Anda di halaman 1dari 15

11.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Ciri-Ciri Morfologi

Katak tennasuk kelas Amphibia, yaitu vertebrata pertama yang beralih

dari kehidupan air ke kehidupan di darat. Dalam daur hidupnya, hewan ini

mernbutuhkan dua ternpat yaitu lingkungan perairan dan daratan (Dillon, 1965;

Hickman, C. P. Hickman Jr, and F. M. Hickman, 1974). Lebih lanjut dijelaskan

bahwa kehidupan kodok di kedua lingkungan berrnula atau diawali di air tawar

pada stadium larva dan dilanjutkan ke kehidupan di daratan pada stadium anakan

(juvenil) hingga dewasa untuk mencari kehidupan yang lebih menguntungkan.

Kampen (1923) menyatakan bahwa kelas Amphibia yang terdapat di

kepulauan Indo-Australia terdiri atas tujuh farnili antara lain Caecilidae,

Pelobatidae, Brecipitidae, Hylidae, Bufonidae dan Ranidae. Selanjutnya Iskandar

(1996) menyebutkan bahwa sebagai anggota dari famili Ranidae, genus Rnna di

Indonesia menyebar secara kosmopolitan meliputi Pulau Sumatera (30 jenis),

Jawa (1 5 jenis), Kalimantan (42 jenis), Nusa Tenggara (11 jenis), Sulawesi (16

jenis) dan Maluku (9 jenis). Sugiri et a1.(1998) dan Tritawani (1998) berhasil

rnengidentifikasi sebanyak tujuh spesies yang terdapat di daerah Jawa dan

Sumatera Barat seperti Rana hosei, Rana blythi, Rana limnocharis, Rana

chalconota, Rana ntacrodon, Rana erythraea dm1 Rana cancrivora.

Genus Rana menyebar secara kosmopolit. Biasanya telur diletakkan di air

dan mempunyai larva yang bebas berenang. Pada rahang atas terdapat gigi,

sedangkan pada rahang bawah spesies tertentu terdapat sepasang tonjolan tulang

seperti gigi, tidak mempunyai tulang rusuk, langit-langit rnulut terdapat vomer

I
yang terletak di antara koarla. Timpanum terletak berpadanan dengan kulit; pupil

mata berbentuk seperti ketupat dan terletak horizontal; jari-jari tungkai depan

biasanya tidak berselaput; jari tungkai belakang antara satu dengan lainnya

terdapat selaput renang (Kampen, 1923; Inger, 1966). Raw tidak mempunyai

kelenjar bisa pada kulit; pada perrnukaan bawah jari tangan ke empat antara

tuberkel dan cakram pada ujung jari terdapat paling banyak dua tuberkel. Ujung

jari tangan dan kaki membesar membentuk cakram, dan pinggiran cakram tidak

terdapat celah yang melingkar secara horizontal. Metatarsus luar 213 bagian

terpisah oleh selaput renang (Kampen, 1923).

Rnna cnncrivortl. Ratla cancrivora memiliki ciri-ciri antara lain

moncong tumpul bulat atau agak runcing; ukuran panjang kepala sama dengan

lebar atau lebih panjang dari lebar kepala; tonjolan tulang di ujung rahang bawah

tidak berkembang (Inger,1966); timpanum jelas dengan diameter 112 - 2/3

diameter mata, pada punggung terdapat banyak lipatan kulit (plika longitudinal),

terdapat lipatan supratimpani yang jelas dari mata ke aksila (Kampen,1923;

Susiri er n1.,1997); warna pada permukaan atas tubuh abu-abu, coklat dengan

bercak benvarna hitam atau kelabu tua yang susunannya tidak teratur, kulit

bagian belakang punggung berbintii; tungkai depan banyak bercak berwarna

hitam atau kelabu, bagian bawah tubuh berwarna putih; jari-jari tangan dan kaki

runcing dengan ujung jari tidak membesar, selaput renang hampir mencapai

ujung jari di sisi sebelah luar pada jari 1, 2, 3 dan sisi sebelah dalam pada jari

kelima. Pada jari keempat selaput renang mencapai tuberkel subartikular distal

(Inger, 1966; Kampen, 1923; Sugiri et al.,1998). Ciri-ciri sekunder : katak betina

memiliki ukuran tubuh jauh lebih besar dari pada kodok jantan. Pada jantan
terdapat sepasang kmtung suara dan bantalan kopulasi di bawah jari tangan

pertama.

