DISUSUN OLEH :
ALBERT FERNANDO PUTRA JEFRY 113063C116001
DAVID ABRAHAM NATHANAEL ESRA 113063C116003
ESTER ELIZABETH KARTINI 113063C116008
INDAH PERMATA DEWI 113063C116017
IRFAN KURNIADI 113063C116018
IRWAN DWI EFRON 113063C116019
MIA 113063C116024
SUSI SUSANTI 113063C116031
WARNI 113063C116037
CI AKADEMIK :
OKTAVIN, S.Kep.,Ners
Dinding dada dibentuk oleh 12 tulang vertebrae thorakalis, 12 pasang iga dan
sternum (Sideras, 2011):
a. Vertebrae
Persendian vertebrae dengan tulang iga menyebabkan iga ini mempunyai bentuk
yang agak spesifik. Vertebrae thorakalis pertama memiliki persendian yang lengkap
dengan costae I dan setengah persendian dengan costae II. Selanjutnya costae II-VIII
mempunyai dua persendian, di atas dan di bawah korpus vertebrae untuk costae II
sampai dengan VIII, sedangkan costae IX-XII hanya satu.
b. Costae
Secara umum costae ada 12 pasang kanan dan kiri, Tujuh pasang iga pertama
dinamakan costae vera (iga sejati). Costae I-VII bertambah panjang secara bertahap,
yang kemudian memendek secara bertahap. Costae VIII-X berfungsi membentuk tepi
costal sebelum menyambung dengan tepi bawah sternum, maka disebut costae spuriae
(iga palsu). Costae XI-XII disebut costae fluctuantes (iga melayang).
c. Sternum
Sternum terdiri dari manubrium sterni, korpus sterni dan procesus xiphoideus.
Angulus sterni ludovici yang terbentuk antar manubrium dan korpus sterni dapat teraba
dan merupakan patokan dalam palpasi iga ke-2 di lateralnya.
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan musculus utama dinding anterior
thorax. Musculus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan musculus gelang bahu
lainnya membentuk lapisan muskulus dinding posterior thorax. Tepi bawah musculus
pectoralis mayor membentuk lipatan / plica aksilaris anterior, lengkungan dari musculus
latisimus dorsi dan teres mayor membentuk lipatan axial posterior (Blaivas, 2007).
Pleura adalah membrane aktif serosa dengan jaringan pembuluh darah dan limfatik.
Di sana selalu ada pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan
kapiler. Pleura viseralis menutupi paru dan sifatnya tidak sensitive. Pleura ini berlanjut
sampai ke hilus dan mediastinum bersama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding
thorax dan diafragma. Pleura parietalis mendapatkan persarafan dari nerve ending,
sehingga ketika terjadi penyakit atau cedera maka timbul nyeri. Pleura sedikit melebihi tepi
paru pada tiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru-paru normal. Pleura
parietalis hampir semua merupakan lapisan dalam, diikuti tiga lapisan muskulus yang
mengangkat iga selama respirasi tenang. Vena arteri, dan nervus dari tiap rongga
intercostalis berada di belakang tepi bawah iga. Karenanya jarum torakosintesis atau klem
yang digunakan untuk masuk kepleura harus dipasang melewati bagian atas iga yang lebih
bawah dari sela iga yang dipilih (Brohi, 2011).
a. Diafragma
Bagian musculus perifer berasal dari bagian bawah iga ke-6 dan kartilago costae,
dari vertebrae lumbalis, dan dari lengkung lumbosakral, sedang bagian muscular
melengkung membentuk tendosentral. Serabut ototnya berhubungan dengan
M.transverse abdominis di batas costae. Diafragma menempel di bagian belakang costae
melalui serat-serat yang berasal dari ligamentum arcuata dan crura. Nervus prenicus
mempersarafi motorik dan intercostals bawah mempersarafi sensorik. Diafragma
berperan besar pada ventilasi paru selama respirasi tenang (Blaivas, 2007).
