Anda di halaman 1dari 10

RMK METODOLOGI PENELITIAN

SIKAP KUALITATIF : INDWELLING

OLEH:
HASANANNISA JASRUDDIN (A031171316)
EVELINE CLEARY ZANETA (A031171521)
SAMUEL WENDYFAL SAMBAN (A031171534)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
Sikap dapat didefinisikan sebagai keadaan atau kondisi yang diambil oleh satu orang
pada waktu tertentu terutama dalam kaitannya dengan orang atau benda lain. Arti dari judul bab
ini: Seorang peneliti kualitatif mengasumsikan sikap indwelling sementara terlibat dalam
penelitian kualitatif. Sikap indwelling ini sangat berbeda dari sikap seorang peneliti kuantitatif
karena orientasi tiap penelitian didasarkan pada serangkaian postulat yang berbeda mengenai
sifat dunia dan implikasi dari postulat-postulat tersebut pada pelaksanaan penelitian.

Indwelling yaitu menjadi satu dengan orang yang diselidiki atau memahami sudut
pandang orang itu dari posisi empatik daripada simpatik.

Manusia sebagai Instrumen (Human as Instrument)

Peneliti kualitatif atau penanya naturalistik adalah bagian dari penyelidikan sebagai
pengamat partisipan, pewawancara mendalam, atau pemimpin kelompok fokus tetapi juga
menghilangkan dirinya dari situasi untuk memikirkan kembali makna pengalaman. Sementara
pengumpulan informasi dan interpretasi informasi adalah tugas semua penelitian, salah satu
perbedaan mendasar antara penelitian tradisional dan penelitian kualitatif menyangkut metode
dan alat untuk pengumpulan dan analisis data. Peneliti tradisional berusaha untuk, dan pada
kenyataannya mengklaim untuk mencapai, objektivitas melalui penggunaan alat pengumpulan
informasi mereka seperti tes standar, dan analisis matematika atau statistik. Bekerja dari
pandangan dunia yang berbeda peneliti kualitatif berusaha untuk mendapatkan pemahaman
tentang seseorang atau situasi yang bermakna bagi mereka yang terlibat dalam penyelidikan.
Untuk mencapai tujuan mereka, penyelidik kualitatif berupaya berdiam diri sebagai postur dan
human as instrument untuk pengumpulan dan analisis data.

Human as instrument adalah konsep yang diciptakan oleh Lincoln dan Kuba untuk
mengilustrasikan posisi unik yang diambil oleh peneliti kualitatif dan dibangun secara implisit
pada konsep indwell. Seseorang, yaitu, human-as-instrument, adalah satu-satunya instrumen
yang cukup fleksibel untuk menangkap kompleksitas, kehalusan, dan situasi yang terus berubah
yaitu pengalaman manusia. Pengalaman dan situasi manusia menjadi subjek penelitian kualitatif.
Human as instrument adalah orang dengan semua keterampilan, pengalaman, latar belakang, dan
pengetahuannya serta bias yang merupakan sumber utama, jika bukan eksklusif, dari semua
pengumpulan dan analisis data. Lincoln dan Guba berpendapat bahwa instrumen manusia
responsif, mudah beradaptasi, dan holistik. Lebih lanjut, seorang penyelidik manusia memiliki
pengalaman berdasarkan pengetahuan, memiliki kedekatan situasi, dan memiliki kesempatan
untuk klarifikasi dan ringkasan di tempat. Akhirnya, seorang penyelidik manusia dapat
mengeksplorasi respons atipikal atau istimewa dengan cara yang tidak mungkin dilakukan untuk
instrumen apa pun yang dibangun sebelum permulaan penelitian.

