Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dermatofita

2.1.1. Definisi Dermatofita

Dermatofita adalah kelompok jamur yang menginfeksi hanya jaringan keratin


superfisial seperti kulit, rambut dan kuku. Oleh karena itu dermatofita disebut sebagai
jamur keratinofilik. Jamur dermatofita mempunyai kemampuan unik untuk
memanfaatkan dan mencerna keratinin yang berukuran besar dengan kapasitasnya.
Dermatofita menghasilkan enzim keratinase. Kebanyakan jamur dermatofita sangat mirip
satu sama lain dalam banyak hal, termasuk antigen permukaan. Saat identifikasi terletak
terutama pada morfologi konidia, pengaturan dan properti kolonialnya. Jamur
dermatofita yang menyebabkan infeksi pada manusia terdiri dari 41 spesies yang
termasuk 3 genus jamur yaitu Trichophyton, Epidermophyton dan Microsporum (Kurniati,
2008). Penamaan kelainan akibat jamur memiliki aturan tertentu. Kata pertama biasanya
diawali ‘tinea’ dan diikuti oleh kata kedua yang menyatakan lokasi tubuh yang terinfeksi
(Kurniati, 2008).

Golongan kelompok jamur dermatofita adalah (Premlatha, 2013):

a) Trichophyton :
T. ajelloi, T. concentricum, T. equinum, T. fiavescens, T. georgiae, T.
gloriae, T. gourvilii, T. longifusus, T. phaseoliforme, T. rubrum, T.
schoenleinii, T. simii, T.soudanense, T. terrestre, T.tonsurans, T.

verrucosum, T. violaceum, T. yaoundei.

Universitas Sumatera Utara


b) Microsporum :
M. amazonicum, M. audouinii, M. boullardii, M. canis, M. cookie, M.
distortum, M. equinum, M. ferrugineum, M. fulvum, M. gallinae, M.

gypseum, M. nanum, M. persicolor, M. praecox, M. racemosum.


c) Epidermophyton :
E. floccosum, E. stockdaleae.

2.1.1.1 Trichophyton

a. Trichophyton rubrum

Trichophyton rubrum merupakan jamur yang paling umum menyebabkan infeksi


jamur kronis pada kulit dan kuku manusia. Pertumbuhan koloninya dari lambat hingga bisa
menjadi cepat. Teksturnya yang lunak, dari depan warnanya putih kekuningkuningan
(agak terang) atau bisa juga merah violet. Koloni yang putih bertumpuk di tengah dan
maroon pada tepinya berwarna merah cheri pada PDA (potato dextrose agar). Gambaran
mikroskopis dengan beberapa mikrokonida berbentuk air mata dan sedikit makrokonida
berbentuk pensil (Rebell, 1970).

B. Mikroskopis KOH

A. Kultur

Gambar 2.1: A. Gambaran Kultur trichophyton rubrum dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH trichophyton rubrum.

Universitas Sumatera Utara


b. Trichophyton Mentagrophytes

Trichophyton mentagrophytes adalah merupakan tenunan lilin, berwarna putih


sampai putih kekuningan yang agak terang atau berwarna violet merah. Kadang bahkan
berwarna pucat kekuningan dan coklat. Koloninya seperti putih hingga krem dengan
permukaan seperti tumpukan kapas pada PDA (tidak berpigmen). Gambaran mikroskopis
yaitu mikrokonidia yang bergerombolan, bentuk cerutu yang jarang, terkadang hifa
berbentuk spiral. Karakter dari jamur merupakan jamur filamentous yang menyerang kulit
yang menggunakan keratin sebagai nutrisinya. Keratin merupakan protein utama dalam
kulit, rambut dan kuku (Anonim, 2007).

B
A
. Mikroskopis kOH
. Kultur

Gambar 2.2: A. Gambaran Kultur Trichophyton Mentagrophytes dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Trichophyton Mentagrophytes.

c. Trichophyton ajelloi

Trichophyton ajelloi adalah jamur geofilik dengan distribusi di seluruh dunia yang
mungkin terjadi sebagai kontaminan saprophytic pada manusia dan hewan. Infeksi pada
manusia dan hewan diragukan. Koloni biasanya datar, bubuk, dan berwarna cokelat,
dengan pinggiran terendam kehitaman-ungu dan sebaliknya. Makrokonidia banyak,
halus, berdinding tebal, memanjang, berbentuk cerutu, dengan ukuran 29-65 oleh 5
sampai 10µm, dan multiseptate sampai dengan 9 atau 10 septa. Mikrokonidia biasanya
tidak ada, tapi ada ketika pembentukan pyriform (Rippon, 1988).

Universitas Sumatera Utara


A. Kultur B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.3: A. Gambaran Kultur Trichophyton ajelloi dan


B. Gambaran Mikroskopis KOH Trichophyton ajelloi.

d. Trichophyton verrucosum
Pada Sabouraud Dextrose Agar, koloni akan tumbuh lambat, kecil, berbentuk
tombol, putih krem, dan pinggiran datar yang pertumbuhan menjorok ke dalam. Hifa yang
luas dan tidak teratur mengandung terlalu banyak chlamydospores terminal.
Chlamydospores sering dalam rantai. Ujung hifa yang luas dan kadang-kadang dibagi, yang
disebut "tanduk", ketika ditanam pada thiamine-enriched media, strain menghasilkan
clavate untuk pyriform mikrokonidia sepanjang hifa. Makrokonidia hanya jarang
diproduksi, tetapi jika hadir akan memiliki ekor khas atau berbentuk kacang.

