Anda di halaman 1dari 3

Perbandingan Populasi Berdasarkan Ukuran-Ukuran Antropometri

Sebelum menjabarkan tentang kegunaan antropometri sebagai studi komparasi antar populasi, terlebih
dahulu perlu diketahui mengenai apa yang dimaksud dengan antropometri. Secara etimologi,
antropometri adalah studi tentang pengukuran tubuh manusia. Yang mana dari hasil pengukuran
tersebut dapat kita ketahui variasi manusia dari segi fisiknya. Selain umur dan jenis kelaminnya.
(Soebroto, 2000) Sedangkan populasi adalah kumpulan makhluk hidup sejenis dalam satu tempat
tertentu dan waktu tertentu. Contohnya, sekumpulan kura-kura di kolam atau sekumpulan orang Bugis
di Makassar. Dalam hal ini, populasi manusia merupakan kumpulan individu yang memiliki ciri-ciri yang
sama dan menempati suatu tempat tertentu.

Dari kumpulan-kumpulan populasi tersebut, dapat kita bandingkan perbedaannya yang dapat dilihat
melalui ciri-ciri morfologis yang dalam antropometri dikenal dengan somatoskopi seperti, bentuk mata,
rambut, kulit, dan lain sebagainya. Misalnya, orang Jawa dan orang Irian. Meski mereka masih dalam
satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perbedaan fisik mereka sangat mencolok. Hal ini
terlihat dari warna kulit, rambut dan postur tubuhnya. Semakin ke Timur, kulit orang Indonesia semakin
berwarna gelap, dan semakin ke barat kulitnya berwarna terang. Serta masih banyak lagi perbedaan-
perbedaan lainnya yang cukup mencolok. Munculnya variasi ini diawali sejak masa prasejarah yaitu
sebagai akibat dari aktivitas migrasi yang dilakukan oleh populasi-populasi manusia prasejarah di seluruh
dunia.

Perpindahan penduduk sejak masa lampau hingga masa kini menyebabkan peningkatan penyebaran ras
yang ada di dunia. Ras-ras tersebut kini tidak hanya diam di satu tempat melainkan tersebar di seluruh
tempat di dunia. Definisi ras sendiri diartikan sebagai ciri yang melekat pada sekelompok manusia dalam
suatu tempat tertentu. Ras biasanya membawa ciri-ciri morfologis dan penyebaran ras menyebabkan
ciri-ciri morfologis ini menjadi susah untuk diidentifikasi. Hal tersebut diakibatkan oleh pengaruh
lingkungan yang menuntut untuk melakukan adaptasi. Selain itu perkawinan campuran (admixture) juga
berperan dalam perubahan ciri-ciri morfologis suatu ras. Lebih lanjut dari masalah ras ini adalah
mengenai ciri-ciri morfologis yang kemudian akan menjadi pembeda antar populasi. (Prihatini, 2006)

Perkawinan campuran (admixture) antar ras juga berkaitan dengan gene pool. Gene pool merupakan
suatu gen yang bervariasi dan hal ini dimiliki bersama oleh setiap populasi. Gene pool dapat menuju ke
arah inbreeding depression pada kondisi tertentu. Inbreeding depression merupakan suatu penentuan
populasi yang ditentukan melalui gen resesif yang didapatkan dari perkawinan, saudara dekat, dan lain-
lain. (Pratama, 2010)

Banyaknya ras, merupakan bukti banyaknya variasi biologis yang ada pada manusia. Pada dasarnya, ras
adalah pengelompokan manusia dari segi biologisnya yang didasarkan pada tampilan fisik (fenotipe)
bukan struktur genetisnya. Pembagian ras secara umum, dibagi menjadi tiga, yaitu: Mongoloid, Negrid,
dan Kaukasoid. Orang Indonesia termasuk ke dalam ras Mongoloid dan Australomelanesid. (Indriati,
2004).

Ciri ciri ras ini juga berkaitan dengan antropometri yaitu dalam pengukuran-pengukuran baik kerangka
maupun tubuh. Dalam hal ini pengukuran-pengukuran tersebut meliputi osteometri, osteoskopi,
somatometri, dan somatoskopi. Perbandingan-perbandingan yang umum digunakan antara lain ciri-ciri
morfologis wajah, ukuran-ukuran tulang tengkorak, kefalometri, dimorfisme seksual atau perbedaan
jenis kelamin, gigi-geligi, dan lain-lain.

Contohnya saja dimorfisme seksual yang kadang dapat mengacaukan identifikasi sebab antara satu
populasi dengan populasi lain mungkin saja memiliki persamaan antar masing-masing individunya
meskipun berbeda jenis kelamin. Seperti contoh pada laki-laki Asia Tenggara yang memiliki ciri-ciri
dimorfisme seksual hampir sama dengan perempuan Amerika Serikat. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya salah identifikasi. Begitu pun dengan variasi ras dalam populasi-populasi yang dapat
memberikan kesalahan informasi mengenai populasi yang bersangkutan. (Prihatini, 2006)

Adapun variasi-variasi ras berdasarkan anatomi sudah ada sejak dulu dan juga diukur menggunakan
ukuran-ukuran antropometri dalam pengidentifikasiannya. Terutama pengukuran mengenai kerangka
dan tulang-belulang yang merupakan fosil zaman prasejarah. Variasi-variasi ini pun hampir sama
ditemukan pada pengukuran gigi-geligi yang juga memperlihatkan adanya evolusi dan perubahan-
perubahan yang terjadi akibat migrasi saat itu. (Jacob, 1967)

