Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN TUTORIAL

MODUL I

LESU

KELOMPOK 7

Ascarina Rahyuni K1A115059

Dian Indra Malik K1A115063

Luthfi Asyifa Harsa K1A116026

Muhammad Akbar Syukur K1A116027

Yelsi Beatrice P. K1A116028

Zulkarnain Sya’ban K1A116031

Muh.Nur Rafiq Al ashar K1A116097

Delyana Brilian Hamra K1A116098

Ishmah Farah Adiba Nurdin K1A116100

Firsta Wahyuni Chivansa K1A116101

Anita Paramatasari Nur K1A116121

Tutor : dr. Fauziah Ibrahim

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan penyakit-


penyakit yang ditandai dengan lesu, etiologi, patomekanisme terjadinya, cara mendiagnosis
dan penatalaksanaanya.

SKENARIO

Seorang anak perempuan berumur 10 tahun diantar ibunya ke puskesmas dengan keluhan
lemas dan lesu. Gejala ini juga disertai dengan penurunan nafsu makan dan tidak ada minat
belajar. Keadaan ini dialami oleh anak tersebut sejak 4 bulan yang lalu.

A. KATA / KALIMAT KUNCI


1. Anak perempuan 10 tahun
2. Keluhan : lemas dan lesu disertai dengan penurunan nafsu makan
3. Tidak ada minat belajar
4. Keluhan dialami sejak anak 4 bulan yang lalu.

B. PERTANYAAN
1. Jelaskan definisi dan etiologi lesu !
2. Jelaskan patomekanisme terjadinya lesu !
3. Jelaskan Penyakit-penyakit yang berdasarkan Skenario !
4. Jelaskan hubungan lemah dan lesu dengan penurunan nafsu makan
5. Jelaskan langkah-langkah diagnosis kelainan dan keluhan lesu
6. Jelaskan penatalaksanaan lesu menurut etiologinya
7. Jelaskan metode pencegahan lesu sesuai etiologinya

C. JAWABAN
1. Definisi dan Etiologi Lesu
a. Definisi Lesu

1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) : Lesu adalah suatu
perasaan lemah, lelah, letih, dan tidak bersemangat, kelesuan diartikan kekurangan
tenaga, kepenatan, perasaan lesu dan kehilangan semangat.
b. Etiologi Lesu
1. Anemia Defisiensi zat besi. Anemia defisiensi besi pada anak akan memberikan
dampak yang negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh (lesu) sehingga meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Selain itu berkurangnya zat besi di dalam tubuh juga dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan organ tubuh akibat oksigenasi ke jaringan
berkurang
2. Kurangnya suplai darah ke jaringan (Anemia)
3. Penyakit yang mempengaruhi metabolisme tubuh
4. Komsumsi obat-obatan seperti anti depresan, anti hipertensi, dan diuretik.
5. Kelenjar tiroid yang terlalu aktif atau kurang aktif
6. Anoreksia
7. Penyakit kanker, HIV, TBC, Gagal Ginjal, Gagal Hati, dan Gagal Jantung

. 2. Patomekanisme Lesu

Lesu dapat disebabkan oleh intake nutrisi penderita berkurang, dimana penderita
tidak mau makan atau tidak lapar, keadaan ini dapat disebabkan oleh penekanan daerah
lateral hipotalamus, sehingga menyebabkan seseorang merasa kenyang dan tidak
merasakan lapar, rasa kenyang ini juga disebabkan oleh akibat adanya peradangan,
infeksi, atau inflamasi, dimana inflamasi ini akan mengaktifkan mediator radang IL-1,
IL-6, IL-8, dan TNF-alpha. Mediator radang ini akan mengeksitasi daerah peka
glukosa, atau terjadi hiperaktifitas glukosa, sehingga glukosa yang dihasilkan ini akan
memberikan asupan ke otak, dan rangsangan untuk rasa lapar tidak ada, dan asupan
nutrisi yang masuk ke tubuh sebagai penghasil energi berkurang dan terjadilah lesu.
Lesu akibat intake nutrisi juga dapat disebabkan oleh seseorang yang malas makan,
atau tidak merasa nyaman dibagian abdomennya, sehingga apabila orang tersebut
makan, dia akan merasakan rasa kurang nyaman. Lesu juga dapat diakibatkan oleh
penderita yang mengalami anemia yang diakibatkan oleh hipoksia jaringan, sehingga

2
kebutuhan oksigen jaringan berkurang, anemia ini dapat disebabkan oleh antigen yang
masuk yang mengambil darah sebagai asupan makanannya, akibatnya kebutuhan
oksigen ke jaringan lain berkurang, sehingga menyebabkan seseorang lesu.

Tabel 1. Patomekanisme Lesu

IPPE L eek -nrs 1a ui ,t ra Iu sL ni - d6 a, e r a h KPMA a o a r n al nss u tris


ILd n a t n a k e Li t
Iap Lne -k n8 a a< fg s l uu k o s a mine d s a i n
meg a a n k a n a NdHe a ui lp ta ro i k s is i a
Tm( h Nai pkF oa - tn a l a m u s ) sm
ns dJmu a a r n i n g
A lp h a a n
ku u r a n g Odi a a 2 r a h
3. PENYAKIT-PENYAKIT BERDASARKAN SKENARIO

a. Ascariasis

Pengertian :

Infeksi askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang, ditemukan di seluruh area
tropis di dunia, dan hampir di seluruh populasi dengan sanitasi yang buruk. Telur
cacing bisa didapatkan pada tanah yang terkontaminasi feses, karena itu infeksi
askariasis lebih banyak terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan jari yang
terkena tanah ke dalam mulut.
Etiologi :

Ascaris lumbricoides Famili : Ascarididae


Kingdom : Animalia Genus : Ascaris
Filum : Nematoda Spesies : Ascaris lumbricoides
Kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridida

3
Ascaris lumbricoides adalah nematoda usus atau cacing usus yang ditularkan melalui
tanah (soil transmitted helminth) yang dapat meyebabkan penyakit ascariasis, cacing
ini disebut juga dengan cacing gelang. Dalam periode hidupnya cacing
ini memerlukan tanah untuk berkembang dan penularan cacing ini melalui perantara
tanah.

Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Siklus hidup Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides dewasa hidup di dalam usus,
cacing betina mampu bertelur rata-rata 200.000 butir perhari, telur ini kemudian
keluar dari tubuh hospes bersama tinja. Apabila ditanah kondisinya menguntungkan
dalam jangka waktu 3 minggu akan menjadi infektif. Apabila telur infektif tertelan
manusia telur akan menetas menjadi larva rhabditiform di usus, kemudian larva akan
menembus dinding usus dan masuk ke vena atau pembuluh limfe, ikut dalam
sirkulasi darah, ke jantung dan kemudian sampai paru-paru. Dalam kapiler alveoli
larva rhabditiform kemudian menembus dinding alveoli, masuk ke rongga alveoli,
bergerak ke atas menuju bronkhus dan sampai glottis. Kemudian dari glottis larva
tertelan masuk esofagus dan tumbuh menjadi dewasa di usus. Lama siklus
hidup cacing ini dari terjadinya infeksi sampai cacing dewasa bertelur memerlukan
waktu sekitar 2 bulan, dan cacing dewasa dapat hidup selama 12 – 18 bulan.