A. B. C.

Kultur Clavate untuk pyriform Mikroskopis KOH


mikrokonidia

Gambar 2.4: A. Gambaran Kultur Trichophyton verrucosum dan

B. Gambaran Clavate untuk Pyriform mikrokonidia dan

C. Gambaran Mikroskopis KOH untuk Trichophyton verrucosum.

e. Trichophyton gourvili

Universitas Sumatera Utara


Koloni pada Sabouraud Dextrose Agar menyebar perlahan-lahan, mencapai 20mm
diameter. Dalam 14 hari pada 27o C, tidak bergranular sampai bergranular, membrane
terlipat. Mikrokonidia dan makrokonidia sangat jarang (Al-Saadon, 2012).

A. B.
Kultur Mikroskopis KOH

Gambar 2.5: A. Gambaran Kultur Trichophyton gourvili dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Trichophyton gourvili.

f. Trichophyton soudanense

Pada Sabouraud Dextrose Agar, koloni tumbuh lambat, dalam keadaan terlipat,
dengan permukaannya lunak. Secara mikroskopis, hifa sering menunjukkan refleksif atau
sudut kanan bercabang. Microconidia pyriform terkadang dapat ditemukan dan banyak
chlamydoconidia sering ditemukan dalam kultur yang lebih lama. Trichophyton
soudanense adalah jamur antropofilik yang sering menjadi penyebab tinea capitis di
Afrika. Rambut menginvasi menunjukkan infeksi endothrix. Distribusi terutama di Afrika
dengan isolat sesekali dari Eropa, Brazil dan Amerika Serikat (Rippon, 1988).

Universitas Sumatera Utara


A. Kultur
B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.6: A. Gambaran Kultur Trichophyton soudanense dan

B. Gambaran Mikroskopis KOH Trichophyton soudanense.

g. Trichophyton schoenleinii
Koloni pada Sabouraud Dextrose Agar tumbuh lambat. Kultur sulit dipertahankan
karena koloninya berbentuk berbelit-belit, dan dengan cepat menjadi datar dan berbulu
halus. Tidak ada pigmentasi pada daerah belakangnya. Tidak ada makrokonidia dan
mikrokonidia terlihat dalam kultur rutin, namun banyak chlamydoconidia mungkin dapat
terlihat pada kultur yang lebih lama (Rippon, 1988).

A. B.
Kultur Mikroskopis KOH

Gambar 2.7: A. Gambaran Kultur Trichophyton schoenleinii dan

B. Gambaran Mikroskopis KOH Trichophyton schoenleinii.

Universitas Sumatera Utara


h. Trichophyton terrestre
Koloni biasanya datar dan berbulu dengan warna permukaan berkisar dari putih
menjadi krem. Reaksi pigmentasi biasanya coklat kekuningan. Mikrokonidia besar, clavate
biasanya menunjukkan bentuk transisi, biasa lebih kecil atau lebih besar dari
makrokonidia. Makrokonidia yang clavate untuk silinder dengan ujung bulat, halus dan
berdinding tipis, dan mempunyai sel 2 hingga 6 (Rippon, 1988).

A. Kultur B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.8: A. Gambaran Kultur Trichophyton terrestre dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Trichophyton terrestre.

2.1.1.2. Microsporum a.

Microsporum canis

Mikrosporum canis termasuk ke dalam organisme fungi dermatoifit zoofilik yaitu


organisme fungi yang menyerang kulit (terutama kulit kepala dan rambut) dan merupakan
fungi yang umumnya hidup dan tumbuh pada hewan (kucing dan anjing). Penyebarannya
meluas di seluruh dunia. Microsporum canis ini merupakan fungi yang memiliki hifa yang
bersepta, dan makrokonidia serta mikrokonidia sebagai alat reproduksinya.

Universitas Sumatera Utara


A. Kultur B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.9: A. Gambar Kultur Microsporum canis dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Microsporum canis.

b. Microsporum gypseum

Koloni dari M. gypseum tumbuh dengan cepat, menyebar dengan permukaan


yang mendatar dan sedikit berserbuk merah coklat hingga kehitam-hitaman (Brooks et al,
2005) terkadang dengan warna ungu. Serbuk yang berada di permukaan koloni
mengandung makrokonidia (Rippon, 1974). Makrokonidia dihasilkan dalam jumlah yang
besar. Dindingnya tipis dengan ketebalan 8-16 x 20 µm, kasar dan memiliki 4-6 septa, dan
berbentuk oval. Makrokonidia terdiri dari 4-6 sel. Mikrokonidia juga dapat nampak,
meskipun jarang dihasilkan, terkadang pula mudah tumbuh pada subkultur setelah
bebrapa kali berganti media pada laboratorium (Rippon, 1988).

A. Kultur B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.10: A. Gambaran Kultur Microsporum gypseum dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Microsporum gypseum.

