Anda di halaman 1dari 29

Referat

Atelektasis dan
Aspek Radiologisnya

Disusun oleh :

Dila Nur Fitriani


406172113

Pembimbing :

dr. Herman WH, Sp.Rad

Kepaniteraan Klinik Radiologi


RS Royal Taruma Jakarta
Periode 19 Maret - 26 Mei 2018

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara


2018
Halaman Pengesahan

Penyusun : Dila Nur Fitriani (406172113)


Perguruan Tinggi : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Bagian : Radiologi
Periode : 19 Maret - 26 Mei 2018
Judul : Atelektasis dan Aspek Radiologisnya
Pembimbing : dr. Herman WH, Sp.Rad

Telah diperiksa dan disetujui tanggal :

Kepaniteraan Klinik Radiologi


RS Royal Taruma Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui,
Pembimbing Referat

dr. Herman WH, Sp.Rad


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan
tugas laporan kasus dengan baik. Tugas laporan kasus ini disusun untuk
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara periode 19 Maret 2018 – 26 Mei 2018 di RS Royal Taruma
Jakarta.
Selama proses penyusunan tugas laporan ini, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada beberapa pihak yang telah mendukung keberhasilan
penyusunan laporan ini, yaitu
1. Direktur RS Royal Taruma yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menjalankan Kepaniteraan Klinik Radiologi di RS Royal
Taruma.
2. Dokter, staf, dan perawat RS Royal Taruma.
3. Rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Kepaniteraan Klinik
Radiologi di RS Royal Taruma.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak. Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga
laporan ini dapat memberikan manfaat.

Jakarta, 8 Mei 2018

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................... 1

1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ........................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi .................................................................................. 3
2.3 Etiologi ........................................................................................... 4
2.4 Faktor resiko .................................................................................. 7
2.5 Manifestasi klinis ........................................................................... 7
2.6 Pemeriksaan penunjang dan diagnosis ........................................... 12
2.7 Diagnosis banding .......................................................................... 18
2.8 Komplikasi ..................................................................................... 18
2.9 Tatalaksana..................................................................................... 20
2.10 Prognosis ...................................................................................... 21
2.11 Pencegahan ................................................................................... 21

3. KESIMPULAN ........................................................................................... 22

Universitas Tarumanagara 1
BAB I

PENDAHULUAN
Atelektasis berasal dari bahasa Yunani, yaitu ateles dan ektasis yang memiliki arti
ekspansi yang tidak sempurna, dimana pada kondisi ini terjadi kolapsnya paru
atau hilangnya volume paru. Atelektasis memerlukan diagnosis yang tepat karena
atelektasis yang signifikan dapat mengakibatkan kesulitan bernapas dan gangguan
pertukaran gas.

