Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH KEPERAWATAN

MEDIKAL BEDAH

DISUSUN OLEH :
KEL II

DIRMAWAN
DEWI SARTIKA
FAISAL HAMDANI
ERLITA
LILI HUTARIA
PRAFIKA ALVIONITA

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2016
TRAUMA MEDULA SPINALIS

A. Pengertian trauma Medula Spinalis


Trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula
spinalis yang di akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan
susunan saraf pusat dan saraf parifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis
tergantung dari keadaan atau inkomplet.
Beberapa yang berhubungan dengan trauma medula spinalis seperti :
a. Quadriplegia adalah keadaan paralisis/kelumpuhan pada ekstermitas dan
terjadi akibat trauma pada segmen thorakal 1 (T1) keatas. Kerusakan
pada level akan merusak sistim syaraf otonom khsusnya syaraf simpatis
misalnya adanya gangguan pernapasan.
b. Komplit Quadriplegia adalah gambaran dari hilangnya fungsi modula
karena kerusakan diatas segmen serfikal 6 (C6).
c. Inkomplit Quadriplegia adalah hilangnya fungsi neurologi karena
kerusakan dibawah segmen serfikan 6 (C6).
d. Refpiratorik Quadriplegia (pentaplagia) adalah kerusakan yang terjadi
pada serfikal pada bagian atas (C1-C4) sehingga terjadi gangguan
pernapasan.
Paraplegia adalah paralisis ekstermitas bagian bawah, terjadi akibat kerusakan
pada segmen parakal 2 (T2) kebawah.

B. Etiologi dan Faktor Resiko trauma Medula Spinalis


Adapun etiologi dan factor resiko terjadinya trauma medulla spinalis adalah
a. Mengkonsumsi alcohol
b. Mengkonsumsi obat-obatan saat mengendarai mobil atau sepeda motor.
Sedangkan cedara modulas spinalis dikelompokan akibat trauma dan non
trauma misalnya :
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Terjatuh
c. Kegiatan olahraga
d. Luka tusuk atau tembak
Adapun non trauma sebagai berikut:
a. Spondilitis serfikal
b. Ruang miolopati
c. Myelitis
d. Osteoporosis
e. Tumor.

C. Patofisiologi trauma Medula Spinalis


Columna vertebra berfungsi menyokong tulang belakang dan melindungi
modula spinalis serta syaraf-syarafnya. trauma medula spinalis akibat columna
vertebra atau ligment. Umumnya tempat cedara adalah pada segmen C1 -2, C4-6
dan T11 – L2. trauma modula spinalis mengakibatkan perdarahan pada gray
matter medulla, edema pada jam-jam pertama pasca trauma.
Mekanisme utama terjadi cedera vertebra adalah karena hiperekstensi,
hiperfleksi trauma kompresi vertical dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi.
Cedera karena hiperekstensi paling umum terjadi pada area cerfical dan kerusakan
terjadi akibat kekuatan akselerasi sampai deselerasi. Cedera akibat hiperfleksi
terjadi akibat regangan / tarikan yang berlebihan, kopresi dan perubahan bentuk
dan modula spinalis secara tiba-tiba. Trauma kopresi vertical umumnya terjadi
pada area thorak lumbal dari T12 – L2, terjadi akibat kekuatan gaya sepanjang
aksis tubuh dari atas sehingga mengakibatkan kompresi medula spinalis
kerusakan akar syaraf disertai serpihan vertebrata.
Kerusakan medula spinalis akibat kompersi tulang, herniasi disk, hematoma,
edema, regangan dari jaringan syaraf dan gangguan sirkulasi pada spinal. Adanya
perdarahan akibat trauma dari gray sampai white matter menurunkan perfusi
vaskuler dan menurunnya kadar oksigen mengakibatkan iskemia pada daerah
cedera. Keadaan tersebut lebih lanjut mengabatkan edema sel dan jaringan
menjadi nekrosis. Sirkulasi dalam white matter akan kembali normal kurang lebih
24 jam. Perubahan kimia dan metabolisme yang terjadi adalah meningkatnya
asam laktat dalam jaringan dan menurunnya kadar oksigen secara cepat 30 menit
setelah trauma, meningkatnya kosentrasi norepprinehine. Meningkatnya
norepprinehine disebabkan karena evek iskemia rupture vaskuler atau nekrosis
jaringan syaraf.
Trauma medula spinalis dapat menimbulkan renjatan spinal (spinal shock).
Jika terjadi keruskan secara transfersal sehingga mengakibatkan pemotongan
komplit rangsangan. Pemotongan komplit rangsangan menimbulkan semua fungsi
refloktorik pada semua sgemen dibawah garis kerusakan akan hilang. Fase rejatan
ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan (3-6 minggu).

D. Klasifikasi trauma Medula Spinalis


Trauma medula spinalis dapat diklasifikasikan :
1. Komosio modula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi mendula
spinalis hilang sementara tanpa disertai gejala sisa atau sembuh secara
sempurna. Kerusakan pada komosio medula spinalis dapat berupa edema,
perdarahan verivaskuler kecil-kecil dan infark pada sekitar pembuluh
darah.
2. Komprensi medula spinalis berhubngan dengan cedera vertebral, akibat
dari tekanan pada edula spinalis.
3. Kontusioadalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebrata,
ligament dengan terjadinya perdarahan, edema perubahan neuron dan
reaksi peradangan.
4. Laserasio medula spinalis merupakan kondisi yang berat karena terjadi
kerusakan medula spinalis. Biasanya disebabkan karena dislokasi, luka
tembak. Hilangnya fungsi medula spinalis umumnya bersifat permanen.

E. Tanda dan Gejala trauma Medula Spinalis


Adapun tanda dan gejala adalah sebagai berikut :
1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Tanda dan gejala trauma medula spinalis tergantung dari tingkat kerusakan
dan lokasi kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnya hilangnya
gerakan volunter, hilangnnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan
propriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal
dan refleks autonom.
2. Perubahan reflex
Setelah traumamedula spinalis terjadi edema medula spinalis, sehingga
stimulus reflex juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas
visceral, reflex ejakulasi.
3. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit trans versal, di
mana pasien terjadi ketidak mampuan melakukan pergerakan.
4. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid para lisis di bawah garis
kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya releks reflex spinal, hilangnya tonus
vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya
keringat di bawah garis kerusakan dan inkontinensia urine dan retensi fases.
5. Autonomic dysreflesia
Autonomic dysreflesia terjadi pada cedera thorakal enam ke atas, di mana
pasien mengalami gangguan reflex autonom seperti terjadinya bradikardia,
hipertensi paroksimal, distensi bladder.
6. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya
sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat dapat ereksi tetapi tidak dapat
ejakulasi.

F. Komplikasi trauma Medula Spinalis


Adapun komplikasinya adalah sebagai berikut :
Neurogenik shock
Hipoksia
Gangguan paru-paru
Instabilitas spinal
Orthostatic hypotensi
Ileus paralitik
Infeksi saluran kemih
Kontraktur
Dekubitus
Inkontinensia bladder
Konstipasi

G. Test Diagnostik trauma Medula Spinalis


1. Foto rongcen : adanya fraktur vertebrata.
2. CT Scan : adanya edema medula spinalis
3. MRI : kemungkinan adanya kompresi, edema medula spinalis.
4. Serum kimia : adanya hiperglikemia atau hipoglikemia ketidak
seimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan hemotoktrit.
5. Urodinamik : proses pengosongan bladder.