Universitas Sumatera Utara


c. Microsporum audouinii

Koloni ini tumbuh lambat menyebar dengan permukaan yang mendatar, padat.
Warna koloni berubah dari putih keabu-abuan menjadi putih. Microsporum audouinii
menghasilkan hifa dan mikrokonidia. Terminal Chlamydoconidia membentuk secara
pendek seperti, memberikan penampilan runcing di ujungnya. Makrokonidia yang halus,
kurang berkembang, tebal berdinding dan berbentuk tidak teratur spindle jarang dijumpai.
Mikrokonidia juga jarang dijumpai dan jika dijumpai, bentuknya adalah bulat telur dan
uniselluler (Rippon, 1988).

A. Kultur B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.11: A. Gambaran Kultur Microsporum audouinii dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Microsporum audouinii.

d Microsporum gallinae
Koloni ini menyebar dengan permukaan yang mendatar dan berwarna putih
bercampur merah muda. Beberapa kultur menunjukkan radial lipat. Makrokonidia jamur
ini biasanya mempunyai lima sampai enam sel, berdinding tipis menjadi tebal, silinder
untuk clavate biasanya sempit dan ujungnya tumpul, berukuran 15-60 x 6-10 µm.

Mikrokonidia yang berbentuk oval untuk pembentukan pyriform (Rippon, 1988).

Universitas Sumatera Utara


A. Kultur B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.12: A. Gambaran Kultur Microsporum gallinae dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Microsporum gallinae.

2.1.1.3. Epidermatophyton

a. Epidermatophyton floccusom

Epidermatophyton floccusom merupakan satu-satunya pathogen pada genus ini yang


menghasilkan makrokonidia, berdinding halus, berbentuk gada, bersel dua hingga empat
dan tersusun dalam 3 kelompok. Koloni ini biasanya rata dan seperti beludru dengan
warna coklat sampai kuning kehijauan. Jamur ini tidak menginfeksi rambut (Rebell, 1970).

A. Kultur B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.13: A. Gambaran Kultur Epidermatophyton floccusom dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Epidermatophyton floccusom.

Universitas Sumatera Utara


2.2. Nondermatofita

2.2.1. Definisi Nondermatofita

Nondermatofita hanya bisa menginfeksi sampai lapisan paling luar dari stratum
korneum. Karakteristik jenis jamur ini adalah tidak dapat mencerna keratin kuku dan
hanya menyerang lapisan yang paling luar (Diagns, 2013). Nondermatofita dibagi lagi
menjadi 2 kelompok utama jamur yaitu yeast dan mould (Premlatha, 2013):

a. YEAST (candida spp)


Candida albicans, Candida Parapsilosis, Candida Tropicalis
b. Moulds
Aspergillus flavus, Fusarium spp, Hendersonu Latoruloide, Scytalidium
hyalinum, Geotrichum candidum, Scopulariopsis brevicaulis.

2.2.1.1. Candida albicans

Ini adalah ragi oval 2-6 x 3-9 pm di ukuran, yang membagi dengan tunas dan tidak
biasanya ditemukan di habitat tidak hidup. Selain dari ragi yang seperti itu adalah
bentuknya yang mampu menghasilkan rantai panjang sel memanjang (pseudohyphae) dan
kesempatan itu dapat menghasilkan hifa terus menerus dengan dinding silang yaitu,
septate benar miselium. Properti ini dikenal sebagai dimorfisme. Isolasi dan identifikasi C.
albicans biasanya sederhana. Koloni ini muncul dalam waktu 1-3 hari pada kebanyakan
media laboratorium pada suhu 25 sampai 37°C (Premlatha, 2013).

B. Mikroskopis KOH
A. Kultur

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.14: A. Gambaran Kultur Candida albicans dan B.
Gambaran Mikroskopis KOH Candida albicans.
2.2.1.2. Aspergillus flavus

Vesikel yang bulat dan phialide diproduksi langsung dari permukaan vesikel atau
dari baris utama cabang. Konidia berwarna jingga kekuningan, koloni elips atau spherical,
tumbuh cepat iaitu dalam 1 sampai 5 hari, berwarna hijau kekuningan (Premlatha, 2013).

A. Kultur B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.15: A. Gambaran Kultur Aspergillus flavus dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Aspergillus flavus.

2.2.1.3. Fusarium spp

Fusarium adalah bersifat saprophytic dan telah dilaporkan sebagai penyebab


gangguan kondisi kuku. Jamur ini tidak keratolitik dan diperkirakan untuk menyerang kuku
yang telah terluka sebelumnya. Makrokonidia berbentuk sabit adalah diagnostik daripada
Fusarium spp. Koloni ini sifatnya berbulu dan warnanya berubah dari lavender kepada
merah muda yang tidak berpigmen (Burgess, 1983).

Universitas Sumatera Utara


A. Kultur B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.16: A. Gambaran Kultur Fusarium spp dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Fusarium spp.

2.2.1.4. Hendersonula toruloidea

Jamur ini sepenuhnya terbatas pada penduduk asli tropis dan subtropis negara.
Jamur ini adalah kapang yang berserabut hitam abu-abu dan diakui sebagai penyebab
infeksi dari tangan, kaki dan kuku. H. Toruloideasis mampu menyerang kuku jaringan dan
kuku diserang oleh jamur ini memiliki perubahan warna kecoklatan dan berbagai tingkat
dan distrofi kuku. Hifa tidak dapat dibedakan dari orang-orang dari dermatofit, meskipun
mereka mungkin berbeda dalam bentuk dan lebih tidak teratur. Spora berpigmen gelap
berwarna coklat gelap dalam pycnidia hitam (Premlatha, 2013).

