Anda di halaman 1dari 37

Tugas pendidikan

kewarganegaraan
( WAWASAN KEBANGSAAN )

Nama : ni luh putu santika dewi

Nim : p07134017068

Kementrian kesehatan ri

Politeknik kesehatan denpasar

Jurusan analis kesehatan 2018


KATA PENGANTAR

OM SWASTYASTU

Puji syukur saya sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
Karunia dan Rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas Pendidikan
kewarganegaraan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai referensi pemikiran untuk
pihak-pihak yang membutuhkan, terutama para teman mahasiswa dan bagi
penulis, sehingga apa yang diharapkan dapat tercapai. Kami menyadari bahwa
dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terdapat banyak kekurangan
dan kesalahan.
Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca agar menjadi perbaikan untuk makalah selanjutnya.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM

Denpasar , 23 Mei 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang menghuni Negara Kesatuan Republik Indonesia
ini adalah sebuah bangsa yang besar. Negara dengan jumlah penduduk ±
212.000.000 orang ini merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia.
Keadaan tanahnya yang subur dan terletak diantara dua benua serta dua
samudra besar membuat posisi geografis Indonesia sangat strategis
menyebabkan banyak bangsa-bangsa lain di dunia sejak dulu ingin menguasai
bumi Nusantara ini. Kondisi geografis yang sangat menguntungkan bangsa ini
diperindah lagi dengan keanekaragaman suku, etnis, agama, bahasa dan adat
istiadat, namun sangat rentan terhadap perpecahan jika tidak dikelola dengan
baik. Oleh karena itu dalam pengelolaan sebuah "negara bangsa" diperlukan
suatu cara pandang atau wawasan yang berorientasi nasional (Wawasan
Nasional) dan merupakan suatu kesepakatan bangsa Indonesia yang dikenal
dengan "Wawasan Nusantara".
Banyak kalangan yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi dan
budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kekuatiran itu
menjadi semakin nyata ketika mengamati pada apa yang dialami oleh setiap
warganegara, yakni memudarnya wawasan kebangsaan.
Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah adanya kecenderungan
kita kehilangan wawasan tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan
yang akan mendorong terjadinya dis-orientasi dan perpecahan.
Pandangan di atas sungguh wajar dan tidak mengada-ada. Krisis yang
dialami oleh bangsa Indonesia ini menjadi sangat multi dimensional yang
saling mengait. Krisis ekonomi yang tidak kunjung henti berdampak pada
krisis sosial dan politik, yang pada perkembangannya justru menyulitkan
upaya pemulihan ekonomi. Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam
kehidupan sosial merupakan salah satu akibat dari semua krisis yang terjadi,
yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa. Apalagi bila
melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti
beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya,
serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini
mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan dan
mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Di samping itu, timbul pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan
kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya,
menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan
cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang
menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan
telah menjadi dangkal atau tererosi terutama di kalangan generasi muda–
seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah idealisme yang
merupakan jiwa kebangsaan. Kedua, ada kekuatiran ancaman disintegrasi
bangsa, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai daerah, terutama yang
amat mencekam adalah pertikaian yang terjadi di Ambon, Aceh, Papua dan
Poso, dimana terdapat kecenderungan paham kebangsaan merosot menjadi
paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan tentang adanya
upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang
asing untuk bangsa ini.
Melihat perkembangan wawasan kebangsaan yang dimiliki anak-anak
bangsa seperti itu, apabila dibiarkan dapat dipastikan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang sangat kita cintai ini akan terpecah-pecah, dan pada
gilirannya akan memudahkan kekuatan asing masuk ke wilayah kita seperti
terjadi pada jaman penjajahan Belanda dahulu. Ketika itu bangsa Indonesia
ditindas, diperas dan dibelenggu kebebasan hak-haknya oleh Belanda. Dengan
semangat persatuan Indonesia bangsa ini kemudian bangkit bersatu padu
mengusir penjajah. Untuk diketahui bahwa, sebenarnya Wawasan
Kebangsaan Indonesia sudah dicetuskan oleh seluruh Pemuda Indonesia
dalam suatu tekad pada tahun 1928 yang dikenal dengan sebutan "Sumpah
Pemuda" yang intinya bertekad untuk bersatu dan merdeka (satoe Noesa,
Satoe Bangsa, Satoe Bahasa) dalam wadah sebuah "Negara Kesatuan
Republik Indonesia". Untuk itu seharusnya dalam menghadapi keadaan negara
yang serba sulit seperti sekarang ini kita bangsa Indonesia harus bangkit
bersatu dan bergandengan tangan mengatasi masalah bangsa.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah :
1. Apa pengertian bangsa dan kebangsaan?
2. Apa itu wawasan kebangsaan?
3. Apa itu empat pilar kebangsaan?
4. Kenapa jiwa nasionalisme dan kebangsaan memudar?

