidak ada dispnea
penyuluhan tentang pentingnya berhenti
merokok
c. Intruksikan kepada pasien tentang batuk
dan teknik napas dalam untuk
memudahkan pengeluaran sekret
2. Tindakan mandiri
a. Kaji fungsi pernapasan seperti suara
napas, kecepatan, irama, dan kedalaman
pernapasan, serta penggunaan otot
aksesoris pernapasan.
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan
mukus dan melakukan batuk secara
efektif; dokumentasikan karakter dan
jumlah sputum dan keberadaan
hemoptisis.
c. Letakkan klien dalam posisi semi fowler
atau fowler tinggi. Bantu klien untuk
melakukan batuk efektif.
d. Bersihkan sekresi dari mulut dan trakea;
lakukan pengisapan sesuai kebutuhan.

e. Berikan minum kurang lebih 2500


ml/hari, anjurkan untuk diberikan dalam
kondisi hangat jika tidak ada
kontraindikasi

3. Tindakan kolaborasi
a. Lembabkan oksigen yang
diinspirasi/dihirup.
b. Beri medikasi, sesuai indikasi, mis:
- Agens mukolitik seperti asetilsistein
- Bronkodilator seperti oktrifilin dan
teofilin
- Kortikosteroid (prednison)

4. Observasi perkembangan
a. Pantau fungsi pernapasan seperti suara
napas, kecepatan, irama, dan kedalaman
pernapasan, serta penggunaan otot
aksesoris pernapasan.
b. Pantau kemampuan untuk mengeluarkan
mukus dan melakukan batuk secara
efektif; dokumentasikan karakter dan
jumlah sputum dan keberadaan
hemoptisis.

2. Masalah Keperawatan 1 (Gangguan pertukaran gas)


a. Definisi
Kelebihan atau kekurangan oksigen dan/ atau eliminasi karbondioksida di membran
kapiler alveolar. (Wilkinson, 2016)

b. Batasan karakteristik
1) Subjektif
Dispnea
Sakit kepala pada saat bangun tidur
Gangguan penglihatan
2) Objektif
Gas darah arteri abnormal
pH arteri abnormal
Frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan abnormal
Warna kulit abnormal (mis., pucat dan kehitaman)
Konfusi
Sianosis (hanya pada neonatus)
Karbondioksida menurun
Diaforesis
Hiperkapnia
Hiperkarbia
Hipoksemia
Hipoksia
Iribilitas
Napas cuping hidung
Gelisah
Somnolen
Takikardi (Wilkinson, 2016)

c. Faktor yang berhubungan


Perubahan membran kapiler-alveolar
Ketidakseimbangan perfusi-ventilasi (Wilkinson, 2016)

d. Rencana tindakan
NOC NIC
1) Tujuan Tuliskan tindakan keperawatan yang dapat
Setelah dilakukan tindakan
digunakan untuk mengatasi masalah keperawatan
keperawatan gangguan petukaran
yang meliputi:
gas tidak terjadi
1. Pendidikan kesehatan
2) Kriteria hasil
a. Jelaskan penggunaan alat bantu yang
- Mempunyai fungsi paru
diperlukan (oksigen, pengisap,spirometer)
dalam batas normal
b. Ajarkan pada pasien teknik bernapas dan
- Memiliki ekspansi paru yang
relaksasi
simetris
c. Jelaskan kepada pasien dan keluarga
- Tidak mengalami napas
alasan pemberian oksigen dan tindakan
dangkal atau ortopnea
- Tidak menggunakan otot lainnya
d. Informasikan kepada pasien dan keluarga
aksesorisuntuk bernapas
bahwa rokok itu dilarang
2. Tindakan mandiri
a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas,
peningkatan upaya pernapasan, ekspansi
thoraks, dan kelemahan
b. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran,
catat sianosis, dan perubahan warna kulit,
termasuk membran mukosa dan kuku
c. Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir
selama ekspirasi khususnya untuk klien
dengan fibrosis dan kerusakan parenkim
paru
d. Tingkatkan tirah baring, batasi aktifitas,
dan bantu kebutuhan perawatan diri
sehari-hari sesuai keadaan klien
3. Tindakan kolaborasi
a. Pemeriksaan GDA
b. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan
tambahan
c. Kortikosteroid
4. Observasi perkembangan
a. Pantau hasil pemeriksaan gas darah arteri
(GDA)
b. Pantau saturasi O2
c. Observasi terhadap sianosis, terutama
membran mukosa mulut
d. Pantau status pernapasan dan oksigenasi
sesuai kebutuhan

