Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PREVALENSI OBESITAS DI INDONESIA


PADA TAHUN 2007-2010

Untuk memenuhi tugas matakuliah


Epidemiologi
yang dibina oleh Bapak Juin Hadisuyitno, SST, M.Kes

Oleh

SABRINA JULIETTA ARISANTY


P17111182049

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN GIZI
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI
MALANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) nomor 36 tahun 2009
tentang kesehatan, pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa pemerintah
bertanggungjawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi,
dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pelayanan kesehatan itu
hendaklah merata bagi semua lapisan masyarakat dengan berbagai pola
penyakit. Pola kejadian penyakit mengalami perubahan ditandai dengan
transisi epidemiologi, yaitu perubahan pola penyakit dan kematian yang
semula didominasi oleh penyakit infeksi beralih ke penyakit noninfeksi
atau penyakit tidak menular (non communicable disease). Perubahan pola
penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi (umur, jenis
kelamin, pendidikan), sosial ekonomi (tingkat pendapatan), dan sosial
budaya (adat istiadat) (Rahajeng, 2012).
Obesitas merupakan salah satu kondisi akibat kelebihan gizi yang
paling umum di hampir semua negara dan terus meningkat dalam jumlah
yang signifi kan. Pembangunan ekonomi dan urbanisasi telah mendorong
ke arah perubahan gaya hidup yang ditandai dengan berkurangnya
aktivitas fisik dan kepatuhan dalam pola makan. Perubahan pola makan
dan perilaku tersebut membutuhkan suatu cara yang dapat dilakukan oleh
ahli gizi dalam mendampingi dan memantau sekaligus sebagai sarana
edukasi pasien.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan obesitas?
2. Bagaimana perkembangan obesitas di Indonesia?
3. Mengapa prevalensi obesitas di Indonesia meningkat?
4. Bagaimana transisi penyakit yang diakibatkan oleh obesitas?
5. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk dapat memperkecil kejadian
obesitas di Indonesia?

1.3. Tujuan
1. Dapat memahami definisi obesitas dengan baik.
2. Mengetahui prevalensi kejadian obesitas di Indonesia.
3. Mengerti penyebab dan faktor –faktor yang mempengaruhi prevalensi
obesitas di Indonesia.
4. Mengetahui perkembangan penyakit yang diakibatkan oleh obesitas.
5. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kasus
obesitas di Indonesia sesuai dengan kelompok usianya.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Obesitas


Obesitas berasal dari bahasa latin yang berarti makan berlebihan.
Obesitas merupakan istilah yang digunakan dalam menunjukkan adanya
kelebihan berat badan (Rahmawati, 2009). Istilah obesitas sendiri menurut
kamus kedokteran Dorland (2012), adalah peningkatan berat badan
melampaui batas kebutuhan fisik dan skeletal, akibat penimbunan lemak
tubuh yang berlebihan. Sedangkan menurut World Health Organization
(WHO),(2015), Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal
atau berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan National Institutes of
Health (NIH) menjelaskan bahwa obesitas terjadi akibat asupan energi
lebih tinggi daripada energi yang dikeluarkan.
Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber
energi dan lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah
disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik dan sedentary life style
(NIH, 2012). Konsumsi makanan berlebih tersebut kemudian akan
disimpan oleh tubuh dalam bentuk timbunan lemak yang akan tersebar di
bagian-bagian tertentu seperti pinggang, perut, lengan bagian atas, dan
bagian tubuh lainnya yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan (Putri,
2012).
Obesitas adalah suatu penyakit serius yang dapat mengakibatkan
masalah emosional dan sosial. Seorang dikatakan overweight bila berat
badannya 10% sampai dengan 20% berat badan normal, sedangkan
seseorang disebut obesitas apabila kelebihan berat badan mencapai lebih
20% dari berat normal. Obesitas saat ini menjadi permasalahan dunia
bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan sebagai
epidemic global.

2.2. Prevalensi Obesitas di Indonesia


Obesitas saat ini menjadi permasalahan dunia bahkan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), (2016) mendeklarasikan sebagai epidemic
global. Menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 yang disajikan
pada tabel 2.1, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia
≥15 tahun (dewasa) pada laki-laki sebesar 13,9% dan pada perempuan
sebesar 23,8%. Terjadi peningkatan pada tahun 2010 menjadi 16,3% pada
laki- laki dan perempuan sebesar 26,9% menurut data Riset Kesehatan
Dasar tahun 2010 yang disajikan pada tabel 2.2. Berdasarkan kedua data
tersebut dapat diketahui bahwa angka obesitas pada perempuan selalu
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, provinsi dengan

3
penderita obesitas tertinggi dari kedua data tersebut sama yaitu Sulawesi
Utara.

