Anda di halaman 1dari 5

Catatan Senja

John Wesley

Sendiri aku menatap langit sore melalui kaca bus yang mengantarkan aku pulang ke
kontrakan di daerah Cawang. Sengaja aku mengambil bangku tidak terlalu di sudut, dengan
alasan agar mudah keluar masuk bila ada orangtua atau ibu-ibu yang berdiri dan menawarkan
bangku untuknya. Namun hari ini rasanya ada yang beda. Tidak terlalu banyak penumpang yang
berada di dalam bus seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan, beberapa shelter bus dilewati untuk
menaik dan menurunkan penumpang tidak begitu berpengaruh pada bangku yang aku duduki.
“Bukankah hari ini adalah hari libur?”, benakku bertanya. “Ah, mungkin banyak yang
menghabiskan libur panjang akhir pekan keluar kota.” Wajar saja, sebab ini adalah hari Jumat
dan merupakan awal libur panjang di akhir pekan ini.

Kubenahi dudukku kembali, sesaat setelah aku transit di Halte Harmoni. Kutempati tempat
duduk yang posisinya sama persis dengan tempat dudukku di bus sebelumnya. Bangku pertama
setelah pintu dekat dengan jendela, selalu menjadi tempat duduk kesukaanku. Selain aku ingin
menghabiskan waktu menikmati perjalananku memandang kota ini aku juga tidak perlu berpura-
pura kesulitan keluar bila ingin berganti duduk dengan penumpang prioritas. Yah, seperti
kebanyakan pengguna bus, sengaja mengambil tempat duduk pojokan, berpura-pura tidur dengan
memakai headset, agar tidak berganti duduk dengan penumpang prioritas. Bahkan ada diantara
mereka terkadang menggunakan tempat duduk yang tidak seharusnya dia gunakan, namun seolah
tidak melihat tanda, duduk dan pura-pura tidur, sampai kondektur yang bertugas membangunkan.
Aku pribadi tidak pernah mau ikut campur dengan sikap para penumpang yang seperti itu pun
tidak mau menghukum mungkin saja dia kelelahan sehabis bekerja sehingga dia membutuhkan
tempat duduk di dalam bus. Daripada menghukum mereka, ada baiknya memberi contoh pada
para penumpang yang masih muda. Karena terkadang, beberapa dari penumpang ada yang
terkesan malu untuk memulai pertama menawarkan, namun setelah melihat penumpang lain
menawarkan berganti duduk, selalu ada yang mengikuti.

Termasuk perjalanan yang nyaman sore ini, bahkan dari Stasiun Kota hingga ke Halte
Matraman aku sama sekali tidak beranjak dari tempat dudukku. Bahkan aku tenggelam dalam
lamunan sepanjang jalan sembari memandang setiap bangunan kota ini dari dalam bus. Lamunan
yang menghantarkan aku ke waktu setahun yang lalu dimana untuk pertama kalinya aku
menginjakkan kakiku di kota ini, ibukota negara, Jakarta. Irama lagu dari pemutar musik milikku
semakin membawa aku hanyut pada kenangan saat-saat akan pindah ke kota ini. Aku sebut
pindah karena aku ingin memulai sesuatu yang baru lagi di kota ini, walaupun hal sebenarnya
adalah aku lari menghindar dari masalah yang aku miliki sebelum aku berada di kota ini. Aku
sendiri masih bingung, apakah aku benar-benar lari dari masalahku atau sudah menjadi
keputusan yang baik aku meninggalkan kotaku, kota dimana berjuta kenangan dan sejarah
perjalanan hidupku terbentuk, yang menjadikan aku seperti sekarang ini.

Menjadi pribadi seperti sekarang ini, cukup sulit mendefenisikannya. Karena aku sekarang
ini bukanlah orang terpandang di lingkungan kerja ataupun di lingkungan masyarakat, bahkan di
keluarga, aku sendiri tidak tahu apa namaku masih ada di dalam kartu keluarga atau tidak. Cukup
sederhana mendefenisikan pribadi seperti apa aku sekarang. Aku bukanlah siapa-siapa,
terkhususnya di kota ini. Dan hari ini, genap setahun aku memulai hidup baruku, dan aku
merayakannya dengan berkeliling kota ini sembari mengulas kembali setahun perjalanan
hidupku di kota yang baru ini, agar aku bisa mencapai kembali tujuanku, mengembalikan
kebahagiaan serta duniaku berupa komunitas kecil yang dipenuhi cinta dan kasih sayang yang
kusebut sebagai keluarga.

