Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH ISU ISU KESEHATAN REPRODUKSI

“aspek religi dan keagamaan dalam penanganan masalah kespro”

Oleh: Kelompok 6

Rahmi Umarefi 1711212008


Wahyuni elka putri 1811216014
Dwi yuliani 1811216023
Yola Tania 1811216028
Cut Mutia 1811216002

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan terimakasih atas kehadirat Allah SWT, karena
dengan rahmat dan nikmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Kami berterima kasih kepada
dosen pengampu mata kuliah Isu isu kesehatan reprodusi

Dalam penyelesaian makalah ini, kami telah berusaha semaksimal


mungkin mengumpulkan berbagai informasi yang menyangkut materi aspek religi
dan keagamaan dalam masalah kesehatan reprodusi. Namun, kami menyadari
makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kami meminta
maaf dan mengharapkan saran dan kritikan dari para pembaca. Demikianlah
makalah ini dibuat, semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan bagi kita semua.

Padang, Oktober 2019

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2


Daftar Isi ............................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ..................................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang ........................................ Error! Bookmark not defined.
1.2 Rumusan Masalah ................................... Error! Bookmark not defined.
1.3 Tujuan ...................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 26
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 26
3.2 Saran ....................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan reproduksi merupakan sustu kondisi sehat menyangkut
sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Kesehatan reproduksi merupakan suatu
hal yang penting mengingat reproduksi adalah sarana untuk me-lahirkan
generasi penerus bangsa. Masalah kesehatan reproduksi, termasuk perencanaan
kehamilan dan persalinan yang aman secara medis harus menjadi perhatian
bersama, bukan hanya kaum perempuan saja karena hal ini akan berdampak
luas dan menyangkut berbagai aspek kehidupan yang menjadi tolok ukur dalam
pelayanan kesehatan.

Problem pemahaman mengenai kesehatan reproduksi juga dialami para


remaja. Berdasarkan survey kependudukan tahun 2007, Indonesia masih
memiliki angka per-nikahan dini yang sangat tinggi dengan rata-rata 19,1 tahun
usia pernikah-an. Ini dikarenakan 20,9% remaja perempuan telah hamil diluar
nikah, 38,75 melakukan seks bebas.1 Survey kesehatan reproduksi remaja putri
di beberapa kota besar menunjukkan selama tahun 2011 terdapat 41% telah
melakukan hubungan seksual sebelum nikah. Terdapat kenaikan yang cukup
signifikan pada kasus aborsi yang di-lakukan remaja perempuan. Kuntari
menyebutkan bahwa di Indonesia angka abortus remaja perempuan mencapai
2-2,6 juta kasus pertahunnya atau sekitar 43 kasus aborsi setiap 100 kehamilan
usia muda antara 15-24 tahun.2 Kasus lain berkaitan dengan problem penyakit
menular seksual lainnya adalah meningkatnya jumlah angka penderita dengan
HIV/AIDS. Tahun 2012 sebanyak 26.483 kasus HIV/AIDS terjadi pada
kelompok usia muda antar 20-29 tahun. Tahun 2013 terdapat 29.031 kasus
HIV/AIDS ter-jadi pada keompok usia muda.3

Sebagai negara dengan masyarakat yang relegius dan mempunyai adat


istiadat yang beragam, penanganan masalah kesehatan reproduksi harus di
lakukan dengan mempertimbangkan segala aspek, termasuk aspek religi atau
keagamaan. Sangat disayangkan, jika Indonesia dengan mayoritas penduduk
muslim memiliki masalah kesehatan reproduksi yang sangat kompleks yang
dipengaruhi prilaku-pilaku yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama
islam. Seharusnya aspek keagamaan ini adalah modal dasar dalam mengontrol
prilaku masyarakat. Untuk itu perlu diketahui bagaimana pandangan dan aspek
religi dalam kesehatan reproduksi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pandangan islam terhadap Hak-hak reproduksi dan


kesehatan reproduksi?
2. Bagaimanakah pandangan islam tentang seks bebas?
3. Bagaman pandangan islam tentang menyusui?
4. Bagaimanakah pandangan islam tentang KB?
5. Bagaimanakah pandangan islam tentanh homo-lesbian?
6. Bagaimanakah penangan masalah kespro dengan mempertimbangkan
aspek religi atau keagamaan (khususnya Dengan prespektif agama
islam)

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui Pandangan agama tentang kesehatan reproduksi


2. Untuk mengetahui Aspek religi dan keagamaan dalam Penanganan
masalah kesehatan reproduksi.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Hak-Hak Reproduksi

Perbincangan yang komprehensif tentang hak-hak reproduksi di tingkat


internasional pertama kali digelar di Kairo Mesir, yakni pada Konferensi
Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di atas. Konferensi yang digelar oleh
PBB ini melahirkan satu dokumen penting yang dikenal dengan Dokumen Kairo.
Isinya antara lain: “Hak-hak reproduksi mencakup hak-hak asasi tertentu yang
telah diakui dalam hukum-hukum nasional, dokumen hak asasi internasional dan
dokumen kesepakatan PBB terkait lainnya.

Hak-hak ini berlandaskan pada pengakuan tentang hak asasi tiap pasangan
dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak
dan waktu kelahiran anaknya dan hak untuk memperoleh informasi tentang hal
itu, serta hak untuk mencapai tingkat kesehatan reproduksi dan seksual. Mereka
juga berhak untuk mengambil keputusan tentang reproduksinya yang bebas dari
perbedaan, pemaksaan atau kekerasan. Perhatian penuh harus diberikan untuk
meningkatkan saling menghormati secara setara dalam hubungan antara laki-laki
dan perempuan, khususnya dalam upaya memenuhi kebutuhan akan pendidikan
dan pelayanan untuk remaja sehingga mereka akan mampu mengatasi masalah
seksual secara positip dan bertanggung jawab.

Berbicara tentang hak-hak reproduksi berarti berbicara tentang suatu


spektrum yang luas, mencakup pembicaraan tentang relasi laki-laki dan
perempuan, baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Namun, secara
spesifik pembicaraan tentang hak-hak reproduksi terfokus pada masalah-masalah
perkawinan, kehamilan, kelahiran, perawatan dan pengasuhan anak. Termasuk di
dalamnya juga pembicaraan tentang aborsi, penyakit menular seksual dan HIV/
AIDS, Keluarga Berencana (KB) berikut alat-alat kontrasepsi dengan seluruh
problemnya, serta masalah prilaku seksual. Dengan penjelasan di atas lalu muncul
pertanyaan, apa hubungan agama, dalam hal ini Islam, dengan kesehatan
reproduksi.