4
Gejala Klinis Ascariasis

Gejala yang Disebabkan Larva Ascaris Lumbricoides

 eosinofilia : meningkatnya sel eosinofil dalam darah.


 manifestasi alergi karena adanya larva dalam tubuh bisa berupa asma,
sindroma loeffler atau tropycal eosinophilia.
 adanya larva dalam paru-paru bisa mengakibatkan brinkhopneumonia,
terutama bila jumlah larva banyak

Gejala yang Disebabkan Cacing Dewasa Ascaris Lumbricoides

 biasanya sangat ringan, infeksi oleh 20 ekor cacing dewasa bisa berlangsung
tanpa keluhan, keluhan yang timbul biasanya hanya berupa sakit perut yang tidak
jelas, didalam usus cacing ini mengganggu absorbsi nutrisi dan ikut mengambil
nutrisi makanan dari usus
 cacing dewasa dapat menimbulkan komplikasi berupa erratic migration yaitu
berpindahnya cacing ke tempat yang tidak semestinya misalnya saluran empedu,
kandung empedu, hati, apendixm dan eritoneum

5
 cacing dewasa kadang bisa saling belit satu sama lain sehingga membentuk
gumpalan yang bisa menyimbat saluran usus dan mengakibatkan terjadinya “ileus
obstruktivus” yang bisa berakibat fatal.
b. Filariasis

Definisi :

Penyakit ini diperkirakan seperlima penduduk dunia atau 1.1 milyar penduduk
beresiko terinfeksi, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Penyakit
ini dapat menyebabkan kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososisal, dan
penurunan produktivitas kerja penderita, keluarga dan masyarakat sehingga
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Dengan demikian penderita
menjadibeban keluarga dan negara. Sejak tahun 2000 hingga 2009 di Iaporkan kasus
kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/ kota.4,24
Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan
masalah di daerah dataran rendah. Tetapi kadang-kadang juga ditemukan di daerah
bukit yang tidak terlalu tinggi. DiIndonesia filariasis tersebar luas, daerah endemis
terdapat terdapat di banyak pulau di seluruh nusantara, seperti di Sumatera dan
sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya.

Etiologi :

 Hospes

Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang
lain yang rentan. Biasanya pendatang bamke daerah endemis lebih rentan terhadap
infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk asli. Pada umumnya laki-
laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk
mendapat infeksi{exposure). Juga gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki, karena
pekerjaan fisik yang lebih berat,

 HospesReservoar

6
Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk
manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah keong dan kera
terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi.

 Vektor

Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada
jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan di tularkan
oleh Cx.quinquefasciatur yang tempat perindukannya air kotor dan tercemar.
W.bancrofti di daerah pedesaan dapat dituiarkan oleh bermacam spesies nyamuk. Di
Irian Jaya W.bancrofti dituiarkan terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan
bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Selain itu ditemukan juga
sebagai vektor : An.Koliensis, An.punctulatus, Cx.annulirostris dan Ae.Kochi,
W.bancrofti didaerah lain dapat dituiarkan oleh spesies lain, seperti An.subpictus di
daerah pantai NTT. Selain nyamuk Culex, Aides pernah juga ditemukan sebagai
vektor. B.malayi yang hidup pada manusia dan ewan biasanya dituiarkan oleh
berbagai spesies mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain,
yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatra, Kalimantan, Maluku dan lain-lain.
B.malayi yang periodik dituiarkan oleh An.Barbirostris yang memakai sawah sebagai
tempat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi. B.timori, spesies yang ditemukan
di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor-
Timor, dituiarkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik
di dekat pantai maupun di darah pedalarnan.

 Agent

Filariasis disebabkan oleh cacing filarial pada manusia, yaitu (1) W.bancrofti; (2)
B.malayi; (3) B.timori', (4) Loa loa\ (5) Onchocerca volvulus', (6)
Acanthocheilonema perstants; (7) Mansonella azzardi. Yang terpenting ada tiga
spesies, yaitu W.bancrofti,B.malayidan B timori.

7
Filaria membutuhkan insekta sebagai vektor. Nyarnuk culex adalah vektor dari
penyakit filariasis W.bancrofti dan B.malayi. Jumlah spesies Anopheles, Aedes,
Culex, dan Mansonia cukup banyak, tetapi kebanyakan dari spesies tersebuttidak
penting sebagai vektor alami

Siklus Hidup

Siklus hidup mikrofilaria terjadi dalam dua tahap yaitu dalam tubuh manusia dan
dalam tubuh nyamuk

Siklus Hidup dari Filaria Keterangan :

Selama mengisap darah, nyamuk yang terinfeksi memasukkan larva stadium tiga (L-
3) melalui kulit manusia dan penetrasi melalui luka bekas gigitan. Larva berkembang
menjadi dewasa dan pada umumnya habitatnya pada kelenjar limfatik. Cacing
dewasa menghasilkan microfilaria yang migrasi ke limfe dan mencapai sirkulasi

8
darah perifer. Nyamuk mengingesti microfilaria selama mengisap darah. Setelah
masuk dalam tubuh nyamuk, selubung (sheath) dari microfilaria terlepas dan melalui
dinding proventikulus dan ke usus bagian tengah (midgut) kemudian mencapai otot
toraks. Microfilaria berkembang menjadi larva stadium pertama (L-1) kemudian
menjadi L-2 dan selanjutnya menjadi larva stadium tiga (L-3). Larva stadium tiga
bermigrasi menuju probosis dan dapat menginfeksi penderita yang lain ketika
mengisap darah

Gejala Klinis

Gejala inflamasi kemungkinan juga disebabkan oleh cairan yang dikeluarkan


oleh larva pada waktu pergantian kulitnya, dan mungkin pula oleh zat mukoid yang
dikeluarkan cacing betina pada waktu mengeluarkan larvanya. Cacing dewasa yang
mati dapat menimbulkan kalsifikasi, fibrosis dan obliterasi total saluran limfe.
Jalannya penyakit filariasis dapat dibagi dalam beberapa tahap :

Masa inkubasi biologis Berlangsung dari masuknya larva stadium 3 ke dalam


tubuh, sampai terdapat mikrofilaria untuk pertama kali dalam darah. Bagi penduduk
yang berdiam di daerah endemik sejak kecil, masa inkubasi ini berlangsung kurang
lebih satu tahun dan biasanya tidak disertai dengan gejala klinis.

Masa paten tanpa gejala Berlangsung mulai dari terdapatnya mikrofilaria di


dalam darah sejak kecil di daerah endemik, masa ini kadang-kadang dapat
berlangsung seumur hidup tanpa penderita ini sadar bahwa di dalam darahnya
mengandung parasit filaria.
Stadium akut Penderita mengeluh demam, terdapat pembesaran kelenjar limfe
yang terasa nyeri dan panas. Gejala berupa demam, limfangitis dan limfadenitis.
Stadium menahun Stadium akut lambat laun beralih ke stadium menahun dengan
gejala hidrokel, kiluria, limfedema dan elefantiasis.

Filariasis dapat menimbulkan gangguan saluran napas yang disebut sebagai Tropical
Pulmonary Eosinophilia (TPE), pada keadaan ini terjadi hiperesponsif reaksi
imunologi terhadap antigen filaria. Gejala yang timbul adalah hipereosinofilia (20-

9
90%), kadang-kadang disertai batuk dngan sesak napas, pembesaran kelenjar limfe
dan tidak ditemukan microfilaria dalam darah

Perjalanan penyakit filariasis terutama dipengaruhi oleh faktor toleransi. Di daerah


endemik, banyak penderita yang mengandung mikrofilaria di dalam darahnya merasa
tidak sakit. Hal sebaliknya terjadi pada pendatang yang dianggap tidak mempunyai
kekebalan, banyak yang jatuh sakit setelah beberapa minggu berada di daerah
endemik dengan gejala filariasis

c. Fasciolopsiasis
Definisi :
Fasciolopsiasis adalah penakit kecacingan yang disebakan oleh cacing Fasciolopsis
Buski. Cacing ini merupakan salah satu trematoda terbesar yang dapat meginfeksi
manusia dan dapat bermanifestasi ke lumen usus.
Etilogi :

Kingdom : Animalia Famili : Fasciolidae


Filum : Platyhelminthes Genus : Fasciolopsis
Kelas : Trematoda Spesies : Fasciolopsis buski
Ordo : Echinostomida

10
Fasciolopsis buski adalah salah satu trematoda usus yang bersifat hermaprodit yang
dapat menimbulkan penyakit fasciolopsiasis. Hospes definitif parasit ini adalah
manusia, babi, kadang-kadang anjing, hospes intermedier 1 nya keong air,
sedangkan hospes intermedier 2 nya adalah tumbuhan air.