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mahasiswa dapat memahami pengertian bangsa dan kebangsaan .
2. Mahasiswa dapat memahami wawasan kebangsaan.
3. Mahasiswa dapat mengetahui empat pilar kebangsaan.
4. Mahasiswa dapat mengetahui jiwa nasionalisme dan kebangsaan
memudar.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bangsa Dan Kebangsaan

Ada beberapa pengertian tentang bangsa dan kebangasaan yang


berkembang. Ernest Renan menyatakan bahwa bangsa adalah; bukan suatu
ras, bukan orang,-orang yang mempunyai kepentingan yang sama, bukan pula
dibatasi oleh batas-batas geografis atau batas alamiah. Nation (bangsa) adalah
suatu solidaritas, suatu jiwa, suatu asa apiritual, suatu solidaritas yang dapat
tercipta oleh perasaan pengirbanan yang telah lampaudan bersedia dibuat di
masa yang akan datang. Nation memiliki masa lampau tetapi berlanjut masa
kini dalam suatu realita yang jelas melalui kesepakatan dan keinginan untuk
hidup bersama (le desire d’enter ensemble). Nation tidak terkait oleh Negara
karena Negara berdasarkan hukum. Menurutnya, wilayah dan ras bukan
penyebab timbulnya bangsa. Bagi rakyat Negara yang akan dikuasai ras lain
(negara jajahan), para pemimpin pergerakan/kemerdekaan mengobarkan
semangat nasionalisme berdasarkan teori Renan. Oleh karena itu tidak
mengherankan bahwa pada negara nasional baru (dikenal pula sebagai negara
dunia ketiga) jiwa nasionalisme tumbuh seperti terori dari Ernest Renan.

Sedangkan Hans Kohn: bangsa terbentuk persamaan bahasa, ras, agama,


peradaban, wilayah, negara, dan kewarganegaraan. Teori Kohn ini nampaknya
berdasarkan perkembangan pengertian bangsa (nation) di Eropa Daratan
(continental).Bangsa di Eropa continental bangkit karena revolusi
kejsikografi, bahwa bahasa milik pribadi-pribadi kelompok khas. Eropa
(continental) dikuasai oleh dinasti Habsburg di sebahagian Eropa Tengah dan
Timur, dinasti Romanov di Eropa Timur, Rusia, dan Asia Barat hingga Siberia
dan dinasti Usmaniah (ottoman) di Balkan, Jazirah Arab dab Afrika Utara,
sedangkan Eropa Barat dikuasai ex dinasti Bourbon. Bangsawan (penguasa)
lokal diharuskan mampu berbahasa Latin sebagai bahasa resmi di dalam
wilayah dinasti maupun sebagai lingua franca antara para bangsawan (diansti
dan lokal) dan kaum intelek.

Definisi bangsa menurut paham bangsa Indonesia tertuang berdasarkan isi


Sumpah Pemuda. Adanya unsur masyarakat yang membentuk bangsa yaitu:
berbagai suku, adat istiadat, kebudayaan, agama, serta berdiam di suatu
wilayah yang terdiri atas beribu-ribu pulau. Selanjutnya bangsa juga
mempunyai kepengtingan yang sama dengan individu, keluarga, maupun
masyarakat yaitu tetap eksis dan sejahtera. Salah satu persoalan yang timbul
dari bangsa adalah ancaman disintegrasi dan yang paling menjadi penyebab
utama biasanya perbedaan persepsi pada upaya masyarakat yang ingin
“merekatkan diri lebih ke dalam”, yaitu ingin mempertahanan pola.Oleh
karena itu pada bangsa yang baru merdeka atau berdiri diupayakan memiliki
alat perekat yang berasal dari budaya masyarakat.Pada perkembangannya
perekat ini dikenal sebagai ideologi yang hendaknya dipahami oleh bangsa itu
sendiri.

Jadi, dapat disimpulkan bangsa adalah suatu kesatuan solidaritas yang


terbentuk persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara, dan
kewarganegaraan yang saling merekatkan satu dengan yang lain. Jadi
pengertian kebangsaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan identitas
suatu bangsa mulai dari semangat membela bangsa, sikap cinta akan tanah air
hingga ideology yang hidup dalam suatu bangsa.
Semangat Kebangsaan

Proklamasi dan revolusi kemerdekaan pada hakikatnya merupakan


manifestasi dan kemampuan rakyat Indonesia. Manifestasi dan kemampuan
rakyat Indonesia khususnya angkatan 1945, telah membangkitkan kekuatan
dan daya cipta yang mampu menempatkan bangsa Indonesia sejajar dengan
bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Jiwa semangat kebangsaan merupakan sumber kehidupan bagi perjuangan


bangsa Indonesia yang berisi kekuatan batin dalam merebut kemerdekaan,
menegakkan kedaulatan rakyat, serta mengisi dan mempertahankannya.
Adapun hal-hal yang terkandung dalam jiwa semangat kebangsaan adalah
sebagai berikut.

a. Pro Patria dan Primus Patiralis, artinya mencintai tanah air dan
mendahulukan kepentingan tanah air.
b. Jiwa solidaritas dan kesetiakawanan dari semua lapisan masyarakat
terhadap perjuangan kemerdekaan.
c. Jiwa toleransi atau tenggang rasa antaragama, antarsuku, antargolongan,
dan antarbangsa.
d. Jiwa tanpa pamrih dan bertanggung jawab.
e. Jiwa ksatria dan kebesaran jiwa yang tidak mengandung balas dendam.
f. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam semangat kebangsaan sebagai
perwujudan keikhlasan, yaitu sebagai berikut.
g. Semangat menentang dominasi asing dalam segala bentuknya, terutama
penjajahan dari suatu bangsa terhadap bangsa lain.
h. Semangat pengorbanan seperti pengorbanan harta benda jiwa raga.
i. Semangat tahan derita dan tahan uji.
j. Semangat kepahlawanan.
k. Semangat persatuan dan kesatuan.
l. Percaya pada diri sendiri.