H. Penatalaksanaan Medik trauma Medula Spinalis


Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai
berikut:
1. Segera dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan
pemasangan collar servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan
pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi Pengobatan :
Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah
akibat autonomic hiperrefleksia akut.
Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas
bladder.
Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk
meningkatkan tonus leher bradder.
Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan
uretra.
Agen antiulcer seperti ranitidine
Pelunak fases seperti docusate sodium.
5. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya
fraktur dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
6. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat
dan mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Riwayat keperawatan : trauma; tumor, masalah medis yang lain
(misalnya, kelainan paru, kelainan koogulasi, ulkus );merokok dan
penggunaan alcohol.
Pemeriksaan fisik: fungsi motorik ( pergerakan, kekuatan, tonus):
funngsi sensorik; reflex; status pernapasan; gejala gejala spinal syok;
tidakadanya keringat di batas luka; fungsi bowel dan bldder; gejala
autonomic dysreflexia.
Psikososial: usia, jenis kelamin,gaya hidup, pekerjaan, peran dan
tanggung jawab, sistim dukungan, strategi koping, reaksi
emositerhadap ciddera.
Pengetahuan klien dan keluarga: anatomi dan fisiolgimedula spinalis:
pengobatan, progonosis/ tujuan yang di harapkan tingkat pengetahuan,
kemampuan belajar dan pengetahuan, kemampuan membaca dan
kesiapan beljar.
2. Diagnosis keperawatan
1. Tidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan ketidak
efektifan reflex batuk, imobilisasi.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis otot
pernapasan.
3. Menurunnya cardiac output berhubungan dengan hilangnya tonus
vasomotor.
4. Gannguan perfusi jaringan berhubungan dengan kompersi, kontusio
dan edema.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal,
deficit neurologic (qudrikplegia/ paraplegia).
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, deficit
sensasi/ motorik, gangguan sirkulasi, penggunaan traksi.
7. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidak mampuan
mengontrol spinter untuk berkemih.
8. Gangguan eiminasi bowel berhubungan dengan menurunnya control
spinter bowel, imobilisasi.
3. Intervensi keperawatan.
1. Tidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan ketiadak
efektifan reflex batuk, imobilisasi.
 Intervensi:
a. Kaji kemampuan batuk klien dan produksi secret.
b. Pertahankan jalan napas (hindari fleksi leher, bersikan
secret)
c. Monitor warna, jumlah dan konsistensi secret, lakukan
kultur.
d. Lakukan suction jika perlu.
e. Auskultasi bunyi napas.
f. Lakukan latihan napas.
g. Berikan minum hangat jika ridak kontra indikasi.
h. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah.
i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi.
 Rasional:
a. Hilangnya kemampuan motorik otot interkosta dan
abdomen berpengaruh terhadap kemampuan batuk.
b. Menutup jalan napas.
c. Hilangnya reflex batuk beresiko menimbulkan pneumonia.
d. Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
e. Mendeteksi adanya secret dalam paru paru.
f. Mengembangkan alveoli dan menurunkan produksi secret.
g. Mengencerkan secret.
h. Meningkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar
oksigen dalam darah.
i. Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi lebih dini.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis otot
pernapasan.
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi napas setiap 2 jam.
b. Suction jika perlu
c. Berikan oksigen 100% selama 1 menit sebelum dan sesudah
suction.
d. Pertahankan kepatenan jalan napas.
e. Monitor ventilator jika pasien di pasang.
f. Monitor dan analisa gas darah.
g. Monitor tanda vital selama 2 jam
h. Lakukan posisi semivouler, jika tidak ada kontra indikasi.
i. Hindari obat obatan sedative jika memungkinkan.
Rasional:
a. Mengetahui adanya kelainan paru paru
b. Membersihkan secret dan membuka jalan napas.
c. Mencegah hipoksemia.
d. Pemasangan intubasi atau trakeostomi jika memang di
butuhkan.
e. Mengukur tidal volume konsentrasi oksigen.
f. Mengetahui keseimbangan gas darah dan memonitor
adekuatnya ventilasi
g. Mendeteksi perubahan tand vital lebih awal
h. Memungkinkan pengembangan paru lebih optimal
i. Menghindari efek depresi pernapasan.
3. Menurunya cardia output berhubungan dengan hilangnya tonus vaso
motor.
Intervensi
a. Lakukan perubahan posis dengan pelan pelan
b. Kaji funsi kardiavaskuler dan cegah spinal schok.
c. Monitor secara berkala postural hipotensi, bradikardia,
distrimia, menurunnya output urine, monitor tekanan darah.
d. Laksanakan program atropine misalnya atropine.
e. Lakukan ROM setiap 2 jam.
Rasional :
a. Menurunnya postural hipotensi.
b. Cedera ( T 6 ke atas) kemungkinan terjadi spinal shock
dengan hilangnya reflex autonom sehingga berpengaruh
terhadap kerja jantung, temperature tubuh.
c. Mengkaji kardia output.
d. Untuk efek bradikardia
e. Mencegah emboli vena dan mempertahankan gerak sendi.
4. Gannguan perfusi jaringan berhubungan dengan kompersi, kontusio
dan edema.
Intervensi:
a. Lakukan pengkajian neurologic setiap 4 jam
b. Pertahankan traksi skeletal
c. Jaga posisi tubuh dengan kepala dan tumbuh lurus, hindari
maneuver.
d. Berikan pengobatan sesuai program seperti steroid, vitamin
k, antacid.
e. Ukur intake dan output setiap jam, catat output urine kurang
dari 30 ml/ jam.
Rasional:
a. Monitor perubahan status neurologi dan mendeteksi
perkembangan trauma spinal
b. Sebagai penyangga dan menjaga kerusakan spinal
c. Mencegah tarauma medulla spinalis.
d. Steroid dapat mengontrol edema, vitamin k dapat
menghentikan pendarahan, antacid sebagai anti ulcer.
e. Monitor fungsi ginjal dan volume cairan.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal,
deficit neurologic (qudrikplegia/ paraplegia).
Intervensi:
a. Kaji fungsi sensori dan motorik klien setiap 4 jam
b. Ganti posis klien tiap 2 jam dengan memperhatikan
kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien.
c. Gunakan alat ortopedrik, colar, handspilts
d. Lakukan ROM pasif setelah 48-72 jam setelah cedera 4-5
kali / hari
e. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien
f. Konsultasikan kepada fisioterapi untuk latihan dan
penggunaan alat seperti spilints.
Rasional:
a. Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien dalam
pergerakan.
b. Mencegah terjadinya footdrop
c. Mencegah kontraktur
d. Meningkatkan sirkulasi dan mencegah kontraktur.
e. Menunjukakan adanya aktivitas yang berlebihan.
f. Memberikan penangan yang sesuai.
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, deficit
sensasi/ motorik, gangguan sirkulasi, penggunaan traksi.
Intervensi:
a. Kaji factor resiko terjadinya gangguan integritas kulit.
b. Kaji keadaan kulit pasien setiap 8 jam
c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis.
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan
tidurpasien.
f. Lakukan pemijatan lembut di atas daerah tulang yang
menonjol swetiap 2 jam dengan gerakan memutar.
g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan
tinggi protein.
h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak
setiap hari.
Rasional:
a. Factor yang mempengaruhi gangguan integrritas kulit
adalah imobilisasi, hilangnya sensasi, inkontinensia bladder/
bowel.
b. Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
c. Mengurangi tahanan / tekanan sehingga mengurangi resiko
dekubitus.
d. Daerah tekanan akan menimbulkan hipoksia, perubahan
posisi meningkatkan sirkulasi darah.
e. Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah
terjadinya kerusakan kulit.
f. Meningkatkan sirkulasi darah.
g. Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
h. Mempercepat proses penyembuhan.
7. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidak mampuan
mengontrol spinter untuk berkemih.
Intervensi:
a. Kaji tanda infeksi saluran kemih.
b. Kaji intake dan output cairan.
c. Lanjutkan pemasangan kateter sesuai program.
d. Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari.
e. Cek bledder pasien setiap 2 jam.
f. Lakukan pemerikasaan urinalisa, kultur dan sensibilitas.
g. Monitor temperature tubuh setiap 8 jam.
Rasional:
a. Efek darib tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi
saluran kemih.
b. Mengetahui adekuatnya fungsi ginjal dan efektifnya
bledder.
c. Efek trauma medulla spinalis adanya gangguan reflex
berkemih sehinggah perlu bantuan dalam pengeluaran urine.
d. Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya batu.
e. Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic
hyperrfleksia.
f. Mengetahui adanya infeksi.
g. Temperature yang meningkat inddikasi adanya infeksi.
8. Gangguan eiminasi bowel berhubungan dengan menurunnya control
spinter bowel, imobilisasi.
Intervensi:
a. Kaji pola eliminasi bowel.
b. Berikan diet tinggi serat
c. Berikan minum 1800-2000 ml/ hari jika tidak kontra
indikasi
d. Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen.
e. Hindari pengguanaan laksativ oral
f. Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
g. Berikan suppositeria sesuai program
h. Evaluasi dan catat adanya perdarahan pada saat eliminasi.
Rasional:
a. Menetukan adanya perubahan eliminasi
b. Serat meningkatkan konsistensi fases
c. Mencegah konstipasi
d. Bising usus menentukan pergerakan peristaltic.
e. Kebiasaan menggunakan laksativ akan terjadi
ketergantungan
f. Meningkatkan pergerakan peristaltic
g. Pelunak fases sehingga memudahkan eliminasi
h. Kemungkinan perdarahanakibat iritasi
penggunaansupositoria.
LAPORAN PENDAHULUAN
OSTEOPOROSIS

A. PENGERTIAN.
Osteoporosis adalah gangguan metabolisme tulang sehingga massaa tulang
menurun, komponen matrik yaitu mineral dan protein berkurang, resorpi terjadi
lebih cepat daripada formasi tulang sehingga tuang menjadi tipis.
Pada tulang dengan osteoporosis terjadi penurunan ketebalan tulang
kompakta dan peningkatan diameter rongga madulary.
Kondisi di ataas menyebabkan terjadinya pelebaran rongga sumsum tulang
dan saluran havers, trapekula berkurang dan menjadi tipis akibatnya tulang mudah
retak. Tulang yang mudah terkena adalah vertebra, pelipis dan tengkorak.

B. ETIOLOGI.
Perkembangan osteoporosis sangat komplek meliputi faktor-faktor nutrisi,
fisik, hormonal dan genetik. Adapun tiga faktor utama yang mempengaruhi
osteoporosis adalah :
1. Defisiensi kalsium.
Hal ini dikarenakan intake kalsium dalam makanan yang kurang/tidak
adekuat. Menurunnya kalsium ada hubungannya dengan bertambahnya
usia yaitu dengan berkurangnya absorbsi kalsium, tidak adekuatnya
intake vitamin D atau penggunaan obat-obatan (heparin, alkohol,
antasida ikatan fosfat,, kortikosteroid, fenitoin, isoniazid) dalam jangka
waktu lama.
2. Kurangnya latihan yang teratur.
Imobilisasi dapat menyebabkan proses menurunnya massa tulang.
Olahraga atau latihan yang teratur dapat mencegah penurunan masssa
tulang. Tekanan-tekanan mekanis pada latihan akan membuat otot-otot
berkontraksi yang dapat merangsang formasi tulang.
3. Perbedaan jenis kelamin.
Hormon-hormon reproduksi mempengaruhi kekuatan tulang. Pada
wanita post menopouse, hormon reproduksi dan timbunan kalsium
tulang menurun. Hormnon yang sangat menurun adalah estrogen.
Dengan demikian wanita lebih cepat dan berisiko mengalami
osteoporosis daripada laki-laki. Padda laki-laki osteoporosis terjadi
setelah usia 70 tahun.
Selain tiga hal tersebut di atas, gangguan kelenjar endokrin dapat
menyebabkan osteoporosis yaitu penyakit chusing, thyrotoxicosis atau
hipersekresi kelenjar adrenal.
Faktor risiko terjadinya osteoporosis antarra lain : kurang terkena sinar
matahari, alkoholisme, banyak mengkonsumsi nikotin (perokok) dan kafein,
kurang aktivitas fisik, ada riwayat keluarga dengan osteoporosis.

C. PATOFISIOLOGI
Patogenesis osteoporosis promr mempunyai faktor etiologi multipel sebagai
akibat bertambanya usia, yang merupakan perpaduan antara turunnya
pembentukan tulang ddan peningkatan reapsorpsi tung yang hasil akhirnya ialah
hilangnya massa tulang. Beberapa hipotesis yang diajukan antara lain : kegagalan
relatif osteoblast, defisit vitamin D dan kalsium akibat perubahan diet. Penurunan
efisiensi absorpsi kalsium di usus ddan efisiensi kalsium di ginjal, penurunan
kadar kalsitonin dan estrogen dan kenaikan kadar PTH.