TABEL 2.1

TABEL 2.2

Untuk kejadian obesitas pada usia remaja ditunjukkan dengan


prevalensi kegemukan tahun 2010 pada anak usia 16-18 tahun secara
nasional sebesar 1,4%. Ditemukan 11 provinsi yang memiliki kegemukan
pada remaja usia 16-18 tahun di atas prevalensi nasional, salah satunya
adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan persentase
sebesar 4,1%. Prevalensi kegemukan (overweight) relatif lebih tinggi
pada remaja perempuan dibanding dengan remaja laki-laki (1,5%
perempuan dan 1,3% laki-laki).
Sementara itu kejadian obesitas pada anak balita yakni 12,2 % dari
jumlah anak Indonesia. Angka ini meningkat menjadi 14% pada tahun
2010. Dan prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6-14 tahun
pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%. Angka ini hampir sama
dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak usia 5- 17 tahun. Menurut
Data Estimasi Sasaran Program Kesehatan prevalensi obesitas tahun 2014
mencapai 20,5 % (Depkes RI, 2007). Hal ini sejalan dengan prevalensi
obesitas pada anak usia 6–17 tahun di AS dalam tiga dekade terakhir

4
meningkat dari 7,6–10,8% menjadi 13–14%. Obesitas adalah kondisi
akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan di jaringan adiposa.
Obesitas pada anak merupakan masalah kesehatan karena prevalensi
obesitas anak di dunia semakin meningkat (Chan,2010). Di Indonesia,
berdasarkan data Riskesda oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2013, prevalensi overweight dan obesitas pada anak usia
5-12 tahun mencapai 18,8%.

Sumber : Laporan Nasional Riskesdas 2007 dan 2010


Gambar 2.1 Prevalensi Kejadian Obesitas pada Balita Tahun 2007 dan
2010

Sumber : Riskesdas 2007-2010


Gambar 2.2 Prevalensi Kejadian Obesitas pada Berbagai Kelompok
Umur di Indonesia tahun 2007 – 2010

5
2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi obesitas
Penyebab mendasar terjadinya kegemukan dan obesitas adalah
ketidakseimbangan energi antara energi yang masuk dan energi yang
keluar. Energi yang masuk adalah jumlah energi berupa kalori yang
didapatkan dari makanan dan minuman. Sedangkan energi yang keluar
adalah jumlah energi atau kalori yang digunakan tubuh dalam hal seperti
bernapas, digesti dan juga melakukan kegiatan fisik (NIH, 2012).
Asupan energi dan pengeluaran energi di pengaruhi oleh berbagai
faktor yang dapat dikelompokan menjadi lebih spesifik seperti faktor dari
individu berupa genetik dan proses metabolisme tubuh, faktor dari
perilaku hidup seperti kurangnya beraktifitas fisik dan faktor dari luar
termasuk faktor lingkungan seperti murahnya harga suatu makanan
(Kaestner, 2009). Sejalan dengan pendapat Biro & Wien, (2010) yang
menyatakan bahwa meningkatnya prevalensi kejadian obesitas di
Indonesia dari berbagai kelompok usia ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu genetik dan lingkungan.
Penyebab lain dari obesitas antaralain gaya hidup tak aktif,
lingkungan, genetik dan riwayat keluarga, kondisi kesehatan, obat-obatan,
faktor emosional, merokok, umur, kehamilan dan kurang tidur dapat
menjadi faktor resiko yang menyebabkan obesitas (NIH, 2012).
Adapun faktor resiko yang dapat menyebabkan obesitas antara lain :
1. Pergeseran pola konsumsi
Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orang
tua yang sibuk atau konsumsi ketika menghabiskan waktu
bersama keluarga pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan
karena pengolahannya yang cenderung cepat karena menggunakan
tenaga mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin,
restoran yang mudah ditemukan serta karena pelayanannya yang
selalu sedia setiap saat, bagaimanapun cara pemesanannya
(Jassen, 2004).
Umumnya fast food disukai anak-anak, remaja maupun
orang dewasa karena rasanya sesuai dengan selera dan harganya
terjangkau. Berdasarkan penelitian Riswanti,dkk , (2017)
diketahui bahwa frekuesi konsumsi fast food selama 1 minggu
pada Tabel 1.4, diketahui bahwa anak gemuk (69,4 %) paling
banyak mengonsumsi fast food dengan frekuensi lebih dari 2 kali
seminggu, sedangkan anak normal (50,0 %) paling banyak pada
frekuensi 1-2 kali seminggu. Dengan demikian anak normal
mengonsumsi fast food masih dalam batas yang wajar, sedangkan
anak gemuk mengonsumsi fast food secara berlebihan. Sesuai
dengan pernyataan Khomsan (2006) banyak fast food yang
mengandung tinggi kalori sehingga konsumsi yang berlebihan