Rann nzncrodon Dumeril dan Bilbron. Tubuh gemuk, kaki kokoh

dengan ukuran agak panjang (tibia 0,45 - 0,56 panjang tubuh); panjang tubuh

dapat lebih dari 125 mm; ukuran panjang kepala sedikit lebih besar dari pada

ukuran lebar kepala; moncong tumpul; kantus rostra1 turnpul; daerah pipi sangat

miring dan sedikit cekung; gendang telinga (timpanum) selalu kelihatan; gigi

vomer terletak dalam dua kelompok miring dan sudut anteriomedian koana;

mandibula bagian depan dengan sepasang penonjolan tulang; dewasa kulit

pung,oung halus; katak dengan ukuran 75 mm dengan bercak berbentuk huruf V

di antara kedua kaki depan dan tubuhnya berbintil; terdapat plika temporal; tanpa

plika dorsolateral. Ujung jari kaki depan bulat; jari pertarna lebih panjang dari jari

kedua; rigi kulit terdapat di sepanjang tepi dalam jari kedua dan ketiga. Bentuk

ujung jari kaki belakang bulat dan tanpa lekukan; selaput renang mencapai ujung

kaki, akan tetapi melekuk sampai ke pangkal tuberkulum subartikular tengah

antara jari keempat dan kelima. Gelambir terdapat di sepanjang sisi luar jari

pertama: tuberkulum subartikular berbentuk oval; tuberkulum metatarsal dalam

berbentuk oval, tanpa tuberkulum metatarsal luar. Warna pada waktu hidup

coklat sampai merah, biasanya dengan tot01 atau lorek hitam pada tungkai

belakang: Aurang lebih 1/6 jumlah spesimen mempunyai garis punggung

(Inger, 1966).

Rann blythi Boulenger. Tubuh besar, kaki besar dan panjang; berukbran

lebih panjang dari pada ukuran kaki Ram ntacrodon (tibia 0,52 - 0,62 panjang

tubuh); panjang tubuh dapat lebih dari 150 mm; ukuran panjang kepala lebih
besar dari pada lebar kepala; moncong runcing; kantus rostra1 jelas; daerah pipi

hampir vertikal dan cekung; gigi vomer seperti pada Rana macrodon; pada

mandibula bagian depan terdapat sepasang penonjolan tulang. Terdapat plika

temporal; keadaan kaki sama dengan Rana macrodon; selaput renang mencapai

ujung cakram dan lebih penuh dari Rana ntacrodon. Warna h l i t coklat sampai

merah. Katak muda kulitnya dengan tot01 hitam di punggung; terdapat garis

interorbital; bibir dengan lorek hitam; terdapat garis loreal antara mata dan

hidung; terdapat garis hitam antara mata dan timpanum. Warna kaki sama dengan

Ranu n~cicrodon(Inger, 1966).

Rntw erythmea. Tubuh kecil; katak dewasa berukuran panjang 30 - 75 mm;

panjang kepala lebih panjang dari lebar kepala; timpanum terlihat jelas ( kurang

lebih 314 dari diameter mata). Ujung-ujung jari melebar bempa cakram; jari

pertama sama dengan atau lebih panjang dari pada jari kedua; sebelah luar jari

bergelambir; tibia 0,50 - 0,57 dari panjang tubuh. Kulit lebih halus; pada sebuah

sisi terdapat lipatan dorsolateral yang panjang; dengan sebuah lipatan

suprarimpanurn yang lemah; permukaan ventral halus. Hewan hidup biasanya

benvarna hijau terang; lipatan dorsolateral berwarna kuning; bibir atas dan

permukaan ventral berwarna putih (Inger, 1966; Matsui, 1987).

Rnnn chnlconotn. Tubuh dan kaki ramping (kecil); katak dewasa

berukcran panjang 33 - 60 mm; kepala segitiga; lebar kepala 0,27 - 0,30 dari

panjang tubuh; kepala 0,37 - 0,42 dari panjang tubuh. Ujung-ujung jari melebar,

mempunyai tuberkel metatarsal luar. Kulit lebih kasar atau bergranula; hewan

hidup benvarna kuning pucat atau hijau kekuningan; bagian bawah berwarna

krem; bibir atas putih; permukaan posterior dan ventral paha berwarna kemerah-
merahan. Dalam alkohoi biasanya berwarna coklat kemerah-merahan (Inger,

1966; Matsui, 1979).