Siklus Hidup :

Telur menetas di air → keluar mirasidium → dimakan hospes perantara 1 (keong


air dari genus Segmentina, Hippeutis, Cyarulus) → dalam tubuh keong
berkembang menjadi sporokista → redia → serkaria dan keluar dari tubuh
keong → hidup bebas di air → menempel di hospes perantara 2 (tumbuhan air
seperti enceng gondok, teratai) dan berkembang biak menjadi metaserkaria dalam
waktu 3 – 4 minggu → manusia terinfeksi jika makan tumbuhan air yang
mengandung metaserkaria dalam kista → ekskistasi dalam duodenum →
melekatkan diri pada mukosa usus halus dan berkembang menjadi dewasa dalam
waktu ± 1 bulan.

Gejala Klinis :
 Peradangan akibat perlekatan cacing pada mukosa usus
 Ulserasi yang agak dalam pada luka
 Abses dengan sakit di daerah epigastrium
 Mual
 Diare ringan sampai berat
 Pada infeksi yang berat dapat terjadi oedem dan ascites
 Anemia ringan dengan lekositosis dan eosinofilia sampai 35%

Gejala klinis ini kemungkinan diakibatkan oleh toksin dari cacing. Gejala-gejala
pada umumnya terjadi pada pagi hari dan menghilang bila penderita diberi
makan. Cacing bisa didapatkan sampai usus besar, kadang dapat menyebabkan
stasis usus atau obstruksi karena jumlah cacing yang cukup banyak.

d. Ankilostomiasis

Defenisi

Ankilostomiasis adalah penyakit cacing tambang yang disebabkan oleh


Ancylostoma duodenale. Sekitar seperempat penduduk dunia terinfeksi oleh
cacing tambang.Infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan
lembab, dengan tingkat kebersihan yang buruk. Ancylostoma duodenale
ditemukan di daerah Mediterenian, India, Cina dan Jepang. Necator
americanus ditemukan di daerah tropis Afrika, Asia dan Amerika.

Etiologi

Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted


Helminth yang masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator
americanus dan Ancylostoma sp). Infeksi cacing tambang masih merupakan
masalah kesehatan di Indonesia, karena menyebabkan anemia defisiensi besi dan
hipoproteinemia.

Penyakit cacing tambang disebabkan oleh cacing Necator americanus,


Ancylostoma duodenale, dan jarang disebabkan oleh Ancylostoma braziliensis,
Ancylostoma caninum, Ancylostoma malayanum. Penyakitnya disebut juga
ankilostomiasis, nekatoriasis, unseriasis.
Daur hidup Ancylostoma duodenale:
Telur larva rabditiform ,larva filariform , menembus kulit , kapiler darah , jantung
kanan , paru , bronkus , trakea ,laring , usus halus
Patofisiologi

Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar memalui tinja. Bila telur
tersebut jatuh ke tembat yang hangat, lembab dan basah, maka telur akan berubah
menjadi larva yang infektif. Dan jika larva tersebut kontak dengan kulit,
bermigrasi sampai ke paru-paru dan kemudian turun ke usus halus; di sini larva
berkembang menjadi cacing dewasa (Pohan, 2009). Infeksi terjadi jika larva
filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan menelan
larva filariform.

Telur dari kedua cacing tersebut ditemukan di dalam tinja dan menetas di
dalam tanah setelah mengeram selama 1-2 hari. Dalam beberapa hari, larva
dilepaskan dan hidup di dalam tanah. Manusia bisa terinfeksi jika berjalan tanpa
alas kaki diatas tanah yang terkontaminasi oleh tinja manusia, karena larva bisa
menembus kulit. Larva sampai ke paru-paru melalui pembuluh getah bening dan
aliran darah. Lalu larva naik ke saluran pernafasan dan tertelan. Sekitar 1 minggu
setelah masuk melalui kulit, larva akan sampai di usus. Larva menancapkan
dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus halus bagian atas dan
mengisap darah.

Gejala Klinis

Stadium larva (Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka
terjadi perubahan kulit yang disebut grown itch. Perubahan pada paru biasanya
ringan.)
Stadium dewasa (Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan
gizi penderita (Fe dan Protein). Tiap cacing A.duodenale menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,08-0,34 cc sehari. Biasanya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya
toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan
kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun)

Rasa tidak enak pada perut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus),
mencret-mencret merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi
lebih kurang dua minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit.
Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing dan walaupun
diperlukan lebih dari 500 cacing dewasa untuk menimbulkan anemia tersebut
tentunya tergantung pada keadaan gizi pasien

Diagnosis

Untuk kepentingan diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan secara


klinis dan epidemiologis. Secara klinis dengan mengamati gejala klinis yang
terjadi pada penderita sementara secara epidemiologis didasarkan atas berbagai
catatan dan informasi terkait dengan kejadian infeksi pada area yang sama
dengan tempat tinggal penderita periode sebelumnya. Pemeriksaan penunjang
saat awal infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan: a) eosinofilia (1.000-4.000
sel/ml), b) feses normal, c) infiltrat patchy pada foto toraks dan d) peningkatan
kadar IgE. Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10% dilakukan
secara langsung dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan ini tidak dapat
membedakan N. Americanus dan A. duodenale. Pemeriksaan yang dapat
membedakan kedua spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper strip
Harada-Mori. Kadang-kadang perlu dibedakan secara mikroskopis antara infeksi
larva rhabditiform (L2) cacing tambang dengan larva cacing strongyloides
stercoralis

Diagnosis pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannya telur cacing


tambang di dalam tinja pasien. Selain tinja, larva juga bisa ditemukan dalam
sputum. Kadang-kadang terdapat darah dalam tinja
e. Enterobiasis

Defenisi

Infeksi Cacing Kremi (Oksiuriasis, Enterobiasis) adalah suatu infeksi parasit


yang terutama menyerang anak-anak, dimana cacing Enterobius vermicularis
tumbuh dan berkembang biak di dalam usus. Infeksi biasanya terjadi melalui 2
tahap. Pertama, telur cacing pindah dari daerah sekitar anus penderita ke pakaian,
seprei atau mainan. Kemudian melalui jari-jari tangan, telur cacing pindah ke
mulut anak yang lainnya dan akhirnya tertelan. Telur cacing juga dapat terhirup
dari udara kemudian tertelan.
Setelah telur cacing tertelan, lalu larvanya menetas di dalam usus kecil dan
tumbuh menjadi cacing dewasa di dalam usus besar (proses pematangan ini
memakan waktu 2-6 minggu). Cacing dewasa betina bergerak ke daerah di
sekitar anus (biasanya pada malam hari) untuk menyimpan telurnya di dalam
lipatan kulit anus penderita. Telur tersimpan dalam suatu bahan yang lengket.
Bahan ini dan gerakan dari cacing betina inilah yang menyebabkan gatal-
gatal.

Telur dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia selama 3 minggu pada suhu
ruangan yang normal. Tetapi telur bisa menetas lebih cepat dan cacing muda
dapat masuk kembali ke dalam rektum dan usus bagian bawah.