Selain itu, jiwa dan nilai-nilai semangat kebangsaan dapat pula diuraikan
dalam nilai-nilai dasar dan nilai-nilai operasional. Nilai-nilai dasar meliputi
semua nilai yang terdapat dalam setiap sila dari Pancasila dan semua nilai yang
terdapat dalam proklamasi kemerdekaan. Adapun nilai-nilai operasional
adalah nilai-nilai yang lahir dan berkembang dalam perjuangan bangsa
Indonesia. Nilai-nilai operasional merupakan landasan yang kokoh dan daya
dorong mental spiritual yang kuat dalam setiap tahap perjuangan bangsa.

Nilai-nilai operasional tersebut, antara lain:

a) Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

b) Jiwa dan semangat merdeka;

c) Nasionalisme;

d) Patriotisme;

e) Rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka;

f) Pantang mundur dan tidak kenal menyerah;

g) Persatuan dan kesatuan;

h) Anti penjajah dan penjajahan;

i) Percaya kepada hari depan yang gemilang dari bangsanya;

j) Idealism kejuangan yang tinggi;

k) Berani, rala, dan ikhlas, berkorban untuk tanah air, bangsa dan Negara;
l) Kepahlawanan;

m) Sepi ing pamrih rame ing gawe;

n) Kesetiakawanan, senasib, sepenanggungan, dan kebersamaan;

o) Disiplin yang tinggi;

p) Ulet dan tabah menghadapi segala macam ancaman, tantangan,


hambatan, dan gangguan.

2.2 Wawasan Kebangsaan

Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan


kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya.
Secara realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi
sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa
kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara
berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing,
tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa
kekuatannya.

Rasa kebangsanaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara
alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan,
sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam
menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini
dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan,
yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki
cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan
paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat
patriotisme.
Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk
mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang
meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan
kepribadiannya.

Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan perekat


yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’entre) bangsa-
bangsa di dunia. Dengan demikian rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang
unik yang hanya ada dalam diri bangsa kita karena hal yang sama juga dialami
bangsa-bangsa lain.

Bagaimana pun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam


kedinamisannya, antar-pandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan
bangsa lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dengan
benturan budaya dan kemudian bermetamorfosa dalam campuran budaya dan
sintesanya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan
tumbuh kuat dan kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan.

Paham kebangsaan berkembang dari waktu ke waktu, dan berbeda dalam satu
lingkungan masyarakat dengan lingkungan lainnya. Dalam sejarah bangsa-
bangsa terlihat betapa banyak paham yang melandaskan diri pada kebangsaan.
Ada pendekatan ras atau etnik seperti Nasional-sosialisme (Nazisme) di
Jerman, atas dasar agama seperti dipecahnya India dengan Pakistan, atas dasar
ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Islam di Malaysia,
atas dasar ideologi atau atas dasar geografi atau paham geopolitik, seperti yang
dikemukakan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945.

“Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan
bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat
ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang
besar; Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua
Asia dan benua Autralia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-
pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, kepulaua Sunda Kecil,
Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.”

Terhadap pernyataan itu, Bung Hatta tidak sepenuhnya sependapat, terutama


mengenai pendekatan geopolitik itu :

“Teori geopolitik sangat menarik, tetapi kebenarannya sangat terbatas. Kalau


diterapkan kepada Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke daerah
Indonesia dan Irian Barat dilepaskan; demikian juga seluruh Kalimantan harus
masuk Indonesia. Filipina tidak saja serangkai dengan kepulauan kita.

Menurut Hatta memang sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang
menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal,
persamaan bahasa, dan persamaan agama. Menurut Hatta “bangsa ditentukan
oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu,
yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan.
Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang
yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama,
kesengsaraan. bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat
bersama yang tertanam dalam hati dan otak.”

Pengertian tentang rasa dan wawasan kebangsaan tersebut di atas sebenarnya


merupakan pandangan generik yang menjelaskan bahwa rasa dan wawasan
lahir dengan sendirinya di tengah ruang dan waktu seseorang dilahirkan. Tidak
salah bila pandangan generik itu mengemukakan pentingnya menumbuhkan
semangat kejuangan, rasa kebanggaan atas bumi dan tanah air dimana
seseorang dilahirkan dan sebagainya.

Wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang


tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi
dari realitas sosial dan politik (sociallyand politicallyconstructed). Pidato
Bung Karno atau perhatian Hatta mengenai wawasan kebangsaan adalah
bagian penting dari konstruksi elit politik terhadap bangunan citra (image)
bangsa Indonesia. Apa pun perbedaan pandangan elit tersebut, persepsi itu
telah membentuk kerangka berpikir masyarakat tentang wawasan kebangsaan.

Mengadopsi pemikiran Talcott Parsons mengenai teori sistem, wawasan


kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada
tataran sub-sistem budaya Dalam tataran ini wawasan kebangsaan dipandang
sebagai ‘way of life’ atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang
mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi
seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya.

