MODUL I
LESU
KELOMPOK 7
FAKULTAS KEDOKTERAN
KENDARI
2019
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
SKENARIO
Seorang anak perempuan berumur 10 tahun diantar ibunya ke puskesmas dengan keluhan
lemas dan lesu. Gejala ini juga disertai dengan penurunan nafsu makan dan tidak ada minat
belajar. Keadaan ini dialami oleh anak tersebut sejak 4 bulan yang lalu.
B. PERTANYAAN
1. Jelaskan definisi dan etiologi lesu !
2. Jelaskan patomekanisme terjadinya lesu !
3. Jelaskan Penyakit-penyakit yang berdasarkan Skenario !
4. Jelaskan hubungan lemah dan lesu dengan penurunan nafsu makan
5. Jelaskan langkah-langkah diagnosis kelainan dan keluhan lesu
6. Jelaskan penatalaksanaan lesu menurut etiologinya
7. Jelaskan metode pencegahan lesu sesuai etiologinya
C. JAWABAN
1. Definisi dan Etiologi Lesu
a. Definisi Lesu
1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) : Lesu adalah suatu
perasaan lemah, lelah, letih, dan tidak bersemangat, kelesuan diartikan kekurangan
tenaga, kepenatan, perasaan lesu dan kehilangan semangat.
b. Etiologi Lesu
1. Anemia Defisiensi zat besi. Anemia defisiensi besi pada anak akan memberikan
dampak yang negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh (lesu) sehingga meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Selain itu berkurangnya zat besi di dalam tubuh juga dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan organ tubuh akibat oksigenasi ke jaringan
berkurang
2. Kurangnya suplai darah ke jaringan (Anemia)
3. Penyakit yang mempengaruhi metabolisme tubuh
4. Komsumsi obat-obatan seperti anti depresan, anti hipertensi, dan diuretik.
5. Kelenjar tiroid yang terlalu aktif atau kurang aktif
6. Anoreksia
7. Penyakit kanker, HIV, TBC, Gagal Ginjal, Gagal Hati, dan Gagal Jantung
. 2. Patomekanisme Lesu
Lesu dapat disebabkan oleh intake nutrisi penderita berkurang, dimana penderita
tidak mau makan atau tidak lapar, keadaan ini dapat disebabkan oleh penekanan daerah
lateral hipotalamus, sehingga menyebabkan seseorang merasa kenyang dan tidak
merasakan lapar, rasa kenyang ini juga disebabkan oleh akibat adanya peradangan,
infeksi, atau inflamasi, dimana inflamasi ini akan mengaktifkan mediator radang IL-1,
IL-6, IL-8, dan TNF-alpha. Mediator radang ini akan mengeksitasi daerah peka
glukosa, atau terjadi hiperaktifitas glukosa, sehingga glukosa yang dihasilkan ini akan
memberikan asupan ke otak, dan rangsangan untuk rasa lapar tidak ada, dan asupan
nutrisi yang masuk ke tubuh sebagai penghasil energi berkurang dan terjadilah lesu.
Lesu akibat intake nutrisi juga dapat disebabkan oleh seseorang yang malas makan,
atau tidak merasa nyaman dibagian abdomennya, sehingga apabila orang tersebut
makan, dia akan merasakan rasa kurang nyaman. Lesu juga dapat diakibatkan oleh
penderita yang mengalami anemia yang diakibatkan oleh hipoksia jaringan, sehingga
2
kebutuhan oksigen jaringan berkurang, anemia ini dapat disebabkan oleh antigen yang
masuk yang mengambil darah sebagai asupan makanannya, akibatnya kebutuhan
oksigen ke jaringan lain berkurang, sehingga menyebabkan seseorang lesu.
a. Ascariasis
Pengertian :
Infeksi askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang, ditemukan di seluruh area
tropis di dunia, dan hampir di seluruh populasi dengan sanitasi yang buruk. Telur
cacing bisa didapatkan pada tanah yang terkontaminasi feses, karena itu infeksi
askariasis lebih banyak terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan jari yang
terkena tanah ke dalam mulut.
