Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DAN

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA
KEPALA

OLEH:

NI PUTU NOVIA HARDIYANTI

NIM. P07120216020

TINGKAT III.A / D IV KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

2019
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA
KEPALA

A. DEFINISI
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari
otak disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas dari otak.(Nugroho, 2011)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2011).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik
trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena
robekannya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik,
serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca, 2008).
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat menarik
suatu kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan
oleh trauma benda tajam maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan
pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa pendarahan.

B. ETIOLOGI
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala
meliputi trauma olehbenda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak,
efek dari kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan
oleh Kecelakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan.
C. PATHWAY

Kecelakaan lalu lintas

Cidera kepala

Cidera otak primer Cidera otak sekunder

Kontusio cerebri Kerusakan Sel otak 

Gangguan autoregulasi  rangsangan simpatis Terjadi benturan benda asing

 tahanan vaskuler Teradapat luka


Aliran darah ke otak 
di kepala
Sistemik & TD 

O2  gangguan Rusaknya bagian kulit


metabolisme  tek. Pemb.darah dan jaringannya
Pulmonal
Terjadi henti Kerusakan integritas
jantung Asam laktat  jaringan kulit
 tek. Hidrostatik

Penurunan Oedem otak


Curah kebocoran cairan
Jantung kapiler
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
cerebral oedema paru cardiac output 

Penumpukan
Ketidakefektifan Ketidak efektifan
cairan/secret
bersihan jalan napas perfusi jaringan
perifer
Difusi O2
terhambat

Ketidakefektif pola
napas
D. PATOFISIOLOGI
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis
tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.Patofisiologi cedera kepala dapat
terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala
sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang
terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak
kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari
cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan
perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural
hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter,
subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter
dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah
didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi
karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi
menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan
otak. (Tarwoto, 2007).
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak,
robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk
robeknya duramater, laserasi, kontusio).

2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan
volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah,
liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan
mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan
Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP - ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak.
Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang
makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial
hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l.
glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat)
dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks
berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif
serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan
kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown)
melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang
banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan
repair membran tersebut). Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan
terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang
berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic
bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA
dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
E. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara
deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya
cedera kepala (IKABI, 2004)
1. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi
dua yaitu:
a. Cedera kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu
lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi
akselerasi dan deselerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam
rongga kranial
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan
2. Berdasarkan morfologi Cedera kepala
Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang
tengkorak yang meliputi:
a. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala.
Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP)
yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea
aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang
kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak
mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka
perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup
banyak.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang kepala berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi
1) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan
tulang kepala. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya langsung yang
bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan
tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang
masuk kedalam rongga intrakranial.
2) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura
tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura
tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita
karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur
diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan
dapat mengakibatkan terjadinya hematoma epidural.
3) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki
lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
4) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada
area yang kecil. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat
menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan
jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika
tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
5) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak.
Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi
fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa
posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis
kranii dan tulang kalfaria. Duramater daerah basis kranii lebih
tipis dibandingkan daerah kalfaria dan duramater daerah
basismelekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah
kalfaria,sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat
menyebabkan robekan duramater. Hal ini dapat menyebabkan
kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko
terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon
eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan
batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga
dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi
adalah gangguan saraf penciuman (Nervous olfactorius), Saraf
wajah (Nervous facialis) dan saraf pendengaran (Nervous
vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi
pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak
misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang
tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang
hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi
ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada
penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring ke
posisi yang sehat.
c. Cedera kepala di area intracranial
Menurut (Tobing, 2011) diklasifikasikan menjadi Cedera otak
fokal dan cedera otak difus. Cedera otak fokal meliputi.
1) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) adalah adanya
darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna
tulangtengkorak dan duramater. Epidural hematoma dapat
menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama
beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa
hemiparesis kontralateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain
sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
2) Perdarahan subdural akut atau subdural hematoma (SDH) akut
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang
subdural yang terjadi akut (3-6 hari). Perdarahan ini terjadi akibat
robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfer otak.
Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya
jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
3) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematoma kronik adalah terkumpulnya darah diruang
subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematoma
kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit.
Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi
sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat
tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke
dalam clot dan membentuk neomembran pada lapisan dalam
(korteks) dan lapisan luar (duramater). Pembentukan neomembran
tersebut akan diikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi
fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau liquifaksi
bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang
dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka
akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran
sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang
dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala,
bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai
TIA (transient ischemic attack), disamping itu dapat terjadi defisit
neorologi yang bervariasi seperti kelemahan motorik dan kejang.
4) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematoma (ICH)
Intra cerebral hematoma adalah area perdarahan yang homogen
dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral
hematoma bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak
dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi
dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak
atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran.
Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan
energi dari trauma yang dialami.
5) Perdarahan subarachnoid traumatika (SAH)
Perdarahan subarachnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu
akibat trauma dapat memasuki ruang subarachnoid dan disebut
sebagai perdarahan subarachnoid (PSA). Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga
menggambarkan buruknya prognosa. PSA yang luas akan memicu
terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia
akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
3. Klasifikasi Cedera kepala berdasarkan beratnya
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer,
2000) dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan
dikelompokkan menjadi:
a. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
1) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
2) Tidak ada kehilangan kesadaran
3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
b. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
1) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak
memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
2) Muntah
3) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
4) Kejang
c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
1) Penurunan kesadaran sacara progresif
2) Tanda neorologis fokal
3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
(Mansjoer, 2000)
Glasgow Coma Seale (GCS)
Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan
gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam
pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien
yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada
mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata.
Skala GCS :
- Membuka mata
Spontan :4
Dengan perintah :3
Dengan Nyeri :2
Tidak berespon :1
- Motorik
Dengan Perintah :6
Melokalisasi nyeri :5
Menarik area yang nyeri :4
Fleksi abnormal :3
Ekstensi :2
Tidak berespon :1
- Verbal
Berorientasi :5
Bicara membingungkan :4
Kata-kata tidak tepat :3
Suara tidak dapat dimengerti :2
Tidak ada respons :1