Kesimpulan dari pengukuran gigi geligi itu memberikan gambaran sejarah mengenai ras-ras yang
berkembang di Indonesia sejak dulu. Di mana populasi manusia Wajak yang juga diidentifikasi sebagai
Homo Sapiens dibandingkan menurut gigi-geliginya dengan populasi manusia prasejarah lain seperti
Niah, Talgai, maupun Australoid. Dari pengukuran-pengukuran tersebut kemudian memberikan informasi
mengenai nenek moyang populasi-populasi ras yang ada di Asia Tenggara dan sekitarnya. Misalnya
populasi Melayu Purba dan Australomelanesoid yang nenek moyangnya adalah manusia Wajak dan
mereka ini kemudian bermigrasi dan menyebar ke arah tenggara dan timur laut. Populasi
Australomelanesoid pun berkembang menghasilkan ras-ras Melanesoid dan Australoid sekarang. (Jacob,
1967)

Ada pula jenis ras lain yang ditemukan yaitu ras Mongoloid yang berada di bagian tengah Indonesia yang
merupakan hasil pengukuran yang juga menggunakan antropometri, khususnya osteometri pada tulang-
tulang pipa manusia. Pengukuran ini dilakukan pada fosil populasi manusia di Gua Leang Cadang. Hasil
pengukuran yang sama juga terlihat pada fosil manusia di Gua Kepah dan Sampung. Di mana terdapat
perbedaan ras yang mencolok yang terlihat dari ukuran gigi-geligi yang lebih kecil dari fosil-fosil tersebut
jika dibandingkan dengan yang ditemukan pada fosil manusia Wajak. Selain ukuran gigi-geligi, di Gua
Liang Toge yang merupakan salah satu gua prasejarah di Pulau Flores juga memperlihatkan perbedaan
tinggi badan manusia prasejarah di tempat tersebut. Di mana manusia prasejarah yang tinggal di Gua
Liang Toge ini memiliki rata-rata tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi manusia
prasejarah yang ada di Pulau Flores pada umumnya. Hal tersebut terlihat baik pada laki-laki maupun
perempuannya. Sehingga, manusia ini diidentifikasikan dalam ras yang sama dengan orang Irian pada
masa kini. (Jacob, 1967)

Adapun sebuah penelitian yang lain mengenai perbedaan jenis kelamin berdasarkan ciri-ciri deskriptif
ras pada tengkorak Jawa dan tengkorak Irian, terdapat perbedaan spesifik mengenai dimorfisme seksual.
Perbedaan ini terlihat dari “glabella, superciliary arch, frontal tubera, orbit form, temporo-zygomatic
process, zygomatic bone, mastoid process, supramastoid crest, external occipital protuberance, dan
nuchal plane.” Berdasarkan ukuran-ukuran osteometri tersebut terlihat perbedaan yang sangat
mencolok dalam populasi Irian antara laki-laki dan perempuan. Pada ciri-ciri tulang tengkorak terdapat
perbedaan yaitu pada wanita kurang terlihat dan berukuran kecil sedangkan pada laki-laki agak tebal,
tajam, dan besar. Hal demikian juga ditemukan pada manusia Jawa yaitu perbedaan pada perempuan
maupun laki-laki. (Prihatini, 2006)

Dari penelitian tersebut juga diambil kesimpulan bahwa antara perempuan Irian maupun Jawa memiliki
ciri-ciri tengkorak yang lebih halus, tipis, dan kurang terlihat daripada laki-laki Jawa maupun Irian. Dan
jika dibandingkan antara laki-laki Jawa dan laki-laki Irian terdapat perbedaan yang juga mencolok yaitu
laki-laki Irian ciri-ciri tengkoraknya lebih menonjol, tajam, dan terlihat jelas daripada laki-laki Jawa,
terutama pada bagian palatal form yang dapat teridentifikasi dengan jelas pada tengkorak laki-laki Irian.
(Prihatini, 2006)

Peneliti kemudian menyimpulkan secara garis besar bahwa “ciri-ciri jenis kelamin yang dapat dijadikan
sebagai pembeda rasial pada sampel Jawa dan Irian adalah glabella, superciliary arch, zygomatic bone,
supramastoid crest, dan external occipital protuberance. Ciri jenis kelamin yang tidak dapat dijadikan
pembeda rasial pada sampel Jawa dan Irian adalah temporo-zygomatic process dan mastoid process”
(Prihatini, 2006)

Pembahasan mengenai perbedaan ukuran gigi geligi maupun ukuran lain yang terdapat pada fosil
populasi di bagian tengah Nusantara dengan fosil populasi manusia Wajak merupakan contoh
penggunaan antropometri yang dalam hal ini lebih dominan pada osteoskopi dan osteometri. Sebab
pengukuran dilakukan terhadap fosil yang berupa tulang belulang atau kerangka manusia. Begitu juga
penelitian mengenai perbedaan jenis kelamin pada tengkorak Irian dan Jawa juga menggunakan metode
pengukuran yang sama. Dari penelitian tersebut kita mendapatkan informasi bahwa variasi antar
populasi tidak hanya memperlihatkan perbedaan ciri-ciri individu antar populasi melainkan jenis kelamin
masing-masing individu antar populasi pun memiliki ciri-ciri yang berbeda satu sama lain.

Studi antropometri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mempunyai

Anda mungkin juga menyukai