2.2.1.5. Scytalidium hyalinum

Universitas Sumatera Utara


Jamur ini terutama terlihat di area tropis dan subtropis Arthroconidia berpigmen
gelap persis seperti yang H.toruloidea, tetapi pycnidia hitam tidak terdapat dalam
S.hyalinum. Koloni ini sangat mirip dengan H.toruloides, seperti coklat dan sangat berbulu
tanpa pigmentasi (Premlatha, 2013).

2.2.1.6. Geotrichum candidum

Jamur ini dapat menyebabkan gangguan pada kondisi kuku seperti infeksi
bersama dengan infeksi mulut, paru-paru dan bronkus. Pada kuku itu adalah penyerbu
sekunder. Ini adalah jamur oportunistik dan dapat pulih dari kultur saprophytes. Hifa yang
benar memecah menjadi arthropores persegi panjang dan bulat telur. tidak ada
blastospora yang terhasil. Permukaan koloni yang berwarna krem dan sedikit terangkat
dan tumbuh sangat cepat pada agar (Domsch, 1980).

A. Kultur B. Mikroskopis KOH

Gambar 2.17: A. Gambaran Kultur Geotrichum candidum dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Geotrichum candidum.

2.2.1.7. Scopulariopsis brevicaulis

Ini adalah jamur yang ditemukan secara luas di alam. S. brevicaulis mungkin
merupakan primer patogen dari unit kuku. Hal ini mungkin lebih sering ditemukan sebagai
sekunder inhabitant. Hifa dan konidia aseksual diagnostik yang berbentuk lonceng, bulat,
berdinding kasar dan memiliki basis terpotong. Mereka diproduksi dalam rantai. Koloni
berwarna coklat kayu manis, berbentuk granular dan datar (Domsch, 1980)

Universitas Sumatera Utara


B.
A. Kultur Mikroskopis KOH

Gambar 2.18: A. Gambaran Kultur Scopulariopsis brevicaulis dan B.

Gambaran Mikroskopis KOH Scopulariopsis brevicaulis.

2.3. Penyakit kuku disebabkan oleh jenis pekerjaan.

Penyakit kuku yang disebabkan jenis pekerjaan adalah abnormalitas satu atau
lebih struktur komponen kuku, disebabkan atau diperburuk oleh lingkungan kerja (Baran,
2000). Contohnya:

1. Luka bakar
2. Kelembaban
3. Benda asing
4. Radiasi yang melibatkan ion
5. Trauma
6. Pencuci yang menggunakan sarung tangan karet
7. Vibrating power tools
Zat kimia atau agen infektif dapat menembus di bawah lempeng kuku di tempat
free margin. Kelembaban dan sifat alkali dapat menyebabkan kerusakan pada kutikula dan
memungkinkan masuknya bakteri dan jamur yang akan menyebabkan peradangan pada
jaringan paronychial dan menghasilkan gangguan pertumbuhan sekunder dari lempeng
kuku. Antara contoh pekerjaan yang dapat menimbulkan penyakit kuku adalah (Baran,
2000) :

Universitas Sumatera Utara


1. Hairdressing terapi / kecantikan
2. Industri makanan
3. Pelayanan kesehatan termasuk pekerja gigi dan kedokteran hewan
4. Pertanian termasuk tukang kebun dan toko bunga
5. Lukisan dan dekorasi
6. Pekerja pembersihan
7. Perbaikan kendaraan bermotor
8. Konstruksi
9. Pencetakan

2.4. Onikomikosis

2.4.1 Definisi Onikomikosis

Menurut Roberts et al (2003) onikomikosis adalah infeksi kuku yang disebabkan


oleh jamur golongan dermatofita, non dermatofita atau yeast, 80-90% onikomikosis
disebabkan oleh dermatofita. Smith et al (1986) juga berpendapat onikomikosis adalah
penyakit dermatofitosis pada kuku atau dikenali sebagai tinea unguium, ditandai dengan
perubahan warna putih kekuningan pada kuku, penebalan lempeng kuku dan akumulasi
kotoran subungual. Saat ini, onikomikosis adalah infeksi pada kuku yang disebabkan oleh
jamur seperti dermatofita, nondermatofita dan ragi (terutama Candida spesies) (Roberts,
2003, Zaias, 2008, Barankin, 2006, Shirwaikar, 2008).

2.4.2. Etiologi

Dermatofita telah dilaporkan sebagai penyebab onikomikosis oleh Universiti


Kebangsaan Malaysia Medical Center (UKMMC), (Leelavathi et al, 2012).