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.

G. KOMPLIKASI
1. Perdarahan intra cranial
2. Kejang
3. Parese saraf cranial
4. Meningitis atau abses otak
5. Infeksi pada luka atau sepsis
6. Edema cerebri
7. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
8. Kebocoran cairan serobospinal
9. Nyeri kepala setelah penderita sadar

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa
gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak
maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial. (Musliha, 2010).

I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah
terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor
sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan
otak. (Tunner, 2000)Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan
pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000)
Penatalaksanaan umum adalah:
1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi tekanan darah
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6. Atasi shock
7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofusin,
aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian
diberikana makanan lunak, Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari),
tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer
dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-
3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.
Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:
1. Pemantauan TIK dengan ketat
2. Oksigenisasi adekuat
3. Pemberian manitol
4. Penggunaan steroid
5. Peningkatan kepala tempat tidur
6. Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain yaitu:
1. Dukungan ventilasi
2. Pencegahan kejang
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4. Terapi anti konvulsan
5. Klorpromazin untuk menenangkan klien
6. Pemasangan selang nasogastrik. (Mansjoer, dkk, 2000).
Penatalaksanaan pada keperawatan gawat darurat yaitu:
1. Airway
Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang collar cervikal, pasang guedel/mayo bila
diperlukan. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka
pasien harus diintubasi.
2. Breathing
Menilai pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak.
Jika tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan
selidiki danatasi cedera dada berat seperti pneumotoraks,
hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2
minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindung bahkan
terancan/memperoleh O2 yang adekuat (Pa O2 < 75 % dan Pa
CO2<38 % mmHg serta saturasi O2 <95%) atau muntah maka pasien
harus diintubasi serta diventilasi oleh ahlianestesi.
3. Circulation
Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.
Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan
adanya cedera intraabdomen/dada. Ukur dan catat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah, pasang EKG, pasang jalur intravena yang
besar. Berikan larutan koloid. Hindari memberikan larutan kristaloid
karena dapat menimbulkan eksaserbasi edema.
4. Disability
Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB
Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto
tulang belakang servikal (proyeksi A-P lateral dan odontoid),
kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh servikal
C1-C7 normal. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan
berat pasang infus dengan larutan normal salin (Nacl 0,9%) atau RL
cairanisotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular dari pada
cairanhipotonis dan larutan ini tidak menambah edema cerebri.
Lakukan pemeriksaan : Ht, periksa darah perifer lengkap, trombosit,
kimia darah. Lakukan CT scan. Pasien dgn CKR, CKS, CKB harus
dievaluasi adanya : Hematoma epidural, darah dalam subarachnoid
dan intraventrikel, Kontusio dan perdarahan jaringan otak, Edema
cerebri, Fraktur kranium. Pada pasien yang koma (skor GCS <8) atau
pasien dengan tanda-tanda herniasi lakukan : Elevasi kepala 30
derajat, Hiperventilasi, Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena
dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian
yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam.
Pasang kateter foley, konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi
(hematoma epidural besar, hematoma subdural, Cedera kepala
terbuka, fraktur impresi >1 diplo).

J. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin
lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan
nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi,
fleksi atau rotasi dari leher.
2) Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma.
3) Circulation dan hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan
detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

b. Pengkajian sekunder
1) Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat
badan, tinggi badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
anggota keluarga, agama.
2) Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang
diberikan segera setelah kejadian.
3) Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda :Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
puandreplegia, ataksia, cara berjalan tidak tegang.
4) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi,
takikardi.
5) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung,
depresi dan impulsif.
6) Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
7) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau
mengalami gangguan fungsi.
8) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,
sinkope, kehilanganpendengaran, gangguan pengecapan dan
penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.
Tanda:Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan
memoris.
9) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat,
merintih.
10) Pernafasan
Tanda: Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi)
11) Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu
tubuh.
12) Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,
bicara berulang-ulang, disartria.
c. Masalah Keperawatan
1) Resiko Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2) Ketidak efektifanbersihan jalan nafas
3) Ketidakefektifan pola nafas
4) Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer
d. Prioritas Masalah
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
3) Ketidakefektifan pola nafas
4) Ketidakefketifan perfusi jaringan perifer
NURSING CARE PLANNING

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


No Diagnosa Keperawatan
(NOC) (NIC)

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Airway Management
..x.. jam diharapkan mampu □ Buka jalan nafas menggunakan head tilt chin
Batasan Karakteristik :
mempertahankan kebersihan jalan nafas lift atau jaw thrust bila perlu
□ Batuk yang tidak efektif dengan kriteria : □ Posisikan pasien untuk memaksimalkan
□ Dispnea ventilasi
NOC :
□ Gelisah □ Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
□ Kesulitan verbalisasi Respiratory status : Airway Patency jalan nafas buatan (NPA, OPA, ETT,
□ Mata terbuka lebar Ventilator)
□ Respirasi dalam batas normal
□ Ortopnea □ Lakukan fisioterpi dada jika perlu
□ Irama pernafasan teratur
□ Penurunan bunyi nafas □ Bersihkan secret dengan suction bila
□ Kedalaman pernafasan normal
□ Perubahan frekuensi nafas diperlukan
□ Tidak ada akumulasi sputum
□ Perubahan pola nafas □ Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
□ Batuk berkurang/hilang
□ Sianosis tambahan
□ Sputum dalam jumlah yang □ Kolaborasi pemberian oksigen
berlebihan □ Kolaborasi pemberian obat bronkodilator
□ Suara nafas tambahan □ Monitor RR dan status oksigenasi (frekuensi,
□ Tidak ada batuk irama, kedalaman dan usaha dalam bernapas)
Faktor yang berhubungan : □ Anjurkan pasien untuk batuk efektif
□ Berikan nebulizer jika diperlukan
Lingkungan :
Asthma Management
□ Perokok □ Tentukan batas dasar respirasi sebagai
□ Perokok pasif pembanding
□ Terpajan asap □ Bandingkan status sebelum dan selama
Obstruksi jalan nafas : dirawat di rumah sakit untuk mengetahui
perubahan status pernapasan
□ Adanya jalan nafas buatan
□ Monitor tanda dan gejala asma
□ Benda asing dalam jalan nafas
□ Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
□ Eksudat dalam alveoli
usaha dalam bernapas
□ Hiperplasia pada dinding
bronkus
□ Mukus berlebih
□ Penyakit paru obstruksi kronis
□ Sekresi yang tertahan
□ Spasme jalan nafas
Fisiologis :

□ Asma
□ Disfungsi neuromuskular
□ Infeksi
□ Jalan nafas alergik

2. Ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Oxygen Therapy


..x.. jam diharapkan pola nafas pasien □ Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
Batasan Karakteristik : □ Pertahankan jalan nafas yang paten
teratur dengan kriteria :
□ Bradipnea □ Siapkan peralatan oksigenasi
NOC : □ Monitor aliran oksigen
□ Dispnea
□ Fase ekspirasi memanjang Respiratory status : Ventilation □ Monitor respirasi dan status O2

□ Ortopnea □ Pertahankan posisi pasien


□ Respirasi dalam batas normal
□ Penggunaan otot bantu □ Monitor volume aliran oksigen dan jenis
(dewasa: 16-20x/menit)
pernafasan canul yang digunakan.
□ Irama pernafasan teratur
□ Penggunaan posisi tiga titik □ Monitor keefektifan terapi oksigen yang telah
□ Kedalaman pernafasan normal
□ Peningkatan diameter anterior- diberikan
□ Suara perkusi dada normal
posterior (sonor) □ Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
□ Penurunan kapasitas vital □ Retraksi otot dada □ Monitor tingkat kecemasan pasien yang
□ Penurunan tekanan ekspirasi □ Tidak terdapat orthopnea kemungkinan diberikan terapi O2
□ Penurunan tekanan inspirasi □ Taktil fremitus normal antara
□ Penurunan ventilasi semenit dada kiri dan dada kanan
□ Pernafasan bibir □ Ekspansi dada simetris
□ Pernafasan cuping hidung □ Tidak terdapat akumulasi sputum
□ Pernafasan ekskursi dada □ Tidak terdapat penggunaan otot
□ Pola nafas abnormal (mis., bantu napas
irama, frekuensi, kedalaman)
□ Takipnea

Faktor yang berhubungan

□ Ansietas
□ Cedera medulaspinalis
□ Deformitas dinding dada
□ Deformitas tulang
□ Disfungsi neuromuskular
□ Gangguan muskuluskeletal
□ Gangguan Neurologis
(misalnya :
elektroenselopalogram(EEG)
positif, trauma kepala,
gangguan kejang)
□ Hiperventilasi
□ Imaturitas neurologis
□ Keletihan
□ Keletihan otot pernafasan
□ Nyeri
□ Obesitas
□ Posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru
□ Sindrom hipoventilasi