Etiologi :
3
Ascaris lumbricoides adalah nematoda usus atau cacing usus yang ditularkan melalui
tanah (soil transmitted helminth) yang dapat meyebabkan penyakit ascariasis, cacing
ini disebut juga dengan cacing gelang. Dalam periode hidupnya cacing
ini memerlukan tanah untuk berkembang dan penularan cacing ini melalui perantara
tanah.
Siklus hidup Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides dewasa hidup di dalam usus,
cacing betina mampu bertelur rata-rata 200.000 butir perhari, telur ini kemudian
keluar dari tubuh hospes bersama tinja. Apabila ditanah kondisinya menguntungkan
dalam jangka waktu 3 minggu akan menjadi infektif. Apabila telur infektif tertelan
manusia telur akan menetas menjadi larva rhabditiform di usus, kemudian larva akan
menembus dinding usus dan masuk ke vena atau pembuluh limfe, ikut dalam
sirkulasi darah, ke jantung dan kemudian sampai paru-paru. Dalam kapiler alveoli
larva rhabditiform kemudian menembus dinding alveoli, masuk ke rongga alveoli,
bergerak ke atas menuju bronkhus dan sampai glottis. Kemudian dari glottis larva
tertelan masuk esofagus dan tumbuh menjadi dewasa di usus. Lama siklus
hidup cacing ini dari terjadinya infeksi sampai cacing dewasa bertelur memerlukan
waktu sekitar 2 bulan, dan cacing dewasa dapat hidup selama 12 – 18 bulan.
4
Gejala Klinis Ascariasis
biasanya sangat ringan, infeksi oleh 20 ekor cacing dewasa bisa berlangsung
tanpa keluhan, keluhan yang timbul biasanya hanya berupa sakit perut yang tidak
jelas, didalam usus cacing ini mengganggu absorbsi nutrisi dan ikut mengambil
nutrisi makanan dari usus
cacing dewasa dapat menimbulkan komplikasi berupa erratic migration yaitu
berpindahnya cacing ke tempat yang tidak semestinya misalnya saluran empedu,
kandung empedu, hati, apendixm dan eritoneum
5
cacing dewasa kadang bisa saling belit satu sama lain sehingga membentuk
gumpalan yang bisa menyimbat saluran usus dan mengakibatkan terjadinya “ileus
obstruktivus” yang bisa berakibat fatal.
b. Filariasis
Definisi :
Penyakit ini diperkirakan seperlima penduduk dunia atau 1.1 milyar penduduk
beresiko terinfeksi, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Penyakit
ini dapat menyebabkan kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososisal, dan
penurunan produktivitas kerja penderita, keluarga dan masyarakat sehingga
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Dengan demikian penderita
menjadibeban keluarga dan negara. Sejak tahun 2000 hingga 2009 di Iaporkan kasus
kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/ kota.4,24
Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan
masalah di daerah dataran rendah. Tetapi kadang-kadang juga ditemukan di daerah
bukit yang tidak terlalu tinggi. DiIndonesia filariasis tersebar luas, daerah endemis
terdapat terdapat di banyak pulau di seluruh nusantara, seperti di Sumatera dan
sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya.
Etiologi :
Hospes
Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang
lain yang rentan. Biasanya pendatang bamke daerah endemis lebih rentan terhadap
infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk asli. Pada umumnya laki-
laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk
mendapat infeksi{exposure). Juga gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki, karena
pekerjaan fisik yang lebih berat,
HospesReservoar
6
Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk
manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah keong dan kera
terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi.
Vektor
Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada
jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan di tularkan
oleh Cx.quinquefasciatur yang tempat perindukannya air kotor dan tercemar.