6
akan menimbulkan masalah kegemukan, namun konsumsi 1-2 kali
seminggu mungkin masih dapat dianggap wajar. Terdapat
perbedaan yang nyata (0,036 <p 0,05) frekuensi konsumsi fast
food anak gemuk dan normal dengan kejadian obesitas.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh French et al. (2001)
melaporkan bahwa 75% remaja makan di warung makan fast food
selama beberapa minggu sebelumnya. Siswa laki-laki dan
perempuan yang mengunjungi restoran fast food > 3 kali dalam
seminggu memiliki asupan energi masing-masing sebesar 40%
dan 37% lebih tinggi dari siswa yang tidak makan di restoran fast
food. Menurut Pereira et a1 (2003) odd rasio menjadi obes periode
lebih dari 15 tahun meningkat 86% di antara remaja kulit putih
(tidak termasuk kulit hitam) yang mengunjungi restoran fast food
lebih dari dua kali seminggu. Dibandingkan dengan mereka yang
mengunjungi warung maka fast food hanya satu kali seminggu.

Tabel 2.1 Hubungan pola konsumsi fast food dengan kejadian


obesitas

2. Gaya hidup tak aktif


Aktivitas fisik didefinisikan sebagai pergerakan tubuh
khususnya otot yang membutuhkan energi dan olahraga adalah
salah satu bentuk aktivitas fisik. Rekomendasi dari Physical
Activity and Health menyatakan bahwa aktivitas fisik sedang
sebaiknya dilakukan sekitar 30 menit atau lebih dalam seminggu.
Aktivitas fisik sedang antara lain berjalan, jogging, berenang, dan
bersepeda. Aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari bermanfaat
bukan hanya untuk mendapatkan kondisi tubuh yang sehat tetapi
juga bermanfaat untuk kesehatan mental, hiburan dalam mencegah
stres.
Kegemukan seringkali dihubungkan dengan pola makan
dan kurangnya aktivitas fisik. Pernyataan tersebut mungkin benar,
namun ada penjelasan lain yang menyangkut kasus kegemukan
atau obesitas, yaitu ada gen yang bertanggung jawab atas
kegemukan tersebut. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan

7
lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung mengkonsumsi
makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang
seimbang, akan mengalami obesitas.
Saat ini kebanyakan orang menghabiskan waktu untuk
bermain ponsel baik saat bekerja, di sekolah ataupun di rumah.
Selain itu banyak orang yang memiliki kendaraan pribadi untuk
berpergian walau hanya dengan jarak tempuh yang pendek.
Ditambah lagi munculnya pembelian dan pengantaran makanan
secara online seperti gofood, grabfood, dll. Dimana pembeli hanya
perlu memesan lewat ponsel mereka untuk mendapatkan makanan.
Orang-orang yang tidak aktif lebih mungkin untuk menambah
berat badan karena mereka tidak membakar kalori yang mereka
ambil dari makanan dan minuman. Gaya hidup tidak aktif juga
menimbulkan risiko untuk penyakit jantung koroner, tekanan
darah tinggi, diabetes, kanker usus besar dan masalah kesehatan
lainnya (NIH, 2012).