Pluralitas Manusia dan Indwelling

Manusia dapat menjadi instrumen penyelidikan dan dengan demikian mengeksplorasi


keanehan dan menemukan pola perilaku, sebagian dalam The Human Condition (1958) disebut
sebagai pluralitas manusia. Pluraalitas manusia, kondisi dasar tindakan dan ucapan, memiliki
dua karakteristik dan persamaan. Jika kita tidak setara, kita tidak bisa memahami satu sama lain
atau mereka yang datang sebelum kita. Jika kita tidak berbeda, kita tidak perlu saling
memahami. Kebutuhan kita untuk memahami dan dipahami memunculkan penyisipan diri kita
ke dunia melalui ucapan dan tindakan. Kemajemukan ini membentuk kebutuhan dan kesulitan
komunikasi, untuk memahami ucapan dan tindakan orang lain. Memahami komunikasi itu sulit,
bahkan jika orang itu memberi tahu kita bagaimana perasaannya tentang suatu situasi. Namun,
penuturan ini tidak memberikan pengetahuan langsung tentang dunia orang itu. Penanya harus
menerjemahkan informasi dan terjemahan ini diwarnai oleh pengalaman batin dan perasaan
penanya.

Kita dapat berdiam di dalam lingkungan manusia, dalam aktivitas manusia, atau dengan
seseorang karena pluralitas manusia, yaitu, kondisi menjadi berbeda dan setara dengan semua
manusia lainnya. Manusia-sebagai-instrumen terhubung dengan topik investigasi baik secara
sengaja maupun filosofis. Dengan kata lain, sebagaimana dalil kedua dari paradigma alternatif
menyatakan bahwa yang mengetahui dan yang diketahui terhubung. Yang penting, peneliti
kualitatif mengakui hubungan ini dan bekerja dengannya daripada menentangnya. Gagasan
Arendt tentang pluralitas manusia membantu mengajarkan kita tentang bagaimana kita dapat
bekerja dengan dalil itu. Kami bekerja dengan postulat dengan mengakui kesetaraan dan
keunikan kami. Pemahaman kita tentang kesetaraan kita dengan orang lain memungkinkan kita
mengakses dunia mereka, menuju pengalaman mereka. Kesadaran kita akan perbedaan kita
menginstruksikan kita bahwa kita tidak dapat berasumsi bahwa pemahaman kita tentang situasi
adalah sama dengan pemahaman orang lain. Kita mungkin dapat memperkirakan pemahaman
itu dengan berdiam, tetapi itu tidak diberikan kepada kita oleh pluralitas manusia, pada
kenyataannya, pluralitas manusia memungkinkan perkiraan itu, tetapi sama sekali tidak
menjaminnya. Tinggal di dalam menjadi orientasi, postur yang penting bagi peneliti kualitatif
yang sadar akan pluralitas manusia dan menggunakan kesadaran itu untuk mengembangkan
keterampilan mereka sebagai instrumen manusia.

Indwelling sebagai Investigasi yang Asli

Menurut Patton (1990;278) dengan pertanyaan yang berbobot atau memiliki skill dan
juga dapat mendengarkan jawaban dengan penuh perhartian maka dunia akan terbuka untuk kita.
Kedua hal ini juga membantu kita untuk menemukan untuk menemukan sesuatu hal yang baru.

Untuk memahami kehidupan, minat, dan tujuan orang lain dan juga untuk mencegah
kesalah pahaman intrepretasi, maka karya Michael Polanyi akan membantu kita dalam hal
membangung dan meningkatkan skill manusia sebagai instrument atau alat dalam penyelidikan
yang akan menyediakan pertanyaan alamiah yang dapat dikembangkan dan dapat dipercaya.
Michael Polanyi adalah seorang kimiawis yang lahir di hungaria, dimana seorang kimiawis
menjadi seorang ilmuan sosial dan filsuf sains yang dapat memberikan gambaran bahwa kita
dapat mengetahui sesuatu yang baru dikarenakan pertanyaan mengenai politik sains.
Penjelajahan atau pencariaanya dalam hal politik sains mebawa dia pada perkembanga
komperhensif epistemology. Dari Epistemologyinya (mempelajari tentang hakikat dari
pengetahuan, justifikasi, dan rasionalitas keyakinan) ia mendapatkan jawaban pertanyaan
bagaimana suatu hal mengakuisisi hal baru.