Rann Izosei. Tubuh kuat; kaki panjang dan kecil; katak dewasa berukuran

50- 100 mm; kepala berbentuk segitiga dan bagian ujung tumpul; lebar kepala

0,30 - 0,40 dari panjang tubuh; panjang kepala 0,36 - 0,40 dari panjang tubuh;
mata besar; timpanum jelas 215 - 314 dari diameter mata; panjang tibia 0,57 - 0,66

dari panjang tubuh; terdapat sepasang lipatan dorsolateral, tanpa tuberkel

metatarsal luar. Hewan hidup berwarna hijau gelap, kecoklatan pada sisi dan pada

permukaan dorsal anggota badan; bibir atas dan bawah berwarna putih keperak-

perakan. Dalam alkohol berwarna abu-abu gelap (Inger, 1966).

B. Habitat dan Penyebaran

Katak genus Rana terdapat di kolam-kolam berumput atau tumbuhan lain

di tepian sungai berbatu, serta pinggiran air yang ditumbuhi alang-alang. Selain

itu cgenus ini juga ditemukan di daerah pegunungan pada ketinggian 1400 m dari

permukaan laut dan di tepian sungai kecil dan sungai-sungai lebar (Menzies,

1975). Genus ini juga ditemukan di tempat-tempat basah pada daerah dataran

rendah dan selalu di dekat air (Villee, 1968).

Inger (1966) menyatakan bahwa, beberapa spesies dari genus Rana

ditemukan di daerah persawahan, rawa, kolam, selokan, tempat-tempat yang

berair di hutan yang telah diubah menjadi daerah pertanian dan dataran rendah di

pesisir pantai yang telah dihuni manusia seperti Rana caizcrivora dan Rana

linznocharis. Sejalan dengan pendapat tersebut Goin, Goin and Zug (1978)

melaporkan bahwa Rana carzcrivora merupakan satu spesies yang mampu hidup
secara tetap di air payau, dimana Rana cancrivora dapat mempertahankan

keseimbangan osmotik dengan lingkungan sekitarnya (air garam) dengan cara

menekan urea yang terdapat ddam cairan tubuh maupun pada jaringan.

Yanaihara et a1.(1995) melaporkan bahwa R a m cancrivora yang hidup di Ang

Sila dekat Bangkok dapat hidup normal di rawa-rawa mangrove dengan salinitas

33 %.

Di Mexico, ditemukan dua spesies dari genus Rana (R. magnoacularis dan

R. be]-landieriforreri) yang menyebar secara luas mulai dari pesisir gersang yang

sempit di bagian barat laut "Mexico" hingga lereng bagian barat dari Sierra

Mudre, memperlihatkan kondisi yang sama baik pada habitat yang berbeda.

Misalnya, spesies yang telah diidentifikasi pada dua daerah yang berbeda yaitu

pada kolam air hujan dan sungai yang terletak dekat pesisir memperlihatkan

kondisi yang sama baik dengan spesies yang hidup di sungai di daerah

pegunungan dengan ketinggian 1500 m. Selanjutnya di daerah dengan ketinggian

yang lebih rendah dengan air yang tersedia secara tetap, R ntagnoacularis

rnampu melampaui habitat R. berlandieri forreri yang dibatasi oleh sungai utama

dan area rawa-rawa dekat pesisir dan hidup secara bersama atau simpatrik (Frost

and Basnara, 1976).

Hal yang sama juga terjadi pada Ratla yipen dan Rana blairi, meskipun

R a m pipell hidup dengan normal di daerah dengan ketinggian 1800 - 2750 m

-
dari permukaan laut, sedangkan Ratla blniri hidup di ketinggian 1200 1800 m.

Kedua populasi spesies tersebut dapat ditemui hidup bersama atau simpatrik di

daerah sekitar "Sandy creek" dan "Pueblo county" (Rogers and Cousineau, 1991).
Di Indonesia, penyebaran spesies dari genus Rana cukup bervariasi antara

satu daerah dengan daerah lain. Rana cancrivora di Indonesia hidup di sekitar

perairan air tawar, di sawah atau rawa, koIam, selokan (Sugiri et al.,1998).