3. Masalah Keperawatan 3 (Ketidakseimbangan nutrisis kurang dari kebutuhan tubuh)


a. Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
b. Batasan karakteristik
1) Subjektif
Kram abdomen
Nyeri abdomen
Menolak makan
Indigesti
Persepsi ketidakmampuan untuk mencerna makanan
Melaporkan perubahan sensansi rasa
[Melaporkan] kurangnya makanan
Merasa cepat kenyang setelah mengonsumsi makanan
(Wilkinson, 2016)
2) Objektif
Pembuluh kapiler rapuh
Diare atau steatore
[adanya bukti] kekurangan makanan
Kehilangan rambut yang berlebihan
Bising usus hiperaktif
Kurang informasi, informasi yang salah
Kurangnya minat terhadap makanan
Salah paham
Membran mukosa pucat
Tonus otot buruk
Menolak untuk makan
Rongga mulut terluka
Kelemahan otot yang berfungsi untuk menelan atau mengunyah
(Wilkinson, 2016)
c. Faktor yang berhubungan
Ketergantungan zat kimia
Penyakit kronis
Kesulitan mengunyah atau menelan
Faktor ekonomi
Intoleransi makanan
Kebutuhan metabolik tinggi
Reflek mengisap pada bayi tidak adekuat
Kurang pengetahuan dasar tentang nutrisi
Akses terhadap makanan terbatas
Hilang nafsu makan
Mual dan muntah
Pengabaian oleh orang tua
Gangguan psikologis
d. Rencana tindakan
Intervensi Rasionalisasi

1. Catat status nutrisi paasien: turgor 1.Rasional: Berguna dalam


kulit, timbang berat badan, mendefinisikan derajat masalah dan
integritas mukosa mulut, intervensi yang tepat.
kemampuan menelan, adanya
bising usus, riwayat mual/rnuntah 2.Rasional: Membantu intervensi
atau diare. kebutuhan yang spesifik,
2. Kaji ulang pola diet pasien yang
meningkatkan intake diet pasien.
disukai/tidak disukai. 3.Rasional: Mengukur keefektifan
nutrisi dan cairan.
3. Monitor intake dan output secara
4.Dapat menentukan jenis diet dan
periodik.
mengidentifikasi pemecahan masalah
4. Catat adanya anoreksia, mual,
untuk meningkatkan intake nutrisi.
muntah, dan tetapkan jika ada
hubungannya dengan medikasi.
Awasi frekuensi, volume,
5.Rasional: Mengurangi rasa tidak enak
konsistensi Buang Air Besar
dari sputum atau obat-obat yang
(BAB). Rasional:
digunakan yang dapat merangsang
5. Lakukan perawatan mulut sebelum
muntah.
dan sesudah tindakan pernapasan.
6.Rasional: Memaksimalkan intake
6. Anjurkan makan sedikit dan sering nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid, I. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan Pada


Gangguan Sistem. Jakarta: CV.Trans Info Medika.

Hawks, B. a. (2016). Tuberculosis. In D. K. Indonesia, Rencana Asuhan Keperawatan


Medikal Bedah Diagnosis NANDA-I Intervensi NIC hasil NOC (p. 77). Jakarta: EGC.

Hood Alsagaff, A. M. (2005). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga


University Press.

Kesehatan, K. (2009, Mei 13). Retrieved from www.persi.or.id: http://www.persi.or.id


Marni. (2014). Asuhan Keperawatan Pada AnakDengan Gangguan Pernapasan. Yoyakarta:
Gosyen Publishing.

Rab. (2016). Tuberculosis. In D. K. Indonesia, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah


Diagnosis NANDA-I Intervensi NIC hasil NOC (p. 77). Jakarta: EGC.

RI, D. (2013). Tuberculosis. In I. S. Abdul Wahid, Keperawatan Medikal Bedah, Asuhan


Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi (p. 166). Jakarta : CV Trans Indo
Medika.

Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 12. Jakarta:
EGC.

Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan,
Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Tempo. (2013). Abdul Wahid, Imam Suprapto. In Keperawatan Medikal Bedah Asuhan
Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: CV.Tarans Info Medika.

Yuliati Alie, R. (2011). Pengaruh Batuk Efektif Terhadap Pengeluaran Sputum Pada Pasien di
Puskesmas Peterongan Kabupaten Jombang. 19.

Anda mungkin juga menyukai