W.bancrofti di daerah pedesaan dapat dituiarkan oleh bermacam spesies nyamuk. Di
Irian Jaya W.bancrofti dituiarkan terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan
bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Selain itu ditemukan juga
sebagai vektor : An.Koliensis, An.punctulatus, Cx.annulirostris dan Ae.Kochi,
W.bancrofti didaerah lain dapat dituiarkan oleh spesies lain, seperti An.subpictus di
daerah pantai NTT. Selain nyamuk Culex, Aides pernah juga ditemukan sebagai
vektor. B.malayi yang hidup pada manusia dan ewan biasanya dituiarkan oleh
berbagai spesies mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain,
yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatra, Kalimantan, Maluku dan lain-lain.
B.malayi yang periodik dituiarkan oleh An.Barbirostris yang memakai sawah sebagai
tempat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi. B.timori, spesies yang ditemukan
di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor-
Timor, dituiarkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik
di dekat pantai maupun di darah pedalarnan.
Agent
Filariasis disebabkan oleh cacing filarial pada manusia, yaitu (1) W.bancrofti; (2)
B.malayi; (3) B.timori', (4) Loa loa\ (5) Onchocerca volvulus', (6)
Acanthocheilonema perstants; (7) Mansonella azzardi. Yang terpenting ada tiga
spesies, yaitu W.bancrofti,B.malayidan B timori.
7
Filaria membutuhkan insekta sebagai vektor. Nyarnuk culex adalah vektor dari
penyakit filariasis W.bancrofti dan B.malayi. Jumlah spesies Anopheles, Aedes,
Culex, dan Mansonia cukup banyak, tetapi kebanyakan dari spesies tersebuttidak
penting sebagai vektor alami
Siklus Hidup
Siklus hidup mikrofilaria terjadi dalam dua tahap yaitu dalam tubuh manusia dan
dalam tubuh nyamuk
Selama mengisap darah, nyamuk yang terinfeksi memasukkan larva stadium tiga (L-
3) melalui kulit manusia dan penetrasi melalui luka bekas gigitan. Larva berkembang
menjadi dewasa dan pada umumnya habitatnya pada kelenjar limfatik. Cacing
dewasa menghasilkan microfilaria yang migrasi ke limfe dan mencapai sirkulasi
8
darah perifer. Nyamuk mengingesti microfilaria selama mengisap darah. Setelah
masuk dalam tubuh nyamuk, selubung (sheath) dari microfilaria terlepas dan melalui
dinding proventikulus dan ke usus bagian tengah (midgut) kemudian mencapai otot
toraks. Microfilaria berkembang menjadi larva stadium pertama (L-1) kemudian
menjadi L-2 dan selanjutnya menjadi larva stadium tiga (L-3). Larva stadium tiga
bermigrasi menuju probosis dan dapat menginfeksi penderita yang lain ketika
mengisap darah
Gejala Klinis
Filariasis dapat menimbulkan gangguan saluran napas yang disebut sebagai Tropical
Pulmonary Eosinophilia (TPE), pada keadaan ini terjadi hiperesponsif reaksi
imunologi terhadap antigen filaria. Gejala yang timbul adalah hipereosinofilia (20-
9
90%), kadang-kadang disertai batuk dngan sesak napas, pembesaran kelenjar limfe
dan tidak ditemukan microfilaria dalam darah
c. Fasciolopsiasis
Definisi :
Fasciolopsiasis adalah penakit kecacingan yang disebakan oleh cacing Fasciolopsis
Buski. Cacing ini merupakan salah satu trematoda terbesar yang dapat meginfeksi
manusia dan dapat bermanifestasi ke lumen usus.
Etilogi :
10
Fasciolopsis buski adalah salah satu trematoda usus yang bersifat hermaprodit yang
dapat menimbulkan penyakit fasciolopsiasis. Hospes definitif parasit ini adalah
manusia, babi, kadang-kadang anjing, hospes intermedier 1 nya keong air,
sedangkan hospes intermedier 2 nya adalah tumbuhan air.