D. MANIFESTASI KLINIS.
Osteoporosis mungkin tidak memberikan gejala kinis sampai terjadi
patah tulang, nyeri dan deformitas biasanya menyertai patah tulang.
Dengan melemah dan kolapsnya korpus vertebra, tinggi seseorang dapat
berkurang atau timbul kifosis dan individu menjadi bungkuk (kadang-
kadang disebut dowager’s hamp).
Adanya osteopenia gigi ditandai dengan gejala gigi mudah tanggal yang
disertai reapsorpsi gusi ata banyak gusi yang goyah, dapat digunakan
sebagai patokan kemungkinan adanya osteoporosis tulang.
E. KOMPLIKASI.
Fraktur tulang panggul.
Fraktur pergelangan tangan.
Fraktur columna vertebaralis dan paha.
Fraktur tulang iga.
Fraktur radius.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK.
Pemeriksaan sinar-X terhadap tulang memperlihatkan penurunan
ketebalan tulang.
CT scan densitas tulang dapat memberikan gambaran akurat mengenai
tingkat massa tuang dan menentukan kecepatan penipisan tulang.

G. PENCEGAHAN.
Pencegahan osteoporosis dimulai sejak masa anak-anak dan remaja yaitu
kebiasaan berolahraga dan nutrisi yang adekuat untuk memperkuat tulang.
Olahraga beban bahkan pada usia lanjut (>85 tahun), telah dibuktikan
dapat meningkatkan kepadatan tulang dan massa otot dan memperbaiki
daya tahan fisik dan keseimbangan.
Terapi estrogen-progesteron pengganti selama dan setelah menopouse
dapat mengurangi pembentukan osteoporosis pada wanita. Kontra indikasi
terapi penggantian estrogen adalah riwayat kanker payudara pada individu
atau keluarga atau riwayat individu mengidap pembentukan pembekuan
darah.
Terapi testosteron dapat mengurangi osteoporosis pada pria.
Suplemen kalsium dan vitamin D melalui makanan dapat mengurangi
pembentukan osteoporosis baik pada pria maupun wanita.
Hindari merokok.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN.
a) Riwayat Keperawatan
Perawat perlu menanyakan adanaya :
Rasa sakit/nyeri pada tulang punggung (bagian bawah), nyeri leher,
merasakan berat badan menurun. Umur dan jenis kelamin biasanya
diataas usia 50 tahun dan sering pada wanita, kurangnya aktifitas atau
Imobilisasi. keadaan nutrisi misal kurang vitamin D, C dan kalsium.
Mengkonsumsi alkohol dan kafein, merokok.
Adanya penyakit endokrin : Diabetes melitus, Hipertiroidisme,
hiperparatiroidisme, chusing’s syndom, acromegali, hypogonadism.
b) Pemeriksaan fisik
Lakukan penekanan pada tulang punggung apakah terdapat nyeteka,
nyeri pergerakan. Periksa mobilitas amati posisi pasien yang nampak
membungkuk.
c) Riwayat psikososial
Penyakit ini terjadi pada usia tua dan lebih banyak pada wanita.
Biasanya sering timbul kecemasan, takut melakukan aktifitas, dan
perubahan konsep diri.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN.
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien osteoporosis, pada umumnya
adalah:
a) Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan proses penyakit
b) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh untuk kalsium dan vitamin
D
c) Gangguan konsep diri : perubahan body image / harga diri berhubungan
dengan proses penyakit
d) Kurang pengetahuan tentang perawatan dirumah

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN.
a. Gangguan mobilitas fisik
Tujuan :
- Pasien dapat meningkatkan mobiltas dan aktifitas
Rencana/tindakan keperawatan
- Gunakan matress dengan tempat tidur papan. Hal ini untuk
memperbaiki posisi tulang belakang
- Bila ada indikasi, bantu pasien dengan menggunakan walker atau
tongkat
- Bantu dan ajarkan untuk latihan ROM setiap 4 jam utnuk
meningkatkan fungsi persendian dan mencegah kontraktur
- Ajarkan pada pasien untuk mencegah fraktur
- Bila pasien dianjurkan menggunakan brace punggung atau korset,
perlu dilatih penggunaan dan jelaskan tujuannya yaitu untuk
menunjang tubuh/anggota badan.
- Beriakn analgetik, estrogen, kalsium dan vitamin D sesuai terapi
dokter
- Berikan diet tinggi kalsium dan vitamin D sesuai terapi dokter
- Monitor kadar kalsium.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh untuk kalsium dan
vitamin DHasil yang diperkirakan : pesien menunjukkan masukan
kalsium dan vitamin D yang adekuat, merencanakan menu 3 hari yang
memberikan masukan yang cukup dari keduanya
Rencana tindakan / intervensi
- Pastikan bahwa pasien memperhatikan pengetahuan tentang
makanan tinggi kalsium : keju, susu, sayuran hijau, talur, kacang,
biji wijen, tiram. Berikan pasien daftar makanan, temasuk jumlah
relatif kalsium di masing-masing
- Ajarkan pasien bagaimana merencanakan menu yang memberikan
masukan kalsium dan makanan diperkaya vitamin D yang cukup
setiap hari
c. Gangguan konsep diri
Tujuan :
 Pasien dapat mengekspresikan perasaan, pasien dapat
mengungkapkan kopinh yang positif.
Rencana/tindakan keperawatan
- Bantu pasien untuk mengekspresikan perasaannya dan dengarkan
dengan penuh perhatian. Mencuptakan hubungan harmonis
sehingga timbul koordinasi
- Klarisifikasi bila terjadi kesalahan pemahaman tentang proses
penyakit dan pengobatan serta perawatan yang diberikan.
Meningkatkan koordinasi selama keperawatan
- Identifikasi bersama pasien tentang alternatif pemecahan masalah
ayng positif. Dapat mengembalikan rasa percaya diri
- Bantu untuk meningkatkan komunikasi dengan keluarga dan teman
d. Kurang pengetahuan tentang cara perawatan dirumah
Tujuan:
- Pasien dan keluarga dapat memahami cara perawatan dirumah
dengan benar
Rencana/tindakan keperawatan
- Jelaskan pentingnya diit yang tepat, aktifitas yang sesuai serta
istirahat yang cukup
- Jelaskan penggunaan obat yang diberikan secara detail
- Jelaskan pentingnya lingkungan yang aman misal lantai tidak
licin, menghindari jatuh, menggunakn pegangan, menghindari
gerakan cepat dan tiba-tiba
- Ajurkan untuk mengurangi kafein, alkohol, dan merokok bila
pasien sebelumnya mengkonsumsi atau menghindarinya
- Jelaskan pentingnya follow-up

D. EVALUASI
- Tidak terjadi komplikasi
- Aktifitas dan mobilitas terpenuhi
- Perilaku yang adaptasi
- Memahami cara perawatan dirumah.
AMPUTASI

Pengertian
Menurut para ahli ada beberapa pengertian tentang trauma dan amputasi,
antara lain:
a. Menurut Cerney dan Pickett (1998), trauma berasal dari bahasa Yunani yang
berarti luka.
Sementara menurut Stamm (1999) mengatakan bahwa traumatik
merupakan suatu reaksi yang alamiah terhadap peristiwa yang mengandung
kekerasan (seperti kekerasan kelompok, pemerkosaan, kecelakaan, dan
bencana alam) atau kondisi dalam kehidupan yang mengerikan (seperti
kemiskinan, deprivasi, dan lain-lain).
Sedangkan menurut Lonergan (1999) traumatik adalah suatu kejadian
yang dialami atau disaksikan oleh individu, yang mengancam keselamatan
dirinya. (http://rumahbelajarpsikologi.com)
Jadi, dapat disimpulkan trauma adalahsuatu kejadian yang dialami
seseorang dan meninggalkan bekas yang diakibatkan oleh suatu kejadian
yang melukai secara fisik, misalnya kecelakaan, kekerasan atau bencana
alam.
b. Menurut (Garrison, 2001:30) amputasi adalah hilangnya suatu bagian tubuh
atau bagian dari tubuh. Kehilangan tersebut bisa sekecil ujung hidung atau
seluas keseluruhan tubuh di bawah vertebra lumbalis bawah.
Sedangkan menurut (Carpenito, 1999:459) amputasi adalah pembedahan
memotong dan mengangkut tungkai dan lengan. Amputasi yang disebabkan
kecelakaan (23%), penyakit (74%) kelainan kongenital (3%).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa traumatik amputasi adalah
penghilangan sebuah ekstremitas tubuh oleh trauma fisik yang dialami
individu seperti kecelakaan atau kekerasan.

B. Etiologi
Penyebab utama amputasi ekstremitas atas adalah trauma berat (cedera akut,
luka bakar listrik, luka bakar dingin), tumor ganas, infeksi gas ganggren fulminal,
osteomielitis kronis dan malforasi kongenital. (Smeltzer, 2002: 2387).
Trauma amputasi biasanya hasil langsung dari pabrik, peternakan, atau
kecelakaan perkakas listrik atau dari kecelakaan kendaraan bermotor. Bencana
alam, perang, dan serangan teroris juga bisa menyebabkan amputasi traumatik.
Trauma adalah penyebab paling sering dari suatu amputasi, cedera terkait
pekerjaan, aktivitas di alam bebas, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kendaraan
bermotor dan cedera terkait pekerjaan. Terdapat suatu insiden yang lebih besar
dari hilangnya ekstermitas bawah, meliputi hampir 10% tindakan amputasi,
terutama pada kecelakaan kerja.