Pertanyaan mengenai “bagaimana suatu hal menemukan pengetahuan baru” pertama kali
dinyatakan pada dialog Plato “ The Meno”. Teka-teki yang diajukan dalam “The Meno” adalah
sebagai berikut: Socrates mengikut sertakan Meno dalam sebuah percakapan mengenai sifat dari
suatu kebijakan. Setelah menghilangkan beberapa definisi kebijakan dari Meno, Socrates
mengatakan bahwa ia tidak mengetahui definisi dari kebijakan itu juga, tetapi meskipun begitu ia
mengundang meno untuk mencoba menemukan definisi kebijakan. Respon yang diberikan meno
adalah:

“ darimana anda akan melihat sesuatu yang secara sifatnya pun anda tidak mengetahuinya sama
sekali Socrates? Berdoa atau memohonlah mengenai hal apa yang diantaranya kamu tidak
ketahui yang akan memperlakukan kita sebagai objek penelitian mu?, atau yang terbaik dari yang
kamu temukan, bagaimana kamu tau sesuatu yang bahkan kamu tidak ketahui?” (cited in grane,
1966:23)

Pertanyaan dari Meno inilah yang tidak dapat dijawab oleh Socrates, tetapi
bagaimanapun Polanyi telah memberikan jawabannya pada pertanyaan ini dalam beberapa
pekerjaan. Polanyi memulainya dengan melihat sifat dari Tacit Knowledge (pengetahuan yang
tidak dapat diucapkan), maka hal itulah yang menyebabkan pengetahuan yang kita miliki tidak
dapat dinyatakan. Ia melihat awal dari semua pengetahuan yang tidak dapat diungkapkan yang
diraih melalui indwelling atau yang melekat didalamnya.

Tacit Knowledge (Pengetahuan yang tidak dapat diungkapkan) berbeda dari pengetahuan
yang diartikulasikan. Tacit Knowledge (Pengetahuan yang tidak dapat diungkapkan) adalah apa
yang kita ketahui namun tidak dapat kita katakan. Polanyi menytakan penyelidikan Tacit
Knowledge diibaratkan seperti kita merasakan adanya jalan lain dalam suatu gua yang gelap dan
kita menggunakan tongkat untuk menyelidikinya. Sedangkan tangan dari penyelidik tidak
menyentuh gua secara langsung sama sekali, namu penyelidik itu akan mempelajari gua itu
dengan sendirinya. Polanyi berargumen bahwa kita akan sadar atas apa yang ada pada ujung
tongkat tersebut dengan memberikan perasaan langsung kepada tangan kita dan terhadap apa
yang ada pada ujung tongkat yang kita gunakan. Hal itu mengintrepretasikan efek dari sebuah
transposisi atau perpindahan perasaan dari yang tidak berarti dan juga bagaimana kita
menggunakan alat lain untuk merasakannya.
Hal tersebut mengkin terlihat seperti suatu hal yang panjang untuk dapat mengerti sebuah
tacit knowledge. Tapi tongkat yang digunakan atau penyelidikan yang dilakukan dalam suatu
gua yang gelap merupakan sebuah metafora yang baik untuk Tacit Knowledge. Seperti halnya
kita tidak dapat melihat dan mengatakan dengan keras seperti apa gua itu, meskipun begitu kita
dapat mengetahui kondisi gua itu cukup baik untuk melakukan pergerakan disekelilingnya
dengan adanya bantuan dari penyelidikan kita. Penyelidikan kualitatif berasal atau dimulai dari
suatu hal yang kita ketahui namu tidak dapat diungkapkan atau dijelaskan, dimulai dengan tacit
knowledge.