Gejala

Gejalanya berupa:
a. rasa gatal hebat di sekitar anus
b. rewel (karena rasa gatal dan tidurnya pada malam hari terganggu)
c. kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam hari ketika
cacing betina dewasa bergerak ke daerah anus dan menyimpan telurnya
disana)
d. nafsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang terjadi, tetapi bisa
terjadi pada infeksi yang berat)
e. rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak perempuan, jika cacing dewasa masuk
ke dalam vagina)
f. kulit di sekitar anus menjadi lecet atau kasar atau terjadi infeksi (akibat
penggarukan).

Diagnose
Cacing kremi dapat dilihat dengan mata telanjang pada anus penderita,
terutama dalam waktu 1-2 jam setelah anak tertidu pada malam hari. Cacing
kremi berwarna putih dan setipis rambut, mereka aktif bergerak. Telur maupun
cacingnya bisa didapat dengan cara menempelkan selotip di lipatan kulit di
sekitar anus, pada pagi hari sebelum anak terbangun. Kemudian selotip tersebut
ditempelkan pada kaca objek dan diperiksa dengan mikroskop.

f. Strongylodiosis

Definisi

Strongyloides stercoralis merupakan nematoda usus, penyebab


strongiloidiasis pada manusia. Tersebar sangat luas di dunia, terutama daerah
tropis dan subtropis. Diperkirakan terdapat lebih kurang limapuluh juta orang
di dunia terinfeksi dengan yang umumnya asimtomatis; tetapi tergantung
kondisi imun penderita dapat berubah menjadi penyakit fulminan yang fatal.
Interaksi antara parasit dan sistem imun tubuh sangat kompleks. Parasit dapat
membangkitkan sistem imunologik tubuh yang akan menimbulkan berbagai
kelainan (imunopatologik), sebaliknya parasit juga dapat menimbulkan
imunotoleransi sehingga terjadi suatu keadaan interaksi yang berimbang
antara parasit dan hospesnya. Hal itu juga terjadi pada infeksi S. stercoralis.
Berbeda dari nematoda lain, S. stercoralis merupakan salah satu
soiltransmitted helminth dengan siklus hidup yang sangat kompleks.
Perbedaannya adalah selain merupakan parasit di tubuh hospes, ia juga
mempunyai siklus hidup bebas yang sangat berperan dalam transmisi
penyakit. Larva S.stercoralis juga dapat langsung berkembang menjadi larva
infektif dalam saluran cerna hospes dan menyebabkan autoinfeksi. Siklus ini
dapat terus berlangsung tanpa disertai gejala klinis untuk waktu yang lama.
Gejala klinis yang berat dan kematian jarang terjadi kecuali pada keadaan
infeksi berat dan infeksi diseminata.

Struktur dan Siklus Hidup Strongiloides stercoralis

Cacing dewasa S. stercoralis parasiter yang hidup di usus halus hanya


cacing betina. Ukurannya kira-kira 2mm x 40- 50µm. Cacing ini berkembang
biak secara partenogenesis. Telur yang dihasilkan berukuran 55-60µm x 28-
32µm. Telur kemudian menjadi larva rabditiform berukuran 225 x 16 µm,
selanjutnya menjadi larva infektif filariform berbentuk langsing dengan
panjang kira-kira 700µm. Cacing dewasa jantan yang hidup bebas berukuran
panjang 650-950 µm dan cacing betina hidup bebas berukuran panjang 0,8-1,6
mm, hidup di tanah dan bereproduksi secara seksual.
Siklus hidup S. stercoralis sangat kompleks dan unik dibandingkan
nematoda lain dimana siklus hidup bebas (free living) bergantian dengan
siklus parasiter sehingga sangat berpotensi untuk terjadinya autoinfeksi dan
multiplikasi parasit dalam tubuh hospes. a. Siklus hidup bebas: Larva
rabditiform keluar bersama tinja penderita. Di tanah akan berubah menjadi
larva infektif filariform (siklus langsung) atau menjadi cacing dewasa jantan
dan betina, yang kemudian kawin. Cacing betina menghasilkan telur yang
akan menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform ini akan menjadi
generasi baru cacing free living, atau berubah menjadi larva infektif
filariform. Larva filariform akan berpenetrasi ke dalam kulit hospes dan
memulai siklus parasitik.7,8 b. Siklus parasitik: larva filariform menembus
kulit hospes, masuk ke peredaran darah vena menuju jantung kanan sampai ke
paru, kemudian menembus alveolus masuk trakea lalu ke faring, selanjutnya
tertelan dan sampai di usus halus menjadi cacing dewasa betina yang hidup di
epitel usus halus dan memproduksi telur secara partenogenesis. Telur menetas
menjadi larva rabditiform. Larva ini akan keluar bersama tinja atau
menyebabkan autoinfeksi. Pada autoinfeksi, larva rabditiform berubah
menjadi larva filariform berpenetrasi ke mukosa intestinal (autoinfeksi
interna) atau kulit perianal (autoinfeksi eksterna).

Manifestasi Klinis Strongiloidiasis

Pada strongiloidiasis dapat terjadi eksaserbasi akut dengan hiper-infeksi


atau diseminasi larva ke sistem respirasi dan gastrointestinal atau berbagai
organ.1,2 Strongiloidiasis asimtomatis merupakan bentuk yang paling banyak
terjadi.2 Tabel berikut adalah berbagai manifestasi klinis pada infeksi S.
stercoralis:

1.) Manifestasi Awal (akut)

Gejala awal terjadi segera setelah larva filariform masuk ke tubuh


hospes; meskipun gejala awal ini jarang digambarkan tetapi pernah dilaporkan
dapat terjadi rash serpiginous urticaria pada kulit di tempat masuknya larva
filariform. Paling sering terdapat di kaki. Batuk dan iritasi pada trakea yang
gejalanya mirip bronkitis juga pernah dilaporkan karena migrasi larva ke paru.
Nyeri perut dan kembung, diare dan kadang konstipasi yang disebabkan oleh
adanya larva dan maturasi cacing dewasa betina di usus halus hospes.
Manifestasi awal ini tidak jelas dan mirip dengan gejala penyakit abdomen
lain sehingga sering misdiagnosis dan diobati secara simptomatis sedangkan
hospes masih mengandung parasit yang nantinya akan menyebabkan infeksi
kronis.1,2 Selama fase asimtomatis hanya ditemukan eosinofilia.

2.) Manifestasi kronis

Kasus kronis dari strongiloidiasis juga banyak yang asimtomatis.


Manifestasi kronis dapat berupa gangguan saluran cerna dan paru seperti
mual, muntah, nyeri epigastrium, diare, konstipasi, penurunan berat badan,
urtikaria dan rash subcutaneus larva migrans.

3.) Manifestasi lain (termasuk infeksi diseminata)

Infeksi diseminata terjadi ketika meningkatnya jumlah larva


sehingga menyerang banyak organ, menyebabkan manifestasi yang bersamaan
dengan gejala respiratori dan gastrointestinal berat.

Infeksi diseminata yang fatal dapat terjadi khususnya pada pasien


imunosupresi karena penggunaan steroid sistemik. Infeksi kronik dan
malnutrisi merupakan predisposisi terjadinya strongiloidiasis sistemik. Angka
kematian infeksi diseminata dapat mencapai 87%.

Manifestasi kulit yang terjadi seperti ptekie dan purpura, sering diikuti
juga dengan pruritus, eritematous, erupsi morbiliform, atau prurigo.
Komplikasi yang paling penting dan sangat potensial menjadi fatal yaitu
terjadinya bakteriemia gram negatif terutama oleh Streptococcus bovis,
Escherichia coli, Streptococcus fecalis, Klebsiella pneumoniae atau
Enterobacter sp. Bakteri patogen ini masuk ke dalam aliran darah bersamaan
dengan penetrasi larva. Terserangnya sistem syaraf pusat dapat menyebabkan
sakit kepala, gangguan status mental, kejang dan kadang koma. Meningitis
karena bakteri gram negatif juga sering dilaporkan khususnya pada pasien
imunosupresi.