Siklus Hidup :
Gejala Klinis :
Peradangan akibat perlekatan cacing pada mukosa usus
Ulserasi yang agak dalam pada luka
Abses dengan sakit di daerah epigastrium
Mual
Diare ringan sampai berat
Pada infeksi yang berat dapat terjadi oedem dan ascites
Anemia ringan dengan lekositosis dan eosinofilia sampai 35%
Gejala klinis ini kemungkinan diakibatkan oleh toksin dari cacing. Gejala-gejala
pada umumnya terjadi pada pagi hari dan menghilang bila penderita diberi
makan. Cacing bisa didapatkan sampai usus besar, kadang dapat menyebabkan
stasis usus atau obstruksi karena jumlah cacing yang cukup banyak.
d. Ankilostomiasis
Defenisi
Etiologi
Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar memalui tinja. Bila telur
tersebut jatuh ke tembat yang hangat, lembab dan basah, maka telur akan berubah
menjadi larva yang infektif. Dan jika larva tersebut kontak dengan kulit,
bermigrasi sampai ke paru-paru dan kemudian turun ke usus halus; di sini larva
berkembang menjadi cacing dewasa (Pohan, 2009). Infeksi terjadi jika larva
filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan menelan
larva filariform.
Telur dari kedua cacing tersebut ditemukan di dalam tinja dan menetas di
dalam tanah setelah mengeram selama 1-2 hari. Dalam beberapa hari, larva
dilepaskan dan hidup di dalam tanah. Manusia bisa terinfeksi jika berjalan tanpa
alas kaki diatas tanah yang terkontaminasi oleh tinja manusia, karena larva bisa
menembus kulit. Larva sampai ke paru-paru melalui pembuluh getah bening dan
aliran darah. Lalu larva naik ke saluran pernafasan dan tertelan. Sekitar 1 minggu
setelah masuk melalui kulit, larva akan sampai di usus. Larva menancapkan
dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus halus bagian atas dan
mengisap darah.
Gejala Klinis
Stadium larva (Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka
terjadi perubahan kulit yang disebut grown itch. Perubahan pada paru biasanya
ringan.)
Stadium dewasa (Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan
gizi penderita (Fe dan Protein). Tiap cacing A.duodenale menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,08-0,34 cc sehari. Biasanya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya
toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan
kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun)
Rasa tidak enak pada perut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus),
mencret-mencret merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi
lebih kurang dua minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit.
Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing dan walaupun
diperlukan lebih dari 500 cacing dewasa untuk menimbulkan anemia tersebut
tentunya tergantung pada keadaan gizi pasien
Diagnosis
Defenisi
Telur dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia selama 3 minggu pada suhu
ruangan yang normal. Tetapi telur bisa menetas lebih cepat dan cacing muda
dapat masuk kembali ke dalam rektum dan usus bagian bawah.
Gejala
Gejalanya berupa:
a. rasa gatal hebat di sekitar anus
b. rewel (karena rasa gatal dan tidurnya pada malam hari terganggu)
c. kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam hari ketika
cacing betina dewasa bergerak ke daerah anus dan menyimpan telurnya
disana)
d. nafsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang terjadi, tetapi bisa
terjadi pada infeksi yang berat)
e. rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak perempuan, jika cacing dewasa masuk
ke dalam vagina)
f. kulit di sekitar anus menjadi lecet atau kasar atau terjadi infeksi (akibat
penggarukan).
Diagnose
Cacing kremi dapat dilihat dengan mata telanjang pada anus penderita,
terutama dalam waktu 1-2 jam setelah anak tertidu pada malam hari. Cacing
kremi berwarna putih dan setipis rambut, mereka aktif bergerak. Telur maupun
cacingnya bisa didapat dengan cara menempelkan selotip di lipatan kulit di
sekitar anus, pada pagi hari sebelum anak terbangun. Kemudian selotip tersebut
ditempelkan pada kaca objek dan diperiksa dengan mikroskop.
f. Strongylodiosis
Definisi
Manifestasi kulit yang terjadi seperti ptekie dan purpura, sering diikuti
juga dengan pruritus, eritematous, erupsi morbiliform, atau prurigo.