Tacit Knowledge (Pengetahuan yang tidak dapat diungkapkan)

Dua tipe bagian pengetahuan dari cara kita memahami dunia, yaitu tacit knowledge dan
explicit knowledge. Bagaimanapun tacit knowledge meupakan pengetahuan yang lebih dasar
atau pengetahuan yang hadir sebelum explicit knowledge. Tacit knowledge adalah pengetahuan
yang tidak diartikulasikan dan tidak di formulakan, seperti pengetahuan yang kita miliki untuk
melakukan sesuatu. Explicit knowledge adalah pengetahuan yang dapat dituliskan dalam kata-
kata, peta, atau formula matematika. Perbedaan utama antara dua tipe pengetahuan ini adalah
explicit knowledge dapat menjadi sebuah subjek untuk refleksi kritis, sementara tacit knowledge
tidak bisa. Artinya dalam praktek ketika memulai proyek penelitian kualintatif, maka kita akan
mengandalkan tacit knowledge yang miliki seperti dan sebaik explicit knowledge dalam
memahami situasi. Explicit knowledge yang kita miliki dapat dimasukkan kedalam sebuah
catatan lapangan, sementara tacit knowledge akan membantu kita dalam memahami lingkungan
tempat kita melakukan penyelidikan. Seperti yang kita artikulasikan pengamatan kita akan
direfleksikan pada apa yang kita ketahui secara eksplisit lalu kita akan memulai untuk menguak
atau membuka tacit knowledge tersebut. Setelah tacit knowledge dibuat menjadi eksplisit atau
dapat diformulakan maka hal itu akan dapat direfleksikan juga.

Tacit knowledge diperoleh dari indwelling. Ketika seseorang berada atau hidup dalam
situasi untuk mempelajari dan memperhatikan subsidiary, maka hal tersebutlah yang
memberikan pelajaran kepada seseorang untuk hadir lebih jauh dari sebuah objk untuk melihat
makna dari objek tersebut, hal ini yang kita lakukan ketika kita membaca misalnya. Untuk
memahami masalah tingkah laku seseorang atau untuk memahami suatu lebaga atu ritual maka
menurut poliyani dapat dilakukan melalui indwelling. Tacit Knowledge hadir sebagai sebuah
aksi dari indwelling dimana kita mendapatkan akses untuk sebuah makna yang baru.

Apa yang diketahui dari indwelling bukan hanya sebagian tapi keseluruhan yang disebut
joint meaning. Bukan sekedar melihat suatu benda melainkan yang ada dalam sebuah benda itu
atau makna yang ada pada mereka. Untuk menghadirkan indwelling, peneliti kualitatif harus
beranggapan bahwa aktivitas dari seorang partisipan dalam sebuah studi yang muncul yang
utamanya faktanya mungkin tidak berarti bisa saja menjadi berarti ketika kita bertindak sebagai
peneliti yang berpartisipasi bersama peserta partisipan ini. Memahami yang terjadi pada suatu
tingkah laku tacit ini, kita hanya memahami masalah, badan/lembaga, dan seseorang dengan
bersamaan secara tidak langsung. Untuk meningkatkan suatu pembahasan secara lebih pada
pekerja eksternal dari luar pikiran mereka maka diperlukan untuk memahami seseorang itu
sendiri.

Untuk memahami seseorang atau fenomena, seseorang butuh untuk memahami konteks
seputaran orang atau fenomena itu. Penanya yang naturalist tidak diketahui secara langsung
dengan apa yang dia lihat atau cari untuk memulai sebuah projek penelitian, karena tidak
mengetahui konteksnya. Orang lebih lanjut dapat menyatakan bahwa untuk peneliti kualitatif,
seseorang atau peristiwa hanya dapat dipahami dalam konteks atau latar belakang. Orang yang
muncul di luar konteks bukanlah orang atau peristiwa universal tetapi juga bukan orang atau
peristiwa yang kontekstual.