Sejumlah hasil penelitian, menurut Musdah, merekomendasikan bahwa


persoalan kesehatan reproduksi tak bisa hanya didekati melalui perspektif medis
semata. Pasalnya, persoalan ini sangat kompleks sehingga perlu pendekatan yang
juga lebih komprehensif, yaitu dengan perspektif sosial. Setidaknya ada dua
alasan mengapa perspektif sosial itu penting, dan Islam selalu mengejawantah
secara sosial. Pertama, kesehatan seorang perempuan sangat terkait dengan
eksistensi perempuan tersebut dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya,
serta sejauh mana mereka menyadari hak-hak asasinya, termasuk hak reproduksi
tadi. Kedua, kesehatan perempuan tidak hanya sebatas kesehatan fisik, melainkan
juga kesehatan mental dan sosial. Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa ada
kaitan sangat erat antara agama (Islam) dengan kesehatan dan hak-hak reproduksi.
Hal ini disebabkan agama selalu memiliki nilainilai yang berhubungan dengan
realitas sosial. Lebih dari itu agama selalu berada dalam sebuah konstruk realitas
sosial tertentu.

Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Pemahaman Jamaah Majlis


Taklim Salma al-Fareeha Dari penelusuran pustaka yang sudah dilakukan,
didapatkan signifikansi dari penelitian ini. Pertama, karena hak-hak kesehatan
reproduksi perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia yang bersifat
universal serta harus dihormati. Kedua, pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi
perempuan memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya memberdayakan
perempuan. Hak-hak kesehatan reproduksi ini tampaknya menjadi salah satu
aspek kehidupan perempuan yang sering kali tidak bisa diperoleh sebagaimana
mestinya. Dan ketiga, kesehatan reproduksi juga mempunyai peranan yang
penting dalam upaya pengembangan sumber daya manusia.

Namun realitas sosial tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi


perempuan di Indonesia (termasuk pada majlis taklim yang diteliti) masih belum
sepenuhnya seperti yang diinginkan. Pada majlis taklim Salma al-Fareeha ini,
hak-hak reproduksi perempuan masih dianggap isu yang sensitif karena berkaitan
dengan relasi suami terhadap istri. Situasi ini memunculkan suatu pertanyaan
mendasar tentang kepemilikan tubuh perempuan. Kondisi ini semakin sulit karena
ketimpangan relasi gender juga mendapatkan legitimasi dari sistem sosial, budaya
dan agama. Perbincangan sekitar gender dan segala hal yang terkait dengan hak-
hak reproduksi perempuan dewasa ini pada gilirannya harus menarik keterlibatan
para tokoh agama. Ini karena mereka dengan pemahaman terhadap doktrin-
doktrin agama yang dimilikinya telah memberikan warna yang cukup signifikan
dalam menciptakan konstruksi sosial dalam kaitannya dengan relasi laki-laki dan
perempuan, demikian ungkap Husein Muhammad.

Tokoh agama bisa membawa agama untuk kemajuan masyarakat atau


justru mereduksi pesan-pesan agama. Ini semua tergantung pada perspektif-
perspektif keagamaannya yang diyakininya, lanjut Husein. 1. Hak Memilih
Pasangan Hal pertama yang berkaitan dengan hak dan kesehatan reproduksi
perempuan adalah memilih pasangan. Dalam penelitian ini ditemukan fakta yang
cukup beragam antara lain: sebagian menganggap bahwa laki-laki dari kodratnya
adalah makhluk yang berhak memilih dan perempuan adalah yang dipilih.
Sebagian lagi menganggap bahwa: “karena laki-laki yang bertanggungjawab
terhadap nafkah keluarga, maka dialah yang berhak memilih, demikian pandangan
Watiah dan Tasemi. Pandangan dan sikap seperti ini sebagian karena pengaruh
elit keagamaan yang pernah mereka dengar. Artinya ada transformasi pandangan
dan sikap dari elit keagamaan terhadap jamaah majlis taklim. Sebagian yang lain
menganggap bahwa, meski mereka dipilih saat menentukan pasangan namun
mereka beranggapan perempuan juga memiliki hak untuk memilih pasangan.
Pandangan yang “maju” beranggapan (dan memang dalam pengalaman mereka)
bahwa harus ada sikap saling memilih, artinya setara dalam hak memilih
pasangan. Bahkan ada yang merasa merekalah yang memilih.

Beberapa dari mereka ingat dengan yang disampaikan kyai/ ustadz dalam
pengajian majlis taklim ini tentang sabda Nabi Muhammad SAW: “perempuan
dinikahi karena beberapa alasan, karena hartanya, keturunannya/ nasab, karena
kecantikannya dan karena agamanya”. Sebagian sebab munculnya pandangan dan
sikap yang berbeda-beda tersebut karena: pendidikan, pekerjaan, usia dan
pengalaman. Dengan demikian agama tetap berpengaruh pada mereka selama hal
tersebut “sesuai” dengan kondisi mereka.

a. Hak menikmati hubungan

Seksual Konsekuensi logis dari sebuah perkawinan adalah dilakukannya


hubungan seksual oleh pasangan suami isteri. Bagi suami isteri yang menempuh
perkawinan atas dasar suka sama suka dan keduanya memang sudah sama-sama
ingin melakukan hubungan seks, hal itu tidak jadi masalah bahkan akan selalu
didambakan, karena masing-masing akan merasa penuh kepuasan dan penuh
kenikmatan. Namun lain halnya dengan pasangan suami isteri yang menempuh
perkawinan dengan cara paksa. Bagi mereka malam pertama akan menjadi
pengalaman yang sangat menakutkan bahkan membuat dia traumatis (selalu takut)
setiap kali akan berhubungan.

Namun ada juga yang meskipun suami isteri perkawinan tidak dipaksa,
tetapi karena hubungan seks tidak/belum diinginkan oleh si istri, maka akibatnya
istri merasa tak mendapat perhatian dan perlakuan yang baik dari suami.
Kenyataan menunjukkan banyaknya laki-laki dan bahkan perempuan yang
beranggapan bahwa kenikmatan seksual tidak penting bagi seorang istri. Istri
hanya menjalankan kewajiban. Fakta tersebut adalah fakta “umum”, termasuk
pada majlis yang diteliti. Dari serangkaian wawancara yang sudah dilakukan
ditemukan kenyataan bahwa mereka menganggap hubungan seksual bagi istri
adalah kewajiban semata, mereka tidak/belum menganggap hubungan seksual
bagi isteri adalah sebuah hak. Bahkan ada seorang jamaah yag takut menolak jika
suami mengajak berhubungan seksual karena suaminya pasti marah dan baginya
hal ini akan mengganggu keharmonisan keluarga. Artinya mereka tidak/belum
memiliki perspektif bahwa hubungan seksual bagi isteri adalah hak. Ada beberapa
jamaah yang mendasarkan sikapnya dengan yang mereka ingat dari pengajian
bahwa: seorang isteri akan dilaknat malaikat, apabila menolak hubungan seksual
dengan suaminya, sampai waktu subuh.