C. Patofisiologi
Terjadinya amputasi (kehilangan bagian tubuh) pada seseorang dapat
disebabkan karena berbagai faktor antara lain penyakit vaskuler perifer yaitu
penyakit pada pembuluh darah, trauma disebabkan kerena kecelakaan, tumor
ganas seperti osteosarkoma (tumor tulang) serta congenital (bawaan sejak lahir).
Amputasi sendiri bisa diartikan sebagai diskontinuitas jaringan tulang dan otot
yang dapat mengakibatkan terputusnya pembuluh darah dan syaraf serta
kehilangan bagian tubuh, dimana pada terputusnya pembuluh darah dan syaraf ini
akan menimbulkan rasa nyeri yang sering kali berdampak pada resiko terjadinya
infeksi pada luka yang ada dan gangguan mobilitas fisik yang dapat menimbulkan
resiko kontraktur fleksi pinggul. Selain disebabkan oleh nyeri, gangguan mobilitas
fisik juga bisa disebabkan oleh kehilangannya bagian tubuh terutama pada
ekstremitas bawah. Kehilangan bagian tubuh juga dapat menimbulkan stress
emosional dikarenakan gangguan psikologis yang disebabkan oleh adanya
perubahan dari struktur tubuh yang berdampak pada timbulnya gangguan citra diri
dan penurunan intake oral. Pada penurunan intaka oral ini biasanya akan
menimbulkan resiko kurangnya pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh
dan akan terjadi kelemahan fisik serta resiko penyembuhan luka yang lambat.
D. Jenis-Jenis Amputasi
Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi:
a. Amputasi selektif atau terencana, amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit
yang terdiognosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau
secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan
alternatif terakhir.
b. Amputasi akibat trauma, ini merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat
trauma dan tidak terencana. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki
kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.
c. Amputasi darurat, kegiatan amputasi ini dilakukan secara darurat oleh tim
kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang
cepat seperti trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan kulit yang
luas.

E. Komplikasi
Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit.
Karena ada pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan masif.
Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan. Dengan peredaran darah
yang buruk atau kontaminasi luka setelah amputasi traumatika, risiko infeksi
meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan iritasi akibat prostesis dapat
menyebabkan kerusakan kulit. (Smeltzer, 2002:2389)

F. Dampak Masalah Terhadap Sistem Tubuh


Adapun pengaruhnya meliputi:
a. Kecepatan metabolism
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan
penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah
sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar
dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal
ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar ke ruang interstitial
pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan oedema. Immobilitas
menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan kecemasan
yang akan memberikan rangsangan ke hypotalamus posterior untuk
menghambat pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.
c. Sistem respirasi
1) Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi
otot intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai
inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
2) Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan
rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan
terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi
hipoksia.
3) Mekanisme batuk tidak efektif
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan
sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental
dan mengganggu gerakan siliaris normal.
d. Sistem kardiovaskuler
1) Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin
dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering
dijumpai pada pasien dengan immobilisasi.
2) Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini
mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan isi
sekuncup.
3) Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana
anterior dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih
panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di
ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi menurun, jumlah darah
ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke otak
dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan pusing pada saat
bangun tidur serta dapat juga merasakan pingsan.
e. Sistem musculoskeletal
1) Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler
memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan,
demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu
sehingga menjadikan kelelahan otot.
2) Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya
penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropidan
paralisis otot.
3) Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya
keterbatasan gerak.
4) Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan
persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis dan
tulang menjadi keropos.
f. Sistem pencernaan
1) Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi
sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta
penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu makan.
2) Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat peristaltikusus dan
spincter anus menjadi konstriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat
dalam colon, menjadikan feces lebih keras dan orang sulit buang air besar.
g. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing
berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya
gravitasi, pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan:
Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu ginjal,
tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya kuman
dan dapat menyebabkan ISK (Infeksi Saluran Kemih).
h. Sistem integument
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan
bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah
dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis
dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasase untuk
meningkatkan suplai darah.

G. Penatalaksanaan
Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka amputasi,
menghasilkan sisa amputasi (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang
sehat untuk penggunaan prostesis. Penyembuhan dipercepat dengan penanganan
lembut terhadap sisa amputasi, pengontrolan edema, dengan balutan kompres
lunak atau rigit dan menggunakan teknik aseptik dalam perawatan luka untuk
meghindari infeksi.
a. Balutan rigit tertutup, ini sering digunakan untuk mendapat kompresi yang
merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri dan mencegah
kontraktur.
b. Balutan lunak, dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila diperlukan
inspeksi berkala sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan
dengan balutan. Hematoma (luka) puntung dikontrol dengan alat drainase
luka untuk meminimalkan infeksi. (Smeltzer, 2002:2388-2389)
Manajemen Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival dan dalam aspek-
aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan. Untuk
sampai hal ini, proses keperawatan telah mengidentifikasi proses pemecahan
masalah yang menggabungkan elemen yang paling diinginkan dari seni
keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem teori, dengan
menggunakan metoda ilmiah.
Proses keperawatan ini diperkenalkan pada tahun 1950 sebagai proses yang
terdiri atas tiga tahap yaitu pengkajian, perencanaan dan evaluasi yang didasarkan
pada metode-metode ilmiah pengamatan, pengukuran, pengumpulan data, dan
penganalisaan temuan. Kajian selama bertahun-tahun, penggunaan dan perbaikan
telah mengarahkan perawat pada pengembangan proses keperawatan menjadi lima
langkah yang kongkrit (pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan,
implementasi dan evaluasi) yang memberikan metoda efisiensi tentang
pengorganisasian proses berpikir untuk pembuatan keputusan klinis. Kelima
langkah ini adalah pusat untuk tindakan keperawatan dan memberikan asuhan
pasien secara individual dan kualitas yang lebih tinggi dalam berbagai situasi.
(Doenges, 1999:6)
1. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses keperawatan. Dalam
mengkaji, harus memperhatikan data dasar klien. Informasi yang lain didapat
dari klien (sumber data primer), data yang didapat dari orang lain (data
sekunder), catatan kesehatan klien, informasi atau laporan laboratorium, tes
diagnostik, keluarga dan orang terdekat, atau anggota tim kesehatan
merupakan pengkajian data dasar. (Hidayat, 2002:12)
Doenges (2000:786-787) menguraikan pengkajian keperawatan pada
klien dengan post amputasi, yaitu sebagai berikut:
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: Seperti keterbatasan aktual/antisipasi yang dimungkinkan oleh
kondisi/amputasi.
b. Integritas ego
Gejala: Antisipasi pola hidup, situasi finansial, perasaan putus asa, tidak
berdaya
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka, marah, menarik diri.
c. Seksualitas
Gejala: Masalah tentang keintiman hubungan
d. Interaksi social
Gejala: Masalah sehubungan dengan penyakit/kondisi, peran fungsi.

e. Penyuluhan/pembelajaran
Pertimbangan: DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 9,7 hari
Rencana pemulangan: Memerlukan bantuan dalam perawatan luka/bahan,
adaptasi terhadap alat bantu ambulatori, transportasi, pemeliharaan
rumah, kemungkinan aktivitas parawatan diri, dan latihan kejuruan.
f. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan tergantung pada kondisi dasar perlunya amputasi dan
digunakan untuk menentukan tingkat yang tepat untuk amputasi.
Foto rontgen: Mengidentifikasi abnormalitas tulang
Skan CT: Mengidentifikasi lesi neoplastik, osteomielitis, pembentukan
hematomaAngiografi dan pemeriksaan aliran darah: Mengevaluasi
perubahan sirkulasi/perfusi jaringan dan membantu memperkirakan
potensial penyembuhan jaringan setelah amputasi.
Ultrasound Doppler, flowmetri dopller laser: Dilakukan untuk mengkaji
dan mengukur aliran darah
Tekanan O2 transkutaneus: Memberi peta area perfusi paling besar dan
paling kecil dalam keterlibatan ekstremitas
Termografi: Mengukur perbedaan suhu pada tungkai iskemik pada dua
sisi, dari jaringan kutaneus ke tengah tulang. Perbedaan yang rendah
antara dua pembacaan, makin besar kesempatan untuk sembuh.
Pletismografi: Mengukur TD segmental bahwa terhadap ekstremitas
bawah mengevaluasi aliran darah arterial.
LED: Peninggian mengidentifikasi respon inflamasi.
Kultur luka: Mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab
Biopsi: Mengkonfirmasi diagnosa massa benigna/maligna
Hitung darah lengkap/diferensial: Peninggian dan “perpindahan ke kiri”
di duga proses infeksi.
Smeltzer dan Bare (2000:2390) menguraikan rangkaian sebelum
pembedahan, status neurovaskuler, fungsional ekstremitas harus
dievaluasi melalui riwayat dan pengkajian fisik.

2. Diagnosa Keperawatan
Perumusan diagnosa keperawatan adalah bagaimana diagnosa
keperawatan digunakan dalam proses pemecahan masalah. Melalui
identifikasi, dapat digambarkan berbagai masalah keperawatan yang
membutuhkan asuhan keperawatan (Hidayat, 2002:24)
Diagnosa keperawatan menurut Doenges (2000:787-793) yang mungkin
muncul pada klien amputasi sebagai berikut:
a. Gangguan citra diri berhubungan dengan faktor biopsiko atau kehilangan
bagian tubuh
b. Nyeri berhubungan dengan cidera fisik/jaringan dan trauma syaraf.
Dampak psikologis dari kehilangan bagian tubuh
c. Perfusi jaringan, perubuhan perifer berhubungan dengan penurunan
aliran darah, edema jaringan
d. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan
pertahanan primer (kulit robek, jaringan traumatik) prosedur invasif,
terpajan pada lingkungan
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan tungkai,
gangguan perseptual
f. Kurang pengetahuan/kebutuhan belajar tentang kondisi prognosis, dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang perpajan/mengingat