Komplikasi yang paling penting dan sangat potensial menjadi fatal yaitu
terjadinya bakteriemia gram negatif terutama oleh Streptococcus bovis,
Escherichia coli, Streptococcus fecalis, Klebsiella pneumoniae atau
Enterobacter sp. Bakteri patogen ini masuk ke dalam aliran darah bersamaan
dengan penetrasi larva. Terserangnya sistem syaraf pusat dapat menyebabkan
sakit kepala, gangguan status mental, kejang dan kadang koma. Meningitis
karena bakteri gram negatif juga sering dilaporkan khususnya pada pasien
imunosupresi.
Imunodiagnosis Strongiloidiasis
Deteksi adanya larva strongyloides di dalam tinja penderita dengan
menggunakan mikroskop merupakan pemeriksaan umum yang dilakukan
tetapi hasil yang negatif tidak menyingkirkan infeksi karena larva biasanya
sedikit dan sporadik. Diagnosis serologi dari strongyloidiasis sangat berguna
terutama pada kasus asimptomatik atau dengan gejala ringan, pada pasien
imunokompromis. Salah satunya yaitu deteksi antibodi Strongyloides pada
serum penderita, menggunakan antigen larva (L3). Deteksi antibodi IgG
spesifik parasit banyak digunakan, walaupun tidak bisa membedakan infeksi
sekarang atau masa lalu. Antigen yang digunakan diperoleh dari kultur feses
pasien yang terinfeksi atau hewan percobaan. Sekarang dikembangkan klon
rekombinan cDNA dari larva stadium infektif S. stercoralis. Pada penelitian
Ravi et al, dilaporkan antigen rekombinan 31-kDa (NIE) dari pustaka L3
cDNA hampir sama atau lebih reaktif dibandingkan antigen somatik dalam
menstimulasi respons imun dan tidak memberikan reaksi silang dengan cacing
filaria ataupun nematoda usus lain. Antigen rekombinan ini menstimulasi
reaksi antibodi IgE dan IgG4 spesifik parasit pada penderita strongyloidiasis.
Klon rekombinan cDNA dari larva stadium infektif sangat potensial untuk
imunodiagnosis strongiloidiasis kronis.
g. Schistosomiasis
Definisi
Etiologi
Siklus hidup
Gejala klinis
1. Pada kulit : hanya reaksi lokal yang ringan, pada jaringan kulit terjadi infiltrasi
selluler. Spesies non manusia dapat menimbulkan dermatitis cercaria
(swimmer’s itch)
3. Pada hati : dapat timbul hepatitis akut selama larva mengalami pertumbuhan di
dalam cabang-cabang vena portae dalam hepar. Pada stadium sistemik ini
akan terjadi gejala panas, menggigil, sakit kepala, leukositosis, dan
eosinophilia.
h. Thricuriasis
Definisi
Siklus Hidup
Gejala klinis yang timbul berhubungan dengan jumlah cacing. Jumlah cacing
yang besar dapat menimbulkan anemia berat, disentri, nyeri perut, mual-
muntah, berat badan menurun dan prolapsus ani (Behrman & Vaughan, 1995;
Eisenberg, 1983; Garcia & Bruckner, 1996; Maegraith & Gilles, 1971).
T.trichiura mengisap darah dari host diperkirakan 0,005 ml darah/hari/ekor
cacing, sehingga menyebabkan anemia, perdarahan dapat terjadi pada
perlekatannya dan mudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri/parasit usus
lain. (Behrman, 1995; Brown & Neva, 1983; Faust & Russel, 1965; Hunter et
al., 1966; Schmidt et al., 2005).
i. Taeniasis
Definisi
Gejala Klinis
Gejala penderita taeniasis umumnya yaitu berupa rasa tidak enak pada perut,
gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala dan anemia.Pemeriksaan
darah tepi terdapat gambaran peningkatan eosinofil. Sistiserkosis pada otak
(neurosistiserkosis) dengan gejala gangguan motorik, kelainan saraf sensorik
maupun gangguan mental penderita. Sistiserkosis pada bola mata
menyebabkan nyeri bola mata, gangguan pengelihatan dan kebutaan.