Sebagian memperkuat dengan menyatakan bahwa taat kepada suami


adalah hal yang utama dan pertama dari berbagai kewajiban-kewajiban istri
terhadap suami, termasuk dalam berhubungan seksual. Hal demikian disebabkan
karena konsepsi mereka tentang pernikahan, yang menganggap pernikahan
sebagai ‘aqd al-tamlik (kontrak pemilikan), yakni bahwa dengan pernikahan
seorang suami telah melakukan kontrak pembelian perangkat seks (budl’u)
sebagai alat melanjutkan keturunan dari pihak perempuan yang di nikahinya.7
Meskipun, sebenarnya agama (Islam) dengan jelas menyatakan adanya hak
perempuan untuk menikmati hubungan seks.

Dalam Al Qur’an dinyatakan: ‫“ ﻟﻬﻦ ﻟﺒﺎس وأﻧﺘﻢ ﻟﻜﻢ ﻟﺒﺎس ﻫﻦ‬mereka adalah
selimut bagi kamu, dan kamu adalah selimut bagi mereka”.8 Ayat ini menunjukan
adanya posisi yang setara antara suami isteri, masing-masing sebagai pakaian,
dalam arti yang berfungsi sebagai penghangat dikala suami atau isteri
membutuhkan kehangatan baik fisik maupun psikis. Dalam rangka melindungi
hak isteri untuk menikmati hubungan seksual, Rasulullah Saw bersabda:

‫وﺳﻠﻢ ﻋﻠﻴﻪ اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ رﺳﻮل ﻗﺎل أﻧﺲ ﻋﺘﻦ‬: ‫ﺛﻢ أﻫﻠﻪ أﺣﺪﻛﻢ ﺟﻤﻊ اذا‬, ‫أن ﺣﺎﺟﺘﻪ ﻗﺒﻞ اذاﻗﻀﻲ ﻓﻠﻴﺼﺪﻗﻬﺎ‬
‫ﺣﺎﺟﺘﻬﺎ اﻧﻘﺾ ﺣﺘﻰ ﻳﻌﺰﻟﻬﺎ ﻓﻼ ﺣﺎﺟﺘﻬﺎ ﺗﻘﻀﻬﺎ‬. )‫(ﻳﻌﻠﻰ وأﺑﻲ ﻋﺒﺪاﻟﺮزاق رواه‬

Dari Anas, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang di antara kamu


melakukan hubungan seksual dengan istrinya maka ….. Jika ia telah
menyelesaikan hajatnya (orgasme) sebelum istrinya maka janganlah melepasnya
sebelum si istri menyelesaikan hajatnya.” (HR. Abdurrazzaq dan Abu Ya’la)

Dengan menunjuk kepada ayat Al Qur’an dan Hadist tersebut di atas,


jelaslah bahwa suami dianjurkan untuk memperhatikan apakah isterinya ikut
menikmati ataukah belum. Isteri bukan hanya diperlakukan sebagai obyek untuk
memuaskan hasrat suami, melainkan juga sebagai subyek. Namun ada pula yang
beranggapan bahwa baik suami maupun istri sama-sama memiliki hak untuk
menikmati hubungan seksual, meski pandangan ini hanya dimiliki oleh beberapa
orang saja. Ada juga pandangan yang menarik bahwa mereka senang dan puas
bisa melayani suaminya namun mereka tidak menuntut kepuasan karena
mengganggap sebagai sebuah kewajiban.

Puas disini berarti bukan secara biologis namun secara psikhis. Berangkat
dari hasil interpretasi fakta realitas lapangan di atas dari persoalan hak menikmati
hubungan seksual, maka kebanyakan ulama fiqih berpendapat bahwa pelayanan
seksual harus selalu dipenuhi oleh isteri, kapan dan dimana saja suami
menginginkannya. Dengan kata lain, ketika suami menghendaki relasi seksual
(hubungan intim) maka isteri tidak boleh menolaknya. Penolakan atas hal ini
dapat dipandang sebagai pembangkangan, yang dalam istilah al-Qur’an disebut
“nusyuz”.10 pandangan ini mendapatkan legitimasi dari hadis Nabi saw. dengan
kategori sahih: “Jika suami mengajak isterinya ke “ranjang”, lalu dia menolak,
dan karena penolakan itu suami marah, maka si isteri mendapat kutukan para
malaikat sampai pagi”.

Pemahaman literal atas teks Hadist di atas bisa menimbulkan efek


psikologis bagi perempuan. Hubungan seksual atas dasar tekanan sangatlah tidak
sehat. Ruang budaya di sekitar kita tampaknya telah terhegomoni oleh pandangan
keagamaan di atas. Pada sisi lain, al-Qur’an menentukan perlunya relasi suami
istri didasarkan atas mawaddah wa rahmah, cinta dan kasih sayang. Dalam bahasa
al-Qur’an disebut juga sebagai mu’asyaroh bi alma’ruf, hubungan yang baik.
Dengan landasan ini sistem kehidupan yang dijalani suami akan melalui proses-
proses yang sehat, termasuk dalam hubungan seks (persetubuhan).

Oleh karena itu lanjut Husein, hadis tersebut tidak bisa dipahami dari
pandangan lahiriahnya. Beberapa pensyarah hadis memberikan penjelasan ketika
mereka mengatakan bahwa kewajiban istri melayani kebutuhan seksual
ditunjukan terhadap istri yang memang tidak mempunyai alasan apapun untuk
menolaknya, tidak ada uzur, tidak dalam keadaan mengerjakan suatu kewajiban,
dan tidak dalam situasi di bawah ancaman suami yang bisa merugikan dirinya.
Selanjutnya perlu dikemukakan pandangan dua pakar dalam bidang hadis.
Pertama, Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 1449) dalam bukunya/kitabnya, Fath Al-Bari,
mengatakan bahwa kutukan itu di timpakan pada si perempuan (istri yang
menolak) jika dia melakukan penolakan tanpa alasan apapun.

Kedua, Wahbah al-Zuhaili dalam karyanya al-Fiqh al-Islami wa


Adillatuh14, mengatakan bahwa hukuman itu ditimpakan kepada istri apabila dia
tidak disibukkan oleh urusan-urusan yang menjadi kewajibannya dan dia tidak
dirugikan secara fisik maupun mental. Selanjutnya Al-Zuhaily15, menambahkan
bahwa kalimat (dan suami sepanjang malam dalam kondisi marah) dalam hadits
di atas dianggap sebagai syarat kondisional. Artinya “tidak bisa berlaku pada
perempuan yang memang tidak dapat melayani suaminya, seperti ketika istri
dalam keadaan capek, sedang melaksanakan suatu kewajiban (seperti puasa wajib
dll.) atau keadaan yang secara fisik atau mental istri tidak siap untuk melakukan
hubungan seksual dengan suaminya.

b. Hak Menentukan Kehamilan dan Memiliki

Keturunan Secara kodrati perempuan mengemban tugas reproduksi umat


manusia yang umumnya meliputi mengandung, melahirkan dan menyusui anak.
Dalam al-Qur’an, fungsi kemanusiaan yang sangat berat ini diapresiasi demikian
mendalam dalam surat Al-Ahqaf (46): 15. Al-Qur’an menegaskan kepada segenap
manusia tentang beban amat berat, beban reproduksi yang dipikul oleh kaum
perempuan, kaum ibu. Dengan itu, lalu muncullah konsepsi dan kategori hak-hak
kaum perempuan/ibu sebagai pengemban fungsi reproduksi: pertama, hak jaminan
keselamatan dan kesehatan. Hak ini mutlak mengingat resiko sangat besar yang
bisa terjadi pada kaum ibu dalam menjalankan fungsi-fungsi reproduksinya, mulai
dari menstruasi, berhubungan seks, mengandung, melahirkan dan menyusui16.