3. Perencanaan Keperawatan
Rencana keperawatan merupakan catatan penyusunan “Rencana tindakan
keperawatan” yang dilakukan untuk menanggulangi masalah dengan cara
mencegah, mengurangi, dan menghilangkan masalah. Perawat dapat
menggunakan strategi pemecahan masalah untuk mengatasi masalah klien
melalui intervensi, implementasi dan manajemen yang baik. (Hidayat,
2002:30)
Rencana keperawatan yang dijumpai pada klien dengan amputasi
menurut Doenges (2000:787-794), antara lain:
a. Gangguan citra diri berhubungan dengan faktor biopsiko atau kehilangan
bagian tubuh
Tujuan/kriteria hasil:
Klien menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi diri
(amputasi)
Intervensi:
1) Kaji/pertimbangan persiapan klien dan pandangan terhadap amputasi
Rasional: Memandang amputasi sebagai rekonstruksi akan menerima
diri yang baru.
2) Dorong ekspresi ketakutan perasaan negatif, dan kehilangan bagian
tubuh.
Rasional: Ekspresi emosi membantu klien menerima kenyataan dan
realita hidup tanpa tungkai
3) Kaji derajat dukungan untuk klien
Rasional: Dukungan yang cukup dari orang terdekat membantu proses
ketakutan
4) Dorongan dalam aktivitas sehari-hari, beri kesempatan untuk
memandang/merawat puntung menggunakan waktu untuk
menunjukkan tanda positif kesembuhan
Rasional: Meningkatkan kemandirian, meningkatkan perasaan harga
diri, membantu dalam pemecahan masalah.
b. Nyeri berhubungan dengan cidera fisik/jaringan dan trauma syaraf.
Dampak psikologis dari kehilangan bagian tubuh.
Tujuan/kriteria hasil:
Klien menyatakan nyeri hilang/terkontrol.
Klien tampak rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat dan
menyatakan pemahaman nyeri fantom dan metode untuk
menghilangkannya.
Intervensi:
1) Catat lokasi dan intensitas nyeri (skala 0-10) selidiki perubahan
karakteristik nyeri.
Rasional: Membantu dalam evaluasi dan keefektifan intervensi
2) Terima kenyataan sensasi fantom tungkai yang biasanya hilang
dengan sendirinya dan banyak alat akan dicobakan untuk
menghilangkan nyeri.
Rasional: Mengetahui tentang sensasi ini memungkinkan klien
memahami fenomena normal yang terjadi segera atau beberapa
minggu pasca operasi.
3) Berikan pijatan lembut pada puntung sesuai toleransi bila balutan
telah lepas.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi, menurunkan tegangan otot
4) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, analgesik, relaksan otot
Rasional: Menurunkan nyeri/spasme otot.
c. Perfusi jaringan, perubahan perifer berhubungan dengan penurunan aliran
darah, edema jaringan
Tujuan/kriteria hasil:
Mempertahankan perfusi jaringan adekuat dibuktikan dengan nadi perifer
teraba, kulit hangat/kering, penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi:
1) Awasi tanda-tanda vital, palpasi nadi perifer, perhatikan kekuatan
dan kesamaan
Rasional: Indikator umum status sirkulasi dan keadekuatan perfusi
2) Inspeksi alat balutan/draine, perhatikan jumlah dan karakteristik
balutan
Rasional: Kehilangan darah mengindikasikan kebutuhan untuk
cairan, dan evaluasi gangguan koagulasi.
3) Berikan tekanan langsung pada sisi pendarahan, bila terjadi
pendarahan hubungi dokter segera
Rasional: Tekanan langsung dengan balutan untuk mengamankan
pendarahan
4) Kolaborasi berikan cairan IV/produksi darah sesuai indikasi
Rasional: Mempertahankan volume sirkulasi untuk memaksimalkan
pefusi jaringan
d. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
Tujuan/kriteria:
Klien mencapai penyembuhan tepat pada waktunya, bebas draine purulen,
atau eritema, dan tidak demam.
Intervensi:
1) Pertahankan tekhnik antiseptik bila merawat luka/ganti balutan
Rasional: Meminimalkan introduksi bakteri
2) Inspeksi puntung yang tepat, mencegah komplikasi
Rasional: Deteksi dini terjadinya infeksi, memberikan kesempatan
untuk intervensi yang tepat, mencegah komplikasi
3) Buka puntung terhadap udara, pencucian dengan sabun ringan dan air
setelah balutan konraindikasi
Rasional: Mempertahankan kebersihan, meningkatkan penyembuhan
kulit yang lunak
4) Awasi tanda vital
Rasional: Peningkatan suhu dapat menunjukkan adanya sepsis
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan tungkai,
gangguan perseptual
Tujuan/kriteria:
Klien menyatakan situasi individu/pemahaman tindakan keamanan klien
menunjukkan partisipasi dalam aktivitas mempertahankan posisi fungsi
Intervensi:
1) Berikan perawatan puntung secara teratur
Rasional: Memberikan kesempatan untuk mengevaluasi penyembuhan
dan komplikasi
2) Bantu latihan tentang gerak khusus untuk area sakit dan yang tak sakit
Rasional: Untuk mencegah kontraktur, perubahan bentuk
3) Instruksi klien untuk berbaring tengkurap sesuai toleransi dengan
bantal di bawah abdomen dan puntung ekstremitas bawah
Rasional: Menguatkan otot untuk mencegah kontraktur fleksi pinggul
4) Tunjukkan/bantu tekhnik pemindahan dan penggunaan alat mobilitas
Rasional: Membantu perawatan diri dan kemandirian klien
f. Kurang pengetahuan/kebutuhan belajar tentang kondisi prognosis, dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat

Tujuan/kriteria:
Klien mengatakan memahami kondisi/proses penyakit dan pengobatan.
Klien melakukan perubahan pada pola hidup dan berpartisipasi dalam
program pengobatan.
Intervensi:
1) Kaji ulang proses penyakit, prosedur bedah dan harapan yang akan
dating
Rasional: Memberikan dasar pengetahuan dimana klien dapat
membuat pilihan berdasarkan informasi
2) Instruksikan perawatan puntung/luka pada klien
Rasional: Meningkatkan perawatan diri kompeten
3) Identifikasi tekhnik untuk mengatasi nyeri fantom
Rasional: Menurunkan tekanan otot dan meningkatkan kontrol
kemampuan koping.

4. Evaluasi
Dokumentasi evaluasi merupakan catatan tentang indikasi kemajuan klien
terhadap tujuan yang dicapai. Evaluasi bertujuan untuk menilai keefektifan
perawatan dan untuk mengkomunikasi status klien dari hasil tindakan
keperawatan. Evaluasi memberikan informasi, sehingga memungkinkan revisi
perawatan. (Hidayat, 2002:41)
Evaluasi hasil yang diharapkan pada asuhan keperawatan klien dengan
amputansi sesuai dengan tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai. Menurut
Doenges (2000:787-793) antara lain:
a. Kriteria Evaluasi Diagnosa I
Klien menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi diri
(amputasi)
b. Kriteria Evaluasi Diagnosa II
1) Klien menyatakan nyeri hilang/terkontrol
2) Klien tampak rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat
3) Klien menyatakan pemahaman nyeri fantom dan metode untuk
menghilangkannya.
c. Kriteria Evaluasi Diagnosa III
1) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat dibuktikan dengan nadi perifer
klien teraba, kulit hangat
2) Penyembuhan luka tepat waktu
d. Kriteria Evaluasi Diagnosa IV
Purulen, atau eritema, demam tidak ada dan penyembuhan tepat waktu.
e. Kriteria Evaluasi Diagnosi V
1) Klien menyatakan situasi/pemahaman tindakan keamanan
2) Klien menunjuk partisipasi dalam aktivitas
3) Klien mampu mempertahankan posisi fungsi
f. Kriteria Evaluasi Diagnosa VI
1) Klien menyatakan memahami kondisi/proses penyakit dan pengobatan
2) Klien melakukan perubahan pola hidup

5. Dokumentasi
Pendokumentasian atau pencatatan merupakan tindakan legal, karena
dokumentasi merupakan media komunikasi. Dokumentasi bukan sekedar
menuliskan sesuatu dalam lembar pencatatan, tetapi harus terlebih dahulu
memikirkan dan menganalisis apa yang akan dan harus dicatat, bagaimana
menyusun kalimatnya dan dimana tulisan akan diletakkan. Dokumentasi
keperawatan adalah sesuatu yang ditulis atau dicetak, kemudian diandalkan
sebagai catatan bukti bagi orang yang berwenang dan merupakan bagian dari
praktik profesional. Fungsi dari dokumentasi yaitu penunjang pelaksanaan mutu
asuhan keperawatan sebagai bukti akuntabilitas tentang apa yang telah dilakukan
oleh seorang perawat kepada pasiennya, bukti secara profesional, legal dan dapat
dipertanggungjawabkan (Deswani, 2009:111).
Dokumentasi keperawatan suatu catatan yang memuat seluruh informasi yang
dibutuhkan untuk menentukan diagnosis keperawatan, menyusun rencana
keperawatan, melaksanakan dan mengevaluasi tindakan keperawatan yang
disusun secara sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral
dan hukum (Ali, Zaidin, 2001:87). Tujuan dokumentasi keperawatan menurut
(Ali, Zaidin, 2001:88) adalah:
a. Menghindari kesalahan, tumpang tindih, dan ketidaklengkapan informasi
dalam asuhan keperawatan.
b. Terbinanya koordinasi yang baik dan dinamis antara sesama perawat atau
pihak lain melalui komunikasi tulisan.
c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas tenaga keperawatan.
d. Terjaminnya kualitas asuhan keperawatan.
e. Perawat mendapat perlindungan secara hukum.
f. Memberikan data bagi penelitian, penulisan karya ilmiah, dan
penyempurnaan standar asuhan keperawatan.
GLUKOMA

A. PENGERTIAN
Istilah Glaukoma merujuk pada kelompok penyakit yang berbeda dalam hal
patofisiologi, presentasi klinis, dan penanganannya. Biasanya ditandai dengan
berkurangnya lapang pandang akibat kerusakan saraf optikus. Kerusakan ini
berkaitan dengan derajat TIO, yang terlalu tinggi untuk berfungsinya saraf optikus
secara normal. Semakin tinggi tekanannya semakin cepat kerusakan saraf optikus
tersebut berlangsung. Peningkatan TIO terjadi akibatr perubahan patologis yang
menghambat peredaran normal humor aqueus. (Smeltzer,Suzanne C.2001)
Glaukoma adalah sekelompok gangguan yang melibatkan beberapa
perubahan atau gejala patologis yang ditandai dengan peningkatan tekanan
intraokuler (TIO) dengan segala akibatnya. Saat peningkatan TIO lebih besar
daripada toleransi jaringan, kerusakan terjadi pada sel ganglion retina, merusak
diskus optikus, menyebabkan atrofi saraf opyik dan hilangnya pandangan perifer.
(Istiqomah, Indriana. 2004)
Glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan intraokular yang disertai
oleh pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang. Mekanisme
peningkatan tekanan intraokular pada glaukoma adalah gangguan aliran keluar
humor aqueos akibat kelainan system drainase sudut kamera anterior (glaukoma
sudut terbuka) atau gangguan akses humor aqueos ke system drainase (glaukoma
sudut tertutup). Penurunan pembentukan humor aqueos adalah suatu metode
untuk menurunkan tekanan intraokular pada semua bentuk
glaukoma.(Vaughan,Daniel G.2000)

B. EPIDEMIOLOGI
Glaukoma merupakan penyebab utama kebutaan di masyarakat barat.
Diperkirakan di Amerika Serikat ada 2 juta orang menderita glaukoma. Di antara
mereka, hamper setengahnya mengalami gangguan penglihatan, dan hampir
70.000 benar-benar buta; bertambahnya sebanyak 5500 orang tiap tahun.