3. Penurunan curah jantung/ Risiko Setelah diberikan asuhan keperawatan Cardiac Care
penurunan curah jantung selama …..x…. jam diharapkan masalah
□ Evaluasi adanya nyeri dada (Intesitas, lokasi,
penurunan curah jantung dapat teratasi
dengan kriteria hasil : rambatan, durasi, serta faktor yang menimbulkan
dan meringankan gejala).
Batasan Karakteristik: NOC:
□ Monitor EKG untuk perubahan ST, jika
Perubahan Frekuensi/Irama Jantung Cardiac Pump Effectiveness diperlukan.
□ Lakukan penilaian komprehenif untuk sirkulasi
□ Bradikardia □ Tekanan darah sistolik dalam batas
perifer (Cek nadi perifer, edema,CRT, serta warna
□ Perubahan EKG (Contoh : aritmia, normal
dan temperatur ekstremitas) secara rutin.
abnormalitas konduksi, iskemia) □ Tekanan darah diastolik dalam batas
□ Monitor tanda-tanda vital secara teratur.
□ Palpitasi normal
□ Monitor status kardiovaskuler.
□ Takikardia □ Heart rate dalam batas normal
□ Monitor disritmia jantung.
Perubahan Preload □ Peningkatan fraksi ejeksi
□ Dokumentasikan disritmia jantung.
□ Peningkatan nadi perifer
□ Penurunan tekanan vena sentral □ Catat tanda dan gejala dari penurunan curah
□ Tekanan vena sentral (Central venous
(Central venous pressure, CVP) jantung.
pressure) dalam batas normal
□ Peningkatan tekanan vena sentral □ Monitor status repirasi sebagai gejala dari gagal
□ Gejala angina berkurang
(Central venous pressure, CVP) jantung.
□ Edema perifer berkurang
□ Penurunan tekanan arteri paru □ Monitor abdomen sebagai indikasi penurunan
□ Gejala nausea berkurang
(Pulmonary artery wedge pressure, perfusi.
□ Tidak mengeluh dispnea saat istirahat
PAWP) □ Monitor nilai laboratorium terkait (elektrolit).
□ Tidak terjadi sianosis
□ Peningkatan tekanan arteri paru □ Monitor fungsi peacemaker, jika diperlukan.
(Pulmonary artery wedge pressure, □ Evaluasi perubahan tekanan darah.
PAWP) □ Sediakan terapi antiaritmia berdasarkan pada
Circulation Status
□ Edema kebijaksanaan unit (Contoh medikasi antiaritmia,
□ Keletihan □ MAP dalam batas normal cardioverion, defibrilator), jika diperlukan.
□ Murmur □ PaO2 dalam btas normal (60-80 □ Monitor penerimaan atau respon pasien terhadap
□ Distensi vena jugularis mmHg) medikasi antiaritmia.
□ Peningkatan berat badan □ PaCO2 dalam batas normal (35-45 □ Monitor dispnea, keletihan, takipnea, ortopnea.
Perubahan Afterload mmHg)
□ Saturasi O2 dalam batas normal (>
□ Warna kulit yang abnormal Cardiac Care : Acute
95%)
(Contoh : pucat, kehitam-
□ Capillary Refill Time (CRT) dalam □ Monitor kecepatan pompa dan ritme jantung.
hitaman/agak hitam, sianosis)
batas normal (< 3 detik) □ Auskultasi bunyi jantung.
□ Perubahan tekanan darah
□ Auskultasi paru-paru untuk crackles atau suara
□ Kulit lembab
nafas tambahan lainnya.
□ Penurunan nadi perifer
□ Monitor efektifitas terapi oksigen, jika diperlukan.
□ Penurunan resistensi vaskular paru
□ Monitor faktor-faktor yang mempengaruhi aliran
(Pulmonary Vascular Resistance,
oksigen (PaO2, nilai Hb, dan curah jantung), jika
PVR)
diperlukan.
□ Peningkatan resistensi vaskular
□ Monitor status neurologis.
paru (Pulmonary Vascular □ Monitor fungsi ginjal (Nilai BUN dan kreatinin),
Resistance, PVR) jika diperlukan.
□ Penurunan resistensi vaskular □ Administrasikan medikasi untuk mengurangi atau
sistemik Systemic Vascular mencegah nyeri dan iskemia, sesuai kebutuhan.
Resistance, PVR)
□ Peningkatan resistensi vaskular
sistemik (Systemic Vascular
Resistance, PVR)
□ Dispnea
□ Oliguria
□ Pengisian kapiler memanjang
Perubahan Kontraktilitas

□ Batuk
□ Crackle
□ Penurunan indeks jantung
□ Penurunan fraksi ejeksi
□ Penurunan indeks kerja pengisian
ventrikel kiri (Left ventricular
stroke work index, LVSWI)
□ Penurunan indeks volume sekuncup
(Stroke volume index, SVI)
□ Ortopnea
□ Dispnea parokismal nokturnal
□ Bunyi S3
□ Bunyi S4
Perilaku/Emosi

□ Kecemasan atau ansietas


Gelisah

Berhubungan dengan:

□ Perubahan frekuensi jantung (Heart


rate, HR)
□ Perubahan ritme jantung
□ Perubahan afterload
□ Perubahan kontraktilitas
□ Perubahan preload
□ Perubahan volume sekuncup
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan Setelah diberikan asuhan keperawatan Circulatory Care : Arterial Insufficiency
perifer/ Risiko ketidakefektifan perfusi selama ...x jam, perfusi jaringan perifer □ Lakukan penilaian komprehensif sirkulasi
jaringan perifer pasien menjadi efektif dengan kriteria perifer (seperti: cek sirkulasi nadi, udeme, crt,
hasil: warna, dan suhu)

