Tauhid 114-115
Tauhid 114-115
Yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang kedua muncul karena
didorong oleh persoalan akidah atau keimanan.
Al-Syahrastani menceritakan begaimana Mu’tazilah kedua tersebut lahir. Katanya,
pada suatu hari seorang laki-laki datang menemui Hasan al-Bashri (21-110 H/642-728 M) di
majelis pengajiannya di Bashrah, seraya berkata, “pada zaman kita sekarang ada golongan
yang mengafirkan orang-orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka, dosa besar itu
merusak iman sehingga membawa kepada kekafiran (yang dimaksud adalah golongan
Khawarij). Di samping itu, ada pula golongan yang menangguhkan hukum orang yang
berdosa besar. Menurut golongan ini, dosa besar tidak merusak iman sehingga muslim yang
berbuat dosa besar itu tetap mukmin, tidak kafir (golongan dimaksud ialah Murjiah).
Bagaimanakah anda menetapkan iktikad bagi kami dalam hal ini?”
Kerika Hasan al-Bashri masih merenung untukmemberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut, Washil bin Atha’, salah seorangpeserta dalam majelis tersebut, memberikan
jawaban lebih dahulu. “Aku tidak mengatakan orang yang berbuat dosa besar itu mukmin
secara mutlak, tidak pula kafir secara mutlak. Statusnya berada diantara mukmin dan kafir
(al-manzilah bain al-manzilatain). Orang itu tidak mukmin, tidak pula kafir”.
Setelah memberikan jawaban itu, Washil berdiri dan berjalan menuju ke salah satu
sudut masjid. Disini ia kembali menegaskan dan menjelaskan pendapatnya tersebut kepada
kawan-kawannya. Melihat sikap Washil demikian, Hasan al-Bashri berkata “I’tazala ‘anna
Washil (Washil telah memisahkan diri dari kita)”. Sejak itulah, Washil dan kawan-kawan
serta pengikutnya dinamakan Mu’tazilah) tidak berkembang dan bukan merupakan aliran
teknologi dalam Islam. Mu’tazilah yang berkembang dan menjadi salah satu aliran teknologi
ialah Mu’tazilah bentuk kedua, pemimpin Washil bin Atha’.