3. Tingkat pendidikan dan pendapatan


Kebiasaan tidak aktif seperti yang telaha dijelaskan di
atassering dijumpai pada daerah perkotaan dengan tingkat
pendapatan dan pendidikan penduduk yang cukup tinggi. Oleh
karena itu, kejadian obesitas pada daerah perkotaan lebih tinggi
dibandingkan pedesaan.Sesuai dengan data Riskesdas 2010 yang
menunjukkan bahwa berdasarkan tempat tinggal prevalensi
kegemukan lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan
prevalensi di perdesaan yaitu berturut-turut sebesar 10,4 % dan 8,1
%.
Prevalensi kegemukan terlihat semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya pendidikan kepala rumahtangga. Pada
pendidikan kepala rumahtangga SD kebawah prevalensi
kegemukan pada anak umur 6-12 tahun berkisar dari 7,6 % sampai
8,3 %, sedangkan pada pendidikan kepala rumahtangga SLTP
keatas berkisar dari 9,5 % sampai 14,2 %. Prevalensi kegemukan
pada anak umur 6-12 tahun tidak memiliki hubungan yang jelas
dengan jenis pekerjaan kepala rumahtangga, namun prevalensi
tertinggi dijumpai pada anak yang kepala rumahtangganya yang
bekerja sebagai pegawai berpenghasilan tetap (11,3 %) dan
terkecil pada anak yang kepala rumahtangganya sedang sekolah
(6,8 %).
Dengan keadaan ekonomi rumah tangga terlihat hubungan
dimana semakin meningkat keadaan ekonomi rumahtangga
semakin tinggi prevalensi kegemukan pada anak 6-12 tahun.

8
Prevalensi kegemukan tertingi terlihat pada rumahtangga dengan
keadaan ekonomi tertinggi (kuintil 5).
TABEL 2.2

Pendapatan masyarakat perkotaan yang cenderung tinggi


menyebabkan kemampuan masyarakat perkotaan dalam memenuhi
kebutuhan konsumsi pangan juga tinggi. Hal ini didukung dengan
data BPS, (2016) tentang pola konsumsi masyarakat perkotaan dan
pedesaan dimana masyarakat perkotaan cenderung lebih banyak
mengeluarkan pendapatannya untuk konsumsi sektor non
makanan. Kondisi krisis moneter pada tahun 2007 – 2010
mengakibatkan peningkatan pengeluaran di sektor makanan dan
penurunan konsumsi di sektor non makanan. Hal sebaliknya terjadi
pada masyarakat perdesaan. Konsumsi masyarakat perdesaan di
sektor makanan lebih tinggi daripada sektor non makanan. Proporsi
pengeluaran masyarakan perdesaan untuk sektor makanan lebih
dari 50%.

9
Gambar 2.3 Rata-Rata persentase Pengeluaran Per Kapita Sebulan
di Perkotaan Indonesia (2007 – 2014)

Gambar 2.4 Rata-Rata persentase Pengeluaran Per Kapita Sebulan


di Perdesaan Indonesia (2007-2014)

Terdapat hubungan yang negatif antara proporsi


pengeluaran bahan pangan dan ketahanan pangan ditinjau dari
akses ke pangan (Pakpahan, Saliem, & Suhartini, 1993) :
a. Semakin besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan
pangan, maka akses terhadap bahan pangan adalah rendah.
Semakin besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan
pangan juga menunjukkan rendahnya kepemilikan bentuk
kekayaan lain yang dapat ditukarkan dengan bahan pangan.
b. Semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan
pangan, maka akses terhadap bahan pangan adalah besar, atau
menunjukkan semakin tinggi ketahanan pangannya.
c. Semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan
pangan, juga menunjukkan tingginya kepemilikan bentuk
kekayaan lain yang dapat ditukarkan dengan bahan pangan.

Semakin tinggi kemampuan dalam memperoleh pangan,


semakin tinggi kemungkinan masyarakat untuk terkena obesitas,
apabila tidak didampingi dengan pengetahuan yang cukup
mengenai pemenuhan kebutuhan gizi dalam tubuh. Terlebih

10
didikung dengan lifestyle masyarakat perkotaan yang banyak
memilih untuk mengkonsumsi sesuatu yang instan untuk
menghemat waktu yang mereka miliki di tengah padatnya
pekerjaan yang juga minim akan aktifitas fisik.