C. ETIOLOGI
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intra okular ini disebabkan
oleh:
 Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliar
 Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di
celah pupil (glaukoma hambatan pupil)

D. KLASIFIKASI
Glaukoma diklasifikasikan dalam dua kelompok : sudut terbuka dan
penutupan sudut ( dahulu disebut sudut tertutup). Pada glaukoma sudut terbuka,
humor aqueos mempunyai akses bebas ke jaring-jaring trabekula, dan ukuran
sudut normal. Pada glaukoma penutupan sudut, iris menutup jarring-jaring
trabekula dan membatasi aliran humor aqueos ke luar kamera anterior. Kategori
ini dibagi lebih lanjut menjadi glaukoma primer (penyebab tak diketahui biasanya
bilateral dan mungkin diturunkan) dan glaukoma sekunder (penyebab diketahui)
Klasifikasi glaukoma meliputi:
Glaukoma Sudut Terbuka
a. Primer
b. Tegangan Normal
c. Sekunder
Glaukoma penutupan sudut
A. Primer
1. Dengan sumbatan pupil
a. Akut
b. Subakut
c. kronik
2. Tanpa sumbatan pupil
B. Sekunder
1. Dengan sumbatan pupil
2. Tanpa sumbatan pupil

Glaukoma dengan mekanisme kombinasi


Glaukoma pertumbuhan/ Kongenital
Glaukoma Primer
Glaukoma sudut terbuka primer (dahulu disebut glaucoma simple atau sudut
luas) ditandai dengan atrofi saraf optikus dan kavitasi mangkuk fisiologis dan
defek lapang pandang yang khas. Glaukoma sudut terbuka, tekanan noramal
ditandai dengan adanya perubahan meskipun TIO nmasih dalam batas parameter
yang normal.
Glaukoma penutupan sudut primer adalah akibat defek anatomis yang
menyebabkan pendangkalan kamera anterior. Menyebabkan sudut pengaliran
yang sempit pada perifer iris dan trabekulum. Aktivitas, seperti membaca, yang
memerlukan gerak lensa ke depan dan terapi miosis juga dapat merupakan factor
presipitasi.
Glaukoma penutupan sudut akut merupakan keganasan medis yang cukup
jarang dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan yang bermakna. Pasien
biasanya mengeluh nyeri mata yang umum dan berat. Peningkatan tekanan
mengganggu fungsi dehidrasi permukaan endotel kornea, mengakibatkan edema
kornea.iris sentral biasanya melekat di atas permukaan anterior lensa, yang dapat
mengakibatkan sedikit tahanan terhadap aliran humor aqueos dari kamera
posterior melalui pupil ke kamera anterior. ketika aliran melauli pupil
terhambat(sumbatan pupiler) oleh lensa, peningkatan tekanan di kamera posterior
yang diakibatkannya kan menggembungkan iris perifer ke depan dan mengadakan
kontak dengan jarring-jaring trabekula. temuan ini dinamakan iris bombe.
Keadaan ini akan mempersempit atau bahkan menutup sama sekali sudut kamera
anterior dan menyebabkan peningkatan TIO.cahaya yang dilihat dari sisi lateral
mata dapat memperlihatkan kamera interior yang dangkal (<3 mm) atau datar saat
iris menggembung ke depan dan menyentuh permukaan dalam (endotel0 kornea.
sumbatan pupiler dapat juga diakibatkan oleh sinekia posterior dimana iris
melekat pada lensa, yang dapat diakibatkan oleh pembedahan penguncian sklera
atau akibat lensa yang bengkak, dislokasi atau bentuknya yang tidak normal. iris
dan lensa dapat saling melengket (sinekia), menghasilkanpupil ireguler dengan
reaktivitasnya terhadap cahaya menurun. Konjungtiva biasanya merah menyala.
pasien menderita mual dan muntah.

Glaukoma Sekunder
Dianggap sebagai sekunder bila penyebabnya jelas dan berhubungan dengan
kelainan yang bertanggungjawab dan peningkatan TIO. Secara khas glaukoma
jenis ini biasanya unilateral. Dapat terjadi dengansudut terbuka atau tertutup
maupun kombinasi keduanya.
Pada glaukoma sudut terbuka sekunder, peningkatan TIO disebabkan oleh
peningkatan tahanan aliran keluar humor aqueos melauli jarring-jaring trabekuler,
kanalis Schlemm, dan system vena episkleral. Pori-pori trabekula dapat tersumbat
oleh setiap jenis debris, darah, pus, atau bahan lainnya. Peningkatan tahanan
tersebut dapat diakibatkan oleh penggunaan kostikosteroid jangka lama, tumor
intraokuler, uvetis akibat penyakit seperti herpes simpleks atau herper zoster, atau
penyumbatan jarring-jaring trabekula oleh material lensa, bahan viskoelastik
(digunakan pada pembedahan katarak) , darah, atau pigmen. Peningkatakan
tekanana vena episkleral akibat keadaan seperti luka bakar kimia, tumor
retrobulber, penyakit tiroid, fistula arteriovenosa, jugularis superior vena kava,
atau sumbatan vena pulmonal juga dapat mengakibatkan peningkatan TIO. Selain
itu, glaukoma sudut terbuka dapat terjadi setelah ekstrasi katarak, implantasi IO
(khususnya lensa kamera anterior), penguncian sclera, vitrektomi, kapsulotomi,
atau trauma.
Pada glaukoma penutupan sudut sekunder, peningkatan tahanan aliran humor
aqueos disebabkan oleh penyumbatan jarring-jaring trabekula oleh iris perifer.
Kondisi ini biasanya disebabkan oleh perubahan aliran humor aqueos setelah
menderita penyakit atau pembedahan. Keterlibatan anterior terjadi setelah
terbentuknya membran pada glaukoma neovaskuler, trauma, aniridia, dan
penyakit endotel. Penyebab posterior terjadi pada penyumbatan pupil akibat lensa
IOL menghambat aliran humor aqueos ke kamera anterior.

Glaukoma kongenital
Glaukoma ini terjadi akibat kegagalan jaringan mesodermal memfungsikan
trabekular. Kondisi ini disebabkan oleh ciri autosom resesif dan biasanya bilateral.

Patofisiologi
TIO ditentukan oleh kecepatan produksi akueos humor dan aliran keluar
aqueos humor dari mata. TIO normal adalah 10-21 mmHg dan dipertahankan
selama terdapat keseimbangan antara produksi dan aliran keluar aqueos humor.
Aqueos humor diproduksi di dalam badan silier dan mengalir ke luar melalui
kanal Schlemn ke dalam system vena. Ketidakseimbangan dapat terjadi akibat
produksi berlebih badan silier atau oleh peningkatan hambatan abnormal terhadap
aliran keluar aqueos melalui camera oculi anterior (COA). Peningkatan tekanan
intraokuler > 23 mmHg memerlukan evaluasi yang seksama. Peningkatan TIO
mengurangi aliran darah ke saraf optik dan retina. Iskemia menyebabkan struktur
ini kehilangan fungsinya secara bertahap. Kerusakan jaringan biasanya dimulai
dari perifer dan bergerak menuju fovea sentralis. Kerusakan visus dan kerusakan
saraf optic dan retina adalah ireversibel dan hal ini bersifat permanen. Tanpa
penanganan, glaucoma dapat menyebabkan kebutaan. Hilangnya penglihatan
ditandai dengan adanya titik buta pada lapang pandang.

GEJALA KLINIS
Glaukoma akut primer
 Awitan gejala akut/mendadak
 Nyeri hebat di sekitar mata yang menjalar pada daerah yang dilewati saraf
oatk V
 Nyeri kepala/dahi
 Mual, muntah, dan ketidaknyamanan abdomen
 Melihat lingkaran berwarna di sekitar sinar dan pandangan kabur mendadak
dengan penurunan persepsi cahaya.
Glaukoma kronik primer
 Bilateral
 Herediter
 TIO tinggi
 Sudut COA terbuka
 Bola mata yang tenang
 Lapang pandang mengecil dengan macam-macam skotoma yang khas
 Perjalanan penyakit progresif lambat
 Glaukoma sekunder
 Peningkatan nyeri dan symptom spesifik tergantung pada penyebab
penyakit okulerGlaukoma congenital
 Fotofobia, blefarospasme, epifora, mata besar, kornea keruh

PEMERIKSAAN FISIK
 Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop untuk
mengetahui adanya cupping dan atrofi diskus optikus. Diskus optikus
menjadi lebih luas dan lebih dalam. Pada glaukoma akut priner, kamera
anterior dangkal, aqueos humor keruh dan pembuluh darah menjalar keluar
dari iris.
 Pemeriksaan lapang pandang perifer, pada keadaan akut lapang pandang
cepat menurun secara signifikan dan keadaan kronik akan menurun secara
bertahap.
 Pemeriksaan fisik melalui inspeksi untuk mengetahui adanya inflamasi
mata, skelra kemerahan, kornea keruh, dilatasi pupil sedang yang gagal
bereaksi terhadap cahaya. Sedangkan dengan palpasi untuk memeriksa mata
yang mengalami peningkatan TIO, terasa lebih keras dibandingkan mata
yang lain.
 Uji diagnostik menggunakan tonometri, pada keadaan kronik atau open
angle didapat nilai 22-23 mmHg, sedangkan keadaan akut atau angle closure
≥ 30 mmHg. Uji dengan menggunakan gonioskopi akan didapat sudut
normal pada glaucoma kronik. Pada glaucoma akut ketika TIO meningkat,
sudut COA akan tertutup, sedang pada waktu TIO normal sudutnya sempit.

