BAB 1
PENDAHULUAN
gizi pada anak balita akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan
yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk
mengetahui kekurangan gizi tersebut, dapat dilakukan penilaian status gizi yang juga
merupakan salah satu tolak ukur pertumbuhan pada anak. Menurut Centers for
Disease Control (CDC). Pada kelompok tersebut mengalami siklus pertumbuhan dan
perkembangan yang membutuhkan zat-zat gizi yang lebih besar dari kelompok umur
yang lain sehingga anak balita paling mudah menderita kelainan gizi. Kejadian gizi
buruk seperti fenomena gunung es dimana kejadian Berat Badan dibawah Garis
Gizi buruk adalah keadaan status gizi yang didasarkan pada indeks Berat
Badan menurut Umur (BB/U) < -3 SD yang merupakan padanan istilah severely
kwashiorkor sendiri adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan
oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan protein yang inadekuat.
dengan kurang dalam kuantitas tetapi kualitas yang normal, sedangkan marasmiks-
dengan odema. Gangguan gizi pada awal kehidupan akan mempengaruhi kualitas
kehidupan berikutnya. Gizi kurang dan gizi buruk pada balita tidak hanya
Terdapat sekitar 54% balita didasari oleh keadaan gizi yang buruk WHO
(2007) pada tahun 2006 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita gizi kurang dan gizi
buruk), dimana 3,5 juta anak balita atau sekitar (19,19 %) dalam tingkat gizi kurang
Goals (MDGs) yang harus dicapai disuatu daerah (kabupaten/kota) pada tahun 2015,
yaitu terjadinya penurunan prevalensi balita gizi buruk menjadi 3,6 persen atau
kekurangan gizi pada anak balita menjadi 15,5 persen (Bappenas, 2010). Pencapaian
target MDGs belum maksimal dan belum merata di setiap provinsi. Berdasarkan data
riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional prevalensi balita gizi buruk
sebesar 4,9 persen dan kekurangan gizi 17,9 persen. Provinsi Jawa Timur termasuk
daerah dengan balita gizi buruk masih tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan
insiden gizi buruk dan gizi kurang. Data Depertemen Kesehatan menyebutkan kasus
gizi buruk dan gizi kurang pada BALITA tahun 2004 (Pemantauan Status Gizi 2004)
masing-masing 8.00 % dan 20,47 % dari seluruh populasi BALITA. Sementara tahun
2005 (Survei Sosial Ekonomi Nasional/ SUSENAS 2005) jumlah kasus gizi buruk
dan gizi kurang berturut-turut 8,8 % dan 19,20 %. Tahun 2006, selama periode
Januari-Oktober, jumlah total kasus gizi buruk yang ditangani petugas kesehatan
sebanyak 20.580 kasus dan 186 diantaranya menyebabkan kematian. Seminar Hari
bahwa sekitar 5.543.944 BALITA dari 19.799.874 BALITA yang ada di seluruh
Indonesia menghadapi masalah gizi buruk dan gizi kurang (Kementerian Koordinator
Departemen Kesehatan untuk mengurangi angka balita gizi kurang dan gizi buruk
belum terpenuhi karena sampai sekarangpun masalah gizi buruk di Indonesia masih
tinggi hal ini dapat dilihat dari data Depkes yaitu jumlah kasus balita gizi kurang dan
gizi buruk pada tahun 2009, sebanyak 5,1 juta jiwa. Pada tahun 2011, jumlah anak
balita bergizi kurang dan buruk turun menjadi 4,28 juta anak, dan 944.246 orang di
antaranya berisiko gizi buruk. Pada tahun 2007, jumlah anak balita bergizi kurang
dan buruk turun lagi jadi 4,13 juta anak, dan 755.397 orang di antaranya tergolong
risiko gizi buruk. Secara kuantitas masih banyak balita kurang gizi yang belum
tersentuh seperti yang terlihat pada data diatas. Sementara secara kualitas, tingkat
kehidupan dan kesehatan bayi masih rendah dan rentan (Departemen Kesehatan
Demikian halnya dengan status gizi buruk pada anak balita di Sumatera Utara
pada tahun 2006 yang tergolong sangat tinggi yaitu sebesar 12,35% dan gizi kurang
18,59%. Gizi kurang pada anak akan menghambat pertumbuhan dan kurangnya zat
tenaga dan kurang protein (zat pembangun) sehingga perlu diperhatikan menu yang
daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh,
mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan
bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik
ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan
buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi.
Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial
Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor
berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya
umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya
Penyebab gizi buruk dapat dilihat dari berbagai faktor yang dapat
mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF ada dua penyebab
langsung terjadinya gizi buruk, yaitu (1) Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal
ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang di konsumsi atau makanan yang
tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu
kemiskinan. (2) Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini
disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap
zat-zat makanan secara baik. Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi
buruk yaitu (1) Faktor ketidaktersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh
masyarakat; (2) Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh
anak; (3) Pengolalaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai
(UNICEF, 2007).
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi
buruk pada anak dan balita, yaitu: (1) Keluarga miskin; (2) Ketidaktahuan orang tua
atas pemberian gizi yang baik bagi anak; (3) Faktor penyakit bawaan pada anak,
seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernapasan dan diare (IDAI, 2010).
Kesehatan dan gizi merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga
kualitas hidup yang optimal. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi
seseorang. Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zat-
zat gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan terjadinya
kesehatan optimal. Sedangkan status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami
kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi. Pada kondisi ini dapat menyebabkan
timbulnya berbagai penyakit yaitu, penyakit infeksi pada gizi kurang (Depkes RI,
2010).
Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka balita termasuk dalam
kelompok masyarakat rentan gizi, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah
menderita kelainan gizi, sedangkan pada saat ini mereka sedang mengalami proses
Balita merupakan salah satu kelompok yang rawan gizi selain ibu hamil, ibu
menyusui dan lanjut usia. Pada masa ini pertumbuhan sangat cepat diantaranya
2000). Anak usia bawah 5 tahun (Balita) mempunyai risiko yang tinggi dan harus
mendapatkan perhatian yang lebih. Semakin tinggi faktor risiko yang berlaku
terhadap anak tersebut maka akan semakin besar kemungkinan anak menderita
merupakan salah satu penyebab kekurangan gizi pada balita. Di pedesaan makanan
pantangan makan pada balita misalnya anak tidak diberikan ikan karena bias
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mousa dkk (2011), menunjukkan
hasil bahwa intervensi pendidikan kesehatan dan gizi pada orang tua atau keluarga
yang mempunyai anak balita akan merubah perilaku dari keluarga itu terutama dalam
hal pengasuhan dan pemberian makan pada anak sehingga akan meningkatkan status
gizi anak balita di keluarga itu. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Widarti (2010) di wilayah Tabanan, Bali. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa
konseling gizi kepada ibu berpengaruh terhadap konsumsi gizi dan status gizi anak
balitanya.
menimbulkan gangguan pada pencernaan seperti diare, muntah, dan sulit buang air
mengalami kesulitan belajar mengunyah, tidak menyukai makanan padat, dan bayi
kekurangan gizi. Anak yang memiliki status gizi kurang/gizi buruk disebabkan oleh
gizi, serta kebiasaan/anggapan yang dipercayai oleh ibu ( Mery Susanty (2011).