Kedua, hak jaminan kesejahteraan, bukan saja selama proses-proses vital


reproduksi (mengandung, melahirkan dan menyusui) berlangsung, melainkan juga
di luar masa-masa itu dalam statusnya sebagai istri dan ibu dari anak-anak. Dan
ketiga, hak ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan
(istri) khususnya yang berkaitan dengan proses reproduksi. Karena begitu
beratnya resiko proses reproduksi yang harus dijalani dan ditanggung oleh
seorang ibu, maka perlu diketahui siapakah yang berhak mengatur/menentukan
kehamilan. Dalam rangka hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan,
seharusnya memang istrilah yang lebih berhak menentukan apakah dia mau hamil
atau tidak, dia mau punya anak berapa, bahkan alat kontrasepsi apa yang ingin dia
gunakan atau mungkin tidak menggunakan alat kontrasepsi karena alasan-alasan
tertentu.
Demikian beberapa pandangan, kaitannya dengan persoalan menentukan
kelahiran dan jumlah anak. Pandangan yang dalam persepktif penguatan/
pemberdayaan kesehatan dan hak-hak reproduksi perempuan dapat dirasakan
sebagai hal yang masih mengganjal. Dalam kaitan ini dapatlah dipaparkan
beberapa pandangan Husein Muhammad. Dia mengatakan : “Hamil pada satu sisi
merupakan harapan yang membahagiakan istri dan suami, tetapi boleh jadi
merupakan peristiwa yang tidak dikehendaki. Terlepas apakah kehamilan itu
dikehendaki atau tidak, akan tetapi al-Qur’an menyatakan bahwa perempuan yang
hamil selalu berada dalam kondisi yang sangat lemah dan berat. Tingkat
kelemahan ini akan semakin besar dan berat menjelang saat-saat melahirkan. Dan
melahirkan bagi perempuan merupakan saat-saat paling kritis dalam
kehidupannya. Resiko kematian ibu karena melahirkan seringkali terjadi.
Sehingga Nabi saw. memberi jaminan surga bagi perempuan yang mati karena
melahirkan. Hasil penelitian para ahli kependudukan dan kesehatan reproduksi
perempuan menunjukkan bahwa komplikasi kehamilan dan persalinan merupakan
pembunuh utama kaum perempuan usia subur. Berdasar argumentasi diatas,
Husein melanjutkan18, adalah masuk akal dan seharusnya mendapat perhatian
utama, jika perempuan mempunyai hak atau pilihan menolak untuk hamil.

Demikian juga dalam hal menentukan jumlah anak yang diinginkannya,


termasuk dalam hal penggunaan alat-alat kontrasepsi, istri juga berhak
menentukan sendiri alat yang sesuai dengan kondisinya. Fakta dalam penelitian
ini terungkap sebagai berikut: secara umum jamaah majlis taklim Salma al-
Fareeha beranggapan bahwa: hak menentukan kehamilan dan memiliki keturunan
adalah hak suami, istri harus mengikuti. Hal ini mereka nyatakan dengan alasan,
karena suamilah yang bertanggunggugjawab memberi nafkah keluarga.

Meskipun kata mereka sebaiknya diputuskan bersama-sama. Ada suatu


pengakuan dari mereka, bahkan jenis kontrasepsi apa yang akan digunakan oleh
sang istri ditentukan oleh suaminya. Ada cerita dari seorang ibu bahwa dia
dipaksa menggugurkan kandungannya karena hamil tanpa perencanaan dari
suami, ibu ini dianggap oleh suaminya tidak bisa mengurus dirinya sendiri.19
Dari sini dapat dinyatakan bahwa: hak menentukan kehamilan dan memiliki
keturunan adalah “sepenuhnya” hak suami. Betapapun bahaya atau merugikan
pilihan tersebut.

c. Hak Menceraikan Pasangan

Tidak ada pasangan suami istri yang mendambakan terjadinya perceraian


ketika mereka memasuki pernikahan, tapi terkadang perceraian dipandang sebagai
jalan terbaik bagi pasangan yang tidak menemukan keharmonisan dalam rumah
tangga. Tidak ada jaminan bahwa dalam hidup hanya hal-hal yang diidealkan
yang bisa terjadi, karena secara umum disadari bahwa tidak mungkin perceraian
sama sekali dihindari. Mengapa? Karena menurut kesan umum, dalam Fiqih Islam
begitu lapang jalan menuju perceraian, khususnya bagi suami, sementara istri
lebih sulit.

Sebagai ajaran moral Ilahiah, Islam sangat tidak menyukai perceraian20.


Secara moral perceraian adalah sebuah pengingkaran. Akan tetapi sadar bahwa
tidak mungkin perceraian sama sekali dihindari, maka dengan penuh penyesalan,
demi alasan yang sangat khusus, Islam pun terpaksa menerima kemungkinan
terjadinya. Ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW yang penuh ambivalensi:
“Sesuatu yang halal tetapi dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian” (HR. Abu
Dawud dan Ibn Majah). Penting untuk dicatat, meskipun Rasulullah diketahui
memiliki banyak istri, akan tetapi tidak seorang pun diceraikan.

Pernah sekali Rasulullah menceraikan Hafshah, tapi segera dirujuknya


kembali (HR. Abu Dawud dan Nasa’i). Secara sosio-psikologis dan dalam hukum
positif di Indonesia, suami atau istri sama-sama mempunyai hak menuntut
perceraian. Hanya mungkin, kalau yang mengajukan adalah pihak suami disebut
talak, kalau yang mengajukan istri disebut khuluk atau cerai gugat. Namun
siapakah yang memiliki hak menceraikan pasangan, istri atau suami?, penelitian
ini mengungkap berbagai hasil wawancara. Keduanya (suami atau istri) memiliki
hak sama dalam persoalan menceraikan pasangan. Misalnya kata mereka
mencontohkan, suami telah menyalahi/melupakan kewajibannya, meninggalkan
istri dalam waktu tertentu atau tidak bisa memberi keturunan dan lain-lain.
Contoh tersebut dapat dijadikan alasan pihak istri untuk menceraikan
suaminya. Jadi secara prinsip, perempuan boleh meminta cerai kepada suaminya
jika memang mempunyai argumentasi yang jelas. Setidaknya ada lima alasan
yang disebutkan Wahbah Al-Zuhaili21 Pertama, karena ketidakmampuan suami
memberi nafkah, yaitu mencukupi kebutuhan sandang, pangan, papan dan
kesehatan, yang diperlukan bagi kehidupannya. Jika istri tidak bisa menerima
keadaan ini, maka ia bisa meminta kepada sang suami untuk menceraikannya.
Kedua, karena cacat yang menyebabkan suami tidak bisa memenuhi nafkah batin,
misalnya impotensi, atau alat vital putus.