Sewaktu inspirasi terjadi pembesaran dinding dada kea rah ventrodirsalis dan
lateralis. Pengembangan dada ini dimungkinkan karena mobilitas artikulatio
kostovertebralis, elatisitas tulang rawan iga, dank arena sedikit bertambahnya kifosis
kolumna vertebralis. Otot-otot yang berperan dalam inspirasi adalah diafragma (otot
primer inspirasi), M intercostalis externa (otot komplementer inspirasi), dan otot-otot
leher, yakni M. skalenus dan M. sternokleidomastoideus, keduanya berperan pada
inspirasi paksa dengan mengangkat bagian atas rongga thorax. Ekspirasi terjadi akbat
proses pasif dengan melemasnya otot-otot inspirasi sehingga rongga dada dan paru
kembali ke ukuran prainspirasi. Pada ekspirasi paksa, otot-otot yang berperan adalah
otot-otot abdomen dan mm.intercoastalis interna. Gaya yang menggerakkan rangka
dada secara umum adalah mm. intercostalis dan mm. scalene. Otot-otot tersebut
merupakan otot metametrik primitive yang harus dimasukkan ke dalam golongan otot
authochthonus dada. Termasuk pula mm.transverses thoracis dan mm.subcostales. Otot-
otot tersebut dipersarafi oleh rami anterior N.spinalis dan N. intercostalis (Sideras,
2011).
C. Epidemiologi
Insidensi dari tension pneumotoraks di luar rumah sakit tidak mungkin dapat
ditentukan. Revisi oleh Department of Transportation (DOT) Emergency Medical
Treatment (EMT) Paramedic Curriculum menyarankan tindakan dekompresi jarum segera
pada dada pasien yang menunjukan tanda serta gejala yang non-spesifik. Sekitar 10-30%
pasien yang dirujuk ke pusat trauma tingkat 1 di Amerika Serikat menerima tindakan pra
rumah sakit berupa dekompresi jarum torakostomi, meskipun pada jumlah tersebut tidak
semua pasien menderita kondisi tension pneumotoraks (Jain et all, 2008).
Insidensi umum dari tension pneumotoraks pada Unit Gawat Darurat (UGD) tidak
diketahui. Literatur medis hanya menyediakan gambaran singkat mengenai frekuensi
tension pneumotoraks. Sejak tahun 2000, insidensi yang dilaporkan kepada Australian
Incident Monitoring Study (AIMS), 17 pasien yang diduga menderita pneumotoraks, dan
4 diantaranya didiagnosis sebagai tension pneumotoraks. Pada tinjauan yang lebih lanjut,
angka kematian prajurit militer dari trauma dada menunjukkan hingga 5% dari korban
pertempuran dengan tension pneumotoraks pada waktu kematiannya (Daley et all, 2013).
D. Etiologi
Etiologi Tension Pneumothorax yang paling sering terjadi adalah karena iatrogenik
atau berhubungan dengan trauma. Yaitu sebagai berikut :
1. Trauma benda tumpul atau tajam – meliputi gangguan salah satu pleura visceral atau
parietal dan sering dengan patah tulang rusuk (patah tulang rusuk tidak menjadi hal yang
penting bagi terjadinya Tension Pneumotoraks).
2. Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat), biasanya vena
subclavia atau vena jugular interna (salah arah kateter subklavia).
3. Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, Pneumotoraks sederhana ke Tension
Pneumotoraks.
4. Ketidakberhasilan mengatasi pneumothoraks terbuka ke pneumothoraks sederhana di
mana fungsi pembalut luka sebagai 1-way katup.
5. Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan pneumothoraks (Corwin,
2009).
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada tension pneumothorax adalah ssebagai berikut
:
1. Takikardi
2. Kelelahan
3. Distres pernapasan
4. Distensi vena jugular karena penekanan pada jantung
5. Deviasi trakea ke arah paru yang sehat
6. Pergeseran mediastinum ke arah paru yang sehat
7. Sianosis karena oksigenasi yang buruk
8. Hipotensi karena cardiac output yang rendah
9. Saat perkusi terdengar hiperresonan
10. Hiperekspansi pada sisi yag terkena
11. Suara jantung menjauh
F. Komplikasi
1. Gagal napas akut (3-5%)
2. Komplikasi tube torakostomi lesi pada nervus interkostales
3. Henti jantung-paru
4. Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
5. Kematian timbul cairan intra pleura, misalnya :
a. Pneumothoraks disertai efusi pleura : eksudat, pus.
b. Pneumothoraks disertai darah : hemathotoraks.
6. Syok (Alagaff, 2005)
7. Tension pneumothoraks dapat menyebabkan pembuluh darah kolaps, akibatnya
pengisian jantung menurun sehingga tekanan darah menurun. Paru sehat juga dapat
terkena dampaknya.
8. Pneumothoraks dapat menyebabkan hipoksia dan dispnea berat. Kematian dapat terjadi
(Corwin, 2009).