Dapat dipahami bila wawasan kebangsaan hanya tumbuh dan dapat


diwujudkan dengan energi yang diberikan oleh sub sistem lainnya. Sub-sistem
politik akan memberikan energi kepada bekerjanya sub-sistem ekonomi,
untuk kemudian memberikan energi bagi sub-sistem sosial dan pada akhirnya
kepada sub-sistem budaya. Sebaliknya, apabila sub-sistem budaya telah
bekerja dengan baik karena energi yang diberikan oleh sub-sistem lainnya,
maka sub-sistem budaya ini akan berfungsi sebagai pengendali (control) atau
yang mengatur dan memelihara kestabilan bekerjanya sub-sistem sosial.

Begitu seterusnya, sub-sistem sosial akan memberi kontrol terhadap sub-


sistem ekonomi, dan sub-sistem ekonomi akan bekerja sebagai pengatur
bekerjanya sub-sistem politik.

Hubungan timbal balik antara sub-sistem tersebut di atas oleh Parsons disebut
sebagai cybernetic relationship.
POLA PIKIR PEMAHAMAN WAWASAN KEBANGSAAN

Sistem Budaya

(ideologi, falsafah)

Latent Pattern Maintenance

Sistem Sosial
Ketahanan sosial
(harmoni/keselarasan Integrasi Sosial
)
Keselarasan Sosial

Pemberdayaan Sistem Ekonomi


Peningkatan Pendapatan
Ekonomi (distribusi/pemerataa
n

kontrol energi

Keseimbangan Hak dan


Sistem Politik
Civic Education Kewajiban WN
(demokrasi)

Goal Attainment

Perlunya Sosoalisasi Wawasan Kebangsaan

Belajar dari pengalaman proses sosialisasi P4 yang dilakukan melalui


pendekatan penataran kiranya perlu ditinjau kembali apakah pendekatan itu
efektif bagi upaya sosialisasi Wawasan Kebangsaan. Berbagai pendekatan lain
secara teknis bisa dilakukan dengan cara yang lebih menggugah dan
partisipatif, antara lain dengan Focused Group Discussion (FGD), Out Bound
Orientation (OBO), Public Debate Simulation/Exercise, atau melalui cara-cara
yang lazim dikenal seperti lokakarya atau seminar yang sifatnya lebih dua
arah.
Di samping itu, upaya sosialisasi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan
kekuatan media massa termasuk kreatif ide dari professional di bidangnya, dan
melalui saluran-saluran pendidikan baik formal maupun informal, serta
diseminasi melalui pamflet, liflet, brosur dan sebagainya.

Dari segi substansi, sosialisasi dilaksanakan tidak secara langsung membahas


dan mendiskusikan paham wawasan kebangsaan, tetapi lebih kepada isu-isu
yang muncul terkait dengan proses demokratisasi, pemberdayaan ekonomi
rakyat, keselarasan sosial dan sebagainya yang pada akhirnya bermuara pada
kesepahaman mengenai wawasan kebangsaan itu sendiri.

Seperti pernah diuraikan Soekarno, sebelum kemerdekaan Indonesia,

“Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sriwijaya dan
di jaman Majapahit... nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah
berdiri di jaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan
bersama-sama.” (Pidato “Lahirnya Pacasila” yang disampaikan Bung Karno
di depan Dokuritsu Junbi Tyoosakai pada 1 Juni 1945). Di luar itu, entitas
bangsa yang menjelma menjadi negara atau kesatuan politik masih bersifat
lokal atau parsial. Misalnya Kerajaan Gowa yang hanya meliputi suku Bugis
di Sulawesi, Kerajaan Mataram yang hanya mencakup sebagian suku Jawa,
Kerajaan Ternate yang hanya terdiri dari sebagian suku bangsa di Maluku, dan
sebagainya. Dari kesatuan politik yang hanya lokal ini terbukti dalam sejarah:
gagal mengantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari
penjajahan Belanda. Baru tatkala perjuangan kita bersifat nasional, meliputi
seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Merauke, maka perjuangan itu
berhasil mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945.

Dengan paham kebangsaan sebagai salah satu asas negara, maka semua orang
dengan latar belakang suku, agama,ras dan budaya yang berbeda-beda
semuanya memiliki perasaan atau kehendak yang sama sebagai satu bangsa
Indonesia. Rasa kebangsaan dengan demikian mampu menjadi wahana titik
temu (common denominator) keberagaman latar belakang warga negara
Indonesia. Dengan kebangsaan, maka kemajemukan bukan menjadi kutukan
yang menyeret kita ke dalam perpecahan, tapi justru menjadi faktor yang
memperkaya kesatuan atau rasa memiliki (sense of belonging) kita sebagai
warga negara Indonesia. Dengan kata lain: kemajemukan justru menjadi
anugerah.

Dengan paham kebangsaanlah kita bisa merasakan semangat “semua buat


semua”. Dengan paham kebangsaan, kita menjadi memiliki kesetaraan di
depan hukum dan pemerintahan (equality before the law) tanpa harus
mengalami diskriminasi lantaran perbedaan latar belakang primordial atau
ikatan sempit seperti suku, agama, ras, atau kedaerahan.

Di sini kebangsaan bukan sesuatu yang menegasikan keberagaman kita


sebagai bangsa, namun justru mengayomi keserbamajemukan itu ke dalam
wadah yang satu: yakni bangsa Indonesia.