4. Faktor Genetika
Banyak gen yang berkaitan dengan terjadinya obesitas,
namun sangat jarang yang berkaitan dengan gen tunggal. Sebagian
besar berkaitan dengan kelainan pada banyak gen. Pada penyebab
gen tunggal, diantaranya yang sudah diketahui adalah adanya
mutasi pada gen leptin, reseptor leptin, reseptor melanocortin-4,
proopiomelanocortin dan pada gen PPAR-γ. Adanya mutasi pada
multigen penyebab obesitas saat ini terus diteliti dan diketahui
bahwa individu yang berasal dari keluarga yang obesitas, memiliki
kemungkinan obesitas 2-8 kali lebih besar dibandingkan dengan
keluarga yang tidak obesitas. Sangat besar kemungkinan bahwa
penyebab obesitas tersebut bukan hanya pada suatu gen tunggal
tapi adanya mutasi pada beberapa gen (Rankinen et al., 2006).
Untuk melihat adanya faktor genetik yang mempengaruhi
timbulnya kegemukan pada anak-anak, maka dapat dilihat pula
keadaan kegemukan pada kedua orang tua anak dengan cara
mengukur Indeks Massa Tubuh (IMT). Menurut penelitian yang
dilakukan Riswanti,dkk, (2017) pada Tabel 2.3 diketahui
sebagian besar anak gemuk dan normal memiliki ayah dan ibu
yang berstatus gizi normal. Akan tetapi terdapat 33.3% anak
gemuk memiliki ayah berstatus gizi gemuk dan gemuk sekali atau
obes (22.2%), jumlah tersebut lebih besar dibandingkan anak
normal yang hanya 25.0% dan 15.3%. Begitu juga dengan status
gizi ibu, anak gemuk yang memiliki ibu gemuk dan obes sebanyak
27.8%.
Ini berarti baik kedua ataupun salah satu dari orang tua
yang obes memiliki kecenderungan untuk melahirkan anak yang
obes. Ibu yang gemuk memiliki peluang yang besar untuk
mempunyai anak gemuk pula. Wirakusumah (2004) menyatakan
bahwa apabila ada faktor keturunan obesitas, maka ada
kecenderungan pada seseorang untuk membangun lemak lebih
banyak dari orang lain karena ada sifat metabolisme yang
diturunkan, misalnya ada gen bawaan pada kode untuk enzim
Adipose Tissue Lipoprotein Lipase lebih aktif.
Tidak hanya pengaruh gen saja, kegemukan anak pada
penelitian ini kemungkinan didukung pula oleh faktor lingkungan
(kebiasaan makan orang tua). Soelistijani dan Herlianty (2003)

11
menyatakan bahwa anak-anak yang mempunyai bakat gemuk
karena faktor genetik akan cepat menjadi gemuk, apalagi jika
didukung kebiasaan makan orang tua yang menyukai makanan
berkalori tinggi dan anak meniru kebiasaan makan orang tuanya
tersebut. Terdapat perbedaan yang nyata (0,002<p 0,05) antara
faktor keturunan anak gemuk dan anak normal dengan kejadian
obesitas.
Penelitian ini didukung penelitian lain yang menyebutkan
bahwa faktor genetik mempengaruhi terjadinya kegemukan.
Pengaruhnya sendiri sebenarnya belum jelas, tetapi ada bukti yang
mendukung fakta tersebut. Dilaporkan bahwa anak-anak dari
orang tua normal mempunyai 10% peluang menjadi gemuk.
Peluang itu akan bertambah menjadi 40-50% bila salah satu orang
tua menderita obesitas, dan akan meningkat menjadi 70-80% bila
kedua orang tua menderita obesitas. Disebutkan ada lebih dari satu
gen yang bertanggung jawab atas obesitas, diantaranya yang
berkaitan dengan pengaturan asam lemak dan kolesterol dan
pengendalian rasa lapar atau pengaturan nafsu makan. Sejalan
dengan pendapat Skelton, (2015) yang menyatakan bahwa 50-70%
Body Mass Index dan tingkat kelebihan berat badan seseorang
berhubungan dengan pengaruh genetik. Ada kemungkinan sebesar
50-70% seorang anak akan mengalami kelebihan berat badan jika
kedua orangtuanya mengalami obesitas dan 25-50 % jika salah
satu orang tuanya obesitas.

Tabel 2.3 Hubungan Faktor Keturunan (Orang Tua Anak) Terhadap


Kejadian Obesitas

5. Jenis kelamin
Tubuh memerlukan lemak untuk menyimpan energi, namun
kelebihan lemak dalam tubuh dapat menyebabkan kelebihan berat
yang disebut obesitas. Rata-rata wanita memiliki lemak tubuh
yang lebih banyak dibandingkan pria, ini juga alasan mengapa
prevalensi obesitas pada perempuan lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh
dengan berat badan adalah sekitar 25-30% pada wanita dan 18-

12
23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan
pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami
obesitas.

2.4. Perkembangan penyakit akibat obesitas


Dampak obesitas, meliputi faktor resiko kardiovaskular, sleep
apneu, gangguan fungsi hati, masalah ortopedik yang berkaitan dengan
obesitas, kelainan kulit serta gangguan psikiatrik. Komplikasi yang
mungkin terjadi pada penderita obesitas terangkum dalam tabel 2.4.