Berdasarkan ketinggian habitatnya, Pratomo (1997) menyatakan bahwa Rana

car~crivorayang terdapat di daerah Jawa Barat dapat hidup dan menempati lokasi

dengan ketinggian antara 120 m sampai dengan 1000 m di atas permukaan laut.

Habitat alami katak dewasa genus Raila pada umumnya adalah daratan

perairan tawar antara lain persawahan dan rawa. Lingkungan perairan utamanya

digunakan untuk kegiatan reproduksi, yaitu kawin, bertelur dan berkembangnya

berudu sampai menjadi anak katak setelah proses metamorfosis.

Setiap hewan ektotermik mempunyai kisaran toleransi suhu yang

memungkinkan metabolisme dan proses fisiologi lainnya dapat berjalan secara

normal. Apabila hewan berada pada suhu tubuh di atas titik tertentu (CTM max =

suhu kritis maksimum) atau suhu tubuh di bawah titik tertentu (CTM min = suhu

kritis minimum) maka hewan tidak mampu untuk menampilkan pergerakan yang

terkoordinasi. Pada beberapa amfibia, CTM max yang tertinggi hampir mencapai

4 2 ' ~ : termasuk B~rfomarir~ns,katak tropika daerah savana terbuka. Arnfibia

cenderung untuk melakukan fungsinya pada suhu lingkungan yang lebih rendah

dibandingkan dengan reptilia. Batas toleransi kritis dari salamander antara - 2 ' ~

hingga mencapai 2 7 ' ~sedangkan


~ Anura antara 30- 4 1 ' ~(Goin et al.. 1978).

Hasil penelitian Putnam dan Bennett (1981) tentang kinerja Bzrfo boreas

dan Rciim yipen, dengan menempatkan kedua spesies tersebut pada suhu

untuk B. boreas dan untuk R.


lingkungan yang konstan ( 3°,90,150,200,300~)

pipet1 (3°,90,1~0,200dan32',50'~) menunjukkan bahwa kemampuan kinerjanya


0

meningkat seiring dengan peningkatan suhu tubuh dan mencapai maksimum pada

suhu 2 8 ' ~untuk B. boreas dan 20-29'~untuk R. pipen.

Susanto (1994) menyebutkan bahwa secara umum katak hidup di habitat

perairan dengan lingkungan yang bersuhu 20 - 3 5 ' ~ , sedangkan kisaran yang


ideal untuk pembiakan dan penetasan telur Rana catesbiana adalah 24 - 27%.
Kisaran derajat keasaman (pH) yang ideal untuk hewan akuatik (termasuk

bemdu) adalah 6,5 - 8,5 (Pescod,l973), sedangkan pH optimal untuk Rana

tenrporia di daerah Nottingham Inggris adalah 6. Berudunya hidup pada perairan

dengan kisaran pH 4,5 - 6. Pada pH h a n g dari 4,5 terjadi banyak kegagalan

telur yang menetas dan letal ataupun dapat menyebabkan pertumbuhan yang

kerdil anak-anak Rana tenporaria (Tyler-Jones and Beattie, 1992). Rana

catesbiana di Ontario Canada mempunyai pH letal untuk embrio dan berudu pada

kisaran 3,5 - 3,8, sedangkan penurunan daya tahan hidup terjadi pada pH 4 4,s -
(Licht and Grant, 1993).

Pengujian toleransi asiditas dari embrio dan larva kodok Boreae (Bufo

boreas) yang dipelihara dalam dua buah medium yaitu medium perairan

pertambangan Argo dengan perlakuan pH 3,l -7 dan medium perairan danau

"Black" dengan pH 7,l sebagai kontrol dengan jumlah masing-masing 100 zigot.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa larva yang dipelihara di medium

perairan pertambangan pada pH 3 , l seluruhnya mati dalam waktu 24 jam.

Sementara pada cairan yang mempunyai pH di atas 3,l memperlihatkan bahwa

semua larva dapat bertahan hidup dan mengalami metamorfosis secara lengkap

setelah mencapai hari ke 59 (Porter and Hakanson, 1976).

Oksigen merupakan faktor penting bagi kehidupan air. Oksigen terlarut


penting sekali untuk metabolisme organisme akuatik aerob dan organisme yang

hidup di sekitarnya seperti macam-macam hewan air dan amfibia (Wetzel, 1983).