THERAPY
Terapi obat merupakan penanganan awal dan utama untuk penanganan
glaukoma sudut terbuka-primer. Meskipun program ini dapat diganti namun
diteruskan seumur hidup. Bikla terapi in I gagal menurunkan TIO dengan adekuat,
pilihan berikutnya pada kebanyakan pasien adalah trabekuloplasti laser dengan
pemberian obat tetap dilanjutkan. beberapa pasien memerlukan trabekulotomi.
namun pembedahan laser atau insisional biasanya merupakan anjuran bagi terapi
obat dan bukannya menggantikannya.
Glaukoma penutupan-sudut akut dengan sumbatan pupil biasanya jarang
merupakan kegawatan bedah. Obat digunakan untuk mengurangi TIO sebanyak
mungkin sebelum iridektomi laser atau insisional.
Penanganan glaukoma sekunder dujukan untuk kondisi yang mendasarinya
begitu pula untuk menurunkan tingginya TIO. Uveitis dengan glaucoma diterapi
dengan bahan antiinflamasi. bahan antivirus, sikloplegik, dan kortokosteroid
topical diresepkan bagi pasien glaukoma yang berhubungan dengan herpes
simpleks dan herpes zoster.
Penggunaan obat dilatators pupil merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan glaukoma. Efek samping yang biasa terdapat pada pemakaian obat
topikal adalah pandangan kabur, pandangan meremang khususnya menjelang
malam dan kesulitan memfokuskan pandangan. kadang-kadang frekuensi denyut
jantung dan respirasi juga terpengaruh. Obat sistemik dapay menyebabkan rasa
kesemutan pada jari dan jari kaki, pusing, kehilangan nafsu makan, defekasi tidak
teratur, dan kadang batu ginjal.
1. Antagonis Beta-adrenergikmengurangi TIO dengan mengurangi
pembentukan humor aqueos.
2. Bahan KilonergikDigunakan dalam penanganan glaukoma jangka pendek
dengan penyumbatan pupil akibat efek langsungnya pada reseptor
parasimpatis iris dan badan silinder.
3. Agonis AdrenergikDigunakan bersama dengan bahn penghambat beta-
adrenergik, berfungsi saling sinergi dan bukan berlawanan.
4. Inhibitor Anhidrase KarbonatDiberikan secara sistemik untuk
menurunkan IOP dengan menurunkan pembuatan humor aqueos.
5. Diuretika OsmotikDapat menurun TIO dengan meningkatkan osmolalitas
plasma dan menarik air dari mata ke dalam peredaran darah.

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksaan glaukoma adalah menurunkan TIO ke tingkat yang
konsisten dengan mempertahankan penglihatan. Penatalaksaan bisa berbeda
bergantung pada klasifikasi penyakit dan responsnya terhadap terapi. Terapi obat,
pembedahan laser, pembedahan konvensional dapat dipergunakan untuyk
mengontrol kerusakan progresif yang diakibatkan oleh glaukoma.
1. Bedah laser untuk Glaukoma
Pembedahan laser untuk memperbaiki aliran humor aqueos dan menurun TIO
dapat diindikasikan sebagai penangana primer untuk glaukoma, atau bisa juga
dipergunakan bila terapi obat tidak bisa ditoleransi, atau tidak dapat
menurunkan TIO dengan adekuat. Laser dapat digunakan pada berbagai
prosedur yang berhubunag dengan penanganan glaukoma.
2. Bedah Konvensional
Prosedur bedah konvensional dilakukan bila tehnik laser tidak berhasil, atau
peralatan laser tidak tersedia, atau pasien tidak cocok untuk dilakukan bedah
laser (mis. pasien yang tidak dapat duduk diam atau mengikuti perintah).
Prosedur filtrasi rutin berhubungan dengan keberhasilan penurunan TIO pada
80 sampai 90% pasien.
Iridektomi perifer atau sektoral dilakukan untuk mengangkat sebagian iris
untuk memungkinkan aliran humor aqueos dari kamera posterior ke kamera
anterior. Diindikasikan pada penanganan glaukoma dengan penyumbatan pupil
bila pembedahan laser tidak berhasil atau tidak tersedia.
Trabekulektomi (prosedur filtrasi) dilakukan untuk menciptakan saluran
pengaliran baru melalui sklera. Dilakukan dengan melakukan diseksi flap
ketebalan setengah (half-tickness) sklera dengan engsel di limbus. satu segmen
jaringan trabekula diangkat, flap sclera ditutup kembali, dan konjungtiva dijahit
rapat untuk mencegah kebocoran cairan aqueus. Trabekulektomi meningkatkan
aliran keluar humor aqueus dengan memintas strukturr pengaliran yang alamiah.
Ketika cairan mengalir melalui saluran baru ini, akan terbentuk bleb (gelembung).
Dapat diobservasi pada pemeriksan konjungtiva. Komplikasi setelah prosedur
filtrasi meliputi hipotoni (TIO rendah yang tidak normal), hifema (darh di kamera
anterior mata), infeksi, dan kegagalan filtrasi.
Prosedur seton meliputi penggunaan berbagai alat pintasan aqueus sintetis
untuk menjaga kepatenan fistula pengaliran. tabung terbuka diimplantasikan ke
kamera anterior dan menghubungkan dengan medan pengaliran episklera. alat ini
paling sering digunakan pada pasien dengan TIO tinggi, pada mereka yang
beresiko tinggi terhadap pembedahan, atau mereka yang prosedur filtrasi awalnya
gagal. Kemungkinan komplikasi implant pengaliran meliputi pembentukan
katarak, hipotoni, dekompensasi kornea, dan erosi apparatus.

KOMPLIKASI
 Peningkatan TIO
Ditandai dengan nyeri okular, nyeri di atas alis dan mual. Cegah klien
membungkuk, mengangkat benda berat, mengejan pada saat buang air
besar, batuk dan muntah.
 Hipotoni (penurunan TIO)
Dapat menyebabkan perdarahan koroid, atau lepasnya koroid, ditandai
dengan nyeri yang dalam di dalam mata dengan awitan pasti, diaphoresis
atau perubahan tanda vital.
 Infeksi
Pantau tanda vital. Infeksi harus dicegah karena klien dapat mengalami
kehilangan pandangan atau kehilangan mata itu sendiri.
 Jaringan parut
Dapat mengurangi keefektifan jalur baru. Steroid topikal dapat digunakan
karena efek samping penggunaan steroid adalah memperpanjang
pemulihan luka.

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Anamnesis
Anamnesis mencakup data demografi yang meliputi :
 Umur, glaukoma primer terjadi pada individu berumur > 40 tahun
 Ras, kulit hitam mengalami kebutaan akibat glaukoma paling sedikti 5 kali
dari kulit putih. (deWit,1998)
 Pekerjaan, terutama yang berisiko besar mengalami trauma mata.
Selain itu harus diketahui adanya masalah mata sebelumnya atau yang ada
saat ini, riwayat penggunaan antihistamin (menyebabkan dilatasi pupil
yang akhirnya dapat menyebabkan angle-closure glaucoma), riwayat
keluarga dengan glaucoma, riwayat trauma (terutama yang mengenai
mata), riwayat penyakit lain yang sedang diderita (DM, arteriosklerosis,
myopia tinggi)
Riwayat psikososial mencakup adanya ansietas yang ditandai dengan
bicara cepat, mudah berganti topik, sulit berkonsentrasi dan sensitive; dan
berduka karena kehilangan penglihatan.
Pengkajian
 Aktivitas/latihan
Gejala : perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan
penglihatan
 Makanan/cairan
Gejala : mual/muntah (glaukoma akut)
 Neurosensori
Gejala : penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar
sinar, kehilangan penglihatan perifer, fotofobia (glaukoma akut)
 Nyeri/kenyamanan
Gejala : ketidaknyamanan ringan/mata berair (glaukoma kronis)
Nyeri tiba-tiba/berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala
(glaukoma akut)
 Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat keluarga glaukoma, diabetes, gangguan system vaskuler
Riwayat stress, alergi, gangguan vasomotor (contoh peningkatan tekanan
vena), ketidakseimbangan endokrin, diabetes (glaukoma)

2. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan pandangan perifer
2. Perubahan sensori-perseptual : penglihatan berhubungan dengan
kerusakan saraf akibat peningkatan tekanan intraokuler
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan informasi
5. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuler
6. Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi behubungan dengan
mual, muntah sekunder akibat peningkatan tekanan intraokuler