Tabel 2.4 Komplikasi Medis yang Berhubungan dengan Obesitas


Berikut adalah beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh
obesitas (Kane & Kumar, 2004), antara lain :
Sistem Komplikasi yang terjadi
Kolelitiasis, pankreatitis, hernia
Gastrointestinal
abdomen, GERD.
Hipertensi, penyakit jantung koroner,
gagal jantung kongestif, aritmia,
Kardiovaskuler
corpulmonale, stroke iskemik,
thrombosis vena dalam, emboli paru
Abnormalitas fungsi paru, obstructive
Respirasi sleep apnea, sindrom hipoventilasi
obesitas
Osteoarthritis, gout arthritis, low back
Muskuloskeletal
pain
Ginekologi Menstruasi abnormal, infertilitas
Genitourinaria Urinary stress incontinence
Ophtalmologi Katarak
Hipertensi intrakranial idiopatik
Neurologi
(pseudotumor cerebri)
Esophagus, colon, empedu, prostat,
Kanker
payudara, uterus, cervix, ginjal
Metabolic syndrome, resistensi insulin,
toleransi glukosa terganggu, DM tipe II,
Metabolik-Endokrin
dyslipidemia, sindrom ovarium
polikistik.

Menurut Husna, (2012) terdapat beberapa faktor risiko yang


disebabkan oleh obesitas, yaitu :
1. Diabetes Melitus (DM)
Orang gemuk dengan BMI di atas 25, tiap peningkatan
BMI 1 angka mempunyai kecenderungan menjadi kencing manis
sebesar 25%. Dengan bertambahnya ukuran lingkaran perut dan
panggul, terutama pada obesitas tipe sentral atau android,
menimbulkan resistensi insulin, suatu keadaan yang menyebabkan

13
insulin tubuh tidak dapat bekerja dengan baik, maka terjadilah
kencing manis.
Di Indonesia kasus dibetes melitus yang berdasarkan
wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 % (2007) menjadi 2,1
% (2013). Sedangkan menurut gambar 2.8 dapat dijelaskan bahwa
prevalensi penyakit diabetes pada tahun 2013 mengalami
peningkatan signifikan dibandingkan dengan tahun 2007. Nilai
prevalensi tertinggi berada pada interval umur 45-74 tahun dengan
rata-rata sebesar 4,1% pada tahun 2013 dan sebesar 2,4% pada
tahun 2007.

Gambar 2.5 Grafik Prevalensi DM menurut Provinsi 2007 – 2013

Gambar 2.6 Grafik Prevalensi DM menurut Kelompok Umur


Tahun 2007 – 2013

14
2. Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di
pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat
terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan,
penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama
organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai
hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit
tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan)
atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat
diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah
tinggi (minum obat sendiri).
Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus
merujuk pada kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil
pengukuran tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk
umur ≥18 tahun, maka prevalensi hipertensi berdasarkan
pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk umur
≥18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada
penduduk umur ≥15 tahun maka temuan kasus hipertensi pada
umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII 2003 akan dilaporkan
secara garis besar sebagai tambahan informasi.
Tekanan darah tinggi atau di atas 140/90 mm Hg, terdapat
pada lebih dari sepertiga orang obesitas. Gagal Jantung Sekalipun
tanpa tekanan darah yang tinggi, obesitas sendiri sudah dapat
mengakibatkan kelemahan otot jantung atau cardiomyopathy,
sehingga mengganggu daya pompa jantung.
Prevalensi hipertensi di Indonesia pada tahun 2007 – 2010
dapat dilihat dari grafik prevalensi hipertensi berdasarkan data
prevalensi hipertensi 2007 – 2013. Diketahui bahwa grafik
menunjukkan kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan
pengukuran yang menunjukkan penurunan yang sangat berarti dari
31,7 % tahun 2007 menjadi 25,8 % tahun 2013. Asumsi
penurunan, diperkirakan karena :
a. Perbedaan alat ukur yang digunakan tahun 2007 tidak
diproduksi lagi (discontinue) pada tahun 2013
b. Kesadaran masyarakat yang semakin membaik pada tahun
2013. Asumsi ini terlihat pada gambar 2.6 dimana
prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis atau gejala
meningkat. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat
yang sudah memeriksakan diri ke tenaga kesehatan agak
meningkat sedikit.

15
Menurut kelompok umur, Sama halnya dengan penyakit
diabetes, berdasarkan gambar 2.8 terlihat bahwa prevalensi
hipertensi tahun 2013 mengalami kenaikan dibandingkan dengan
tahun 2007. Nilai prevalensi nasional pada tahun 2013 adalah
9,4% sementara pada tahun 2007 sebesar 7,2%.