Ketiga, karena suami bertindak kasar, misalnya suka memukul. Untuk


melindungi kepentingan dan keselamatan istri, atas permintaan yang bersangkutan
pengadilan berhak menceraikannya. Keempat, karena kepergian suami dalam
waktu yang relatif lama, tidak pernah ada di rumah. Dan kelima, suami dalam
status tahanan/kurungan. Senada dengan kutipan-kutipan di atas, penelitian ini
menemukan fakta bahwa: suami yang memiliki hak untuk menceraikan istrinya/
pasangan namun istri juga bisa melakukannya. Ada beberapa di antara mereka
yang menggunakan lafadz dalam shighot taklik talak (seperti yang ada pada buku
nikah/ surat nikah) sebagai alasan seorang istri juga memiliki hak untuk
menceraikan suami/ pasangannya.

d. Merawat Anak

Merawat anak, terdiri dari menyusui, menyuapi, memandikan, mendidik


dan sebagainya, adalah termasuk tugas reproduksi. Akan tetapi, berbeda dengan
peran reproduksi seperti hamil dan melahirkan yang bersifat kodrati dan hanya
bisa ditangani oleh ibu, merawat anak adalah tugas reproduksi non-kodrati, yang
pada dasarnya merupakan tanggungjawab bersama, antara bapak dan ibu anak-
anaknya.

Bahkan menurut Masdar dalam pandangan fiqih konvensional yang


mempertautkan anak sepenuhnya kepada ayah, segala macam pekerjaan merawat
anak adalah tanggung jawab ayah. Dalam hal ini termasuk juga menyusui.
Pekerjaan menyusui hanya ibu yang bisa melakukannya, tapi biaya susuannya jika
harus dikeluarkan adalah tanggung jawab ayah. Landasannya, kata Masdar, adalah
firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 233.

Penelitian ini menemukan kenyataan sebagai berikut: rata-rata (kalau


bukan seluruhnya) ibu-ibu jamaah majlis taklim yang diteliti memiliki
pemahaman bahwa: mengurus/ merawat anak dengan segala persoalannya adalah
tanggungjawab istri karena suami sudah bertanggungjawab pada nafkah anak dan
keluarga. Bahkanpun ketika sang istri bekerja di luar rumah. Namun ada pula
yang membedakan, kalau merawat selain mendidik adalah kewajiban istri
sedangkan mendidik adalah kewajiban suami.

2. Pandangan Islam tentang Kesehatan Reproduksi

Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk sebaik-


baiknya, yang mempunyai keutamaan dibanding makhluk lain. Keutamaan
tersebut adalah akal, nafsu dan agama. Akal membedakan manusia dari binatang,
nafsu membedakan manusia dengan benda dan agama membedakan manusia
sebagai insan mulia. Apresiasi Islam pada seks salah satunya terdapat pada surat
Arrum: 21
ٰ َ َ َ َ ُ َ ِّ ُ ُ َ َ ً َ ُ ُ َ ِّ
ْ‫ق انْ ا ٰي ِتهْ َو ِمن‬
ْ ‫لتسكنوا زواجاَا انف ِسكمْ منْ لكمْ خل‬
َ َ َ َ َ
‫ل ِالي َها‬
ْ ‫وجع‬

ُ َ ً َّ ً َّ َ ٰ َ َ ِّ
ْ‫ن َّْۗو َرح َم ْة َّم َود ْة َبينكم‬
ْ ‫ف ِا‬ ْ ‫لقومْ َل ٰيتْ ْذ ٰ ِل‬
ِْ ِ ‫ك‬
َ َّ َ َ
ْ‫َّيتفك ُرون‬

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir” (Depag, 1971: 366)

Dari ayat diatas dijelaskan bahwa manusia diciptakan berpasang pasangan


untuk kemudian terjalin dalam ikatan pernikahan. Pernikahan mempunyai tujuan
sebagai proses kelangsungan generasi umat manusia di dunia. Allah SWT
menciptakan hasrat seksual (syahwat) pada manusia. Syahwat sama normalnya
dengan nafsu makan dan minum. Seperti hasrat hasrat lain yang Allah ciptakan
pada manusia, hasrat seksual sangatlah kuat dan dapat menguasai manusia yang
lemah. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat Ali Imran: 14
ُ َّ َّ ۤ ِّ َ َ ْ َ
ْ ِ ‫ن الش َه ٰو‬
ْ‫ت ُحبْ ِللناسْ ِّزي َن‬ َْ ‫ي الن َسا ِْء ِم‬
ْ ‫والب ِن‬
ََْ َ َ َ ُْ
ِ ‫الم ْقنط َرِْة والقن‬
ْ ‫اط‬
‫ي‬

َ َّ َّ ْ َ ْ ْ َ
ْ‫ب ِم َن‬ ْ ِ ‫ل َوال ِفض ِْة الذه‬
ْ ِ ‫َوال ال ُم َس َّو َم ِةْ َوالخي‬
َ ‫ام‬
ْ ِ ‫ان َع‬
ْ َ ُ َ
ْ ِ ‫ك َْۗوال َحر‬
‫ث‬ ْ ‫َمت‬
ْ ‫اع ذ ٰ ِل‬

ْ‫وة‬ ٰ َ ْ َ ٰ َ
ُْ ‫ِعن ْدهْ َو‬
ِ ‫اّللْۗالدنيا الحي‬
ٰ ْ
ْ‫ب ُحس ُن‬
ْ ِ ‫ال َما‬

Artinya: ”dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada


apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatangbinatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).”(Depag, 1971: 47)

Hasrat seksual, sebagaimana nafsu makan dan minum, dapat dipenuhi


dengan cara yang halal maupun yang haram. Adalah haram untuk memuaskan
hasrat seksual diluar ikatan perkawinan, sesama jenis, dengan hewan ataupun
dengan orang mati . Firman Allah SWT surat al-A’raf: 81
ُ َّ َ ُ ْ َ َ َ َ ِّ ً َ َ ِّ ُ ۗ ۤ ِّ ُ َ َ
ْ‫ن ِانكم‬
ْ ‫ال لتأتو‬ ْ ِ ‫قومْ انتمْ َبلْ الن َسا ِْء دو‬
ْ ‫ن منْ شهو ْة الرج‬
َ ُ
ْ‫مْسفون‬

Artinya: ”Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan


nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum
yang melampaui batas.”(Depag, 1971: 146)