3. Rencana Tindakan Keperawatan


Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuler
Tujuan : - klien akan melaporkan nyeri berkurang/terkontrol/hilang
Kriteria hasil :
- Mengungkapkan metode yang memberikan penghilangan
- Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas
hiburan.
Intervensi
a. Pertahankan tirah baring ketat pada posisi semi fowler dan cegah tindakan
yang dapat meningkatkan TIO (batuk,bersin,mengejan)R : tekanan pada
mata meningkat jika tubuh datar dan manuver Valsalva diaktifkan seperti
aktivitas tersebut
b. Berikan lingkungan gelap dan tenang
R: stress dan sinar akan meningkatkan TIO yang dapat mencetuskan nyeri.
c. Observasi tekanan darah, nadi dan pernapasan tiap 24 jam jika klien tidak
menerima agens osmotic secara intravena dan tiap 2 jam jika klien
menerima agens osmotic intravena.
R : mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
d. Observasi derajat nyeri mata tuap 30 menit selama fase akut
R: mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
e. Observasi asupan-haluaran tiap 8 jam saat klien mendapatkan agens
osmotic intravena.
R: mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
f. Observasi ketajaman penglihatan setiap waktu sebelum penetesan obat
mata yang diresepkan.
R: mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
g. Berikan obat mata yang diresepkan untuk glaucoma dan beritahu dokter
jika terjadi hipotensi, haluaran urine < 24 ml/jam, nyeri pada mata tidak
hilang dalam waktu 30 menit setelah terapi obat, tajam penglihatan turun
terus menerus
R: agens osmotic intravena akan menurunkan TIO dengan cepat. Agens
osmotic bersifat hiperosmolar dan dapat menyebabkan dehidrasi, manitol
dapat mencetuskan hiperglikemis pada kliean DM, tetes mata miotik
memperlancar drainase aqueos humor dan menurunkan produksinya.
Pengontrolan TIO adalah esensial untuk memperbaiki penglihatan.
h. Berikan analgesic narkotik yang diresepkan jika klien mengalami nyeri
hebat dan evaluasi keefektifannya.
R: mengontrol nyeri. Nyeri berat akan mencetuskan maneuver Valsalva
dan meningkatkan TIO
Perubahan sensori-perseptual : penglihatan berhubungan dengan kerusakan
saraf akibat peningkatan tekanan intraokuler
Tujuan :
Klien akan :
 Mengidentifikasikan tipe perubahan visual yang dapat terjadi saat TIO
meningkat di atas level aman
 Mencari bantuan saat terjadi perubahan visual
 Mendapatkan kembali dan mempertahankan visus normal dengan
pengobatan.
Kriteria hasil :
Mempertahankan lapang ketajaman penglihatan tanpa kehilangan lebih lanjut

Intervensi
a. Pastikan tipe/derajat kehilangan penglihatan
R: memperngaruhi harapan masa depan pasien dan pilihan intervensi
b. Dorong mengekspresikan perasaan tentang kehilangan/kemungkinan
kehilangan penglihatan
R : sementara intervensi dini mencegah kebutaan, pasien menghadapi
kemungkinan atau mengalami pengalaman kehilangan penglihatan
sebagian atau total. Meskipun kehilangan penglihatan telah terjadi tak
dapat diperbaiki meskipun dg pengobatan), kehilangan lanjut dapat
dicegah.
c. Tunjukan pemberian tetes mata, contoh mebghitung tetesan, mengikuti
jadwal, tidak salah dosis.
R: mengontrol TIO, mencegah kehilangan penglihatan lanjut
d. Bantu pasien dalam menangani keterbatasa penglihatan
R : menurunkan bahaya keamanan sehubungan dengan perubahan lapang
pandang
e. Kolaborasi :berikan obat sesuai indikasi : pilokarpin hidroklorida
(IsotoCarpine, OcusertPilo, Pilopine HS Gel)
R: obat miotik topical ini menyebabkan konstriksi pupil, memudahkan
keluarnya aqueos humor
f. Berikan sedasi : analgesic sesuai kebutuhan
R: serangan akut glaukoma sehubungan dengan nyeri tiba-tiba, yang
dapat mencetuskan ansietas, selanjutnya meningkatkan TIO. Catatan :
manajemen medic memerlukan 4-6 jam sebelum TIO menurun atau nyeri
berkurang.

Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


Tujuan : klien tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat
dapat diatasi
Kriteria hasil :
- Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah
- Menggunakan sumber secara efektif

Intervensi
a. Kaji tingkat ansietas,derajat pengalaman nyeri atau timbulnya gejala tiba –
tiba dan pengetahuan kondisi saat ini.
R:Faktor ini mempengaruhi persepsi klien terhadap ancaman diri,potensial
siklus,dan dapat mempengaruhi upaya medik untuk mengontrol TIO.
b. Berikan infirmasi yang akurat dan jujur.Diskusikan kemungkinan bahwa
pengawasan dan pengobatan dapat mencegah kehilangan pengelihatan
tambahan.
R:Menurunkan ansietas sehubungan dengan ketidaktahuan atau harapan
yang akan datang dan memberikan dasar fakta untuk melihat pilihan
informasi tentang pengobatan.
c. Dorong pasien untuk mengakuai masalah dan mengekspresikan perasaan.
R:Memberikan kesempatan untuk pasien menerima situasi
nyata,mengklarifikasi salah konsepsi dan pemecahan masalah.
d. Identifikasi sumber atau orang yang menolong.
R:Memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendiri dalam menghadapi
masalah.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan informasi
Tujuan : menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan
Kriteria hasil :
- Mengidetifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit
- Melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan alasan tindakan
Intervensi
a. Tunjukan tekhnik yang benar untuk pemberian tetes mata.Izinkan pasien
mengulang tindakan.
R:Meningkatkan keefektifan pengobatan.Memberikan kesempatan untuk
pasien menunjukan kompetensi dan menanyakan pertanyaan.
b. kaji pentingnya memepertahankan jadwal obat,contoh tetes
mata.Diskusikan obat yang harus dihindari.
R:Penyakit ini dapat dikontrol,bukan diobati,dan mempertahankan
konsistensi program obat adalah kontrol vital.Beberapa obat menyebabkan
dilatasi pupil,dan potensial kehilangan pengelihatan tambahan,
c. Identifikasi efek samping atau reaksi merugikan dari pengobatan,contoh
penurunan selera makan,mual muntah.
R:Efek samping obat merugikan,mempengaruhi rentang dari tak nyaman
sampai ancaman kesehatan berat.
d. Dorong pasien membuat perubahan yang perlu untuk pola hidup.
R:Pola hidup tenang menurunkan respons emosi terhadap stres,mencegah
perubahan okuler yang dapat yang mendorong iris kedepan yang dapat
mencegah serangan akut.
e. Dorong menghindari aktivitas,seperti mengangkat berat,mendorong.
R:Dapat meningkatkan TIO mencetuskan serangan akut.
f. Tekankan pentingnya pemeriksaan rutin.
R:Penting untuk mengawasi kemajuan atau pemeliharaan penyakit untuk
memungkinkan intervensi dini dan mencegah kehilangan pengelihatan
lanjut.
g. Nasehatkan pasien untuk melaporkan dengan cepat nyeri mata
hebat,inflamasi,peningkatan fotopobia.perubahan lapang
pandang,pengelihatan kabur.
R:Upaya tindakan perlu untuk mencegah kehilangan pengelihatan lanjut
atau komplikasi lain seperti robek retina.
h. Anjurkan anggota keluarga memeriksa secara teratur tanda glaukoma.
R:Kecendrungan herediter dangkalnya bilik anterior.menempatkan
anggota keluarga berisiko pada kondisi ini.

Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi behubungan dengan mual,


muntah sekunder akibat peningkatan tekanan intraokuler
Tujuan : melaporkan mual dan muntah hilang
Kriteria hasil :
 Menunjukkan kemajuan mencapai berat badan atau peningkatan berat badan
individu yang tepat
Intervensi :
a. Perkirakan/hitung pemasukan kalori. Jaga komentar tentang nafsu
makan sampai minimal.
R: mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan nutrisi. Berfokus pada
masalah membuat suasanan negate dan mempengaruhi masukan.
b. Konsul tentang kesukaan/ketidaksukaan pasien, makanan yang
menyebabkan distress, dan jadwal makan yang disukai
R: melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien
memiliki rasa control dan mendorong untuk makan.
c. Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan
berbau.
R: untuk meningkatkan nafsu makan/menurunkan mual
d. Berikan kebersihan oral sebelum makan
R: mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
e. Tawarkan minuman seduhan saat makan, bila toleran
R: dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas. Catatan : mungkin
dikontraindikasikan bila menyebabkan pembentukan
gas/ketidaknyamanan gaster
f. Kolaborasi : konsul dengan ahli diet/tim pendukung nutrisi sesuai
indikasi
R : berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individual melalui rute
yang paling tepat.

Risiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan pandangan perifer


Tujuan : menyatakan pemahaman faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera
Kriteria hasil :
- Menunjukkan perubahan prilaku, pola hidup untuk menurunkan factor risiko
dan untuk melindungi diri dari cedera
- Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan

Intervensi :
a. Batasi aktivitas seperti menggerakkan kepala tiba-tiba, menggaruk mata,
membungkuk
R: menurunkan stres pada area operasi/menurunkan TIO

b. Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi


R: digunakan untuk melindungi diri dari cedera kecelakaan dan
menurunkan gerakan mata
c. Observasi pembengkakan luka, bilik anterior kemps, pupil berbentuk buah
pir.
R :menunjukkan prolaps iris atau rupture luka disebabkan oleh kerusakan
jahitan atau tekanan mata.

4. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan
lainnya.
Evaluasi pada pasien dengan glaukoma adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokulerdengan KE :
 Mengungkapkan metode yang memberikan penghilangan
 Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas
hiburan.
2. Perubahan sensori-perseptual : penglihatan berhubungan dengan kerusakan
saraf akibat peningkatan tekanan intraokuler dengan KE :
- Mengidentifikasikan tipe perubahan visual yang dapat terjadi saat TIO
meningkat di atas level aman
- Mencari bantuan saat terjadi perubahan visual
- Mendapatkan kembali dan mempertahankan visus normal dengan
pengobatan.
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatandengan KE:
- Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah
- Menggunakan sumber secara efektif
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan informasidengan KE:
- Mengidetifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit
- Melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan alasan tindakan
5. Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi behubungan dengan mual,
muntah sekunder akibat peningkatan tekanan intraokulerdengan KE:
Menunjukkan kemajuan mencapai berat badan atau peningkatan berat badan
individu yang tepat
6. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan pandangan
periferdengan KE:
- Menunjukkan perubahan prilaku, pola hidup untuk menurunkan factor
risiko dan untuk melindungi diri dari cedera
- Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan

Anda mungkin juga menyukai