“Pemberhentian berikutnya, Halte Matraman!”, seru kondektur wanita yang bertugas di


bus transjakarta membuyarkan lamunanku sepanjang jalan. Aku lirik jam tanganku sesaat
menoleh ke arah langit sore, menunjukan 17:48. Seketika badanku beranjak dari tempat dudukku
seakan ada yang menariknya, sesaat batinku berseru “belum terlalu malam!” Aku turun dari bus
yang kutumpangi setelah pintu otomatis terbuka. “Hhmm, benar-benar sepi.” Aku bergumam.
Kutelusuri koridor keluar dari halte menuju jembatan penyebrangan ke arah Gramedia.
Kulangkahkan santai kakiku, sembari menyulut sebatang Marlb*ro putih, menikmatinya
perlahan seiring langkah santaiku. Hingga sesaat aku terhenti menghadap ke arah jalan,
sementara aku menghabiskan sisa puntung rok*kku menikmati suasana kota yang sepi. Kerlap-
kerlip frekuensi yang berbeda dari jajaran lampu jalan dan lampu-lampu gedung serta cahya dari
lampu kendaraan yang berlalu lalang, menemani dan menghiasi pandangan mataku
menghabiskan sore ini.
“Boleh saya bawa tas ke dalam, Pak?” tanyaku pada seorang security yang bertugas untuk
memastikan kamera dan alat elektronik milikku yang lainnya boleh ikut serta masuk bersamaku.
“Iya, silahkan mas.” Jawaban ramah kuterima dari dirinya. Saling melempar senyum,
kulangkahkan kakiku masuk menyusuri tiap-tiap rak di toko itu. “Hhmmmm, aromanya sama.”
Batinku berujar saat kuhirup aroma khas toko itu. Aroma yang mengingatkan aku dengan
Gramedia lainnya di kota yang lainnya pula. Banyak kenangan yang kumiliki di toko buku milik
perusahaan percetakaan ini. “Apakah aku hendak mengenangnya hingga aku datang kesini?”
Bahkan aku berbicara pada diriku sendiri yang tersenyum. “Bodoh, ini sudah setahun aku tidak
berkunjung ke toko buku ini!” batinku meneruskan mencoba untuk melihat toko buku ini dari
sisi lainnya. Karena tidak seharusnya aku melihat semua hal dari perspektif yang selalu sama,
walaupun kemana aku melangkah keseragaman budaya dan kesibukan sosial hampir sama di
setiap kota. Dengan kata lain, bila terlalu sering aku mengaitkan dengan segala hal yang telah
berlalu, maka akan aku temui setiap masa laluku di setiap kota yang aku jalani. Bahkan pun tidak
pernah ada yang menyalahkan bila engkau mengenang semua masa lalumu, yang membuat
dirimu terpuruk tanpa memaafkan semuanya itu lah yang menjadikan masa lalu itu menjadi tali
rajut yang lambat laun melilit lehermu.

Aroma dari buku-buku yang tersusun rapi perlahan kuhirup seiring dengan langkah kakiku
menelusuri setiap rak buku. Tidak ada rencana untuk membeli buku, sementara buku yang
pernah kubeli masih ada yang belum selesai aku baca, namun aku terus menyusuri rak demi rak
melihat buku-buku terbitan terbaru selama setahun atau pun yang menarik untuk dibaca. Sesaat
memasuki salah satu lorong yang raknya dipenuhi novel-novel terjemahan, kulihat sepasang
muda mudi yang tengah ngoborol pelan. Tidak terlalu jelas apa yang mereka obrolkan, pun aku
tidak terlalu peduli apa yang mereka bicarakan. Aku hanya peduli pada isi kepalaku yang tiba-
tiba memutar kenangan yang persis sama diterima dua bola mataku saat memandang mereka.
“Tempat kencan terbaik buat kalian”, gumamku dalam hati. Lorong sempit ditemani buku
dengan suasa hening akan mampu menciptakan cerita baru dalam hidupmu. Setiap kata-kata
dalam novel yang sedang kalian bahas tiada lebih indah dan berkesan dibandingkan saat
kebersamaan itu sendiri. Seperti halnya kenangan indah yang tiba-tiba berputar setelah
memandang mereka, layaknya sebuah film documenter yang diputar hingga aku ingat setiap
detailnya. Bersama seseorang yang bahkan hari ini tidak pernah kutemui lagi dan tidak tahu
dimana dirinya sekarang.