1. Genera Trychophyton
a. Trichophyton rubrum
b. Trichophyton mentagrophytes
c. Trichophyton violaceum

Universitas Sumatera Utara


d. Trichophyton schoenieinii
e. Trichophyton tonsurans
f. Trichophyton magninii
g. Trichophyton concentricum
h. Trichophyton soudanacea
i. Trichophyton samdamemse
j. Trichophyton gaurivili
2. Genera microsporum
a. Microsporum gypseum
b. Microsporum audouini
c. Microsporum canis
3. Genera epidermophyton
a. Epidermophyton fluccosum

Nondermatofita yang dianggap agen penyebab adalah :

a. Candidida albicans
b. Candidida parapsilosis
Selanjutnya banyak peneliti dapat mengisolasi berbagai spesies dari moulds pada
kuku yang menderita kelainan (Baran et al, 1999, Putra, 2008, Ahmadi et al, 2012) :

a. Aspergillus candidus
b. Aspergillus plavus
c. Aspergillus glaucus
d. Aspergillus nidulans
e. Aspergillus sydowii
f. Aspergillus terreus
g. Syctalidium hyalimum
h. Scopulariopsis brevicaulis
i. Hendersonula toruloidea

2.4.3. Faktor-faktor predisposisi

Universitas Sumatera Utara


Faktor-faktor predisposisi untuk pengembangan onikomikosis adalah
(Premlatha, 2013)

1.Karakteristik

a) Usia dan jenis kelamin

Onikomikosis dilaporkan lebih umum pada orang yang berusia tua dan tampaknya
lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki. Sekitar 20% dari penduduk usia melebihi
60 tahun dan sampai 50% dari subyek berusia melebihi 70 tahun dilaporkan memiliki
onikomikosis. Studi Robert (1999) tidak menemukan perbedaan jenis kelamin dalam
onychomycosis prevalensi, meskipun data laboratorium menunjukkan bahwa kandida
dapat diisolasi dari kuku tiga kali lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria.

b) Faktor genetik

Beberapa studi terbaru menunjukkan dasar genetik untuk kerentanan terhadap


onikomikosis. Karena kebanyakan pasien yang berusia tua mempunyai resiko tinggi untuk
menderita penyakit onikomikosis, Zaias (2008) percaya bahwa kecenderungan untuk
pelabuhan dermatofit dan mengembangkan onikomikosis mungkin diwariskan sebagai
sifat dominan autosomal. Studi di Amerika, Zaias dan rekan melaporkan tanggungjawab
kekeluargaan pola batang distal lateral onikomikosis disebabkan oleh T. rubrum yang
infeksinya yang kelihatan tidak berkaitan dengan interfamilial transmision.

2.Faktor sistemik

a) Immune deficiency

Individu yang terinfeksi HIV telah peningkatan resiko mengembangkan


onikomikosis saat jumlah T-limfosit mereka serendah 400/mm3 (kadar normal 12001400)
dan onikomikosis cenderung lebih luas, biasanya mempengaruhi semua kuku jari tangan
dan kaki. Proksimal subungual onychomycosis telah dianggap sebagai indikasi infeksi HIV.

Universitas Sumatera Utara


Namun, penerima transplantasi, individu pada perawatan imunosupresif dan individu
dengan kemotaksis polimorfonuklear cacat mungkin menunjukkan sejenis infeksi.
Trichophyton rubrum adalah jamur penyebab dalam banyak kasus, kecuali untuk kasus-
kasus onikomikosis dangkal putih, biasanya disebabkan oleh T. Mentagrophytes.

b) Penyakit pembuluh darah perifer

Prevalensi onikomikosis dengan penyakit pembuluh darah perifer diperkirakan


36%, dengan T. rubrum sebagai patogen yang paling umum. Peningkatan kecenderungan
untuk mengembangkan onikomikosis pada pasien usia lanjut dan diabetes sebagian
disebabkan oleh peningkatan prevalensi penyakit pembuluh darah perifer. Gangguan
perfusi yang lebih rendah hasil ekstremitas oksigenasi optimal dan mengurangi pertukaran
metabolisme nutrisi dan zat lain di kaki. Hal ini dapat mengakibatkan dorongan dan
perkembangan onikomikosis, juga menghambat pertumbuhan kuku, menunda /
mencegah pemberantasan infeksi dan mengekspos terhadap infeksi ulang,

c) Faktor-faktor lingkungan

Masyarakat yang tinggal di perkotaan tampaknya terkait dengan prevalensi yang


lebih tinggi dalam gejala onikomikosis. Alasan untuk pengamatan ini cenderung kompleks,
sebagai ‘urbanisasi’ mungkin berhubungan dengan begitu banyak faktor predisposisi
potensial untuk penyakit jamur, seperti kepadatan penduduk, tempat mandi komunal,
dan kebiasaan pakaian, selain itu, etnis, perbedaan geografis dan iklim antara masyarakat
di dunia turut menjadi faktor predisposisi. Sering kontak dengan sumber infeksi juga dapat
memicu timbulnya penyakit. Sebagai contoh, kasus kuku jari tangan (onikomikosis)
dilaporkan pada pemetik daun teh karena geografis dematiaceous non-dermatophytic
mould, Scytalidium dimidiatum. Insiden onikomikosis telah terbukti menjadi tiga kali lebih
umum pada perenang dibandingkan dengan bukan perenang. d) Aktivitas olahraga

Faktor predisposisi utama yang berkontribusi terhadap infeksi pada olahragawan


adalah kecepatan / intensitas yang terlibat dengan olahraga (pelari), dimulai tiba-tiba dan