Oleh karena itu di perairan yang tercemar hngisida bermerkuri di Dharward

India tejadi banyak kematian Rarla cyarrophylities dan bemdunya yang

diakibatkan oleh kej a racun saraf dari merkuri klorida dan diduga juga karena

minimnya kandungan oksigen pada perairan tersebut (Saidapur and Kanamadi,

1991).

Karbondioksida bebas dalam perairan sangat penting untuk proses

fotosintesis oleh tumbuhan air yang pada akhirnya akan menghasilkan oksigen

untuk keperluan pernapasan dan proses metabolisme.

C. Keragaman Kariotip Genus Rana

Kariotip merupakan gambaran lengkap kromosom pada tingkat metafase

suatu sel yang tersusun secara teratur dan merupakan pasangan-pasangan pada sel

diploid yang normal (Elridge, 1985). Pembuatan preparat kromosom diambil dari

sel dalam tahapan metafase dengan pemberian kolkisin. Studi pada berbagai

spesies dari kelas Arnphibia dan Reptilia telah banyak dilakukan guna melihat

keragaman antar spesies maupun untuk mengetahui hubungan kekerabatannya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Menzies dan Tippett

(1976) terhadap kromosom dari 22 spesies Litoria di Papua dan 6 Nyctinzystes

ditemukan bahwa dengan satu pengecualian (L. ir?fraJi.enatayang rnempunyai

jumlah kromosom haploid sebanyak 12), seluruh spesies lainnya ditemukan

memiliki kromosom haploid sebanyak 13.


Berdasarkan jumlah kromosom, Sugiri (1979) dan Tritawani (1996)

mengelompokkan kodok genus Rana ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu : 1)

+ spesies yang mepunyai jumlah kromosom diploid (2n) sebanyak 26 buah seperti

Rana cailcrivora,Rana erythraea, Rana limnocharis; 2) spesies yang mempunyai

jumlah kromosom diploid (2n) sebanyak 24 buah seperti Rana hosei, Rana

n~acrodondan Rana biythi; 3) spesies yang mempunyai jumlah kromosom

diploid (2n) sebanyak 22 buah yaitu Rana chalconota. Meskipun terdapat

kesamaan jumlah kromosom dari dua atau lebih spesies katak di atas, tetapi

secara empiris memperlihatkan adanya perbedaan dalam ukuran, susunan

maupun bentuk kromosom. Sebagai contoh, pada kelompok satu walaupun Rana

cnllcri~ora,Rana erythraea, Rana linlnocharis mempunyai ukuran kromosom

yang berbeda. Rana erythraea mempunyai empat pasang kromosom berukuran

besar dan sembilan pasang kromosom berukuran kecil. Tipe kromosom yang

ditentukan berdasarkan letak sentromer terdiri atas tipe metasentrik sebanyak

lima pasang kromosom dan delapan pasang kromosom yang bersifat

submetasentrik. Selanjutnya Rana lintwocharis memiliki dua pasang kromosom

berukuran besar yang masing-masing terdiri atas satu pasang kromosom

metasentrik dan submetasentrik. Dari sebelas pasang kromosom yang berukuran

kecil dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu enam pasang kromosom

metasentrik dan lima pasang kromosom submetasentrik.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam kaitannya dengan penentuan

keeratan hubungan filogeni semakin Sanyak terdapatnya kesamaan bentuk,

ukuran maupun susunan dari kromosom yang dimiliki oleh masing-masing

spesies menunjukkan semakin erat hubungan filogeninya.


D. Polimorfisme Protein

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa selain menggunakan

penanda morfologi, keragaman genus Rana dapat juga diidentifikasi dengan

menggunakan penanda molekuler seperti kariotip, DNA mitokondrion dan

polimorfisme protein.

Protein dan enzim merupakan senyawa organik yang tersusun atas satu

atau lebih untai polipeptida melalui ikatan kovalen peptida Urutan asam amino

di dalam suatu polipeptida ditentukan oleh triplet nukleotida (kodon) di dalam

gen. Perbedaan susunan asam amino mencerminkan perbedaan kodon di dalam

gen. Dengan demikian perbedaan protein dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, besar

muatan dan sifat kimia. Berbagai komponen protein serum pada pH di atas dan di

bawah tit ik isoelektriknya akan bergerak dengan kecepatan yang berbeda karena

adanya perbedaan muatan permukaannya (Harper, A. W. Rodwel dan P. A.

Moyes, 1980).