Secara historis, paham kebangsaan telah terbukti mampu mentransformasikan


kesadaran kita dari yang awalnya bersifat sempit berdasar kesukuan atau
keagamaan, menjadi kesadaran nasional, kesadaran akan keindonesiaan.
Sebelum spirit kebangsaan Indonesia muncul, yang lebih dulu mengemuka
adalah spirit berdasar suku, agama, atau kedaerahan. Misalnya dalam bentuk
Jong Java, Jong Ambon, Jong Islam, Jong Sumatera, Jong Celebes dan
sebagainya. Baru kemudian, seiring meluasnya pengaruh Budi Utomo pada
1908, Sarekat Islam (SI) pada 1911, dan Pergerakan Indonesia (Indonesische
Vereniging) pada 1921, maka embrio spirit kebangsaan yang bersifat nasional
muncul ke permukaan. Ini kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928
yang secara eksplisit mengemukakan semangat kebangsaan Indonesia. Dari
sini akhirnya bermuara pada lahirnya negara kebangsaan Indonesia pada 17
Agustus 1945.

2.3 Empat Pilar Kebangsaan

Setelah adanya amanat UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD pasal 15 ayat 1 huruf e, yakni mengkoordinasikan anggota MPR untuk
memasyarakatkan Undang-Undang Dasar. Sertamerta berbagai wacana baik
dari unsur pemerintahan maupun organisasi politik dan kemasyarakatan,
mulai mengungkap bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat
kesepakatan yang disebut sebagai empat pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Empat pilar ini adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal
Ika. Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan agar bisa berdiri secara
kokoh. Bila tiang ini rapuh maka bangunan akan mudah roboh.

Empat tiang penyangga di tengah ini disebut soko guru yang kualitasnya
terjamin sehingga pilar ini akan memberikan rasa aman tenteram dan memberi
kenikmatan. Empat pilar itu pula, yang menjamin terwujudnya kebersamaan
dalam hidup bernegara. Rakyat akan merasa aman terlindungi sehingga
merasa tenteram dan bahagia.

Konsep ini digagas oleh alm Taufik Kiemas, beliau menggagas konsep ini
mengingat empat pilar ini adalah mutlak dan tidak bisa dipisahkan dalam
menjaga dan membangun keutuhan bangsa. Seperti halnya sebuah bangunan
dimana untuk membuat bangunan tersebut menjadi kokoh dan kuat,
dibutuhkan pilar-pilar atau penyangga agar bangunan tersebut dapat berdiri
dengan kokoh dan kuat, begitu halnya juga dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara ini. Dasar atau fondasi bersifat tetap, statis sedangkan pilar bersifat
dinamis.

Salah satu tugas dari MPR adalah Sosialisasi Empat pilar bernegara yang
diamanatkan dalam UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD Pasal 15 ayat (1) huruf e, yakni mengkoordinasikan anggota MPR
untuk memasyarakatkan Undang Undang Dasar.

1. Pancasila

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari
dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas.
Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-
4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945. Meskipun terjadi
perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam
beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1
Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Sejarah Perumusan Pancasila

Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi,


terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :

Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29


Mei1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan,
Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan
Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada
sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama
berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan
pidato Yamin tersebut.

Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam
pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul “Lahirnya Pancasila“.
Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan;
Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan;
Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno
dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:

Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat,


kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca
Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli
bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas
kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi


beberapa dokumen penetapannya ialah :

 Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni


1945
 Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18
Agustus 1945
 Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat
tanggal 27 Desember 1949
 Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara -
tanggal 15 Agustus 1950
 Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan
Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

Makna Nilai dalam Pancasila

a. Nilai Ketuhanan

Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan
keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta.
Dengan nilai ini menyatakan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya
pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati
kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif
antarumat beragama.

b. Nilai Kemanusiaan

Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap
dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar
tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana
mestinya.

c. Nilai Persatuan

Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam


kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai
sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia
d. Nilai Kerakyatan

Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat
melalui lembaga-lembaga perwakilan.

e. Nilai Keadilan

Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna


sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang
Adil dan Makmur secara lahiriah atauun batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya
abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif, isinya belum
dapat dioperasionalkan.

Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai
instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai
tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai
dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental
penyelenggaraan negara Indonesia.

2. Undang-Undang Dasar

Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD ‘45, adalah
hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik
Indonesia saat ini. UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949,
di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di
Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden5 Juli 1959 kembali
memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR
pada tanggal 22 Juli 1959.

Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan
(amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia.

Dalam UUD 45 tertuang Tujuan Negara yang tertuang dalamPembukaanUUD


1945 adalah “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia” hal ini merupakan tujuan Negara.

Rumusan “Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan


bangsa” hal ini merupakan tujuan Negara hokum material, yang secara
keseluruhan sebagai tujuan khusus atau nasional.

Adapun tujuan umum atau internasional adalah “ikut melaksanakan ketertiban


Dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Untuk mencapa tujuan tersebut diperlukan aturan-aturan yang kemudian


diataur dalam pasal-pasal, maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegera
semestinya mentaati aturan yang sudah diundang-undangkan.

Tujuan Pokok dan Fungsi UUD 1945

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa UUD 1945 memiliki tujuan
dan fungsi khusus. Tujuan dan fungsi tersebut antara lain:

• Landasan Konstitusional atas landasan ideal yaitu Pancasila;

• Alat pengendalian sosial (a tool of social control);


• Alat untuk mengubah masyarakat ( a tool of social engineering);

• Alat ketertiban dan pengaturan masyarakat;

• Sarana mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin;

• Sarana penggerak pembangunan;

• Fungsi kritis dalam hukum;

• Fungsi pengayoman;

• Alat politik.

3. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Kita tentunya sudah tahu bahwa syarat berdirinya sebuah negara ada empat,
yaitu memiliki wilayah, memiliki penduduk, memiliki pemerintahan dan
adanya pengakuan dari negara lain. Dan karena memenuhi empat syarat itulah
kemudian Negara Indonesia lahir dengan nama Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Mengapa NKRI? Karena ini merupakan bentuk dari negara
Indonesia, dimana negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, selain
itu juga bentuk negaranya adalah republic. Walaupun negara Indonesia terdiri
dari banyak pulau, tetapi tetap merupakan suatu kesatuan dalam sebuah negara
dan bangsa yang bernama Indonesia.

Para pendiri bangsa (the founding fathers) sepakat memilih bentuk negara
kesatuan karena bentuk negara kesatuan itu dipandang paling cocok bagi
bangsa Indonesia yang memiliki berbagai keanekaragaman, untuk
mewujudkan paham negara integralistik (persatuan) yaitu negara hendak
mengatasi segala paham individu atau golongan dan negara mengutamakan
kepentingan umum.
NKRI lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang bangsa yang
bertekad mempertahankan keutuhan bangsa. Sebab itu, NKRI adalah prinsip
pokok, hukum, dan harga mati.

NKRI hanya dapat dipertahankan apabila pemerintahan adil, tegas, dan


berwibawa. Dengan pemerintahan yang adil, tegas, dan berwibawalah
masalah dan konflik di Indonesia dapat diselesaikan. “Demi NKRI, apa pun
akan kita lakukan. NKRI adalah hal pokok yang harus kita pertahankan.

Tujuan NKRI

Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam


Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.

Dari rumusan tersebut, tersirat adanya tujuan nasional/Negara yang ingin


dicapai sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh Negara
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah


Indonesia;

2. Memajukan kesejahteraan umum;

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;

4. Ukut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,


perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
4. Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyanIndonesia. Frasa ini berasal
dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat
“Berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau
berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan
menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal
berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika
diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda
tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan
ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam
budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin
Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitarabad ke-
14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu
Siwa dengan umat Buddha.

Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini kemudian di terjemahkan ;
“Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang
berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali ?. Sebab kebenaran Jina (Buddha)
dan Siwa adalah tunggal.”

Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam
kebenaran. Artinya, walapun bangsa Indonesia mempunyai latar belakang
yang berbeda baik dari suku, agama, dan bangsa tetapi adalah bangsa
Indonesia. Pengukuhan ini telah dideklarasikan semenjak tahun 1928 yang
terkenal dengan nama "sumpah pemuda".
Namun, sekarang Bhineka Tunggal Ika pun ikut luntur, banyak anak muda
yang tidak mengenalnya, banyak orang tua lupa akan kata-kata ini, banyak
birokrat yang pura-pura lupa, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum
Indonesia Merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak.

Kehawatirannya adalah akibat lupa, semuanya akan menjadi petaka, nanti


akan muncul kembali kata-kata "saya orang ambon", "saya orang Jawa"
karena “saya” yang menonjol maka “saya” harus menjadi pemimpin. Juga
akibat otonomi daerah orang yang berasal dari PNS Pemda Jawa Barat
misalnya susah untuk pindah menjadi PNS di Pemda Sumatera Utara,
akibatnya terjadilah pengkotakan PNS. Pengkotakan PNS akan menimbulkan
"otonomi daerah" yang salah kaprah atau merupakan raja-raja kecil di daerah.

Demikian empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang semestinya


harus kita jaga, pahami, hayati dan laksanakan dalam pranata kehidupan
sehari-hari. Pancasila yang menjadi sumber nilai menjadi idealogi, UUD 45
sebagai aturan yang semestinya ditaati dan NKRI adalah harga mati, serta
Bhineka Tunggal Ika adalah perekat semua rakyat. Maka dalam bingkai 4 pilar
tersebut yakinlah tujuan yang dicita-citakan bangsa ini akan terwujud.

2.4 Memudarnya Jiwa Nasionalisme Dan Kebangsaan

Seiring berkembangnya zaman, rasa nasionalisme kian memudar. Hal ini


dibuktikan dari berbagai sikap dalam memaknai berbagai hal penting bagi
Negara Indonesia. Contoh sederhana yang menggambarkan betapa kecilnya
rasa nasionalisme, diantaranya :

a. Pada saat upacara bendera, masih banyak rakyat yang tidak memaknai arti
dari upacara tersebut. Upacara merupakan wadah untuk menghormati dan
menghargai para pahlawan yang telah berjuang keras untuk mengambil
kemerdekaan dari tangan para penjajah. Para pemuda seakan sibuk
dengan pikirannya sendiri, tanpa mengikuti upacara dengan khidmad.
b. Pada peringatan hari-hari besar nasional, seperti Sumpah Pemuda, hannya
dimaknai sebagai serermonial dan hiburan saja tanpa menumbuhkan rasa
nasionalisme dan patriotisme dalam benak mereka.
c. Lebih tertariknya masyarakat terhadap produk impor dibandingkan
dengan produk buatan dalam negeri,lebih banyak mencampurkan bahasa
asing dengan bahasa Indonesia untuk meningkatkan gengsi, dan lain-lain.