Sedangkan pada otot jantung menyebabkan takikardia, sesak napas, sinkop
dan gangguan irama jantung
4 . HUBUNGAN LEMAH DAN LESU DENGAN PENURUNAN NAFSU MAKAN
1. LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS
a. Anamnesis
- Keluhan utama
b. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : dinilai apakah sakit ringan, sedang atau berat serta
kesadarannya. Nilai gaya jalan pasien ketika saat memasuki ruangan
apakah ada gerakan menggaruk-garuk dibagian anus atau tidak.
- Tanda- tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan dan nyeri
- Inspeksi : nilai apakah pucat pada wajah, komjungtiva anemis dan
ekstremitas (anemia), serta jika ikterus, perdarahan mukosa. Perhatika
abdomen apakah ada distensi abdomen, massa, dan gelombang
peristaltik. Lihat juga apakah umbilikus mengalami eversi, dimana itu
menandakan bahwa tekanan intra abdomen meningkat.
- Palpasi : nilai adanya nyeri tekan pada perut, nilai pembesaran organ
(splenomegali atau hepatomegali), denyut nadi melemah, dan demam.
- Perkusi : menilai adanya perubahan bunyi jika terjadi suatu kelainan
khususnya pada perut jika terjadi pembesaran organ akan menimbulkan
bunyi timpani yang bisa berubah. Perkusi batas-batas organ hepar dan
splen
- Auskultasi : pada kasus kecacingan bising usus biasa akan ternilai
meningkat. Adakah ronkhi kasar dan denyut jantung yang melemah.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah : untuk mengetahui kadar leukosit
2) Pemeriksaan pada tinja :
Ascariasis
Untuk melihat telur cacing atau cacing yang terdapat di feses Pada
Ascariasis selama fase pulmonal akan ditemukan eosinophilia. Diagnosis
ditegakkan dengan menemukan cacing atau telur cacing pada tinja atau
karena cacing dewasa keluar tubuh dan ditemukan dalam tinja. Menurut
WHO infeksi berat bila ditemukan >50.000 telur/gram feses, eosinophil
meningkat adalah tanda adanya suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit,
juga disebabkan oleh adanya reaksi sensitifitas.
Trichuriasis
Diagnosis mudah ditegakkan dengan menemukan telur yang terdapat dalam
tinja. Pada mikroskop terlihat telur berbentuk seperti tong dan morfologinya
lebih mudah dilihat pada sediaan basah. Menurut WHO dikatakan infeksi
berat apabila ditemukan >10.000 telur/gram feses.
Filariasis
Diagnosis pasti hanya dapat diperoleh melalui pemeriksaan parasite dan hal
ini cukup sulit. Cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah bening atau
kelenjar getah bening sulit dijangkau sehingga tidak dapat ditemukan di
dalam darah, cairan hidrokel, atau kadang-kadang cairan tubuh lainnya.
Banyak individu terinfeksi yang tidak mengandung mikrofilia dalam
darahnya sehingga diagnosis pasti sulit ditegakkan. Pada pemeriksaan darah
tepi ditemukan leukositosis dengan eosinophilia sampai 10%-30%.
Enterobiasis
Telur cacing jarang ditemukan di feses dan hanya dapat mendeteksi telur
berkisar 10%-15% pasien yang terinfeksi pada pemeriksaan feses rutin. 1,5
Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di
sekitar anus pada malam hari. 5,16 Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan
melihat anus si anak pada malam hari dan menemukan cacing dewasa yang
sedang keluar untuk bertelur. 2 Anal swab merupakan metode terbaik dalam
mendiagnosis enterobiasis. 22,23 Telur cacing diambil dengan metode anal
swab atau cellophane swab yang ditempelkan di sekitar anus pada pagi hari
sebelum anak buang air besar.
Strongiloides
Larva rhabditiform/larva filariform ditemukan pada sediaan feses, cairan
duodenum, cairan asites, dan sputum. Larva rhabditiform dapat ditemukan
pada tinja segar sedangkan larva filariform harus dilakukan pembiakan tinja
dan secret duodenum terlebih dahulu yang diambil dengan duodenal sonde
Fascioliasis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukan telur pada tinja atau cairan
empedu.