Gambar 2.7 Grafik Pevalensi Hipertensi berdasarkan Pengukuran


menurut Provinsi Tahun 2007 – 2013

Gambar 2.8 Grafik Pevalensi Hipertensi menurut Kelompok Umur


Tahun 2007 – 2013

3. Stroke
Seiring dengan meningkatnya tekanan darah, gula dan
lemak darah, maka orang obesitas sangat mudah terserang stroke.
Prevalesi kejadian stroke di Indonesia pada tahun 2007 – 2010
menunjukkan kecenderungan prevalensi stroke berdasarkan
wawancara menunjukkan kenaikan dari 8,3 per mil tahun 2007
menjadi 12,1 per mil. Terlihat kecenderungan menurun yang
cukup berarti di dua provinsi yaitu Kepulauan Riau dan Aceh,

16
provinsi lainnya cenderung meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
grafik prevalensi stroke tahun 2007 – 2013 pada tabel 2.9.
Sedangkan pada gambar 2.10 terlihat bahwa prevalensi stroke
terus mengalami kenaikan pada tiap pertambahan umur. Nilai
prevalensi nasional pada tahun 2013 adalah 7,00%, naik sebesar
16,67% jika dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu sebesar
6,00%.

Gambar 2.9 Grafik Pevalensi Stroke berdasarkan Pengukuran


menurut Provinsi Tahun 2007 – 2013

Gambar 2.10 Grafik Pevalensi Stroke menurut Kelomppok Umur


Tahun 2007 – 2013

4. Gagal Nafas
Akibat kegemukan menyebabkan kesukaran bernafas
terutama pada waktu tidur malam (sleep apnea), keadaan yang
berat dapat menimbulkan penurunan kesadaran sampai koma.

17
5. Nyeri Sendi
Osteoartritis biasanya terjadi pada obesitas, nyeri sendi
umumnya pada sendi-sendi besar penyanggah berat badan,
misalnya lutut dan kaki. Pengapuran dan bengkak sendi akan
bertambah dengan bertambahnya usia atau memasuki masa
menopause.

6. Batu Empedu
Pada obesitas dengan BMI diatas 30 didapatkan
kecenderungan timbul batu empedu dua kali lipat dibandingkan
orang normal; pada obesitas dengan BMI lebih dari 45, ditemukan
angka 7 kali lipat.

7. Psikososial
Masalah obesitas bukan semata-mata masa-lah medis,
tetapi juga menimbulkan banyak persoalan psikososial, si gemuk
bukan hanya mengalami kesukaran belajar, tidak memperoleh
pendidikan dengan baik, tetapi juga kelak sukar mendapatkan
pekerjaan yang baik, termasuk hubungan sosial, keluarga, dalam
hal berteman, umumnya mengalami hambatan yang berdampak
pada kepribadian dan kejiwaan seseorang. Depresi, reaksi cemas,
atau stres, banyak didapatkan pada orang gemuk, terutama kaum
wanita.

8. Kanker
Laporan terbaru WHO memperkirakan obesitas dan hidup
yang santai bertanggung jawab atas timbulnya kanker payudara,
usus besar, endometrium, ginjal, dan esofagus. Di Inggris, 20-30
ribu kasus kanker per tahun terdapat pada kaum obesitas. Terbukti
pula hubungan kuat antara obesitas dengan risiko timbulnya
kanker pankreas, rahim, prostat, dan indung telur.

9. Angka Kematian Meningkat


Penelitian dari Framingham Heart Study di Amerika
Serikat menemukan bahwa pria maupun wanita dengan usia lebih
dari 40 tahun dan berat badan berlebihan atau BMI lebih dari 30,
diperkirakan umurnya 7 tahun lebih pendek daripada orang
dengan berat badan normal.
Obesitas identik dengan komplikasi PTM (Penyakit tidak
menular ). Yang mana PTM ini tidak lagi menjadi masalah lokal,
namun juga internasional. Global status report on NCD World
Health Organization (WHO) tahun 2010 melaporkan bahwa 60%

18
penyebab kematian semua umur di dunia adalah karena PTM. Di
negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari
seluruh kematian yang terjadi pada orang-orang berusia kurang
dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan di negara-
negara maju, menyebabkan 13% kematian. Proporsi penyebab
kematian PTM pada orang-orang berusia kurang dari 70 tahun.
Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang
terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir
dua pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular.
Di Indonesia transisi epidemiologi menyebabkan terjadinya
pergeseran pola penyakit, di mana penyakit kronis degeneratif
sudah terjadi peningkatan. Dalam kurun waktu 20 tahun (SKRT
1980–2001), proporsi kematian penyakit infeksi menurun secara
signifikan, namun proporsi kematian karena penyakit degeneratif
(jantung dan pembuluh darah, neoplasma, endokrin) meningkat 2–
3 kali lipat.