Universitas Sumatera Utara


sifat berhenti dari olahraga (misalnya tenis, squash, sepak bola dan kriket). Frekuensi
cedera kuku jari, penggunaan pakaian sintetis dan sepatu yang mempertahankan keringat,
olahraga air dan mandi berkelompok merupakan faktor predisposisi.

e) Keseringan trauma kuku

Integritas lapisan kornea kuku merupakan hal mendasar dalam mencegah invasi
jamur. Setiap proses yang menyebabkan kerusakan penghalang ini memfasilitasi penetrasi
jamur patogen. Faktor fisik pada wanita seperti manicure berlebihan kuku mengakibatkan
hilangnya kutikula pelindung, dan eksposur terus air dan deterjen menyebabkan trauma
mikro pada lempeng kuku tampak menjadi faktor predisposisi pada perempuan untuk
mendapat onikomikosis.

2.4.4. Gejala Klinis Onikomikosis

Gambaran klinis onikomikosis adalah:

1. Onikomikosis Subungual Distal Lateral (OSDL)

Merupakan bentuk onikomikosis yang paling sering dijumpai. Infeksi dari distal
dapat meluas kelateral kuku sehingga memberi gambaran Onikomikosis Distal dan Lateral.
Lempeng kuku bagian distal berwarna kuning atau putih. Terjadi hiperkeratosis subungual,
yang menyebabkan onikolisis (terlepasnya lempeng kuku dari dasar kuku) dan
terbentuknya ruang subungual berisi debris yang menjadi “mycotic reservoir” bagi infeksi
sekunder oleh bakteri. Penyebab tersering adalah T. Mentagrophytes, T.

Tonsurans dan E. Fluccosum.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.19 OSDL

dikutip dari (eMedicine Journal :Update on

the Management of Onychomycosis)

2. Onikomikosis Superfisial Putih (OSPT)

Gambaran klinis kedua yang paling banyak diketemukan sesudah onikomikosis


subungual distal lateral. Nama lainnya adalah Leukonikia Mikotika, mencakup sekitar 10%
dari seluruh kasus onikomikosis. Invasi jamur terjadi pada permukaan superfial lempeng
kuku. Gambaran yang khas adalah “white island” berbatas tegas pada permukaan kuku,
tumbuh secara radial, berkonfluensi, dapat menutupi seluruh permukaan kuku.
Pertumbuhan jamur menjalar melalui lapisan tanduk menuju dasar kuku dan hiponikum.
Lambat laun kuku menjadi kasar, lunak dan rapuh. Penyebab tersering adalah T.
Mentagrophytes.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.20 OSPT

dikutip dari (eMedicine Journal :Update on the

Management of Onychomycosis)

3. Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP)

Merupakan gambaran klinis yang sering ditemukan pada pasien


imunokompromais, penderita penyakit pembuluh darah perifer, dan paling jarang
ditemukan pada populasi imunokompeten. Didahului dengan invasi jamur pada lipat kuku
proksimal kemudian menuju distal dan matriks, sehingga pada akhirnya menginvasi
lempeng kuku dari arah bawah. Gambaran klinis berupa hiperkeratosis subungual,
onikolisis proksimal, leukonikia, dan akhirnya dapat mengakibatkan destruksi lempeng
kuku proksimal. Penyebab tersering adalah T. Rubrum.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.21 OSP

ini dikutip dari (eMedicine Journal :Update on

the Management of Onychomycosis)

4. Onikomikosis Kandida (OK)

Infeksi ini dapat dibedakan 3 kategori, yakni dimulai sebagai paranikia yang
kemudian menginvasi matriks sehingga gambaran klinis depresi transversal kuku menjadi
cekung, kasar, dan akhirnya distrofi. Kedua, pada kandidosis kronik mukokutan, kandida
langsung menginvasi lempeng kuku sehingga baru pada stadium lanjut tampak sebagai
pembengkakan lipat kuku proksimal dan lateral yang membentuk gambaran
pseudoclubbing atau chicken drumstick. Ketiga, invasi pada kuku yang telah onikolisis,
terutama terjadi pada tangan. Tampak sebagai hyperkeratosis subungual dengan massa
abu-abu kekuningan dibawahnya, mirip OSD.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.22 OK

dikutip dari (eMedicine Journal : Onikomikosis)

5. Onikomikosis Distrofik Total (ODT)

Jamur menginfeksi lempeng kuku sehingga mengalami kerusakan berat. Infeksi


dimulai dengan lateral atau distal onikomikosis dan kemudian menginvasi seluruh kuku
secara progresif. Kuku tampak berkerut dan hancur. Fragmen-fragmen lempeng kuku
masih tinggal akan merusak dan terlihat sebagai tungkul kayu pada lipatan kuku bagian
proksimal. Keluhan dapat dirasakan sebagai nyeri ringan dan yang lebih berat dapat terjadi
infeksi sekunder.