Menurut kerangka yang disusun oleh WHO, terjadinya kekurangan gizi dalam
hal ini kurang gizi dan gizi buruk lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni,
penyakit infeksi dan asupan makanan yang secara langsung berpengaruh terhadap
Pada penelitian yang telah dilakukan Dewi (2012) diperoleh hasil bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi dengan kejadian gizi
buruk. Selain itu diperoleh hasil pula bahwa penyakit penyerta merupakan faktor
risiko kejadian gizi buruk. Penyakit infeksi yang paling banyak dialami oleh balita
kelompok gizi buruk adalah diare kronik dan ISPA. Sekitar 10% diare kronik dan
10% ISPA. Hal ini dapat terjadi gizi buruk pada balita yang mengalami diare karena
balita akan mengalami asupan makanan dan banyak nutrisi yang terbuang serta
kekurangan cairan. Selain itu, balita dengan ISPA yaitu salah satu penyakit infeksi
yang sering dialami oleh balita, dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan
Beberapa dampak buruk gizi buruk adalah: (1) rendahnya produktivitas kerja;
(2) kehilangan kesempatan sekolah; dan (3) kehilangan sumberdaya karena biaya
kesehatan yang tinggi. Agar individu tidak kekurangan gizi maka akses setiap
individu terhadap pangan harus dijamin. Akses pangan setiap individu ini sangat
kontinyu. Kemampuan mengakses ini dipengaruhi oleh daya beli, yang berkaitan
kecukupan pangan dan gizi serta kesempatan pendidikan tersebut akan mendukung
pendidikan dasar untuk semua; (3) menurunkan angka kematian anak; dan (4)
tahun 2007, ditemukan balita dengan gizi kurang sebanyak 174 atau 48,60% dari total
balita Bawah Garis Merah (BGM) yang berjumlah 358 balita, dan sebanyak 184
balita gizi buruk atau sekitar 51,39% dari total balita BGM. Pada tahun 2009 balita
dengan gizi kurang menurun menjadi 172 orang atau 46,36% dari balita BGM yang
berjumlah 371 balita, dan balita gizi buruk mengalami peningkatan menjadi sebanyak
199 balita atau sekitar 53,64% dari balita BGM. Sementara itu, pada tahun 2010
balita dengan gizi kurang meningkat menjadi 365 orang atau 81,84% dari balita BGM
yang berjumlah 446 balita, dan balita gizi buruk mengalami penurunan menjadi
hanya sebanyak 81 balita atau sekitar 18,16% dari balita BGM, (Profil Kesehatan
Dari hasil survei awal, didapatkan bahwa wilayah kerja Puskesmas Sayur
Sumatera Utara yang memiliki 19 Desa / Kelurahan. Pada tahun 2013, data yang
diperoleh dari Puskesmas Sayur Matinggi yang mewakili untuk seluruh wilayah
Kecamatan Sayur Matinggi terdapat 1063 balita yang terdaftar di pos penimbangan.
Dan terdapat balita yang dibawah garis merah (BGM) sebanyak 36 balita dari jumlah
balita.
menyebabkan pengetahuan ibu rendah mengenai gizi. Sikap ibu disini maksudnya
persepsi ibu terhadap penanganan gizi buruk, pandangan terhadap manfaat dan
pelayanan yang diberikan puskesmas maupun posyandu. Sebagian besar ibu malas
untuk datang walaupun hanya sekedar untuk menimbang balita mereka ke posyandu
yang hanya satu bulan sekali. Pola asuh balita di wilayah tersebut para ibu balita
cenderung kurang memperhatikan para balita mereka seperti kurangnya para ibu
merawat, menjaga, memberi makan, hygen balita, dan memperhatikan balita agar
senantiasa terjaga dan terawat bahkan ibu membawa anak balita ke sawah dan ladang
tanpa memperhatikan balitanya dengan alasan tidak ada yang menjaga apabila
ditinggal dirumah.
Dari survei yang terdata dari Puskesmas Sayur Matinggi tersebut penelitian
Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sayur
1.2. Permasalahan
ini adalah bagaimana pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian Bawah Garis Merah
kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur
Matinggi.
pekerjaan, paritas dan pendapatan terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM)
pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi kabupaten Tapanuli
Selatan.
b) Untuk mengetahui pengaruh perilaku ibu (pengetahuan, sikap dan pola asuh)
terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja
1.4. Hipotesis
dan pendapatan terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di
b) Ada pengaruh perilaku ibu (pengetahuan, sikap dan pola asuh) terhadap kejadian
Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur
a) Sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat khususnya ibu yang
(BGM).
b) Sebagai bahan masukan bagi Instansi di puskesmas dan dinas kesehatan untuk