Taeniasis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya proglotid dalam tinja baik
secara aktif maupun pasif serta telur dengan menggunakan cellophan tape.
Namun, untuk identifikasi spesies perlu dilakukan pemeriksaan skoleks yang
keluar setelah pengobatan dengan pewarnaan camin atau laktofenol
2. TATALAKSANA
a. Ascariasis
➢ Pemeriksaan makroskopis : Tinja dan muntahan untuk menemukan bentuk
cacing dewasa.
➢ Pemeriksaan mikroskopis : Tinja dan cairan empedu untuk menemukan
betuk telur dari cacing ascariasis lumbricoides.
➢ Pemeriksaan laboratorium : Apusan darah tepi akan mendapatkan
eosinophil yangmelebihi batas normal dan scrath tes (+).
➢ Pemriksaan radiologi : Barium (ektopik)
• Terapi
➢ Farmakologi
Mebendazole 500 mg, Albendazole 400 mg single dose, Pirantel Pamoate 10
mg/kgbb single dose, levamisole 120 mg dewasa dan untuk anak 2,5
mg/kgbb single dose.
➢ Non Farmakologi
Cacing Ascaris Lumbricoides merupakan cacing dengan ukuran yang besar
dibanding dengan jenis cacing lainnya, apabila cacing ascaris dengan jumlah
yang banyak menumpuk di usus dan menyebabkan obstruksi maka harus
diberi tindakan laparatomi.
b. Trichuriasis
➢ Pemeriksaan Mikroskopis : tinja yang diperiksa akan menunjukan bentu
telur dari cacing Trichuris Trichura yang memiliki bentuk yang khas seperti
talang.
➢ Pemeriksaan Protoskopi : akan menemukan bentuk cacing dewasa bentuk
sepertin cambuk.
• Terapi
➢ Terapi kombinasi
Pirantel pamoate 10 mg /kgbb single dose + oksantel pamoate 10-20
mg/kgbb single dose.
Mebendazole 2x100 mg/hari single dose atau levamisole 2,5 mg/kgbb/hari
single dose. Apabila terdapat gejala anemia maka harus diberikan preparat
besi dan perbaikan asupan gizi.
c. Cacing tambang (Ankilostomiasis dan necatoriasis)
➢ Diagnosis pasti dengan cara pemeriksaan mikroskopis pemeriksaan tija
kan mendapatkan bentu telur dari cacing tambang.
➢ Pemeriksaan Laboratorium
HB untuk perempua menurun < 11,5 g/dL dan laki-laki 13,5 g/Dl, MCHC <
31-36 g/Dl, Hipokronik mikrosister leukopeni <4000/ml, Eusinophilia 30%,
anisotosis atau poikilositosis.
• Terapi
Albendazole 400 mg single dose, Mebendazole 600 mg single dos unt 3 hari
jika masih positif ulangi sampi 3-4 minggu kemudian, dan zat besi oral atau
parenteral apa bila ditemukan anemia.
d. Strongiloidosis
Pemeriksaan tinja dapat ditemukn larva Rabditiform dan biakan tinja akan
menemukan larva filariform.
• Terapi
Tiabendazile 3x25 mg/kgbb/hari selama 3 hari.
e. Enterobiasis
Anal swab akan menemukan bentuk cacing dewasa.
• Terapi
Albendazole 400 mg sigle dose, Mebendazol 100 mg, arintel Pamoat
10mg/kgbb/hari selama 7 hari diulang setelah 2-4 minggu.
f. Fasciolopsis Busci
Pemeriksaan makroskopi tija dan muntahan akan menemukan cacing dewasa.
• Terapi
Niklosamid 2 g sigle does untuk dewasa, anak BB 10-35 dosis 1 g, <10 kg
dosis 0.5 g Prazikuantel 25 mg/kgbbsibgle dose.
g. Echinostima
• Terapi
Prazikuantel 25 mg/kgbb singke dose, tetrakloretilen
h. Clonorsis sinensis
Pemeriksaan tinja atau cairan duodenum menemukan telur cacing yang khas.