Melalui proses melihat latar belakang ini, pola mulai terbentuk; dalam bahasa Polanyi,
hal-hal ini menjadi focal. Pengetahuan focal ini bisa jadi selanjutnya berupa diintensifkan
melalui artikulasi. Laporan deskriptif yang sedang berlangsung (seperti catatan lapangan)
memiliki nilai sebagian karena merupakan sarana yang ada dengan penanya membuat implicit
dan eksplisit (mengartikulasikan). Mengartikulasikan informasi meningkatkan kemampuan kita
untuk memahami apa yang kita amati dan juga membantu kemampuan kita untuk menggunakan
Tacit knowledge. Polanyi melihat dari semua pengetahuan didasarkan pada pemahaman tacit
knowledge. Kami tahu lebih banyak dari apa yang bisa kami katakan, dan semakin banyak yang
bisa kami katakan, semakin banyak pengetahuan kita yang tidak diartikulasikan atau tacit
knowledge berkembang .
Toleransi untuk Ambiguitas

Mencapai pemahaman (tujuan penyelidikan kualitatif) bukanlah tugas yang mudah;


sebagian tergantung pada kualitas pribadi toleransi terhadap ambiguitas. Dalam banyak hal,
tugas peneliti tradisional lebih mudah. Kaum tradisionalis mulai mempersempit masalah
penyelidikan sebelum penyelidikan dimulai. Dia mengemukakan satu atau lebih hipotesis yang
memfokuskan penyelidikan dan yang memberi tahu peneliti apa yang harus dikeluarkan dari
penelitian.

Tugas penyelidik naturalistik adalah untuk menangkap apa yang orang katakan dan
lakukan sebagai indikator bagaimana orang menginterpretasikan dunia mereka (Bogden dan
Taylor, 1975). Oleh karena itu, perspektif peneliti kualitatif bersifat terbuka dan tidak jelas fokus
pada tahap awal. Pengaturan bergambar (yaitu, bagian-bagian penting dari informasi dalam
penelitian) mengubah maknanya ketika informasi baru berperan dan perspektif baru ditemukan.

Untuk memahami data ketika terungkap, yaitu, untuk menemukan pola dalam data,
seorang peneliti naturalistik harus memiliki kesabaran dan menerima pola tentatif dan harus
memiliki kemauan untuk menyerah atau merekonstruksi pola tentatif ini

Ambiguitas dan ketidakjelasan adalah istilah yang sering digunakan secara bergantian;
Namun, kata-kata ini memiliki arti yang berbeda yang dapat membantu dalam memahami
toleransi terhadap ambiguitas. Situasi yang ambigu adalah situasi yang dapat dipahami lebih dari
satu cara. Situasi yang kabur, di sisi lain, adalah situasi yang tidak memiliki presisi. Sementara
seorang peneliti kualitatif akan membutuhkan toleransi untuk ketidakjelasan dan ambiguitas,
toleransi ini agak berbeda. Seseorang dapat menyelesaikan pemahaman yang kabur dengan
mendapatkan informasi yang lebih tepat. Misalnya, jika suhunya sejuk, seseorang dapat
menemukan derajat celcius yang tepat dan kata dingin tidak akan lagi kabur. Namun, jika saya
katakan, 'itu keren', pendengar perlu tahu apa yang saya maksudkan, yaitu suhu di luar, atau
seseorang. Mengetahui derajat celcius, yaitu, membuat hal-hal lebih spesifik, mungkin tidak
bermanfaat karena dingin dapat berarti beberapa hal berbeda dalam situasi tertentu. Seorang
peneliti kualitatif perlu menemukan informasi yang lebih tepat (dan toleransi diperlukan dalam
proses itu karena informasi tersebut dapat menjadi lebih tepat dalam situasi yang diamati) untuk
menyelesaikan situasi yang tidak jelas. Mungkin, kualitas yang lebih penting dalam seorang
peneliti kualitatif adalah toleransi terhadap ambiguitas - kemampuan untuk memegang dua atau
lebih interpretasi yang berbeda dari suatu peristiwa, aktivitas atau orang dalam pikiran, sambil
menunggu untuk melihat interpretasi mana yang pantas dengan data yang ada di Anda. proses
pengumpulan.ata berbicara sendiri — itu membutuhkan toleransi terhadap ambiguitas.