3. Pandangan Islam tentang Seks Bebas

Dalam masyarakat masa kini interaksi antara laki-laki dan wanita yang
bukan muhrim sulit dihindari. Kedua jenis kelamin dalam penampilan dan tingkah
lakunya dapat merangsang nafsu seksual. Hal ini dapat menggiring kepada
perilaku seks bebas. Dalam penerapan konsep Islam, tentang menutup aurat,
larangan berdua-duan antara pria dan wanita selain muhrim, menggunakan parfum
yang menyengat, percampuran dalam pemandian umum merupakan beberapa hal
yang harus dilaksanakan dalam sistem pendidikan Islam sebagai langkah preventif
dalam menghindari seks bebas. Hal ini mengacu pada firman Allah surat Al-Isra’:
32
َ َ ٰ ِّ َّ َ َ ً َ َ َ ۤ َ َ
ْ‫الزنْ تق َر ُبوا َوَل‬ ْ‫ان ِانه‬
ْ ‫احشْ ْة ك‬
ِ ‫وسا ْءْۗف‬
ْ‫َس ِبي ًل‬

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu


adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (Depag, 1971:
258)

Zina adalah hubungan seksual antara pria dengan wanita yang tidak terikat
oleh perkawinan yang sah yang dilakukan secara sengaja (Abdul Aziz Dahlan,
1996: 2026). Tetapi segala perbuatan yang mendekati zina merupakan hal mutlak
yang harus dipahami umat Islam agar tidak terperangkap dalam pemahaman yang
salah mengenai seksualitas manusia yang menyimpang dari ajaran Islam. Dengan
ungkapan janganlah berbuat zina, yang berarti pelarangan zina bukan sekedar
koitus yang tidak sah tetapi segala hal yang mendekatinya juga dilarang. Hal ini
dipertegas pada surat al-Ahzab: 59
َ َّ ُ َ َ َ ِّ َ ٰ َ َ َ ۤ َ َ ْ
‫ب ٰياي َها‬
ْ ِ ِ ‫ك قلْ الن‬
ْ ‫ك َلزو ِاج‬ ْ ‫ال ُمؤ ِم ِن‬
ْ ‫ي ِنسا ِْءَو وبن ِت‬
َ
َّْ ‫ِمنْ َعلي ِه‬
َْ ‫ن ُيد ِن‬
‫ي‬
ۗ َ َ ٰ ٰ َ َ َ َ َ َ َۗ َ ُ َ َ َ ُ ٰ
ْ‫ك َجَل ِبي ِب ِه َّن‬
ْ ‫ن ذ ِل‬
ْ ‫ن انْ ْاد‬
ْ ‫َل يعرف‬
ْ‫نف‬ ْ ‫ان يؤذي‬
ْ ‫اّللْ وك‬
ُ َ
‫َّر ِحي ًما غفو ًرا‬

Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak


perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Depag, 1971: 285)

Dari beberapa ayat diatas mengindikasikan bahwa perlunya langkah


preventif untuk menghindari seks bebas. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih:
‫مكَ اِل ِر ﺑقَ ْدِ ﻓَﻊ ﻳﺪ اَﻧَفَّﺮر‬
‫ِن‬

“kemadlaratan itu harus dihindarkan sedapat mungkin.”

Yang dimaksud dari kaidah ini adalah kewajiban menghindarkan


terjadinya suatu kemadlaratan, atau dengan kata lain, kewajiban melakukan usaha-
usaha preventif agar jangan terjadi suatu kemadlaratan dengan segala daya upaya
yang mungkin dapat diusahakan (Mu’in dkk, 1986: 200). Dalam hal ini segala hal
yang mendekati seks bebas harus di hindari.

4. Pandangan Islam Mengenai Menyusui

Al Qur’an menganjurkan bayi yang baru lahir disusui oleh ibunya selama
2 tahun. Hal ini diungkapkan dalam QS Luqman: 14, Albaqoroh: 233 dan Al-
Ahqof: 15. QS Luqman: 14 menyatakan sebagai berikut:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibubapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. (Luqman,
ayat 14). Dukungan agama terhadap ASI ini ditegaskan dalam QS al-Baqarah/2:
233:

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anakanaknya selama dua tahun


penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum 2
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa oleh
orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Maha
melihat apa yang kamu kerjakan”
Selanjutnya, dijelaskan bahwa Ibnu Abbas dan para imam lainnya
menyimpulkan bahwa masa penyusuan anak minimal adalah enam bulan,
sebagaimana firman Allah dalam QS Al Ahqof: 15

Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu
bapaknya, ibunya yang mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya
dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun
ia berdoa:”Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”

Berdasarkan ayat Al Qur’an di atas, dapat disimpulkan bahwa Al Qur’an


mengisyaratkan dua pilihan masa menyusui,

1. dua tahun penuh, bila ingin memberikan ASI secara sempurna


sebagaimana tersebut dalam QS. Al-Baqoroh/2: 233.
2. 21 bulan, yang difahami dari QS al-Ahqaf/46: 15, bahwa masa kehamilan
sampai menyapihnya adalah 30 bulan. Bila masa kehamilan 9 bulan, maka
masa menyusui 21 bulan.

Dua penafsiran itu tidak mengandung pertentangan tentang upaya maksimal


pemberian ASI. Ajaran Islam juga menunjukkan pemuliaan bagi para ibu yang
sedang dalam masa menyusui dengan memberikan keringanan (rukhshah) untuk
tidak menjalankan puasa Ramadan dan tidak perlu mengganti (qadla) di luar bulan
Ramadan, namun cukup menggantinya dengan membayar fidyah. Keringanan ini
diberikan oleh Islam karena ibu menyusui dan ibu hamil digolongkan pada orang
dalam kondisi berat untuk berpuasa.

Sebagaimana perkataan Ibnu Hibban kepada seorang ibu yang hamil: Artinya:
“Engkau termasuk orang berat berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah
dan tidak usah mengganti puasa (qadla).” (HR Al-Bazar dan dishahihkan oleh ad-
Daruquthni) Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik: Artinya:
“Diriwayatkan dari Anar bin Malik, bahwa ia berkata: Rasulullah SAW telah
bersabda: sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah membebaskan puasa dan
separuh shalat bagi bepergian serta membebaskan puasa dari perempuan yang
hamil dan menyusui” (HR. An Nasai)

5. Pandangan Islam Tentang Keluarga Berencana (KB)

Berbicara tentang Keluarga Berencana (KB) memang terkesan ada


kontradiksi dalam Alqur an, karena ada ayat yang menganjurkan untuk banyak
anak, namun ada yang menganjurkan jangan meninggalkan generasi yang lemah.
QS An Nisa’ ayat 9

Artinya: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang


seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka... Hal yang sama dikatakan oleh
Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Di dalam sebuah hadis
dalam kitab Sahihain disebutkan seperti berikut:

Artinya: Ketika Rasulullah SAW masuk ke rumah Saad Ibnu Abu Waqqas
dalam rangka menjenguknya, maka Saad bertanya, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada orang yang mewarisiku
kecuali hanya seorang anak perempuan. Maka bolehkah aku menyedekahkan dua
pertiga dari hartaku? Rasulullah SAW menjawab, “tidak boleh”. Saad bertanya,
“kalau demikian separonya?” Rasulullah menjawab, “jangan”. Saad bertanya,
”bagaimana kalau sepertiganya?” Rasulullah menjawab, “Sepertiganya sudah
cukup banyak,” Kemudian Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bila kamu
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik
daripada kamu membiarkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada
orang”. Keluarga yang berkualitas juga sejalan dengan tuntunan Islam yang
dikenal dengan Keluarga Sakinah, sesuai ayat Al Qur’an surat ar-Rum (30) ayat
21.