G. Patofisiologi
Tension pneumothorax terjadi ketika adanya gangguan yang melibatkan pleura
visceral, parietal, atau cabang trakeobronkial. Gangguan terjadi ketika terbentuk katup 1
arah, yang memungkinkan udara masuk ke rongga pleura tapi tidak memungkinkan bagi
keluarnya udara. Volume udara ini meningkat setiap kali inspirasi karena efek katup 1 arah.
Akibatnya, tekanan meningkat pada hemitoraks yang terkena. Saat tekanan naik, paru
ipsilateral kolaps dan menyebabkan hipoksia. Peningkatan tekanan lebih lanjut
menyebabkan mediastinum terdorong ke arah kontralateral dan menekan jantung serta
pembuluh darah besar (Brohi, 2004).
Thorax
Ruptur pleura
Inspirasi Ekspirasi
Nyeri Akut
H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) diperlukan apabila pemeriksaan foto
dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk
membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan
cairan intra dan ekstrapulmonal serta untuk membedakan antara pneumotoraks spontan
dengan pneumotoraks sekunder.
3. Pemeriksaan foto dada tampak garis pleura viseralis, lurus atau cembung terhadap
dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah antara kedua garis pleura
tersebut tampak lusens karena berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan
vascular pada daerah tersebut.
Sinar x dada : Menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural; dapat
menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.
4. Pemeriksaan Laboratorium :
a. GDA : Variable tergantung dari derajat paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan
mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaO2
mungkin normal atau menurun;saturasi oksigen biasanya
menurun. Analisa gas darah arteri memberikan gambaran
hipoksemia.
b. Hb : Menurun, menunjukan kehilangan darah.
c. Torasentesis : Menyatakan darah / cairan sero sanguinosa.
I. Penatalaksanaan Medis
1. Primery Survey
a. Airway and cervical spine control
Pemeriksaan apakah ada obstruksi jalan napas yang disebabkan benda asing, fraktur
tulang wajah, atau maksila dan mandibula, faktur laring atau trakea. Jaga jalan nafas
dengan jaw thrust atau chin lift, proteksi c-spine, bila perlu lakukan pemasangan
collar neck. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan napas
bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.
b. Breathing: gerakan dada asimetris, trakea bergeser, vena jugularis distensi, tapi masih
ada nafas.
1) Needle decompression : Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera
dan penaggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar
pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang terkena. Tindakan ini
akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana.
Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan
pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (setinggi puting susu) di
anterior garis midaksilaris.Dekompresi segera pake jarum suntik tusuk pada sela
iga ke 2 di midklavikula dan tutup dengan handskon biar udara lain tidak masuk
nanti lakukan WSD lebih lanjut setelah sampai RS.
2) Prinsip dasar dekompresi jarum adalah untuk memasukan kateter ke dalam rongga
pleura, sehingga menyediakan jalur bagi udara untuk keluar dan mengurangi
tekanan yang terus bertambah. Meskipun prosedur ini bukan tatalaksana definitif
untuk tension pneumothorax, dekompresi jarum menghentikan progresivitas dan
sedikit mengembalikan fungsi kardiopulmoner.
3) Pemberian Oksigen
5) EKG
6) NGT bila tidak ada kontraindikasi (fraktur basis kranii)
7) Bersihkan dengan antiseptic luka memar dan lecet bila ada lalu kompres dan obati
c. Lakukan tube thoracostomy / WSD (water sealed drainage, merupakan tatalaksana
definitif tension pneumothorax), (Continous suction).
A. Pengkajian
1. Pengkajian UmumKlien tampak sakit berat, ditandai dengan wajah pucat, nafas sesak.
2. Pengkajian AVPU (Kesadaran)
Untuk menentukan tingkat kesadaran klien dapat digunakan perhitungan Glassglow
Coma Scale (GCS). Untuk klien dengan gangguan tension pneumothoraks, biasanya
kesadaranya menurun.
Dapat juga dinilai melalui cara berikut :
a. A = Alert
Penderita sadar dan mengenali keberadaan dan lingkungannya.
b. V = Verbal
Penderita hanya menjawab/bereaksi bila dipanggil atau mendengar suara.
c. P = Pain
Penderita hanya bereaksi terhadap rangsang nyeri yang diberikan oleh penolong,
misalnya dicubit, tekanan pada tulang dada.
d. U = Unrespon
Penderita tidak bereaksi terhadap rangsang apapun yang diberikan oleh penolong.