Imunodiagnosis Strongiloidiasis
Deteksi adanya larva strongyloides di dalam tinja penderita dengan
menggunakan mikroskop merupakan pemeriksaan umum yang dilakukan
tetapi hasil yang negatif tidak menyingkirkan infeksi karena larva biasanya
sedikit dan sporadik. Diagnosis serologi dari strongyloidiasis sangat berguna
terutama pada kasus asimptomatik atau dengan gejala ringan, pada pasien
imunokompromis. Salah satunya yaitu deteksi antibodi Strongyloides pada
serum penderita, menggunakan antigen larva (L3). Deteksi antibodi IgG
spesifik parasit banyak digunakan, walaupun tidak bisa membedakan infeksi
sekarang atau masa lalu. Antigen yang digunakan diperoleh dari kultur feses
pasien yang terinfeksi atau hewan percobaan. Sekarang dikembangkan klon
rekombinan cDNA dari larva stadium infektif S. stercoralis. Pada penelitian
Ravi et al, dilaporkan antigen rekombinan 31-kDa (NIE) dari pustaka L3
cDNA hampir sama atau lebih reaktif dibandingkan antigen somatik dalam
menstimulasi respons imun dan tidak memberikan reaksi silang dengan cacing
filaria ataupun nematoda usus lain. Antigen rekombinan ini menstimulasi
reaksi antibodi IgE dan IgG4 spesifik parasit pada penderita strongyloidiasis.
Klon rekombinan cDNA dari larva stadium infektif sangat potensial untuk
imunodiagnosis strongiloidiasis kronis.

g. Schistosomiasis
Definisi

Schistosomiasis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh


infeksi cacing yang tergolong dalam kelas trematoda, genus Schistosoma.
Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis sehingga sumber penularan tidak
hanya pada penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia yang
terinfeksi.

Etiologi

Penyakit Schistosomiasis umumnya terjadi di wilayah tropis yang


disebabkan cacing pipih darah (blood flukes) genus Schistosoma. Meskipun
penyakit ini tidak fatal, tetapi dapat melemahkan dan menimbulkan kelesuan
yang menyeluruh pada penderita. Telur cacing pipih keluar bersama feses dan
urin manusia penderita, dan jika mencapai perairan tawar akan berkembang
menjadi larva mirasidium yang dapat menginfeksi siput. Di dalam siput
mirasidium berkembang menjadi serkaria, tahap lanjut perkembangan larva,
dan ketika meninggalkan inang mereka menembus kulit manusia atau hewan
mamalia yang mengarungi air. Mereka matang di dalam aliran darah,
menunjukkan kesukaan tertentu di pembuluh portal yang membawa muatan
nutrien darah dari usus ke hati.

Siklus hidup

Cacing dewasa hidup di vena mesenterica superior dan plexus


haemorrhoidalis → telur menembus jaringan submukosa intestinum → masuk
ke dalam lumen usus dan keluar dari tubuh bersama tinja → di dalam air telur
menetas → keluar mirasidium → masuk ke hospes perantara → berkembang
menjadi sporokista → keluar dari hospes perantara → menjadi cercaria →
penetrasi ke kulit manusia → ikut sirkulasi darah → menuju jantung, paru-
paru, kembali ke jantung → masuk sirkulasi darah arteri → menjadi dewasa di
vena mesenterica. Cacing dewasa dapat berumur sampai 26 tahun dan dapat
menghasilkan telur sampai 300 butir tiap cacing perhari.

Gejala klinis

Lesi yang dihasilkan oleh Schistosoma japonicum sma dengan


Schistosoma mansoni maupun Schistosoma haematobium. Dalam hal ini
organ yang terutama mengalami kerusakan adalah usus dan hepar.Berat
ringannya infeksi tergantung dari jumlah cacing.

Stadium inkubasi (4 – 7 minggu) Saat penetrasi cercaria melalui kulit


kemudian migrasi melalui sirkulasi darah sampai tumbuh menjadi cacing
dewasa. Gejalanya dapat berupa :

1. Pada kulit : hanya reaksi lokal yang ringan, pada jaringan kulit terjadi infiltrasi
selluler. Spesies non manusia dapat menimbulkan dermatitis cercaria
(swimmer’s itch)

2. Pada paru-paru : terjadi rangsang traumatis dan infiltrasi, kadang-kadang


dengan haemorrhage, gejala batuk-batuk, dan nyeri di dada.

3. Pada hati : dapat timbul hepatitis akut selama larva mengalami pertumbuhan di
dalam cabang-cabang vena portae dalam hepar. Pada stadium sistemik ini
akan terjadi gejala panas, menggigil, sakit kepala, leukositosis, dan
eosinophilia.

Stadium oviposition Apabila telur sudah cukup banyak dikeluarkan


cacing betina migrasi ke cabang-cabang vena mesenterica yang lain.
Penimbunan telur dalam jaringan selama 1 – 18 bulan disebut katayama
disease atau katayama syndrom. Telur dapat terbawa oleh sirkulasi darah
sampai ke vena portae di dalam hati dan dapat menembus keluar pembuluh
darah masuk ke jaringan hati dan menyebabkan pseudo abses. Gejalanya dapat
berupa panas, lemah, sakit kepala, urticaria, berat badan menurun, sakit di
daerah hati, hepatomegali, diare dengan darah atau lendir.

Stadium proliferasi dan penyembuhan (> 1,5 tahun) Dengan


terbentuknya pseudo abses dan pseudo tubercle di sekitar telur, terbentuklah
proliferasi jaringan pengikat sehingga terjadi fibrosis yang menyebabkan
sirosis hepatis hingga dapat terjadi asites dan varises di oesophagus dan lain-
lain.

h. Thricuriasis
Definisi

Trichuris trichiura lebih dikenal dengan nama cacing cambuk karcna


secara menyeluruh bentuknya seperti cambuk. Infeksi dengan cacing cambuk
(trichuriasis) lebih sering terjadi di daerah panas, lembab dan sering bersama-
sama dengan infeksi Ascaris. Sampai saat ini dikenal lebih dari 20 spesies
Trichuris spp, namun yang menginfeksi man usia hanya Trichuris trichiura
dan Trichuris vu/pis. Cacing ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan pad
a man usia bila menginfeksi dalam jumlah yang banyak. Apabila jumlahnya
sedikit, pasien biasanya tidak akan terpengaruh dengan adanya cacing ini.
Penyakit yang disebabkan cacing ini dinamakan trichuriasis atau
trichocephaliasis. Pcnyakit ini terutama terjadi di daerah subtropis dan tropis ,
dimana kebersihan lingkungannya buruk serta iklim yang hangat dan lembab
memungkinkan telur dari parasit ini mengeram di dalam tanah.

