TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun dapat
juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan
sendi-sendi.1
2.2 ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil Gram positif
dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol2. Kuman ini
memunyai afinitas terhadap makrofag dn sel Schwann, replikasi yang lambat di sel
Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi
inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan
iskemia, fibrosis, dan kematian akson.3 Mycobacterium leprae dapat bereproduksi
maksimal pada suhu 27°C – 30°C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi
kulit dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin
(kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran
napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal,
kepala, garis tengah punggung.1
7
2.3. EPIDEMIOLOGI
Insiden rate penyakit kusta meningkat sesuai umur dengan puncaknya terjadi
pada umur 10 – 20 tahun dan kemudian menurun.Prevalensinya juga meningkat
sesuai dengan umurnya dan puncaknya pada umur 30 – 50 tahun dan kemudian
perlahan – lahan menurun.
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda –
beda. Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia menduduki
urutan ke 4. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat di seluruh dunia, tampaknya
disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita
kusta.India adalah negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan
Myanmar.
Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada 2000,
738.284 kasus ditemukan.Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat.Pada 2000,
WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta.70% kasus dunia terdapat di
India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia,
dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil,
Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.
Situasi kusta di Sulawesi Utara pada tahun 2006 ditinjau dari beberapa
indikator menunjukkan keadaan sebagai berikut : angka penemuan penderita baru
(case detection rate/CDR) 20,3 per 100.000 penduduk, angka prevalensi 2,2 per
10.000 penduduk, angka cacat tingkat II 4,7 %, dan angka penderita anak < 15 tahun
adalah 7,8%.
8
Kelompok berisiko
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air
yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua
kali lebih tinggi dari wanita.
Situasi global
Sebagaimana yang dlaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada
2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta
pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun
sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari
prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru
yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke
prevalensi terdaftar. Penemuan secara globa terhadap kasus baru menunjukkan
penurunan.
Tabel 2.1 Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus baru pada 2001-2005, tidak
termasuk di Eropa.
Prevalensi
terdaftar Kasus baru yang ditemukan pada tahun
Daerah
(rate/10,000 pop.)
Awal 2006 2001 2002 2003 2004 2005
Afrika 40.830 (0.56) 39.612 48.248 47.006 46.918 42.814
Amerika 32.904 (0.39) 42.830 39.939 52.435 52.662 41.780
Asia Tenggara 133.422 (0.81) 668.658 520.632 405.147 298.603 201.635
Mediterania Timur 4.024 (0.09) 4.758 4.665 3.940 3.392 3.133
Pasifik Barat 8.646 (0.05) 7.404 7.154 6.190 6.216 7.137
Total 219.826 763.262 620.638 514.718 407.791 296.499
Total 112.092 60.001 53.192 80.707 81.289 67.614
9
Prevalensi terdaftar Penemuan kasus baru
(rate/10,000 pop.) (rate/100,000 pop.)
Negara
Awal Awal Awal Selama Selama Selama
2004 2005 2006 2003 2004 2005
79.908 30.693 27.313 49.206 49.384 38.410
Brasil
(4.6) (1.7) (1.5) (28.6) (26.9) (20.6)
Republik 6.891 10.530 9.785 7.165 11.781 10.737
Demokratik Kongo (1.3) (1.9) (1.7) (13.5) (21.1) (18.7)
5.514 4.610 2.094 5.104 3.710 2.709
Madagaskar
(3.4) (2.5) (1.1) (31.1) (20.5) (14.6)
6.810 4.692 4.889 5.907 4.266 5.371
Mozambik
(3.4) (2.4) (2.5) (29.4) (22.0) (27.1)
7.549 4.699 4.921 8.046 6.958 6.150
Nepal
(3.1) (1.8) (1.8) (32.9) (26.2) (22.7)
5.420 4.777 4.190 5.279 5.190 4.237
Tanzania
(1.6) (1.3) (1.1) (15.4) (13.8) (11.1)
Total 112.092 60.001 53.192 80.707 81.289 67.614
2.4 KLASIFIKASI
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate
dan tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).
10
hilangnya Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena
BTA Negatif Positif
Tipe Indeterminate (I), Lepromatosa (LL),
Tuberkuloid (T), Borderline lepromatous
Borderline tuberkuloid (BL), Mid borderline
(BT) (BB)
11
tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat
terjadi adenopati regional (Lewis, 2010).
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula,
papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak
terjadi (Lewis, 2010).
f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil,
difus dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal,
dan hidrotik. Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif(Lewis, 2010).