Gambaran 2.23 ODT

dikutip dari (http://www.psychologymania.com/2012/11/onikomikosis-penyakit-

Universitas Sumatera Utara


infeksi-kuku.html)
2.4.5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anemnese pemeriksaan


klinis dan pemeriksaan laboratorium penunjang. Keluhan berupa gejala pada
onikomikosis selalu hampir tidak ada atau tidak dirasakan pasien kecuali kalau semua
kukunya sudah terkena. Secara umum penderita onikomikosis terutama yang
disebabkan jamur dermatofita mengeluh adanya perubahan kuku permukaan kuku yang
warnanya sudah menjadi suram tidak berkilat lagi, rapuh disertai hiperkeratosis
subungual tanpa adanya keluhan gatal ataupun sakit.

2.4.5.1 Anamnese

Dalam anamnese yang harus ditanyakan:

1. Keluhan utama
2. Keluhan tambahan
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Riwayat pemakaian obat

2.4.5.2. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosis onikomikosis, diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu


pemeriksaan mikroskopi langsung, kultur jamur dan histopatologi. Diagnosis laboratorium
yang baik ditentukan oleh cara pengambilan bahan pemeriksaan. Sebelum bahan diambil,
kuku terlebih dahulu dipotong menjadi fragmen-fragmen kecil dan dibagi untuk
pemeriksaan mikroskopis langsung, kultur dan histopatologi (Siregar, 2013, Elewski and
Hay, 1996).

Universitas Sumatera Utara


1. Mikroskopi langsung
Pemeriksaan mikroskopi langsung dengan Kalium Hidroksida (KOH) adalah murah dan
mudah dilaksanakan, namun memiliki keterbatasan. Pemeriksaan ini hanya berfungsi
sebagai penyaring ada atau tidaknya infeksi pada spesimen yang digunakan, tetapi tidak
dapat menentukan spesies penyebabnya.

Sebelum diperiksa di bawah mikroskop, spesimen dilunakkan dan dijernihkan dalam


larutan KOH 20-30% . Dimetil sulfoksida (DMSO) 40 % juga dapat dipakai untuk
melunakkan kuku. Larutan KOH diteteskan pada objek glass, kemudian spesimen
diletakkan diatasnya. Setelah ditutup dengan deck objek penutup, dilewatkan diatas api
Bunsen untuk mempercepat proses penghancuran keratin sekaligus menghilangkan
gelembung udara pada objek glass. Lalu diamati di bawah mikroskop dimulai dengan
pembesaran 10 kali dan maka akan terlihat elemen-elemen jamur seperti hifa dan spora.
Gambaran jamur dapat diperjelas menggunakan tinta parker biru, Chlorazol black E. Tinta
parker paling sering digunakan karena mudah didapatkan. Spesimen diperiksa untuk
identifikasi elemen-elemen jamur, yakni hifa atau arthospora jamur. Terdapatnya
sejumlah besar filamen dalam lempeng kuku, terutama bila berupa arthospora memiliki
arti diagnostik untuk dermatofita. Adanya pseudofilamen dan filamen disertai ragi di
dalam dasar kuku memberi petunjuk onikomikosis disebabkan oleh Candida sp.
Terdapatnya filamen-filamen tipis dan tebal, dengan bermacam-macam ukuran, bentuk
dan arah di dalam dasar kuku yang sama memberi kesan infeksi campuran beberapa jamur
patogen.

2. Kultur
Kultur merupakan pemeriksaan jamur, meskipun hasil pemeriksaan mikroskopis
langsung negatif. Melalui kultur, spesies jamur patogen dapat identifikasi. Kegagalan
pertumbuhan jamur pada medium ditemukan bila pasien telah mendapat terapi topikal
atau sistemik. Kegagalan tumbuh ini juga lebih banyak pada bahan kuku dibanding kulit
karena kebanyakan bahan diambil dari distal kuku dimana kebanyakan jamur sudah tua
dan mati. Oleh karena itu dianjurkan untuk mengikut sertakan bahan kulit atau potongan
kuku untuk pembiakan jamur pada medium. Spesimen yang dikumpulkan dicawan petri

Universitas Sumatera Utara


diambil dengan sengkelit yang telah disterilkan di atas api Bunsen. Kemudian bahan kuku
ditanam pada dua media, media I : terdiri dari media yang mengandung antibiotik dan anti
jamur (Mycobitotic / mycocel), media II: yang tidak mengandung antibiotik dan anti jamur
PDA (Potato Dextrose Agar) / SDA (Sabouraud’s Dextrose Agar). Media diinokulasikan
dalam keadaan steril, lalu diinkubasi pada suhu 24°- 28°C selama 4-6 minggu. Koloni
dermatofita akan tampak setelah 2 minggu, sedangkan non dermatofita terlihat dalam
seminggu, hasil negatif jika tidak tampak pertumbuhan setelah 3-6 minggu.

3. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dilakukan jika hasil pemeriksaan mikroskopi langsung dan
kultur meragukan. Bila ditemukan hifa diagnosis banding dapat disingkirkan. Dengan
pemeriksaan histopatologi dapat ditentukan apakah jamur tersebut invasif pada
lempeng kuku atau daerah subungual disamping itu kedalaman penetrasi jamur dapat
dilihat.

Bahan untuk pemeriksaan histopatologi dapat diperoleh melalui lempeng kuku yang
banyak mengandung debris dan potongan kuku. Bahan pemeriksaan histopatologi dapat
langsung dimasukkan dalam parafin, atau terlebih dahulu dalam larutan formalin 10 %
semalaman agar jamur terfiksasi dengan baik. Kemudian blok parafin dipotong tipis hingga
ketebalan 4-10μ dengan menggunakan mikrotom dan dilakukan pewarnaan Periodic Acid
Schiff (PAS), dan dapat dilihat adanya hifa dan atau spora dengan menggunakan
mikroskop.