Tidak membuka mata, tidak bereaksi terhadap suara atau sama sekali tidak bereaksi
pada rangsang nyeri.
3. Triage
Mengancam jiwa, akan mati tanpa tindakan dan evaluasi segera. Harus didahulukan
langsung ditangani. Area resusitasi. Waktu tunggu 0 menit. Maka dapat digolongkan
P1 (Emergency).
4. Primary Survey
a. Airway
1) Assessment :
a) Perhatikan patensi airway.
b) Dengar suara napas.
c) Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada.
b. Management :
1) Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust,
hilangkan benda yang menghalangi jalan napas.
2) Re-posisi kepala, pasang collar-neck
3) Lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)
c. Breathing :
1) Assesment
a) Periksa frekwensi napas
b) Perhatikan gerakan respirasi
c) Palpasi toraks
d) Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
2) Management
a) Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
b) Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks
d. Circulation :
1) Assesment
a) Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
b) Periksa tekanan darah
c) Pemeriksaan pulse oxymetri
d) Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
2) Management
a) Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
b) Torakotomi emergency bila diperlukan
c) Operasi Eksplorasi vaskular emergency
d) Pemasangan WSD
Pada pneumothoraks ventil/ tension pneumothoraks, penderita sering sesak
napas berat dan keadaan ini dapat mengancam jiwa apabila tidak cepat dilakukan
tindakan perbaikan. Tekanan intrapleura tinggi, bisa terjadi kolaps paru dan ada
penekanan pada mediastinum dan jantung. Himpitan pada jantung menyebabkan
kontraksi terganggu dan “venous return” juga terganggu. Jadi selain menimbulkan
gangguan pada pernapasan, juga menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah
(hemodinamik).
Penanganan segera terhadap kondisi yang mengancam kehidupan meliputi
dekompresi pada hemitoraks yang sakit dengan menggunakan needle thoracostomy
(ukuran 14 – 16 G) ditusukkan pada ruang interkostal kedua sejajar dengan
midclavicular line. Selanjutnya dapat dipasang tube thoracostomy diiringi dengan
control nyeri dan pulmonary toilet (pemasangan selang dada) diantara anterior dan
mid-axillaris. Penanganan Diit dengan tinggi kalori tinggi protein 2300 kkal + ekstra
putih telur 3 x 2 butir / hari.
5. Secondary Survey
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode SAMPLE, yaitu
sebagai berikut :
S : Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu Ada jejas pada
thorak, Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi, Pembengkakan lokal
dan krepitasi pada saat palpasi, Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek,
Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan, Penurunan tekanan darah.
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi obat-
obatan ataupun kebutuhan akan makan/minum.
M : Medications
(Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications especially).
Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan keadaan
klien dan tidak menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat dilakukan sesuai
dengan riwayat pengobatan klien.
P :Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L :Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E :Events /Environment surrounding the injury; ie. Exactly what happened.
Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara mengkaji data dasar klien
yang kemudian digolongkan dalam SAMPLE.
a. Aktivitas / istirahatDispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b. Sirkulasi
Takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama jantung gallop,
nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda
homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan
udara dalam mediastinum).
c. Psikososial
Ketakutan, gelisah.
e. Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
f. Nyeri / kenyamanan
Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada unilateral meningkat
karena batuk, timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau
nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
g. Pernapasan
Pernapasan meningkat/takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot
aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun/
hilang (auskultasi mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang dalam
rongga pleura), fremitus menurun, perkusi dada : hipersonor diatas terisi udara,
observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma, kulit : pucat,
sianosis, berkeringat, mental: ansietas, gelisah, bingung, pingsan. Kesulitan
bernapas, batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis, inflamasi /
infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi tumor).
h. Keamanan
Adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.
6. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri dilakukan dengan menggunakan PQRST, yaitu sebagai berikut :
P :Provokativ. Penyebab terjadinya nyeri.
Q :Quality.
Kualitas nyeri yang dirasakan oleh klien. Untuk menentukan kualitas nyeri
dapat digunakan skala numerik ataupun melihat raut wajah klien.
R :Region.
Dari bagian mana nyeri mulai dirasakan dan sampai batas mana nyeri
doarasakan.
S :Skala.
Nyeri yang digunakan ditentukan dengan menggunakan skala numerik
ataupun menilai raut wajah klien. Dari skala dapat ditentukan intensitas atau
kualitas nyeri.
T :Time.