12
Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline
(LL) Lepromatosa (BB)
(BL)
Lesi
Bentuk Makula, infiltrat Makula, plak, Plak, lesi bentuk
difus, papul, papul kubah, lesi punched
nodus out
Jumlah Banyak distribusi Banyak tapi kulit Beberapa, kulit
luas, praktis tidak sehat masih ada sehat (+)
ada kulit sehat
Distribusi Simetris Cenderung Asimetris
simetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Sedikit berkilap,
beberapa lesi kering
Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
BTA
Pada lesi Banyak Banyak Agak banyak
kulit
Sekret Banyak Biasanya tidak Tidak ada
hidung ada
Tes Negatif Negatif Biasanya negatif
Lepromin
13
TT BT I
LL BL BB
2.5. PATOGENESIS
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon
imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau
menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk M.
leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian
tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadap
kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada
14
suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang
avirulens dan nontoksis.1
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal
pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua
adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator
APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini
akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2.
Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.6
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan
dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu
CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari
penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat
menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan
growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag
akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan
membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel
epitelioid ini akan membentuk granuloma. 6
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel
B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel
mast.6
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan
tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada
Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th1.6
15
2.6 GEJALA KLINIS
Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan
dalam tabel berikut:
PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
Lesi kulit (macula yang 1-5 lesi >5 lesi
datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih simetris
meninggi, infiltrate, Distribusi tidak simetris
plak eritem, nocus)
Kerusakan saraf Hilangnya sensasi yang jelas Hilangnya sensasi
(menyebabkan Hanya satu cabang saraf kurang jelas
hilangnya Banyak cabang saraf
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena
BTA Negatif Positif
Indeterminate (I), Tuberkuloid Lepromatosa (LL),
(T), Borderline tuberkuloid (BT) Borderline lepromatous
Tipe
(BL), Mid borderline
(BB)
16
BTA
Pada lesi kulit Negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatif
Tes Lepromin* Positif kuat (3+) Positif (2+) Meragukan
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3minggu.
Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar
Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline
Lepromatosa
Lesi
Tipe Macula, infiltrate Macula, plak, Plak, lesi bentuk
difus, papul, nodus papul kubah, lesi punched
out
Jumlah Banyak distribusi Banyak tapi kulit Beberapa, kulit sehat
luas, praktis tidak ada sehat masih ada (+)
kulit sehat
Distribusi Simetris Cenderung Asimetris
simetris
Permukaan Halus dan berkilap Halus dan Sedikit berkilap,
berkilap beberapa lesi kering
Sensibilitas Tidak terganggu Sedikit berkurang Berkurang
BTA
Pada lesi Banyak Banyak Agak banyak
kulit
Pada Banyak Biasanya tidak Tidak ada
hem ada
busa
n
hidu
ng
Tes Negatif Negatif Biasanya negatif
Lepromin*
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3minggu.
17
Perbedaan lepra tipe tuberculoid dan lepromatous ditunjukkan lewat skema berikut ini
:
(www.ncbi.nlm.nih.gov, 2001)
18
Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung
2.6. DIAGNOSIS
Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan inspeksi,
palpasi, lalu digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum,
kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil, dan
sebagainya. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya. Kusta mendapat julukan The
great imitator dalam penyakit kulit sehingga perlu didiagnosa banding dengan
penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain adalah:
dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis seboroika,
psoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma, leukemia
kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark (Kosasih, 2002).
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
mebantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah
19
dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba,
dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi.
Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah
lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi
(Siregar, 2003).
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan
nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa,
yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf
biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya
lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat lansung oleh
granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-
tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf,
umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan saraf:
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta
kedua otot lumbrikalis medial
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk,
tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan
tangan
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis,
kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik
kaki dan kolaps arkus pedis
20
6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan
servikal)
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
2.8 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit,
untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi
dini dan pengobatan penderita.4
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi
atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari
para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis
folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash,
anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.4
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan
reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari
NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri
lambung.4
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan
cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus
untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn
22
kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita
kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi
ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada
pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.3,4
Tabel 2.3 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI
(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-
9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu
berhenti minum obat.
23
Tabel 2.4 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)2,3
Rifampicin Dapson
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan
setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama
5 tahun.
24
Pengobatan reaksi kusta.
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul
kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes
, dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan
“Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian
analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis
yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5
hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik
dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian
obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya
prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 –
6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg
antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak
melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang
dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan
sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan
(tapering off) setelah terjadi respon maksimal1,2,3.
Gambar 2.6 Regimen MDT
25