Siklus Hidup

Manusia mendapatkan infeksi T.trichiura karena tertelan telur cacing


infektif yang mengkontaminasi makanan. Telur-telur menetas di usus halus,
larva akan keluar, berkembang di mukosa usus kecil dan menjadi dewasa di
sekum, akhirnya melekat pada mukosa usus besar. Cacing betina menjadi
dewasa dalam tiga bulan dan akan mulai bertelur dalam 60-70 hari setelah
menginfeksi manusia dan dapat hidup selama 5 tahun lebih serta
menghasilkan 10.000 telur setiap hari. Telur dikeluarkan dalam stadium belum
membelah dan membutuhkan 10-14 hari untuk menjadi matang pada tanah
yang lembab (Behrman & Vaughan, 1995; Eisenberg, 1983; Faust & Russel,
1965; Garcia & Bruckner, 1996; Hunter et al., 1966) ( Gambar 2.
Gejala Klinis

Gejala klinis yang timbul berhubungan dengan jumlah cacing. Jumlah cacing
yang besar dapat menimbulkan anemia berat, disentri, nyeri perut, mual-
muntah, berat badan menurun dan prolapsus ani (Behrman & Vaughan, 1995;
Eisenberg, 1983; Garcia & Bruckner, 1996; Maegraith & Gilles, 1971).
T.trichiura mengisap darah dari host diperkirakan 0,005 ml darah/hari/ekor
cacing, sehingga menyebabkan anemia, perdarahan dapat terjadi pada
perlekatannya dan mudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri/parasit usus
lain. (Behrman, 1995; Brown & Neva, 1983; Faust & Russel, 1965; Hunter et
al., 1966; Schmidt et al., 2005).
i. Taeniasis
Definisi

Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis yang


disebabkan oleh spesies cestoda Taenia solium. Taeniasis merupakan infeksi
pada saluran pencernaan oleh cacing Taenia solium dewasa sedangkan
sistiserkosis merupakan penyakit/infeksi pada jaringan lunak yang disebabkan
oleh larva Taenia solium. Manusia merupakan hospes defenitif utama penyakit
Taenia solium(1). Sedangkan hospest perantara penyakit ini adalah hewan
babi. Manusia terinfeksi penyakit taeniasis dikarenakan mengkomsumsi
daging babi yang terinfeksi larva Taenia solium.

Siklus Hidup Taenia solium

Manusia merupakan definitivehost cacing pita dewasa, sedangkan larva cacing


(cisticercus cellulosae) terdapat dalam bentuk kista di dalam jaringan organ
babi (hospes perantara). Cacing dewasa akan melepaskan segmen gravid dan
pecah di dalam usus sehingga telur dapat di temukan dalam tinja penderita dan
dapat bertahan beberapa bulan di lingkungan. Telur yang keluar bersama tinja
jika termakan oleh babi, di dalam usus babi telur akan pecah dan onskofer
akan terlepas. Onskofer memiliki kait sehingga dapat menembus dinding usus
dan masuk dalam sirkulasi darah. Onskofer menyebar ke jaringan dan organ
tubuh babi yaitu lidah, otot leher, otot jantung, dan otot gerak. Dalam waktu
60-70 hari onskofer akan berubah menjadi larva sistiserkus.Infeksi pada
manusia terjadi karena mengkomsumsi daging babi mentah atau kurang

matang yang mengandung larva sistiserkus. Di saluran cerna skoleks


mengalami eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isap di dinding usus.
Skoleks akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk
strobila. Dalam waktu 2-3 bulan telah tumbuh menjadi cacing dewasa yang
mampu menghasilkan telur untuk meneruskan daur hidupnya(13). Taenia
solium panjang sekitar 7 meter dan dapat menghasilkan 50.000/tiap proglotid.

Gejala Klinis

Gejala penderita taeniasis umumnya yaitu berupa rasa tidak enak pada perut,
gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala dan anemia.Pemeriksaan
darah tepi terdapat gambaran peningkatan eosinofil. Sistiserkosis pada otak
(neurosistiserkosis) dengan gejala gangguan motorik, kelainan saraf sensorik
maupun gangguan mental penderita. Sistiserkosis pada bola mata
menyebabkan nyeri bola mata, gangguan pengelihatan dan kebutaan.
Sedangkan pada otot jantung menyebabkan takikardia, sesak napas, sinkop
dan gangguan irama jantung
4 . HUBUNGAN LEMAH DAN LESU DENGAN PENURUNAN NAFSU MAKAN

Secara umum infeksi Cacing menyebabkan penurunan nafsu makan, penyerapan


makanan deplesia ,mikronutremia dan anemia defisiensi zat besi. malnutrisi dan anemia.
anemia disebabkan oleh kehilangan darah pada saluran cerna, cacing dewasa yang
tinggal di usus halus akan menyerap darah atau cacing akan cacing akan mengambil
sumber protein dan karbohidrat diusus sebelum diserap oleh tubuh. satu ekor cacing
dapat mengambil karbohidrat 0,14 gram/hari dan protein 0,035 gram/hari (pada infeksi
ascariasisi lumbricoides) cacing mencapai 15-30 cm dan menempati rongga usus dengan
jumlah yang banyak membuat anak tidak merasa lapar.keadaan ini akan mengurangi
nafsu makan anak. jumlah cacing yangbanyak berhubungan dengan terjadinya malnutrisi
dan defisitper tumbuhan. Adanya cacing pada usus halus dapat menyebabkan kelainan
mukosa usus, berupa proses peradangan pada dinding usus, pelebaran dan melekatnya
vili, bertambah panjangnya kripta, menurunya rasiovilluskripta dan infiltrasusel bulat ke
lamina propria, yang berakibat pada gangguan absorsi makanan. dan anemiaterjadi khas
def zat besi , hipokrom , mikrositer kadar zat besi menuruntajam, kehilangan darah 0,01-
0,04 ml/hari per cacing( necator americanus). menyebabkan anak mudahlesuh dan
menurun nafsu makan.

1. LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS
a. Anamnesis
- Keluhan utama

- Onset: sejak kapan munculnya gejala


- Frekuensi: ditanyakan berapa kali timbulnya lesu

- Sifatnya: ditanyakan apakah keluhan yang dialami terjadi secara terus


menerus atau hilang timbul

- Faktor yang memperberat dan memperingan: misalnya dipengaruhi oleh


aktifitas, pola makan, dll.

- Riwayat pengobatan: apakah sudah pernah ke dokter atau


mengkonsumsi obat-obatan tertentu terkait keluhan yang dialami.

- Gejala yang memnyertai: nafsu makan menurun, tidak mempunyai


keinginan belajar dan bermain. Apakah ada demam, sakit kepala, nyeri
menelan, nyeri perutm, mual, muntah, dan keluhan lain.

- Riwayat penyakit dahulu: apakah pernah menderita keluhan yang sama


sebelumnya atau memiliki penyakit yang sedan di derita.

- Riwayat penyakit keluarga atau lingkungan: apakah dikeluarganya ada


yang menderita penyakit infeksi seperti kaki gajah, malaria, dan penyakit
lainnya. Tanyakan pula apakah dilingkungan tempat tinggal ada yang
menderita penyakit infeksi tertentu.

- Riwayat kontak atau berpergian: apakah pernah pergi ke daerah- daerah


endemik.
- Riwayat pola makan: tanyakan kebiasaan sehari-harinya apakah
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.

b. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : dinilai apakah sakit ringan, sedang atau berat serta
kesadarannya. Nilai gaya jalan pasien ketika saat memasuki ruangan
apakah ada gerakan menggaruk-garuk dibagian anus atau tidak.
- Tanda- tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan dan nyeri
- Inspeksi : nilai apakah pucat pada wajah, komjungtiva anemis dan
ekstremitas (anemia), serta jika ikterus, perdarahan mukosa. Perhatika
abdomen apakah ada distensi abdomen, massa, dan gelombang
peristaltik. Lihat juga apakah umbilikus mengalami eversi, dimana itu
menandakan bahwa tekanan intra abdomen meningkat.
- Palpasi : nilai adanya nyeri tekan pada perut, nilai pembesaran organ
(splenomegali atau hepatomegali), denyut nadi melemah, dan demam.
- Perkusi : menilai adanya perubahan bunyi jika terjadi suatu kelainan
khususnya pada perut jika terjadi pembesaran organ akan menimbulkan
bunyi timpani yang bisa berubah. Perkusi batas-batas organ hepar dan
splen
- Auskultasi : pada kasus kecacingan bising usus biasa akan ternilai
meningkat. Adakah ronkhi kasar dan denyut jantung yang melemah.