Bila arus listrik dialirkan pada suatu medium penyangga yang berisi

protein plasma, maka migrasi komponen-komponen protein tersebut dimulai.

Sebagai contoh, molekul albumin yang mempunyai berat molekul yang lebih

kecil, memiliki laju migrasi yang paling cepat. Jadi dalam suatu medan listrik

dengan konsentrasi gel dan garam-garam tertentu protein akan bergerak ke arah

kutub muatan yang berlawanan dengan laju'yang propsional terhadap muatan

dan konformasinya (Guttman, 1985; Murphy et al., 1990).

Dalam dekade terakhir, metode elektroforesis telah banyak digunakan

untuk mempelajari populasi hewan (Nei, 1997; Murphy et a/.,1990). Pemisahan

protein melalui gel pati dan poliakrilamid yang dikombinasi dengan penggunaan
teknik pewarnaan histokimia telah membawa revolusi besar dalam studi genetik

populasi. Metode elektroforesis protein terutama analisis isozim, selain mampu

mengungkapkan proses-proses evolusi, masalah-masalah yang berkenaan dengan

efisiensi enzim, keragaman genetik populasi alami, aliran gen, hibridisasi, jarak

genetik dan diferensiasi populasi bisa ditelaah (Murphy et al.,1990). Di pihak

lain, penggunaan polimorfisme protein sebagai penanda untuk mempelajari

genetik populasi mempunyai banyak kelemahan yang harus dipahami dengan

sungguh-sungguh, antara lain 1) adanya perbedaan pada sekuen DNA yang

mengkode asam amino yang bermuatan netral tidak mempengaruhi mobilitas

protein; 2) subtitusi asam amino yang bermuatan sama tidak mempengaruhi

mobilitas protein; 3) subtitusi nukleotida pada basa ketiga pada suatu kodon tidak

selalu membawa perubahan pada asam amino yang dihasilkan dan 4) sekuen-

sekuen DNA pada daerah intron tidak mengkode protein (Solihin, 1994).

Dari hasil penelitian Sugiri (1979) pada kodok batu (Rana blythi) dan

kodok raksasa diperoleh masing-masing lima buah pita protein yaitu albumin,

globulin alfa 1, globulin alfa 2, globulin beta dan globulin gama dengan

konsentrasi yang berbeda. Pengukuran pada beberapa spesies dari genus Rana

juga dilakukan oleh Tritawani (1997) dengan menganalisis pola pita protein dari

enam spesies katak memperlihatkan adanya perbedaan jarak migrasi pita protein

walaupun keenam spesies tersebut memiliki enam pita protein.

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masing-

masing spesies yang diamati tersebut berbeda.

Nei (1987) menyatakan bahwa pendugaan heterogenitas genetik melalui

polimorfisme protein yang dihasilkan dengan teknik elektroforesis merupakan


pendugaan yang minimum. Pendugaan akan mendekati keadaan populasi

alaminya bila menggunakan jumlah sampel yang besar atau menganalisis banyak

lokus. Beberapa ukuran keragaman genetik yang biasa digunakan, antara lain

nilai proporsi lokus polimorf (Ppoly). Nilai Ppoly yang dihasilkan sangat

dipengaruhi oleh jumlah lokus dan jumlah sampel. Pada analisis keragaman

genetik yang menggunakan jumlah lokus yang kecil serta ukuran sampel yang

kurang dari 50 &an menyebabkan hasil perhitungannya tidak terlalu akurat.

Studi tentang tingkat keragaman genetik dari spesies Rana cancrivora yang

terdapat pada beberapa daerah di Jawa Tengah dilakukan oleh Nasaruddin (1998)

dengan melakukan pengamatan terhadap 92 individu diperoleh gambaran

distribusi lokus untuk protein dan enzim seperti yang terlihat pada Tabel 1. Dari

18 lokus yang diperiksa ditemukan 9 lokus bersifat polimorf yaitu transferin (Tf),

albumin(Alb), thyroxin binding prealbumin (TBPA), esterase (Est:1,2,3), isositrat


&

dehidrogenase A(IDH-A), fosfoglukonat dehidrogenase B (PGD-B) dan

fosfoglukomutase(PGM). Berdasarkan distribusi alela tersebut dapat

ditentukan keragaman genetik katak sawah dari masing-masing daerah dengan

menggunakan nilai proporsi lokus polimorf (Ppoly) dan rataan heterozigositas

(H). Dari keenam daerah yang diteliti diperoleh nilai Ppoly sebagai berikut :