Bogdan dan Taylor dalam buku mereka, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif,
memperluas poin ini dengan menyatakan, "Peneliti kualitatif memandang perilaku manusia apa
yang orang katakan dan lakukan — sebagai produk dari bagaimana orang menafsirkan dunia
mereka" (1975: 13). Mereka melanjutkan dengan mengatakan penyelidik kualitatif berusaha
untuk menangkap proses penafsiran (hal. 14).

Pertanyaan Meno

Dengan memahami hubungan antara pengetahuan diam-diam dan pluralitas manusia


(kesetaraan dan kekhasan memungkinkan akses diam-diam ke individu dan situasi manusia) dan
dengan mempertahankan toleransi terhadap ambiguitas (menghindari penutupan prematur pada
subjek berdasarkan investigasi), peneliti memahami fenomena saat pola muncul. Pola-pola ini
diakui valid karena sesuai dengan pengalaman kami sendiri, namun kami mengakui kualitas unik
dari orang-orang atau situasi yang sedang diselidiki. Kita dapat merasa percaya diri, meskipun
tidak pasti, jika kita telah tinggal di dalam situasi dan mengamati dengan cermat apa yang
muncul darinya. Sekali lagi, untuk parafrase Arendt: jika kita tidak setara, kita tidak mungkin
dapat memahami orang lain, jika kita tidak berbeda, kita tidak akan memerlukan komunikasi di
luar poin dan dengusan. Para peneliti kualitatif mengembangkan keterampilan manusia mereka
dalam mengamati, mempertanyakan, dan menggali untuk mendapatkan gambaran yang lebih
akurat tentang dunia orang lain.

Naratifitas

Sebuah narasi, menurut Jerome Bruner dalam Actual Minds, Possible Worlds (1986) dan
Acts of Meaning (1990) berkaitan dengan perubahan-perubahan atau sifat perubahan niat. Niat
termasuk keyakinan, keinginan dan komitmen. Niat adalah inti untuk memahami agen atau aktor,
yaitu, memahami peserta dalam studi kualitatif. Penelitian kualitatif memeriksa orang sebagai
agen. Bruner mendefinisikan agen sebagai orang yang bertindak atas dasar kesengajaan seperti
keyakinan, keinginan, dan komitmen — keadaan yang berfluktuasi (1990).

Karena makna merupakan pusat penelitian kualitatif, penggunaan kata ini perlu
penjelasan. Makna adalah apa yang dapat kita setujui atau setidak-tidaknya diterima sebagai
dasar kerja untuk mencari persetujuan tentang konsep yang ada — kita mencapai makna melalui
pertemuan bersama. Bruner berpendapat dalam Acts of Meaning bahwa pembuatan makna
tertanam dalam narasi atau cerita (1990). Kisah-kisah kami adalah pengalaman hidup yang kami,
bersama dengan orang lain, memberi makna pada pengalaman-pengalaman itu. Peneliti kualitatif
dapat memeriksa makna dari cerita-cerita ini karena mereka bersifat publik dan dibagikan.
Artinya, bertentangan dengan keyakinan paradigma tradisional (seperti yang dicontohkan oleh
behavioris dalam psikologi) tidak tersembunyi maupun pribadi. Makna ini mungkin kompleks
dan multidimensi, tetapi mereka bersifat publik dan dibagikan kalau tidak kita tidak akan dapat
saling memahami. Makna yang dikonstruksikan ini dimungkinkan karena apa yang Hannah
Arendt sebut sebagai pluralitas manusia, yaitu, kita berbeda (yaitu, unik) dan setara (Arendt,
1958). Mengingat perendaman peneliti kualitatif dalam budaya, penelitian kualitatif harus
diorganisasikan di sekitar kegiatan pembuatan makna yang menghubungkan seseorang dengan
suatu budaya.

Anda mungkin juga menyukai