NOC: □ Tentukan indeks ABI dengan tepat


Batasan Karakteristik: □ Evaluasi udeme periper dan nadi
Tissue Perfusion Peripheral □ Periksa kulit untuk ulkus arteri atau
□ Bruit Femoral
□ Edema □ Capilary refil pada jari-jari tangan kerusakan jaringan

□ Indeks ankle-brakhial <0,90 dalam batas normal (< 3 detik) □ Tempatkan ekstremitas dalam posisi

□ Kelambatan penyembuhan □ Capilary refil pada jari-jari kaki tergantung dengan tepat

luka perifer dalam batas normal (< 3 detik) □ Kelola antiplatelet atau obat anticoagulan

□ Klaudikasi intermiten □ Tekanan darah sistolik dalam dengan tepat

□ Nyeri ekstremitas batas normal □ Ubah posisi pasien setidaknya setiap 2 jam

□ Paresthesia □ Tekanan darah diastolik dalam dengan tepat

□ Pemendekan jarak bebas nyeri batas normal □ Instruksikan pasien pada faktor-faktor yang

yang ditempuh dalam uji □ MAP dalam batas normal mengganggu sirkulasi (mis merokok pakaian

berjalan 6 menit □ Nadi teraba kuat ketat, paparan suhu dingin, dan persimpangan
□ Pemendekan jarak total yang □ Tidak terjadi udeme pada perifer. dari kaki dan kaki)
ditempuh dalam uji berjalan 6 □ Pertahankan hidrasi adequat untuk
menit (400-700m pada orang menurunkan kekentalan darah
dewasa) □ Pantau status cairan, termasuk asupan dan
□ Penurunan nadi perifer output
□ Perubahan fungsi motorik Circulatory Care : Venous Insufficiency
□ Perubahan karakteristik kulit □ Lakukan penilaian komprehensif sirkulasi
(mis. Warna, elastisitas, perifer (seperti memeriksa denyut nadi
rambut, kelembapan, kuku, perifer, edema, pengisian kapiler, warna dan
sensasi, suhu) suhu).
□ Perubahan tekanan darah di □ Evaluasi edema perifer dan nadi
ekstremitas □ Periksa kulit untuk memastikan adanya ulkus
□ Tidak ada nadi perifer stasis dan kerusakan jaringan
□ Waktu pengisian kapiler > 3 □ Tinggikan anggota badan yang terkena 20
detik derajat atau lebih dari jantung
□ Warna kulit pucat saat elevasi □ Ubah posisi pasien setidaknya setiap 2 jam
□ Warna tidak kembali ke □ Anjurkan latihan ROM pasif atau aktif,
tungkai 1 menit setelah tungkai terutama latihan ekstremitas bawah, selama
diturunkan
Faktor yang Berhubungan: istirahat.
□ Administrasikan antiplatelet atau obat
□ Diabetes Melitus
antikoagulan
□ Gaya hidup kurang gerak
□ melindungi ekstremitas dari cedera (selimut
□ Hipertensi
untuk bagian kaki dan kaki terbawah, papan
□ Kurang pengetahuan tentang
kaki/ayunan pada bagian bawah tempat tidur,
factor pemberat (mis.
sepatu yang sesuai dengan ukuran).
Merokok, gaya hidup monoton,
□ Pertahankan hidrasi yang memadai untuk
trauma, obesitas, asupan
menurunkan kekentalan darah
garam, imobilitas)
□ Pantau status cairan, termasuk asupan dan
□ Kurang pengetahuan tentang
output
proses penyakit (mis. Diabetes,
hiperlipidemia)
□ Merokok
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E.1999.Rencana Asuhan Keperawatan ed-3. Jakarta : EGC


Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016).
Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia Edisi
Keenam. Singapore: Elsevier.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
Outcomes Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi
Bahasa Indonesia Edisi Keenam. Singapore: Elsevier
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8.
Jakarta : EGC
http://www.scribd.com/doc/20357839/Cedera-Kepala
LEMBAR PENGESAHAN
Klungkung, Mei 2019

Mengetahui,

Pembimbing Klinik / CI Mahasiswa

................................................... ..............................................

NIP. NIM.

Clinical Teacher/CT

......................................................

NIP.

Anda mungkin juga menyukai