Jepara (27,8%), Purwokerto (33,3%), Kebumen (44,4%), Yogyakarta (38,9%),

Rawapening (44,4%) dad Boyolali (33,3%). Berdasarkan nilai Ppoly tergambar

bahwa umumnya populasi kodok sawah yang tersebar di Jawa Tengah memiliki

kondisi yang relatif stabil kecuali daerah Jepara. Sedangkan nilai rataan

heterozigositas (H) di setiap daerah sebaran secara berturut-turut Purwokerto


(12,5%), Jepara (15,4%), ~Boyolali(16,7%), Rawapening (19,1%), Kebumen

(19,3%) dan Yogyakarta (19,7%).

Tabel 1. Komposisi Genotip dari Sembilan Lokus Polimorf Kodok Sawah


di Jawa Tengah

Lokus Jumlah Macam Jumlah Tipe


Genotip Genotip alela alela
Tf 4 blc,cc,cd,dd 3 B 1,C,D
A1b 3 ac,bc,cc 3 A,B,C
TBPA 2 aa,bb 2 4 B
Est- 1 3 1-1,2-1,2-3 3 1,2,3
Est-2 3 aa,ab,bb 2 4B
Est-3 2 aa,ab 2 &I3
IDH-A 10 aa,ab,ac,ad,bb,bc,bd,cc,cd,dd 4 A,B.C,D
PGD-B 2 aa,bb 2 A 3
PGlV 7 aa,ab,ad,bb,bc,bd,cd 4 AB,C,D
Sumber : Nasaruddin, 998.
Keragaman genetik untuk spesies yang sama juga dilakukan oleh Sugiri et

al., (1997) dengan menggunaan 16 protein diperoleh 5 lokus yang bersifat

polimorf antara lain : Isositrat dehydrogenase mitokondrion (Icdm), Isositrat

dehydrogenase sitoplasmia (Isds), "Cell Esterase" (CEst 1; 2) dan esterase B

(ESB) seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Genotip dari Lima Lokus Polimorf Kodok Sawah di


Jawa Barat

LoLxs Jum 1ah Macam Jumlah Tipe


Genotip Genot ip alela alela
Icdm 4 aa,ab,bb,bc 3 4B,C
Icds 3 aa,bb,cc 3 AB,C
ESB 4 aa,bb,cc,dd 4 A,B.C,D
Cest 1 10 aa,ab,ac,ad,bb,bc,bd,cc,cd,dd 3 AB,C,D
Cest 2 4 aa,ab,bb,cc 3 4B,C
Sumber: Sugiri et nl.(l997)
Berdasarkan kelima lokus polimorf yang didapatkan dari analisis

elektroforesis kodok sawah pada beberapa lokasi di Jawa Barat, nilai proporsi

lokus polimorf yang berbeda yaitu Bekasi, Ciamis, Cianjur, Kerawang,


Pandeglang dan Sumedang (66,7%), Bogor dan Sukabumi (SO%), Majalengka

dan Pati (83,3%). Nilai rataan heterozigositas tertinggi terdapat di Majalengka

(36,9%) dan terendah di Sukabumi (22,3%).

Kim et al.(1976) telah mempublikasikan data keragaman genetik tiga

spesies dari genus Bipes. Dengan menggunakan 21 - 22 lokus genetik yang

dianalisis diperoleh persentase polimorfisme (P) dan rataan persentase lokus

heterozigositas seperti tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Tinght Variabilitas Tiga spesies dari Genus Bipes

r-- Spesies Ukuran


Sampel

20
Jumlah
Lokus

22
Prosentase
Polimorfisme

13,60
Rataan %
Lokus
Heterozigositas
3,20
B. tridacylus 5 21 0,OO 0900
B.caimlzo~ latus 28 21 9,SO 0,20
I

Sumber : I

Berdasarkan persentase polimorfisme dan rataan persentase heterozigositas

pada Tabel 3, diperoleh jarak genetik @) di antara ketiga spesies sebagai berikut

: B. tridcctylzcs dengan B. biporus sebesar 0,609, B.tri&ctylus dengan B.

sebesar 1,012 dan B. biporirs dengan B. canalicuIatzts sebesar


ca~mlic~rlatlrs

0,6 16.

Anda mungkin juga menyukai