4. Polymerase Chain Reaction (PCR)


PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan
pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai ganda DNA
templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian
didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada primer
menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA
digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers) dengan adanya dNTPs (dATP,
dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20–

Universitas Sumatera Utara


40 siklus. Target DNA yang diinginkan (short ”target” product) akan meningkat secara
eksponensial setelah siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat
secara linier seperti tampak pada bagan di atas (Handoyo dan Rudiretna, 2000).
Jumlah kopi fragmen DNA target (amplicon) yang dihasilkan pada akhir siklus PCR
dapat dihitung secara teoritis menurut rumus:

Y = (2n– 2n)X

Y : jumlah amplicon n :

jumlah siklus

X : jumlah molekul DNA templat semula

Jika X = 1 dan jumlah siklus yang digunakan adalah 30, maka jumlah amplicon yang
diperoleh pada akhir proses PCR adalah 1.074 x 109. Dari fenomena ini dapat terlihat
bahwa dengan menggunakan teknik PCR dimungkinkan untuk mendapatkan fragmen DNA
yang diinginkan (amplicon) secara eksponensial dalam waktu relatif singkat (Handoyo dan
Rudiretna, 2000).

Umumnya jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah 30 siklus.
Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan meningkatkan jumlah amplicon
secara bermakna dan memungkinkan peningkatan jumlah produk yang non-target. Perlu
diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidakterjadi 100 %, hal ini
disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah polimerase DNA terbatas dan
kemungkinan terjadinya reannealing untai target (Handoyo dan Rudiretna, 2000).

2.4.6. Penatalaksanaan

Menurut British Association of Dermatologist, pengobatan onikomikosis ada dua


cara yaitu secara sistemik dengan menggunakan obat antifungsi oral dan secara lokal yaitu

Universitas Sumatera Utara


dengan menggunakan obat antifungsi topikal. Pada keadaan tertentu kedua cara ini
digunakan secara bersama-sama.

2.4.6.1. Obat Topikal

Obat topikal formulasi khusus dapat meningkatkan penetrasi obat ke dalam kuku,
yakni (Tosti, 2014) :

1. Bifonazol-urea : Kombinasi derivate azol, yakni bifonazol 1% dengan urea


40% dalam bentuk salap. Urea bersifat melisiskan kuku yang rusak sehingga
penetrasi obat antijamur meningkat. Kesulitan yang ditimbulkan adalah
dapat terjadi iritasi kulit sekitar kuku oleh urea.

2. Akamorolfin : Merupakan derivate morfolin yang bersifat tunggal fungsidal.


Digunakan dalam bentuk pewarna kuku konsentrasi 5%.

3. Siklopiroksolamin : suatu derivate piridon dengan spektrum antijamur luas,


juga digunakan dalam bentuk pewarna kuku.

2.4.6.2. Obat Sistemik

Obat sistemik generasi baru yang dapat digunakan untuk pengobatan onikomikosis
adalah flukanazol, itrakonazol, dan terbinafin. Derivat azol bersifat fungistatik tetapi
mempunyai spektrum antijamur luas, sedangkan terbinafin bersifat fungisidal tetapi
efektivitasnya terutama terhadap dermatofita (Elewski dan Hay, 1996, Bramono dan
Budimulja, 2005) :

1. Flukonazol
Penelitian tentang penggunaan pada onikomikosis masih jarang, baik
penggunaan dosis kontinu 100mg perhari atau dosis mingguan 150mg,
dengan hasil bervariasi. Dosis mingguan tampaknya mengharuskan

Universitas Sumatera Utara


penggunaan berkesinambungan sampai resolusi lengkap (6-12bulan).
Penggunaan jangka panjang untuk infeksi Candida pada penderita AIDS
dikhawatirkan menyebabkan peningkatan resistensi pada Candida.

2. Itrakonazol
Berbagai laporan telah menunjukkan bahwa obat ini memberi hasil baik
untuk onikomikosis dengan dosis kontinyu 200mg/hari selama 3 bulan atau
dengan dosis denyut 400mg perhari selama seminggu tiap bulan dalam 2-3
bulan, baik untuk penyebab dermotifita maupun kandida.

3. Terbinafin
Obat ini sangat efektif terhadap dermatofit, tetapi kurang efektif terhadap
kandida, kecuali C.parapsilosis. Dosis 250mg/hari secara kontinyu 3 bulan
pada tinea unguium memberi hasil baik.

2.4.7. Prognosis

Meskipun dengan obat-obat baru dan dosis optimal, 1 diantara 5 kasus


onikomikosis ternyata tidak memberi respons baik. Penyebab kegagalan diduga adalah
diagnosis tidak akurat, salah identifikasi penyebab, adanya penyakit kedua, misalnya
psoriasis. Pada beberapa kasus, karakteristik kuku tertentu, yakni pertumbuhan lambat
serta sangat tebal juga merupakan penyulit, selain faktor predisposisi terutama keadaan
imunokopromais (Putra, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai