kewarganegaraan
( WAWASAN KEBANGSAAN )
Nim : p07134017068
Kementrian kesehatan ri
OM SWASTYASTU
Puji syukur saya sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
Karunia dan Rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas Pendidikan
kewarganegaraan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai referensi pemikiran untuk
pihak-pihak yang membutuhkan, terutama para teman mahasiswa dan bagi
penulis, sehingga apa yang diharapkan dapat tercapai. Kami menyadari bahwa
dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terdapat banyak kekurangan
dan kesalahan.
Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca agar menjadi perbaikan untuk makalah selanjutnya.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang menghuni Negara Kesatuan Republik Indonesia
ini adalah sebuah bangsa yang besar. Negara dengan jumlah penduduk ±
212.000.000 orang ini merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia.
Keadaan tanahnya yang subur dan terletak diantara dua benua serta dua
samudra besar membuat posisi geografis Indonesia sangat strategis
menyebabkan banyak bangsa-bangsa lain di dunia sejak dulu ingin menguasai
bumi Nusantara ini. Kondisi geografis yang sangat menguntungkan bangsa ini
diperindah lagi dengan keanekaragaman suku, etnis, agama, bahasa dan adat
istiadat, namun sangat rentan terhadap perpecahan jika tidak dikelola dengan
baik. Oleh karena itu dalam pengelolaan sebuah "negara bangsa" diperlukan
suatu cara pandang atau wawasan yang berorientasi nasional (Wawasan
Nasional) dan merupakan suatu kesepakatan bangsa Indonesia yang dikenal
dengan "Wawasan Nusantara".
Banyak kalangan yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi dan
budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kekuatiran itu
menjadi semakin nyata ketika mengamati pada apa yang dialami oleh setiap
warganegara, yakni memudarnya wawasan kebangsaan.
Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah adanya kecenderungan
kita kehilangan wawasan tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan
yang akan mendorong terjadinya dis-orientasi dan perpecahan.
Pandangan di atas sungguh wajar dan tidak mengada-ada. Krisis yang
dialami oleh bangsa Indonesia ini menjadi sangat multi dimensional yang
saling mengait. Krisis ekonomi yang tidak kunjung henti berdampak pada
krisis sosial dan politik, yang pada perkembangannya justru menyulitkan
upaya pemulihan ekonomi. Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam
kehidupan sosial merupakan salah satu akibat dari semua krisis yang terjadi,
yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa. Apalagi bila
melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti
beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya,
serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini
mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan dan
mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Di samping itu, timbul pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan
kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya,
menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan
cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang
menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan
telah menjadi dangkal atau tererosi terutama di kalangan generasi muda–
seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah idealisme yang
merupakan jiwa kebangsaan. Kedua, ada kekuatiran ancaman disintegrasi
bangsa, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai daerah, terutama yang
amat mencekam adalah pertikaian yang terjadi di Ambon, Aceh, Papua dan
Poso, dimana terdapat kecenderungan paham kebangsaan merosot menjadi
paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan tentang adanya
upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang
asing untuk bangsa ini.
Melihat perkembangan wawasan kebangsaan yang dimiliki anak-anak
bangsa seperti itu, apabila dibiarkan dapat dipastikan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang sangat kita cintai ini akan terpecah-pecah, dan pada
gilirannya akan memudahkan kekuatan asing masuk ke wilayah kita seperti
terjadi pada jaman penjajahan Belanda dahulu. Ketika itu bangsa Indonesia
ditindas, diperas dan dibelenggu kebebasan hak-haknya oleh Belanda. Dengan
semangat persatuan Indonesia bangsa ini kemudian bangkit bersatu padu
mengusir penjajah. Untuk diketahui bahwa, sebenarnya Wawasan
Kebangsaan Indonesia sudah dicetuskan oleh seluruh Pemuda Indonesia
dalam suatu tekad pada tahun 1928 yang dikenal dengan sebutan "Sumpah
Pemuda" yang intinya bertekad untuk bersatu dan merdeka (satoe Noesa,
Satoe Bangsa, Satoe Bahasa) dalam wadah sebuah "Negara Kesatuan
Republik Indonesia". Untuk itu seharusnya dalam menghadapi keadaan negara
yang serba sulit seperti sekarang ini kita bangsa Indonesia harus bangkit
bersatu dan bergandengan tangan mengatasi masalah bangsa.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah :
1. Apa pengertian bangsa dan kebangsaan?
2. Apa itu wawasan kebangsaan?
3. Apa itu empat pilar kebangsaan?
4. Kenapa jiwa nasionalisme dan kebangsaan memudar?
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mahasiswa dapat memahami pengertian bangsa dan kebangsaan .
2. Mahasiswa dapat memahami wawasan kebangsaan.
3. Mahasiswa dapat mengetahui empat pilar kebangsaan.
4. Mahasiswa dapat mengetahui jiwa nasionalisme dan kebangsaan
memudar.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pro Patria dan Primus Patiralis, artinya mencintai tanah air dan
mendahulukan kepentingan tanah air.
b. Jiwa solidaritas dan kesetiakawanan dari semua lapisan masyarakat
terhadap perjuangan kemerdekaan.
c. Jiwa toleransi atau tenggang rasa antaragama, antarsuku, antargolongan,
dan antarbangsa.
d. Jiwa tanpa pamrih dan bertanggung jawab.
e. Jiwa ksatria dan kebesaran jiwa yang tidak mengandung balas dendam.
f. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam semangat kebangsaan sebagai
perwujudan keikhlasan, yaitu sebagai berikut.
g. Semangat menentang dominasi asing dalam segala bentuknya, terutama
penjajahan dari suatu bangsa terhadap bangsa lain.
h. Semangat pengorbanan seperti pengorbanan harta benda jiwa raga.
i. Semangat tahan derita dan tahan uji.
j. Semangat kepahlawanan.
k. Semangat persatuan dan kesatuan.
l. Percaya pada diri sendiri.
Selain itu, jiwa dan nilai-nilai semangat kebangsaan dapat pula diuraikan
dalam nilai-nilai dasar dan nilai-nilai operasional. Nilai-nilai dasar meliputi
semua nilai yang terdapat dalam setiap sila dari Pancasila dan semua nilai yang
terdapat dalam proklamasi kemerdekaan. Adapun nilai-nilai operasional
adalah nilai-nilai yang lahir dan berkembang dalam perjuangan bangsa
Indonesia. Nilai-nilai operasional merupakan landasan yang kokoh dan daya
dorong mental spiritual yang kuat dalam setiap tahap perjuangan bangsa.
c) Nasionalisme;
d) Patriotisme;
k) Berani, rala, dan ikhlas, berkorban untuk tanah air, bangsa dan Negara;
l) Kepahlawanan;
Rasa kebangsanaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara
alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan,
sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam
menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini
dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan,
yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki
cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan
paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat
patriotisme.
Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk
mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang
meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan
kepribadiannya.
Paham kebangsaan berkembang dari waktu ke waktu, dan berbeda dalam satu
lingkungan masyarakat dengan lingkungan lainnya. Dalam sejarah bangsa-
bangsa terlihat betapa banyak paham yang melandaskan diri pada kebangsaan.
Ada pendekatan ras atau etnik seperti Nasional-sosialisme (Nazisme) di
Jerman, atas dasar agama seperti dipecahnya India dengan Pakistan, atas dasar
ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Islam di Malaysia,
atas dasar ideologi atau atas dasar geografi atau paham geopolitik, seperti yang
dikemukakan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945.
“Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan
bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat
ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang
besar; Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua
Asia dan benua Autralia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-
pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, kepulaua Sunda Kecil,
Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.”
Menurut Hatta memang sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang
menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal,
persamaan bahasa, dan persamaan agama. Menurut Hatta “bangsa ditentukan
oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu,
yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan.
Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang
yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama,
kesengsaraan. bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat
bersama yang tertanam dalam hati dan otak.”
Hubungan timbal balik antara sub-sistem tersebut di atas oleh Parsons disebut
sebagai cybernetic relationship.
POLA PIKIR PEMAHAMAN WAWASAN KEBANGSAAN
Sistem Budaya
(ideologi, falsafah)
Sistem Sosial
Ketahanan sosial
(harmoni/keselarasan Integrasi Sosial
)
Keselarasan Sosial
kontrol energi
Goal Attainment
“Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sriwijaya dan
di jaman Majapahit... nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah
berdiri di jaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan
bersama-sama.” (Pidato “Lahirnya Pacasila” yang disampaikan Bung Karno
di depan Dokuritsu Junbi Tyoosakai pada 1 Juni 1945). Di luar itu, entitas
bangsa yang menjelma menjadi negara atau kesatuan politik masih bersifat
lokal atau parsial. Misalnya Kerajaan Gowa yang hanya meliputi suku Bugis
di Sulawesi, Kerajaan Mataram yang hanya mencakup sebagian suku Jawa,
Kerajaan Ternate yang hanya terdiri dari sebagian suku bangsa di Maluku, dan
sebagainya. Dari kesatuan politik yang hanya lokal ini terbukti dalam sejarah:
gagal mengantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari
penjajahan Belanda. Baru tatkala perjuangan kita bersifat nasional, meliputi
seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Merauke, maka perjuangan itu
berhasil mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945.
Dengan paham kebangsaan sebagai salah satu asas negara, maka semua orang
dengan latar belakang suku, agama,ras dan budaya yang berbeda-beda
semuanya memiliki perasaan atau kehendak yang sama sebagai satu bangsa
Indonesia. Rasa kebangsaan dengan demikian mampu menjadi wahana titik
temu (common denominator) keberagaman latar belakang warga negara
Indonesia. Dengan kebangsaan, maka kemajemukan bukan menjadi kutukan
yang menyeret kita ke dalam perpecahan, tapi justru menjadi faktor yang
memperkaya kesatuan atau rasa memiliki (sense of belonging) kita sebagai
warga negara Indonesia. Dengan kata lain: kemajemukan justru menjadi
anugerah.
Setelah adanya amanat UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD pasal 15 ayat 1 huruf e, yakni mengkoordinasikan anggota MPR untuk
memasyarakatkan Undang-Undang Dasar. Sertamerta berbagai wacana baik
dari unsur pemerintahan maupun organisasi politik dan kemasyarakatan,
mulai mengungkap bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat
kesepakatan yang disebut sebagai empat pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Empat pilar ini adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal
Ika. Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan agar bisa berdiri secara
kokoh. Bila tiang ini rapuh maka bangunan akan mudah roboh.
Empat tiang penyangga di tengah ini disebut soko guru yang kualitasnya
terjamin sehingga pilar ini akan memberikan rasa aman tenteram dan memberi
kenikmatan. Empat pilar itu pula, yang menjamin terwujudnya kebersamaan
dalam hidup bernegara. Rakyat akan merasa aman terlindungi sehingga
merasa tenteram dan bahagia.
Konsep ini digagas oleh alm Taufik Kiemas, beliau menggagas konsep ini
mengingat empat pilar ini adalah mutlak dan tidak bisa dipisahkan dalam
menjaga dan membangun keutuhan bangsa. Seperti halnya sebuah bangunan
dimana untuk membuat bangunan tersebut menjadi kokoh dan kuat,
dibutuhkan pilar-pilar atau penyangga agar bangunan tersebut dapat berdiri
dengan kokoh dan kuat, begitu halnya juga dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara ini. Dasar atau fondasi bersifat tetap, statis sedangkan pilar bersifat
dinamis.
Salah satu tugas dari MPR adalah Sosialisasi Empat pilar bernegara yang
diamanatkan dalam UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD Pasal 15 ayat (1) huruf e, yakni mengkoordinasikan anggota MPR
untuk memasyarakatkan Undang Undang Dasar.
1. Pancasila
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari
dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas.
Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-
4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945. Meskipun terjadi
perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam
beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1
Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam
pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul “Lahirnya Pancasila“.
Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan;
Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan;
Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno
dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
a. Nilai Ketuhanan
Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan
keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta.
Dengan nilai ini menyatakan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya
pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati
kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif
antarumat beragama.
b. Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap
dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar
tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana
mestinya.
c. Nilai Persatuan
e. Nilai Keadilan
Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai
instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai
tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai
dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental
penyelenggaraan negara Indonesia.
2. Undang-Undang Dasar
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan
(amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa UUD 1945 memiliki tujuan
dan fungsi khusus. Tujuan dan fungsi tersebut antara lain:
• Fungsi pengayoman;
• Alat politik.
Kita tentunya sudah tahu bahwa syarat berdirinya sebuah negara ada empat,
yaitu memiliki wilayah, memiliki penduduk, memiliki pemerintahan dan
adanya pengakuan dari negara lain. Dan karena memenuhi empat syarat itulah
kemudian Negara Indonesia lahir dengan nama Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Mengapa NKRI? Karena ini merupakan bentuk dari negara
Indonesia, dimana negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, selain
itu juga bentuk negaranya adalah republic. Walaupun negara Indonesia terdiri
dari banyak pulau, tetapi tetap merupakan suatu kesatuan dalam sebuah negara
dan bangsa yang bernama Indonesia.
Para pendiri bangsa (the founding fathers) sepakat memilih bentuk negara
kesatuan karena bentuk negara kesatuan itu dipandang paling cocok bagi
bangsa Indonesia yang memiliki berbagai keanekaragaman, untuk
mewujudkan paham negara integralistik (persatuan) yaitu negara hendak
mengatasi segala paham individu atau golongan dan negara mengutamakan
kepentingan umum.
NKRI lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang bangsa yang
bertekad mempertahankan keutuhan bangsa. Sebab itu, NKRI adalah prinsip
pokok, hukum, dan harga mati.
Tujuan NKRI
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyanIndonesia. Frasa ini berasal
dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat
“Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau
berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan
menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal
berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika
diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda
tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan
ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam
budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin
Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitarabad ke-
14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu
Siwa dengan umat Buddha.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini kemudian di terjemahkan ;
“Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang
berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali ?. Sebab kebenaran Jina (Buddha)
dan Siwa adalah tunggal.”
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam
kebenaran. Artinya, walapun bangsa Indonesia mempunyai latar belakang
yang berbeda baik dari suku, agama, dan bangsa tetapi adalah bangsa
Indonesia. Pengukuhan ini telah dideklarasikan semenjak tahun 1928 yang
terkenal dengan nama "sumpah pemuda".
Namun, sekarang Bhineka Tunggal Ika pun ikut luntur, banyak anak muda
yang tidak mengenalnya, banyak orang tua lupa akan kata-kata ini, banyak
birokrat yang pura-pura lupa, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum
Indonesia Merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak.
a. Pada saat upacara bendera, masih banyak rakyat yang tidak memaknai arti
dari upacara tersebut. Upacara merupakan wadah untuk menghormati dan
menghargai para pahlawan yang telah berjuang keras untuk mengambil
kemerdekaan dari tangan para penjajah. Para pemuda seakan sibuk
dengan pikirannya sendiri, tanpa mengikuti upacara dengan khidmad.
b. Pada peringatan hari-hari besar nasional, seperti Sumpah Pemuda, hannya
dimaknai sebagai serermonial dan hiburan saja tanpa menumbuhkan rasa
nasionalisme dan patriotisme dalam benak mereka.
c. Lebih tertariknya masyarakat terhadap produk impor dibandingkan
dengan produk buatan dalam negeri,lebih banyak mencampurkan bahasa
asing dengan bahasa Indonesia untuk meningkatkan gengsi, dan lain-lain.
Semua identitas bangsa Indonesia baik itu bendera merah putih, lagu
kebangsaan Indonesia Raya dan lain sebagainya hanyalah merupakan simbol,
symbol bahwa negara Indonesia masih berdiri tegak dan mampu
mensejajarkan dirinya dengan bangsa lain. Bagaimana kita bias bangga
menjadi bangsa ini jika kita malas dan malu memakai atribut bangsa Indonesia
ini.
Jika ditinjau dari sudut pandang, gejala ini mulai terlihat sejak era reformasi
karena pada masa orde baru, pemasangan bendera adalah sesuatu yang bersifat
wajib. Sejak era reformasi, animo masyarakat untuk turut andil dalam
memeriahkan Dirgahayu RI juga berkurang. Pada masa sekarang ini sudah
sulit ditemukan perlombaan-perlombaan 17-an. Padahal pada masa orde baru,
suasana 17-an telah dirasakan sejak awal Agustus. Perlombaan 17-an
merupakan kegiatan rutin setiap tahunnya dan sudah menjadi budaya baru di
negara ini. Melalui kegiatan ini dapat ditanamkan nilai-nilai nasionalisme ke
dalam diri generasi muda yang nantinya menjadi penerus bangsa. Contoh,
dalam permainan panjat pinang yang paling sulit diraih adalah bendera dan
harus melalui usaha keras untuk mendapatkannya. Dari hal kecil tersebut
terkandung nilai pembelajaran yang sangat tinggi yaitu untuk merebut
kemerdekaan, para pahlawan berjuang mati-matian tanpa mengenal lelah dan
tentunya disertai dengan rasa keikhlasan hati. Terakhir, hal yang paling ironis
adalah bangsa ini pada kenyataannya kurang menghargai jasa-jasa para
pahlawan yang masih hidup hingga sekarang. Mereka yang dahulu telah
mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan Indonesia justru mendapatkan
imbalan berupa kehidupan yang tidak layak disisa umur mereka. Padahal
dapat dibayangkan apabila dahulu para pahlawan tidak mau berjuang, pastinya
Indonesia masih dalam penjajahan bangsa asing.