“Hey, Fakultas apa?” tanyaku pada seorang wanita yang aku pikir seumuranku, kala itu
dibalik rak buku di sebuah perpustakaan kampus. Sederhana perkenalan kami kala itu terjadi
begitu saja. Tubuhku beranjak sendiri dari bangku tempatku membaca menghampiri dirinya di
pojokan rak buku. Kuperkenalkan diriku dengan gugup karena mencoba membuat suasana
nyaman baginya di perkenalan awal kami. Dia membalas perkenalanku dengan ramah, begitulah
awalnya aku mengenal dirinya, tidak ada yang manis hanya senyumannya yang manis.
Senyuman yang mampu memalingkan pandanganku dari buku bacaanku ketika dia lewat dari
hadapanku yang tersenyum pada seseorang yang lainnya di sekitaran meja tempat aku membaca.
“Mau pulang bareng?” Tanya seseorang yang aku pikir adalah temannya, cukup mengejutkan
kami berdua, padahal bukanlah suara yang keras yang darinya, mungkin kami yang terlalu asik
dengan obrolan kami. “Pulang bareng aku aja mau?” Setengah berbisik aku mengatakannya,
yang sebenarnya kata-kata itu hanya ada di dalam otakku entah mengapa bibirku
mengucapkannya. Mungkin saja tubuhku sudah mulai rileks dibandingkan awal perkenalan tadi
sekarang lepas dari kendali otakku sendiri. “Ehh, aku bentar lagi, kalau udah selesai duluan aja!”
Jawaban dari orang asing di hadapanku ini bahkan sempat membuat aku sempat menahan
nafasku. Orang asing yang kutemui di lorong rak buku yang akhirnya kami saling berkenalan
dan saling berbagi di setiap hari-hari kami hingga pada akhirnya semesta memanggil untuk
memisahkan kami sebagai orang yang asing pula saat ini.

Kuhela panjang nafas ku di putaran rak buku terakhir, berusaha menghentikan putaran
kenangan yang saat ini bekerja di kepalaku. Sebuah buku yang sempat aku ambil dari salah satu
rak, kubawa menuju meja kasir untuk kubayarkan. Walaupun tidak ada rencana untuk membeli
buku namun tetap saja selalu ada buku yang aku beli.

Segera aku melangkah keluar setelah kubayar dan kusimpan buku itu. Berhenti sejenak
beberapa langkah setelah pintu keluar, kurogoh saku celanaku mengambil rokok yang hendak
aku hisap menuju jembatan penyebrangan kembali ke Halte Matraman. Kuhirup dalam kepulan
asap pertama, sembari melakukan pereganggan leher. Seketika pandanganku gelap sesaat
kepulan asap yang kedua kalinya kuhirup. Apa karena mataku terpicing rapat hingga
pandanganku gelap seketika atau aku memang lagi tidak mampu memandang apa-apa, aku
sendiri tidak tahu. Karena otakku sendiri merespon rasa sakit di dadaku yang kucoba
meremasnya untuk menekan rasa nyeri itu sendiri. Aku terjatuh, hingga lututku membentur lantai
yang hendak menopang tubuhku. Rasa sakit yang semakin menjadi membuat aku meringis
mencoba mencari bantuan, aku bahkan tidak tahu apa sekelilingku ada yang memperhatikanku
atau malah membiarkan aku begitu saja. “Tolong aku!” Tidak tahan dengan rasa sakit yang
semakin menjadi di dadaku, kucoba berteriak, walaupun sebenarnya aku tidak tahu apakah
teriakanku didengarkan sekelilingku atau tidak. Tangan kanan dan kiriku bersamaan meremas
sesuatu, entah mana yang meremas dadaku, aku pun tidak tahu. Hanya rasa sakit dan kegelapan
yang kurasakan.

Ternyata benar, saat dirimu diambang kematian otakmu akan bekerja lebih cepat. Memutar
semua hal yang pernah terlintas dalam hidupmu. Mengembalikan semua kenangan sebelum
kenangan itu dihapuskan, aku sendiri tidak mengerti karena otakku bekerja sendirinya. Menatap
bayangan diriku yang berdiri sendiri berseberangan dengan orang-orang yang kukasihi, seakan
mereka semakin menjauh meninggalkan aku sendiri. Semua hal yang sempat tersimpan di dalam
benakku seolah berputar begitu cepat di hadapanku, meninggalkan aku yang diam terpaku.
Beginikah akhir hidupku? Jalan sepi yang kutemui, kujalani hanya sesaat untuk kembali
memperbaiki setiap kesalahan dan membangun kembali hidupku akankah berakhir sampai
disini? Apakah aku akan mati? Tidak adakah kesempatan buatku untuk mengembalikan
semuanya? Apakah aku ditakdirkan untuk mati seperti ini? Mati dalam sepi ditemani pertanyaan-
pertanyaan yang secara perlahan tidak lagi mampu aku pertanyakan dalam kepalaku (titik)

Anda mungkin juga menyukai