Kurangnya kesadaran masyarakat “hanya” untuk memasang bendera di depan


rumah, kantor atau pertokoan. Dan bagi yang tidak mengibarkannya mereka
punya berbagai macam alas an entah benderanya sudah sobek atau tidak punya
tiang bendera, malas , cuaca buruk, dan lain-lain. Mereka mampu membeli
sepeda motor baru, baju baru tiap tahun yang harganya ratusan bahkan jutaan
tapi mengapa untuk bendera merah putih yang harganya tidak sampai ratusan
saja mereka tidak sanggup?

Semua identitas bangsa Indonesia baik itu bendera merah putih, lagu
kebangsaan Indonesia Raya dan lain sebagainya hanyalah merupakan simbol,
symbol bahwa negara Indonesia masih berdiri tegak dan mampu
mensejajarkan dirinya dengan bangsa lain. Bagaimana kita bias bangga
menjadi bangsa ini jika kita malas dan malu memakai atribut bangsa Indonesia
ini.

Jika ditinjau dari sudut pandang, gejala ini mulai terlihat sejak era reformasi
karena pada masa orde baru, pemasangan bendera adalah sesuatu yang bersifat
wajib. Sejak era reformasi, animo masyarakat untuk turut andil dalam
memeriahkan Dirgahayu RI juga berkurang. Pada masa sekarang ini sudah
sulit ditemukan perlombaan-perlombaan 17-an. Padahal pada masa orde baru,
suasana 17-an telah dirasakan sejak awal Agustus. Perlombaan 17-an
merupakan kegiatan rutin setiap tahunnya dan sudah menjadi budaya baru di
negara ini. Melalui kegiatan ini dapat ditanamkan nilai-nilai nasionalisme ke
dalam diri generasi muda yang nantinya menjadi penerus bangsa. Contoh,
dalam permainan panjat pinang yang paling sulit diraih adalah bendera dan
harus melalui usaha keras untuk mendapatkannya. Dari hal kecil tersebut
terkandung nilai pembelajaran yang sangat tinggi yaitu untuk merebut
kemerdekaan, para pahlawan berjuang mati-matian tanpa mengenal lelah dan
tentunya disertai dengan rasa keikhlasan hati. Terakhir, hal yang paling ironis
adalah bangsa ini pada kenyataannya kurang menghargai jasa-jasa para
pahlawan yang masih hidup hingga sekarang. Mereka yang dahulu telah
mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan Indonesia justru mendapatkan
imbalan berupa kehidupan yang tidak layak disisa umur mereka. Padahal
dapat dibayangkan apabila dahulu para pahlawan tidak mau berjuang, pastinya
Indonesia masih dalam penjajahan bangsa asing.

Sebenarnya nasib kita masih lebih baik dan beruntung daripada para pejuang
dulu, kita hanya meneruskan perjuangan mereka tanpa harus mengorbankan
nyawa dan harta.Nasionalisme kita semakin luntur dan akankah punah tergilas
modernisasi dan individualis. Masih banyak bentuk nasionalisme lain yang
kita rasakan semakin memudar. Kurangnya kecintaan kita terhadap produk
dalam negeri dan merasa bangga kalau bisa memakai produk dalam negeri.
Kegilaan kita tripping keluar negeri padahal negeri sendiri belum tentu
dijelajahi. Kita belum tersadar betul bahwa lambat laun sikap-sikap seperti itu
akan semakin menjauhkan kecintaan kita kepada negeri ini.

Rasa nasionalisme bangsa pada saat ini hanya muncul bila ada suatu faktor
pendorong, seperti kasus pengklaiman beberapa kebudayan dan pulau-pulau
kecil Indonesiaseperti Sipadan, Ligitan , serta Ambalat oleh Malaysia
beberapa waktu yang lalu. Namun rasa nasionalisme pun kembali berkurang
seiring dengan meredanya konflik tersebut.

Globalisasi juga membawa pengaruh negatif terhadap nilai-nilai nasionalisme,


antara lain:

• Hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya


produk luar negeri (sepertiMc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri
di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri
menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap
bangsa Indonesia.

• Masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan


identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung
meniru budaya barat.

• Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang


kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi.
Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin
yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.

• Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian


antarperilaku sesamawarga. Dengan adanya individualism maka orang tidak
akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Masyarakat, khususnya generasi muda adalah penerus bangsa. Bangsa akan


menjadi maju bila para pemudanya memiliki sikap nasionalisme yang tinggi.
Namun dengan perkembangan zaman yang semakin maju, malah
menyebabkan memudarnya rasa nasionalisme. Nasionalisme sangat penting
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara karena merupakan wujud
kecintaan dan kehormatan terhadap bangsa sendiri. Dengan hal itu, pemuda
dapat melakukan sesuatu yang terbaik bagi bangsanya, menjaga keutuhan
persatuan bangsa, dan meningkatkan martabat bangsa dihadapan dunia.

Namun, dengan memudarnya rasa nasionalisme dapat mengancam dan


menghancurkan bangsa Indonesia. Hal itu terjadi karena ketahanan nasional
akan menjadi lemah dan dapat dengan mudah ditembus oleh pihak luar.
Bangsa Indonesia sudah dijajah sedari dulu sejak rasa nasionalisme pemuda
memudar. Bukan dijajah dalam bentuk fisik, namun dijajah secara mental dan
ideology.