Sebenarnya nasib kita masih lebih baik dan beruntung daripada para pejuang
dulu, kita hanya meneruskan perjuangan mereka tanpa harus mengorbankan
nyawa dan harta.Nasionalisme kita semakin luntur dan akankah punah tergilas
modernisasi dan individualis. Masih banyak bentuk nasionalisme lain yang
kita rasakan semakin memudar. Kurangnya kecintaan kita terhadap produk
dalam negeri dan merasa bangga kalau bisa memakai produk dalam negeri.
Kegilaan kita tripping keluar negeri padahal negeri sendiri belum tentu
dijelajahi. Kita belum tersadar betul bahwa lambat laun sikap-sikap seperti itu
akan semakin menjauhkan kecintaan kita kepada negeri ini.
Rasa nasionalisme bangsa pada saat ini hanya muncul bila ada suatu faktor
pendorong, seperti kasus pengklaiman beberapa kebudayan dan pulau-pulau
kecil Indonesiaseperti Sipadan, Ligitan , serta Ambalat oleh Malaysia
beberapa waktu yang lalu. Namun rasa nasionalisme pun kembali berkurang
seiring dengan meredanya konflik tersebut.
Banyak sekali kebudayaan dan paham barat yang masuk ke dalam bangsa
Indonesia. Banyak budaya dan paham barat yang berpengaruh negatif dapat
dengan mudah masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia. Dengan terjadinya
hal itu, maka akan terjadi akulturasi, bahkan menghilangnya kebudayaan dan
kepribadian bangsa yang seharusnya menjadi jati diri bangsa.
a. Peran Keluarga
Memberikan pendidikan sejak dini tentang sikap nasionalisme dan
patriotism terhadap bangsa Indonesia.
Memberikan contoh atau tauladan tentang rasa kecintaan dan
penghormatan pada bangsa.
Memberikan pengawasan yang menyeluruh kepada anak terhadap
lingkungan sekitar.
Selalu menggunakan produk dalam negeri.
b.Peran Pendidikan
Memberikan pelajaran tentang pendidikan pancasila dan
kewarganegaraan dan juga bela Negara.
Menanamkan sikap cinta tanah air dan menghormati jasa pahlawan
dengan mengadakan upacara setiap hari senin dan upacara hari besar
nasional
Memberikan pendidikan moral, sehingga para pemuda tidak mudah
menyerap hal-hal negatif yang dapat mengancam ketahanan nasional.
Melatih untuk aktif berorganisasi
b. Peran Pemerintah
Menggalakan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan rasa
nasionalisme, seperti seminar dan pameran kebudayaan.
Mewajibkan pemakaian batik kepada pegawai negeri sipil setiap hari
jum’at. Hal ini dilakukan karena batik merupakan sebuah
kebudayaan asli Indonesia, yang diharapkan dengan kebijakan
tersebut dapat meningkatkan rasa nasionalisme dan patrotisme
bangsa.
Lebih mendengarkan dan menghargai aspirasi pemuda untuk
membangun Indonesia agar lebih baik lagi.
Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita harus
dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya
seabad yang lalu. Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah
nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi berbagaipermasalahan,
bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-
wenangan, tidak korupsi, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita
tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran
total.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sikap kebangsaan dan wawasan kebangsaan pasti dimiliki oleh setiap orang
dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Secara
realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit
dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa
kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara
berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing,
tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa
kekuatannya. Sikap kebangsaan di setiap Negara belum tentu sama bahkan
sikap kebangsaan dalam satu Negara saja terkadang berubah secara perlahan
seiring berjalannya waktu.
Rasa kebangsanaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara
alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan,
sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam
menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini
dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan,
yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki
cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan
paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat
patriotisme.
Akan tetapi, belakangan ini sikap kebangsaan dan cinta tanah air perlahan
mulai memudar. Hal ini disebabkan adanya sikap individualisme yang
berlebihan, sikap terlalu mencintai budaya Barat dan sikap malas dari
masyarakat sendiri untuk berpartisipasi dalam peringatan kemerdekaan
Indonesia dan upacara bendera. Dalam upaya untuk menumbuhkan kembali
sikap nasionalisme dan kebangsaan, diperlukan upaya-upaya kongkrit dari
semua orang.
DAFTAR PUSTAKA