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah : untuk mengetahui kadar leukosit
2) Pemeriksaan pada tinja :
 Ascariasis
Untuk melihat telur cacing atau cacing yang terdapat di feses Pada
Ascariasis selama fase pulmonal akan ditemukan eosinophilia. Diagnosis
ditegakkan dengan menemukan cacing atau telur cacing pada tinja atau
karena cacing dewasa keluar tubuh dan ditemukan dalam tinja. Menurut
WHO infeksi berat bila ditemukan >50.000 telur/gram feses, eosinophil
meningkat adalah tanda adanya suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit,
juga disebabkan oleh adanya reaksi sensitifitas.

 Trichuriasis
Diagnosis mudah ditegakkan dengan menemukan telur yang terdapat dalam
tinja. Pada mikroskop terlihat telur berbentuk seperti tong dan morfologinya
lebih mudah dilihat pada sediaan basah. Menurut WHO dikatakan infeksi
berat apabila ditemukan >10.000 telur/gram feses.

 Filariasis
Diagnosis pasti hanya dapat diperoleh melalui pemeriksaan parasite dan hal
ini cukup sulit. Cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah bening atau
kelenjar getah bening sulit dijangkau sehingga tidak dapat ditemukan di
dalam darah, cairan hidrokel, atau kadang-kadang cairan tubuh lainnya.
Banyak individu terinfeksi yang tidak mengandung mikrofilia dalam
darahnya sehingga diagnosis pasti sulit ditegakkan. Pada pemeriksaan darah
tepi ditemukan leukositosis dengan eosinophilia sampai 10%-30%.

 Enterobiasis
Telur cacing jarang ditemukan di feses dan hanya dapat mendeteksi telur
berkisar 10%-15% pasien yang terinfeksi pada pemeriksaan feses rutin. 1,5
Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di
sekitar anus pada malam hari. 5,16 Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan
melihat anus si anak pada malam hari dan menemukan cacing dewasa yang
sedang keluar untuk bertelur. 2 Anal swab merupakan metode terbaik dalam
mendiagnosis enterobiasis. 22,23 Telur cacing diambil dengan metode anal
swab atau cellophane swab yang ditempelkan di sekitar anus pada pagi hari
sebelum anak buang air besar.

 Strongiloides
Larva rhabditiform/larva filariform ditemukan pada sediaan feses, cairan
duodenum, cairan asites, dan sputum. Larva rhabditiform dapat ditemukan
pada tinja segar sedangkan larva filariform harus dilakukan pembiakan tinja
dan secret duodenum terlebih dahulu yang diambil dengan duodenal sonde

 Cacing Tambang/ Necator


Diagnosis pasti adalah dengan ditemukannya telur cacing tambang didalam
tinja pasien. Selain dalam tinja, larva dapat juga ditemukan dalam sputum.
Kadang-kadang terdapat sedikit darah dalam tinja.

 Fascioliasis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukan telur pada tinja atau cairan
empedu.

 Taeniasis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya proglotid dalam tinja baik
secara aktif maupun pasif serta telur dengan menggunakan cellophan tape.
Namun, untuk identifikasi spesies perlu dilakukan pemeriksaan skoleks yang
keluar setelah pengobatan dengan pewarnaan camin atau laktofenol

2. TATALAKSANA
a. Ascariasis
➢ Pemeriksaan makroskopis : Tinja dan muntahan untuk menemukan bentuk
cacing dewasa.
➢ Pemeriksaan mikroskopis : Tinja dan cairan empedu untuk menemukan
betuk telur dari cacing ascariasis lumbricoides.
➢ Pemeriksaan laboratorium : Apusan darah tepi akan mendapatkan
eosinophil yangmelebihi batas normal dan scrath tes (+).
➢ Pemriksaan radiologi : Barium (ektopik)
• Terapi
➢ Farmakologi
Mebendazole 500 mg, Albendazole 400 mg single dose, Pirantel Pamoate 10
mg/kgbb single dose, levamisole 120 mg dewasa dan untuk anak 2,5
mg/kgbb single dose.
➢ Non Farmakologi
Cacing Ascaris Lumbricoides merupakan cacing dengan ukuran yang besar
dibanding dengan jenis cacing lainnya, apabila cacing ascaris dengan jumlah
yang banyak menumpuk di usus dan menyebabkan obstruksi maka harus
diberi tindakan laparatomi.
b. Trichuriasis
➢ Pemeriksaan Mikroskopis : tinja yang diperiksa akan menunjukan bentu
telur dari cacing Trichuris Trichura yang memiliki bentuk yang khas seperti
talang.
➢ Pemeriksaan Protoskopi : akan menemukan bentuk cacing dewasa bentuk
sepertin cambuk.
• Terapi
➢ Terapi kombinasi
Pirantel pamoate 10 mg /kgbb single dose + oksantel pamoate 10-20
mg/kgbb single dose.
Mebendazole 2x100 mg/hari single dose atau levamisole 2,5 mg/kgbb/hari
single dose. Apabila terdapat gejala anemia maka harus diberikan preparat
besi dan perbaikan asupan gizi.
c. Cacing tambang (Ankilostomiasis dan necatoriasis)
➢ Diagnosis pasti dengan cara pemeriksaan mikroskopis pemeriksaan tija
kan mendapatkan bentu telur dari cacing tambang.
➢ Pemeriksaan Laboratorium
HB untuk perempua menurun < 11,5 g/dL dan laki-laki 13,5 g/Dl, MCHC <
31-36 g/Dl, Hipokronik mikrosister leukopeni <4000/ml, Eusinophilia 30%,
anisotosis atau poikilositosis.
• Terapi
Albendazole 400 mg single dose, Mebendazole 600 mg single dos unt 3 hari
jika masih positif ulangi sampi 3-4 minggu kemudian, dan zat besi oral atau
parenteral apa bila ditemukan anemia.
d. Strongiloidosis
Pemeriksaan tinja dapat ditemukn larva Rabditiform dan biakan tinja akan
menemukan larva filariform.
• Terapi
Tiabendazile 3x25 mg/kgbb/hari selama 3 hari.
e. Enterobiasis
Anal swab akan menemukan bentuk cacing dewasa.
• Terapi
Albendazole 400 mg sigle dose, Mebendazol 100 mg, arintel Pamoat
10mg/kgbb/hari selama 7 hari diulang setelah 2-4 minggu.
f. Fasciolopsis Busci
Pemeriksaan makroskopi tija dan muntahan akan menemukan cacing dewasa.
• Terapi
Niklosamid 2 g sigle does untuk dewasa, anak BB 10-35 dosis 1 g, <10 kg
dosis 0.5 g Prazikuantel 25 mg/kgbbsibgle dose.
g. Echinostima
• Terapi
Prazikuantel 25 mg/kgbb singke dose, tetrakloretilen
h. Clonorsis sinensis
Pemeriksaan tinja atau cairan duodenum menemukan telur cacing yang khas.
Anamnesis pada daerah endemis ditemukan hepatomegaly dengan kebiasaan
makan ikan mentah.
• Terapi
Prazikuantel 3x25 mg/kgbb selama 2 hari atau 40 mg/kgbb single dose.
Infeksi ringan diberikan Gentiam violet, infkeksi berat diberikan klorokuin.
i. Fasciola Hepatica
➢ Pemeriksaan tinja dan cairan empedu diteukan telur yang khas.
➢ Pemeriksaan serologi untuk menguji fiksasi komplemen atau tes
intradermal
• Terapi
Prazikuantel 3x25 mg/kgbb atau 40 mg/kgbbsinge dose 1-2 hari.
j. Difolobotriasis
Pemeriksaan mikroskopis tinja dapat ditemukan telurr dan prohlotid yang
khas untuk menentukan spesiesnya.
• Terapi
Niklosamid 2 g single dose untuk dewasa, anak anak dengan berat badan 10-
35 kg dosis 1 g, <10 kgg dosis 0,5 g, prazikuantel 600 mg sigle dose, apabila
ditemukan gejala anemia dapat diberikan asam folat dan vitamin B12.
k. Echinococus granuulosus
➢ Tes alergi casoni jika (+) terdapat benjolan intradermal
➢ Pemeriksaan mikrokoskopik apusan darah tepi eudinofilia 20-25 %
• Terapi
Albendazol 10 mg/kgbb atau mebendazol 40 mg/kgbb/hari selama 1-6 bulan.
l. Taeniasis
Pemeriksaan makroskopis tinja akan menemukan skoleks cacing yang khas
• Terapi
➢ Prazikuantel 100 mg/kgbb single dose, mebendazole 2x200 mg/hari
selama 4 hari.
➢ Albendazole 400 mg single dose selama 3 hari untuk pasien dewasa, untuk
pasien anak 1-2 tahun 200 mg single dose.
➢ Atabrin peroral aau trans duodenal.
3. METODE PENCEGAHAN SESUAI ETIOLOGI
a. Pencegahan Ascariasis dapat dilakukan dengan cara :

Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, hygiene
keluarga dan hygiene pribadi seperti :

1) Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman


2) Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan tangan dicuci
terlebih dahulu dengan menggunakan sabun
3) Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan
hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.

Karena telur cacing ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun,
pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit. Adapun upaya
untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :

1) Mengadakan kemoterapi masalah setiap 6 bulan sekali di daerah endemik


ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis
2) Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan
3) Melakukan usahaa ktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus
hidup cacing misalnya memakai jamban
4) Makan makanan yang dimasak saja
5) Menghin dari sayuran mentah dan selada di daerah yang menggunakan
tinja sebagai pupuk.

b. Pencegahan Filariasis dapat dilakukan dengan carayaitu :

1) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis


mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor (nyamuk)
2) Mengidentifikasikan vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif
dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia, mengidentifikasi waktu
dan tempat menggigit nyamuk serta ternpat perkembangbiakannya
3) Pengendalian vektor jangka panjang yang rnungkin memerlukan
perubahan konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta
pengendalian lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk
4) Melakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan
diethylcarbamazine citrate.

c. Pencegahan Trichuriasis dapat dilakukan dengan cara :


1) Hindari sayuran yang belum dicuci bersih
2) Gunakan jamban yang bersih atau pembuangan tinja yang memenuhi
syarat
3) Tingkatkan kebersihan individu.

d. Pencegahan Necator Americanus dapat dilakukan dengan cara:

Infeksi cacing tambang bias dicegah dengan tidak menyentuh tanah secara
langsung, dan menggunakan alas kaki jika berkunjung kedaerah endemic cacing
tambang. Selain itu, membersihan makanan dan sayuran yang akan dikonsumsi
juga bias membantu menghindari infeksi parasit ini.
Mencuci tangan sebelum makan dan mengonsumsi air siap minum yang bersih
atau matang juga diperlukan untuk mencegah penyebaran cacing tambang.
e. Pencegahan Strongiloides dapat dilakukan dengan cara :
1) Selalu menggunakan alat kaki saat keluar rumah
2) Hindari kontak kaki secara langsung dengan tanah
3) Tidak buang air besar sembarangan
f. Pencegahan Enterobiasis dapat dilakukan dengan cara :

1) Memotong kuku yang sudah panjang dan kotor


2) Selalu mencuci tangan sebelum makan
3) Menjauhkan makanan daridebu
4) Mencuci bersih dan rutin mengganti pakaian serta alas Kasur

g. Pencegahan fasciolopsiasis dapat dilakukan dengan cara :

1) Memasak tumbuhan air sebelum dimakan, serta jangan buang air besar
sembarangan terutama di lokasi perairan yang ditumbuhi tumbuhan air.
2) Fasciolopsiasis dapat diobati dengan Praziquantel secaraoral

h. Pencegahan Schistosoma dapat dilakukan dengan cara:

1) Menghindari kontak dengan air tawar (sungai, danau, dan sebagainya) di


daerah tempat terdapat cacing parasit ini.
2) Selalu minum air yang bersih dan aman. Jika harus mengonsumsi air
mentah, pastikan untuk merebus air terlebih dahulu.
3) Air yang digunakan untuk mandi sebaiknya direbus selama satu menit
agar aman dari parasit. Air yang ditampung selama 1–2 hari dapat dianggap aman
untuk mandi.
4) Pengeringan badan dengan handuk (menggosok-gosok badan dengan
handuk secara keras) dapat membantu menghindari cacing masuk dalam kulit.
Namun hal ini tidak dapat diandalkan sebagai tindakan pencegahan.

i. Pencegahan Taeniasis dapat dilakukan dengan cara :

1) Hindari mengonsumsiikan dan daging (terutama daging babi) yang tidak


matang sempurna.
2) Cuci semua buah dan sayuran, sertamasa kmakanan hingga matang
sebelum dimakan.
3) Bagi yang memiliki peternakan, buatlah saluran pembuangan kotoran
yang baik, jangan sampai mencemari air yang digunakanuntuk keperluan
konsumsi.
4) Bawalah hewan peliharaan kedokter hewan jika ter infeksi cacing pita.
5) Cucilah tangan dengan sabun sebelum dan sesudah mengolah makanan,
sebelum makan, dan setelah keluard ari toilet.
DAFTAR PUSTAKA

. Ed. 5. Jakarta. Balai penerbit FK UI


Anorital, et al. 2003. Studi Prevalensi Fasciolopsiasis di Kabupaten Hulu Sungai
Utara Kal-Sel tahun 2002-2003. KalSel: Media Litbang Kesehatan. vol. XV
no 3.

Ariawati, N.L. 2017. Tinjauan Pustaka Infeksi Ascaris Lumbricoides.


Denpasar: Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.

Aru W.sudoyono.2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi VI jilid I.


Pusat Ilmu Penyakit dalam Diponegoro 71. Jakarta pusat

Charles D garuh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Pengaruh Infeksi
Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan Fisik
Anak Usia Sekolah Dasar. Sari Pediatric. vol 8, (11) 2006 112-117.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Patofisiologi. Jakarta. EGC.

Craig, C.F., et al. 1970. Craig and Faust’s Clinical Parasitology. Michigan : Lea &
Febiger CDC. Fasciolopsiasis (Fasciolopsis infection)
Sumber :https://medlab.id/fasciolopsis-buski/

Craig,C.F.,et al.1970. Craig and Faust’s Clinical


Parasitology. Michigan: Lea & Febiger CDC. Ascariasis.
https://medlab.id/ascaris-lumbricoides/

Cristanto, dkk . 2002. Kapita Selekta Kedokteran edisi IV jilid II. penerbit
buku kedokteran EGC

FKM-USU. repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 15 juni 2013

Ideham B, Pusarawati S. Filariasis, Kelas Nematoda. Dalam :


Helmintologi Kedokteran. Cetakan Pertama. Airlangga University
Press. Surabaya 2007.
Masrizal. 2013. Penyakit Filariasis. Padang : Jurnal Kesehatan
Masyarakat. vol 7 no.1

Rasmaliah. Askariasis sebagai penyakit cacing yang perlu diingat


kembali. Epidemiologi

Syarif amir dan Elysabet. 2009. Departemen Farmakologi dan Terapeutik


edisi 5. Balai Penerbit FK UI Jakarta.

Widoyono. Penyakit Tropis. 2006. Penerbit Erlangga: Jakarta

Winarti, L . 2015. Kenali penyebab lelah, letih, lesu. Yogyakarta : UGM

Yuni Rahmawati, Syifa Mustika, Harijono Ahmad Case Report: Loeffler's


Syndrome and Duodenal Necatoriasis. Jurnal Brawijaya. vol.28 no 1,
februari 2014

Anda mungkin juga menyukai