Dalam keadaan darurat, upaya ini dibolehkan dengan syarat adanya


persetujuan suami isteri dan tidak mendatangkan madarat jasmani dan rohani.
Pencegahan kehamilan yang berlawanan dengan ajaran Islam adalah pencegahan
yang sikap dan tindakannya dijiwai oleh adanya niat enggan mempunyai
keturunan, atau sengaja merusak/mengubah organ yang bersangkutan: seperti
memotong secara permanen karena tidak mau berketurunan, tanpa alasan
kesehatan atau alasan untuk melindungi kehidupan (Siti Aisyah, 2014).

Demikian halnya penjarakan kehamilan dapat dibenarkan sebagai kondisi


darurat atas dasar kesehatan dan pendidikan dengan persetujuan suami-istri dan
pertimbangan dari dokter dan ahli agama. Adapun yang dimaksud dengan kriteria
darurat ialah,

1. pertama, mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau keselamatan ibu karena


mengandung atau melahirkan, yang didasarkan pada pengalaman atau
keterangan dokter yang dapat dipercaya (QS Al Baqarah/2: 195 dan QS
An Nisa /4: 29).
2. Kedua, mengkhawatirkan keselamatan agama, karena faktor kesempitan
penghidupan, seperti kekhawatiran menjalankan hal-hal yang merusak
aqidah, menjalankan perbuatan haram atau melanggar larangan karena
didorong oleh kepentingan anak-anak (QS Al Baqarah/2: 185 dan QS Al
Maidah/5: 6 dan 3).
3. Ketiga, mengkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak bila jarak
kelahiran terlalu rapat, sebagaimana hadis Nabi yang artinya “Jangan
bahayakan (dirimu) dan jangan membahayakan orang lain” (Hadis Hasan
diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dari Ibnu Abbas dan oleh Ibnu
Majah dari ‘Ubadah)

Pengaturan kehamilan maupun kelahiran anak dapat dibenarkan sebagai


kondisi darurat atas pertimbangan keselamatan jiwa dan kesehatan ibu karena
hamil atau melahirkan, mengkhawatirkan keselamatan agama akibat kesulitan ibu,
adanya kekhawatiran akan kesehatan dan pendidikan anak-anak bila jarak terlalu
dekat.

Keputusan melaksanakan KB dilakukan dengan persetujuan suami-istri,


dengan pertimbangan aspek kesehatan dan nilai-nailai Islam. Adapun KB yang
dipandang menyalahi ajaran Islam adalah KB yang dilakukan karena sikap enggan
mempunyai anak dan menggunakan alat kontrasepsi dengan cara sterilisasi yang
dapat merusak atau mengubah organ reproduksi secara permanen dan
menyalahitujuan pernikahan untuk mendapatkan keturunan.

Metode operasi, implan dan IUD dapat digunakan untuk jangka waktu yang
lama dan membutuhkan peralatan tambahan. Penggunaan pil, suntik dan kondom
membutuhkan kepatuhan klien untuk menjamin pencegahan kehamilan tak
dikehendaki (KTD). Sedangkan untuk vasektomi dan tubektomi, sebagian ulama
meragukan kebolehan metode KB ini, terutama dengan pemotongan yang
permanen, karena dikhawatirkan tidak dapat disambung lagi seperti sediakala.
Pandangan Majlis Tarjih PP Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia belum
memberikan ketegasan akan kebolehan metode KB vasektomi dan tubektomi.
Baru-baru ini ditemukan kecanggihan teknologi untuk penyambungan kembali
saluran sperma yang telah dipotong (rekanalisasi). Sehingga menurut pendapat ini
alasan hukum (‘illah) keharaman vasektomi, yakni pemandulan permanen dapat
dihilangkan. Karenanya, berdasarkan argument ini hukum vasektomi menjadi
boleh (mubah), sesuai dengan kaidah fiqhiyah: ”Hukum sesuatu tergantung pada
ada atau tidak adanya alasan hukumnya, dan hilangnya hukum sesuatu disebabkan
oleh hilangnya alasan hukum (‘illah)-nya

6. Pandangan Islam Mengenai Homoseksual Dan Lesbian

Islam melarang hubungan homoseksualitas, sodomi, lesbianisme, dan


perilaku seksual lain yang tidak wajar. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam al-
Qur’an surat an-Naml: 55 dan as-Syuara’: 165-166
َ ََُْ َ َ ْ
ْ‫ان اتأتون‬ َْ ‫ِم‬
ْ ‫ن الذكر‬
ْ
َ ‫ْۙال ٰع َلم‬
ْ‫ي‬ ِ
َ ََ َ َ َ ُ َ ُ َ ۗ ُ َ ُ َ
ْ‫ن َربكمْ لكمْ خلقْ َما َوتذ ُرون‬
ْ ‫مَِاز َواج ِّم‬
ْ ‫انتمْ بلْ ك‬
َ َ ُٰ
ْ‫ن قوم‬
ْ ‫عدو‬

Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia. Dan kamu tinggalkan
isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-
orang yang melampaui batas".
Ayat di atas menyatakan bahwa perbuatan tersebut telah dilakukan oleh
kaum Luth yang melakukan perbuatan seperti binatang, yaitu perbuatan
homoseksual. Makhluk hidup yang lain bila melakukan hubungan seks, maka itu
dilakukannya dengan lawan jenisnya, yakni jantan dengan betina, lelaki dengan
perempuan, sedangkan kaum Luth itu, melakukannya dengan sesama jenis yaitu
laki-laki dengan laki-laki pula. Padahal Allah telah menciptakan semuanya
dengan berpasang pasangan, bahkan ikan-ikan yang merupakan makhluk masih
mengarungi samudra yang luas menuju ketempat terpencil, untuk memenuhi
bertemu dengan lawan seksnya, dan setelah itu kembali lagi ke samudra, bahkan
bukan hanya binatang dan tumbuh-tumbuhan, atom pun yang negatif dan positif,
elektron dan proton bertemu untuk saling menarik demi memelihara
eksistensinya.

Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sangat buruk, yang sudah


tidak dapat lagi mengekang hawa nafsunya. mereka lebih senang menggauli laki-
laki dari pada berhubungan dengan perempuan. Padahal Allah telah menciptakan
laki-laki dan wanita, dan menjadikan keduanya berpasangan agar saling tertarik
untuk merealisasikan hikma-Nya, dan kehendak-Nya dalam mengembangbiakkan
kehidupan dengan berketurunan. Dan itu terjadi dengan bersatunya antara laki-
laki dan wanita. Sedangkan perbuatan homoseksual ini tidak menghasilkan apa
apa dan ini merupakan penyakit jiwa, yang mana menurut Ilmu jiwa, orang itu
disebut Abnormal atau Psychopad. Karena sudah merusak rasa kemanusiaannya.
Dalam Surat an-Naml ayat 55, yaitu

"Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu),


bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak
mengetahui (akibat perbuatanmu)".

Pada ayat ini juga menerangkan, bahwa perbuatan tersebut dinamakan


suatu penyakit yang sangat jahat. Karena mereka mendatangi laki-laki, padahal
tidaklah terdapat suatu pintu depan untuk masuk kedalamnya, melainkan melalui
pintu belakang yaitu dubur, tempat mengeluarkan kotoran, alangkah kejinya
perbuatan tersebut. Dari itulah perbuatan homoseksual ini disamakan dengan
suatu penyakit. Homoseksual merupakan perbuatan yang sangat buruk sehingga
dinamai fahisyah. Ini antara lain dapat dibuktikan bahwa ia tidak dibenarkan
dalam keadaan membela diri atau menjatuhkan sanksi hukum; hubungan seks
dibenarkan oleh agama kecuali dalam keadaan berzina itupun jika terjadi dalam
keadaan syubhat , maka masih dapat ditoleransi dalam batas-batas tertentu.

Rasulullah bersabdah: “Tidaklah tampak perbuatan keji disuatu kaum,


hingga dilakukan secara terang-terangan, kecuai akan tersebar di tangah-tengah
mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah dikenal oleh
generasi terdahulu.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam konteks pelanggaran tersebut terdapat fitrah seksual , dan sanksinya


antara lain yang pada dewasa ini terkenal dengan penyakit AIDS. Penyakit ini
pertama kali ditemukan di New York, Amerika Serikat pada tahun 1979 pada
seseorang yang ternyata telah melakukan hubungan seksual secara tidak normal.
Dan kemudian ditemukan pada orang-orang lain dengan kebiasaan seksual yang
serupa. Penyebab utama AIDS adalah hubungan yang tidak normal, dan inilah
yang disebut dengan faẖisyah didalam al-Qur’an

7. Penanganan Kespro Melalui aspek keagamaan

Untuk penanganan masalah kespro yang terjadi di masyarakat tenaga


kesehatan khususnya bisa melalukan promosi kesehatan kepada masyarakat.
Contohnya melakukan penyuluhan dengan prespektif keagamaan atau melibatkan
tokoh agama. Selain itu juga melakukan advokasi dalam program kesehatan
melibatkan tokoh agama usztad atau LSM dan organisasi keagamaan untuk
memberikan pemahaman-pemahaman terkait dengan permasalahan kespro yang
terjadi di masyarakat agar masyarakat bisa mengatasi permasalahan kespro tidak
hanya dari sudut pandang medis atau kesehatan saja tetapi juga bisa dari sudut
pandang agama sesuai dengan yang sudah dijelaskan dan dipaparkan dalam Al-
Qur'an, agar penanganannya tidak menyimpang dari aturan agama yang telah
ditetapkan Tuhan YME.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
persoalan kesehatan reproduksi tak bisa hanya didekati melalui perspektif
medis semata. Pasalnya, persoalan ini sangat kompleks sehingga perlu pendekatan
yang juga lebih komprehensif, yaitu dengan perspektif sosial. Setidaknya ada dua
alasan mengapa perspektif sosial itu penting, dan Islam selalu mengejawantah
secara sosial. Ada kaitan sangat erat antara agama (Islam) dengan kesehatan dan
hak-hak reproduksi. Hal ini disebabkan agama selalu memiliki nilai-nilai yang
berhubungan dengan realitas sosial. Lebih dari itu agama selalu berada dalam
sebuah konstruk realitas sosial tertentu.

Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk sebaik-


baiknya, yang mempunyai keutamaan dibanding makhluk lain. Keutamaan
tersebut adalah akal, nafsu dan agama. Akal membedakan manusia dari binatang,
nafsu membedakan manusia dengan benda dan agama membedakan manusia
sebagai insan mulia

Dalam penerapan konsep Islam, tentang menutup aurat, larangan berdua-


duan antara pria dan wanita selain muhrim, menggunakan parfum yang
menyengat, percampuran dalam pemandian umum merupakan beberapa hal yang
harus dilaksanakan dalam sistem pendidikan Islam sebagai langkah preventif
dalam menghindari seks bebas.

Melalui aspek keagamaan tenaga kesehatan bisa melakukan promosi


kesehatan kepada masyarakat, contohnya Melakukan penyuluhan dg prespektif
keagamaan atau melibatkan tokoh agama dan melakukan Advokasi dlm progam
kesehatan melibatkan tokoh agama LSM dan organisasi keagamaan,

3.2 SARAN
Kami sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Kepada penulis selanjutnya agar dapat lebih baik lagi dengan merujuk
kepada sumber-sumber yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Martono, Hadi dan Pranarka, Kris.2009. geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi
4. Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Notoatmodjo Soekidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar.
Jakarta, Rineka Cipta.
Notoatmojo Soekidjo. 2009. Kesehatan Masyarakat ilmu dan seni. Jakarta Rineka
Cipta
Priyanka Bhandari., Rajni Bagga, and Deoki Nandan.2010. Journal of Health Care
vol. 12
Singh, R. and S.Dixit. 2010. Journal of Health Care. vol. 12
Sudoyo A.W.,Setiyohadi B.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta,
EGC.
PMK no 67 tahun 2015 tentangPenyelenggaraan kesehatan usia lanjut di pusat
pelayanan kesehatan masyarakat
PMK no 79 tahun 2014 tentang pelayanan geriatri di rumah sakit
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentangmodel Perlindungan
Perempuan Lanjut Usia Surveymeter Lansia 2012

Waliko. (2013). Islam Hak Dan Kesehatan Reproduksi. Jurnal Dakwah Dakwah &
Komunikasi. STAIN Purwokerto.

Rokhmah, Islamiyatur. Kesehatan Reproduksi Dalam Perspektif Alqur'an (Kajian


Ayat-Ayat Kebidanan) Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta.

Jurnal Kebidanan dan Keperawatan.


(Online).https://www.researchgate.net/publication/324116463_Kesehatan_Re
produksi_DalamPerspektif_Alqur'an_KAJIAN_Ayat-Ayat_Kebidanan.
Dikunjungi 14 Oktober 2019.

Anda mungkin juga menyukai