Anamnesis pada daerah endemis ditemukan hepatomegaly dengan kebiasaan
makan ikan mentah.
• Terapi
Prazikuantel 3x25 mg/kgbb selama 2 hari atau 40 mg/kgbb single dose.
Infeksi ringan diberikan Gentiam violet, infkeksi berat diberikan klorokuin.
i. Fasciola Hepatica
➢ Pemeriksaan tinja dan cairan empedu diteukan telur yang khas.
➢ Pemeriksaan serologi untuk menguji fiksasi komplemen atau tes
intradermal
• Terapi
Prazikuantel 3x25 mg/kgbb atau 40 mg/kgbbsinge dose 1-2 hari.
j. Difolobotriasis
Pemeriksaan mikroskopis tinja dapat ditemukan telurr dan prohlotid yang
khas untuk menentukan spesiesnya.
• Terapi
Niklosamid 2 g single dose untuk dewasa, anak anak dengan berat badan 10-
35 kg dosis 1 g, <10 kgg dosis 0,5 g, prazikuantel 600 mg sigle dose, apabila
ditemukan gejala anemia dapat diberikan asam folat dan vitamin B12.
k. Echinococus granuulosus
➢ Tes alergi casoni jika (+) terdapat benjolan intradermal
➢ Pemeriksaan mikrokoskopik apusan darah tepi eudinofilia 20-25 %
• Terapi
Albendazol 10 mg/kgbb atau mebendazol 40 mg/kgbb/hari selama 1-6 bulan.
l. Taeniasis
Pemeriksaan makroskopis tinja akan menemukan skoleks cacing yang khas
• Terapi
➢ Prazikuantel 100 mg/kgbb single dose, mebendazole 2x200 mg/hari
selama 4 hari.
➢ Albendazole 400 mg single dose selama 3 hari untuk pasien dewasa, untuk
pasien anak 1-2 tahun 200 mg single dose.
➢ Atabrin peroral aau trans duodenal.
3. METODE PENCEGAHAN SESUAI ETIOLOGI
a. Pencegahan Ascariasis dapat dilakukan dengan cara :
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, hygiene
keluarga dan hygiene pribadi seperti :
Karena telur cacing ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun,
pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit. Adapun upaya
untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :
Infeksi cacing tambang bias dicegah dengan tidak menyentuh tanah secara
langsung, dan menggunakan alas kaki jika berkunjung kedaerah endemic cacing
tambang. Selain itu, membersihan makanan dan sayuran yang akan dikonsumsi
juga bias membantu menghindari infeksi parasit ini.
Mencuci tangan sebelum makan dan mengonsumsi air siap minum yang bersih
atau matang juga diperlukan untuk mencegah penyebaran cacing tambang.
e. Pencegahan Strongiloides dapat dilakukan dengan cara :
1) Selalu menggunakan alat kaki saat keluar rumah
2) Hindari kontak kaki secara langsung dengan tanah
3) Tidak buang air besar sembarangan
f. Pencegahan Enterobiasis dapat dilakukan dengan cara :
1) Memasak tumbuhan air sebelum dimakan, serta jangan buang air besar
sembarangan terutama di lokasi perairan yang ditumbuhi tumbuhan air.
2) Fasciolopsiasis dapat diobati dengan Praziquantel secaraoral
Charles D garuh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Pengaruh Infeksi
Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan Fisik
Anak Usia Sekolah Dasar. Sari Pediatric. vol 8, (11) 2006 112-117.
Craig, C.F., et al. 1970. Craig and Faust’s Clinical Parasitology. Michigan : Lea &
Febiger CDC. Fasciolopsiasis (Fasciolopsis infection)
Sumber :https://medlab.id/fasciolopsis-buski/
Cristanto, dkk . 2002. Kapita Selekta Kedokteran edisi IV jilid II. penerbit
buku kedokteran EGC