Gambar 2.11 Persentase Kematian menurut Penyakit

2.5. Implikasi untuk upaya perbaikan


Upaya untuk menyelesaikan permasalahan obesitas di Indonesia dari
berbagai kelompok usia antara lain :
Peningkatan edukasi gizi bagi anak sekolah baik di sektor
pendidikan formal maupun informal untuk pencapaian KADARZI
UNTUK SEMUA. Untuk ini diperlukan kerjasama dengan sektor
pendidikan baik negeri maupun swasta untuk merumuskan kurikulum gizi
yang memadai sesuai dengan tingkatan sekolah (SD, SLTP, SLTA atau
yang sederajat).
Sedangkan untuk kelompok usia dewasa perlu diadakan
penyuluhan gizi seimbang diikuti dengan aktivitas fisik diperlukan untuk
mengatasi masalah obesitas pada penduduk dewasa, agar dapat dicegah
penyakit khronis seperti darah tinggi, kolesterol, diabetes, dan lain-lain.

19
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh kejadian obesitas terus meningkat
dari tahun ke tahun baik dari segi kelompok umur maupun jenis kelamin.
Hal ini dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun lingkungan. Dimana
perubahan gaya hidup sangat berpotensi mempengaruhi kondisi kesehatan
seseorang, termasuk diantaranya obesitas.

3.2. Saran
Mengurangi pola hidup yang serba instan dengan lebih bijak dalam
memilah makanan dan memperbanyak aktivitas fisik dapat mengurangi
resiko terkena obesitas. Oleh karena itu, memulai untuk hidup sehat
dengan menghindari fastfood dan menyempatkan untuk memulai
beraktifitas fisik sangat dianjurkan agar metabolisme energi di dalam
tubuh dapat berjalan baik, sehingga energi yang diperoeh dari makanan
tidak hanya terakumulasi dalam tubuh.

20
Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat , 2016. Statistik Indonesia Tahun 2016. Jakarta
Pusat : Badan Pusat Statistik
Biro FM & Wien M.2010.Childhood obesity and adult morbidities.Am J Clin
Nutr.; 91: 1499–1505.
Chan, Ruth S.M. dan Jean Woo. Prevention of Overweight an Obesity: How
Effective is the Current Public Health Approach. International Journal of
Environmental Research and Public Health, 7(3), 765–783. February 18,
2012. www.mdpi.com/journal/ijerph.
Depkes (2007). Riset Kesehatan Dasar 2007 . http://www. Litbang.
depkes.go.id/sites/download/BukuLaporan/Lapnas-Riskesdas-
2007/Indonesia.zip . Diakses tanggal 19 Juni 2013
Dorland, W.A. Newman. 2012. Kamus Kedokteran Dorland; Edisi 28. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Husnah. 2012. Tatalaksana Obesitas. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol 12 : 2
Janssen, Ian, et al. 2004. “Overweight and Obesity in Canadian Adolescents and
Their Associations With Dietary Habits and Physical Activity Patterns”.
Journal of Adolescent Health (2004), 35, 360- 367.
Kaestner, R. 2009. Obesity : Causes, Consequences and Public Policy Solutions.
Chicago : The Illinois Report. hlm 94–102.
Kane AB, Kumar V. Environmental and nutritional pathology. In: Kumar V,
Abbas AK, Fausto N. Robbins and cotran pathologic basis of disease 7th
ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2004. p.461-6.
National Institutes of Health [NIH]. 2012. Overweight and Obesity Statistic.
Rahajeng, E. 2012. Upaya Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Indonesia.
Jurnal Informasi Kesehatan vol 2. Direktorat PPTM, P2PL Kementrian
Kesehatan RI.
Rahmawati, 2009. Hubungan antara Aktivitas Fisik, Frekuensi Konsumsi
Makanan Cepat Saji (Fast Food) dan Keterpaparan Media dengan
Kejadian Obesitas pada Siswa SD Islam Al-Azhar 1 Jakarta Selatan.
Skripsi. Jakarta : FKM Universitas Indonesia.
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia
WHO. World Health Statistics 2015: World Health Organization; 2015.
Weight Control Information Network. NIH Publication. No.04-4158: 1-6

21

Anda mungkin juga menyukai