Waktu nyeri yang dirasakan klien. Apakah nyeri yang dirasakan terus
menerus, timbul-hilang, atau sewaktu-waktu.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural; dapat
menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.
b. GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
c. Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosa.
d. Hb : mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah.
8. Keperawatan
a. Pola pernafasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan),
nyeri, ansietas, ditandai dengan dispnea, takipnea, perubahan kedalaman pernapasan,
penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal, gangguan pengembangan dada, sianosis,
GDA tak normal.
b. Resiko tinggi trauma penghentian napas b/d kurang pendidikan
keamanan/pencegahan, ditandai dengan dispnea, takipnea, perubahan kedalaman
pernapasan, hilangnya suara nafas, pasien tidak kooperatif.
c. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan pengobatan b/d kurang menerima
informasi ditandai dengan kurang menerima informasi, mengekspresikan masalah,
meminta informasi, berulangnya masalah.
d. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
e. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek
spasme otot sekunder.
b. 6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
B. Analisa Data dan Diagnosa
Rencana Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan Tujuan dan Kriteria
Intervensi Rasional
Hasil
f. Kolaborasi denmgan
dokter, pemberian
analgetik.
g. Observasi tingkat nyeri,
dan respon motorik klien,
30 menit setelah
pemberian obat analgetik
untuk mengkaji
efektivitasnya. Serta setiap
1 - 2 jam setelah tindakan
perawatan selama 1 - 2
hari.
C. Implementasi
Pelaksanaan adalah tahap pelaksanaan terhadap rencana tindakan keperawatan yang
telah ditetapkan untuk tindakan perawatan klien. Implementasi dilaksanakan sesuai dengan
rencana setelah dilakukan validasi, disamping itu juga dibutuhkan keterampilan interpersonal,
intelektual. Tekhnikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan
selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai implementasi dilakukan
evaluasi kemudian didokumntasikan yang meliputi intervensi yang sudah dilakukan serta
bagaimana respon klien.
D. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah
membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan
yang diharapkan dalam perencanaan. Dalam dokumentasi dikenal 2 cara yaitu secara sumatif
dan formatif. Biasanya evaluasi menggunakan acuan SOAP atau SOAPIER sebagai tolak ukur
pencapaian implementasi. Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana
tujuan tercapai :
1. Berhasil : perilaku klien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan
pada tujuan.
2. Tercapai sebagian : pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam
pernyataan tujuan.
3. Belum tercapai : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan perilaku yang diharapkan
sesuai dengan pernyataan tujuan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pneumotoraks merupakan keadaan emergensi yang disebabkan oleh akumulasi
udara dalam rongga pleura, sebagai akibat dari proses penyakit atau cedera.
Pneumotoraks dibagi menjadi Tension Pneumothorax dan non-tension pneumathoraks.
Semakin lama tekanan udara di dalam rongga pleura akan meningkatkan dan melibihi
tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru
sehingga sering menimbulkan gagal nafas.
Pada pneumothoraks ventil/ tension pneumothoraks, penderita sering sesak
napas berat dan keadaan ini dapat mengancam jiwa apabila tidak cepat dilakukan
tindakan perbaikan. Tekanan intrapleura tinggi, bisa terjadi kolaps paru dan ada
penekanan pada mediastinum dan jantung. Himpitan pada jantung menyebabkan
kontraksi terganggu dan “venous return” juga terganggu. Jadi selain menimbulkan
gangguan pada pernapasan, juga menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah
(hemodinamik).
B. Saran
Dalam usaha peningkatan mutu dan kualitas sumber daya perawat dalam usaha
pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat, maka hendaknya mahasiswa calon
perawat dapat melakukan pemenuhan pembelajaran. Khususnya dalam pembuatan
asuhan keparawatan dan dalam melakukan tindakan keperawatan hendaknya dapat
dilakukan dengan baik dan benar. Maka untuk itu dipandang perlu bimbingan yang
optimal dari bapak/ibu pembimbing guna peningkatan mutu dari mahasiswa tersebut
terlebih dalam bidang gawat darurat.
DAFTAR PUSTAKA
Alagaff, Hood, dkk. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University
Press.
Aru W. Sudoyo, dkk.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed V. Jakarta: Interna
Publishing.
Bosswick, John A., Jr. 2008. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC.
Manson, J. Robert. 2010. Murray & Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine, 5/e. dalam
Kurniasih, Dkk, 2009, hlm.2343)