Banyak sekali kebudayaan dan paham barat yang masuk ke dalam bangsa
Indonesia. Banyak budaya dan paham barat yang berpengaruh negatif dapat
dengan mudah masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia. Dengan terjadinya
hal itu, maka akan terjadi akulturasi, bahkan menghilangnya kebudayaan dan
kepribadian bangsa yang seharusnya menjadi jati diri bangsa.

Dalam aspek perekonomian Negara, dengan memudarnya rasa nasionalisme,


mengakibatkan perekonomian bangsa Indonesia jauh tertinggal dari Negara-
negara tetangga. Saat ini masyarakat hanya memikirkan apa yang Negara
berikan untuk mereka, bukan memikirkan apa yang mereka dapat berikan pada
Negara. Dengan keegoisan inilah, masyarakat lebih menuntut hak daripada
kewajibannya sebagai warga Negara. Sikap individual yang lebih
mementingkan diri sendiri dan hanya memperkaya diri sendiri tanpa
memberikan retribusi pada Negara, mengakibatkan perekonomian Negara
semakin lemah.

Upaya untuk Menumbuhkan Kembali Nasionalisme Bangsa

a. Peran Keluarga
 Memberikan pendidikan sejak dini tentang sikap nasionalisme dan
patriotism terhadap bangsa Indonesia.
 Memberikan contoh atau tauladan tentang rasa kecintaan dan
penghormatan pada bangsa.
 Memberikan pengawasan yang menyeluruh kepada anak terhadap
lingkungan sekitar.
 Selalu menggunakan produk dalam negeri.
 b.Peran Pendidikan
 Memberikan pelajaran tentang pendidikan pancasila dan
kewarganegaraan dan juga bela Negara.
 Menanamkan sikap cinta tanah air dan menghormati jasa pahlawan
dengan mengadakan upacara setiap hari senin dan upacara hari besar
nasional
 Memberikan pendidikan moral, sehingga para pemuda tidak mudah
menyerap hal-hal negatif yang dapat mengancam ketahanan nasional.
 Melatih untuk aktif berorganisasi

b. Peran Pemerintah
 Menggalakan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan rasa
nasionalisme, seperti seminar dan pameran kebudayaan.
 Mewajibkan pemakaian batik kepada pegawai negeri sipil setiap hari
jum’at. Hal ini dilakukan karena batik merupakan sebuah
kebudayaan asli Indonesia, yang diharapkan dengan kebijakan
tersebut dapat meningkatkan rasa nasionalisme dan patrotisme
bangsa.
 Lebih mendengarkan dan menghargai aspirasi pemuda untuk
membangun Indonesia agar lebih baik lagi.
Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita harus
dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya
seabad yang lalu. Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah
nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi berbagaipermasalahan,
bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-
wenangan, tidak korupsi, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita
tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran
total.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kebangsaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan identitas suatu


bangsa mulai dari semangat membela bangsa, sikap cinta akan tanah air
hingga ideology yang hidup dalam suatu bangsa. Dalam kebangsaan terdapat
semangat kebangsaan dan nilai-nilai kebangsaan yang baik dan berharga.

Sikap kebangsaan dan wawasan kebangsaan pasti dimiliki oleh setiap orang
dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Secara
realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit
dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa
kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara
berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing,
tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa
kekuatannya. Sikap kebangsaan di setiap Negara belum tentu sama bahkan
sikap kebangsaan dalam satu Negara saja terkadang berubah secara perlahan
seiring berjalannya waktu.

Rasa kebangsanaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara
alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan,
sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam
menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini
dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan,
yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki
cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan
paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat
patriotisme.

Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan perekat


yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’entre) bangsa-
bangsa di dunia. Dengan demikian rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang
unik yang hanya ada dalam diri bangsa kita karena hal yang sama juga dialami
bangsa-bangsa lain.

Di Indonesia, terdapat empat pilar yang menjamin terwujudnya sikap


kebangsaan dan rasa kebangsaan. Empat pilar tersebut antara lain Pancasila,
UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan adanya empat pilar ini,
Rakyat akan merasa aman terlindungi sehingga merasa tenteram dan bahagia.

Akan tetapi, belakangan ini sikap kebangsaan dan cinta tanah air perlahan
mulai memudar. Hal ini disebabkan adanya sikap individualisme yang
berlebihan, sikap terlalu mencintai budaya Barat dan sikap malas dari
masyarakat sendiri untuk berpartisipasi dalam peringatan kemerdekaan
Indonesia dan upacara bendera. Dalam upaya untuk menumbuhkan kembali
sikap nasionalisme dan kebangsaan, diperlukan upaya-upaya kongkrit dari
semua orang.
DAFTAR PUSTAKA

Anshory, Irfan, "Asal Usul Nama Indonesia", Pikiran Rakyat, 2004-08-16.

Kaelan MS. 2010. Pendidikan Pancasila. Paradigma: Jakarta.

Konopaske, Robert dan John M. Ivancevich. 2005. Perilaku dan Manajemen


Organisasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Lembaga Soekarno-Hatta.1984.Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar


1945 dan Pancasila, Jakarta: Inti Idayu Press.

Moeljono Djokosantoso. 2005. Cultured ! Budaya Organisasi. Jakarta:Elex


Media Kumpotindo.

Notosusanto, Nugroho, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, (Jakarta:


PN Balai Pustaka, 1985).

Anda mungkin juga menyukai