merupakan salah satu kondisi medis yang banyak terjadi di dunia, karena
atelektasis dapat muncul akibat.
Infeksi cacing adalah salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di negara
berkembang. Menurut Depkes pada tahun 2006, prevalensi kecacingan di
Indonesia sekitar 40% - 60% untuk semua umur. Salah satu penyebab kecacingan
adalah Soil Transmitted Helminth (STH). STH merupakan nematoda (cacing
gilik) usus. Cacing ini ditularkan melalui tanah yang terkontaminasi telur atau
larvanya. STH sering terjadi pada daerah dengan tingkat sanitasi dan kebersihan
yang rendah.1,2 Tiga spesies utama STH pada anak yaitu Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, dan cacing tambang.3
Ascaris lumbricoides adalah contoh STH yang tersebar luas di dunia dan
paling sering menginfeksi manusia (sekitar 1,2 juta jiwa di dunia terinfeksi).4,5
Penyakit yang disebabkannya disebut Askariasis.6 Umumnya infeksi Ascaris
lumbricoides bersifat asimtomatik, tetapi infeksi berat pada anak-anak dapat
memunculkan gejala klinis. Infeksi berat dipengaruhi oleh imunitas dan tingkat
paparan, sehingga pada orang dewasa infeksi Ascaris bersifat lebih ringan
dibandingkan pada anak-anak. Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia
dan dapat menyebabkan manifestasi berupa malabsorpsi nutrisi.2,6
Populasi dengan risiko tertinggi untuk terinfeksi Ascaris lumbricoides
adalah anak-anak.3 Anak-anak lebih sering terpapar dengan tanah yang
terkontaminasi dibandingkan orang dewasa karena mereka sering memasukkan
tangan yang telah terkontaminasi ke dalam mulut, sehingga biasanya jumlah
cacing di usus anak-anak juga lebih banyak. 3,7
Data dari berbagai daerah menegaskan bahwa infeksi Ascaris kronis pada
anak-anak dapat menghambat perkembangan kognitif dan intelektual, serta
mengganggu pertumbuhan dan kesehatan anak.3 Komplikasi tersering Askariasis
adalah obstruksi usus. Komplikasi ini paling sering terjadi pada anak-anak
dibawah umur 10 tahun, hal ini dikarenakan lumen usus anak yang masih sempit.2
Oleh karena askariasis sering terjadi pada anak-anak dan menyebabkan
banyak efek yang merugikan seperti gangguan pertumbuhan, maka referat ini
dibuat untuk membahas askariasis hingga tatalaksananya guna menurunkan
kejadian askariasis dan menekan efek yang ditimbulkan.

Universitas Tarumanagara 2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ascaris lumbricoides adalah nematoda (cacing gelang) berukuran besar yang


menginfeksi manusia. Ascaris lumbricoides memiliki beberapa stadium yaitu
telur, larva yang bermigrasi ke berbagai organ tubuh dan cacing dewasa yang
hidup di usus.8 Infeksi Ascaris lumbricoides pada manusia disebut sebagai
Askariasis.9
Askariasis terjadi ketika seseorang secara tidak sengaja menelan telur
cacing pada tanah yang sudah terkontaminasi atau pada makanan yang sudah
terkontaminasi dan tidak dimasak sampai matang (misalnya sayuran). Biasanya
terjadi pada anak-anak yang bermain di sekitar rumah yang tanahnya mengandung
telur cacing.10 Manifestasi klinis askariasis dipengaruhi oleh jumlah larva cacing
yang bermigrasi di dalam tubuh.3

2.2 Epidemiologi

Askariasis adalah infeksi cacing tersering pada manusia dan endemis diseluruh
dunia. Askariasis terjadi di 150 negara dan lebih dari 1,4 milyar orang di dunia
(sekitar setengah dari populasi) merupakan host Ascaris lumbricoides. Prevalensi
di seluruh dunia bervariasi, tetapi tertinggi pada daerah tropis dan subtropis, juga
negara berkembang: Asia dan Oseania 75%, Afrika dan Timur tengah 16,7%,
Amerika selatan dan Caribbean 8,3%.11
Di Indonesia berdasarkan data dari Depkes RI tahun 2009, bahwa
pemeriksaan tinja yang dilakukan pada 8 provinsi di Indonesia menunjukkan
prevalensi kecacingan yang tinggi. Data yang diperoleh sebagai berikut: Banten
60,7%, Nanggroe Aceh Darussalam 59,2%, Nusa Tenggara Timur 27,7%,
Kalimantan barat 26,2%, Sumatera Barat 10,1%, Jawa Barat 6,7%, Sulawesi
Utara 6,7%, dan Kalimantan Tenggah 5,6%.
Berdasarkan penelitian oleh Mardiana (2008) yang menggunakan sampel
anak sekolah dasar di jakarta, didapatkan bahwa di Jakarta Utara dari 120 sampel,
sebanyak 50 sampel tinja positif mengandung telur cacing (49,02%), Jakarta

Universitas Tarumanagara 3
Selatan sebanyak 123 sampel, 19 sampel positif (15,45%), Jakarta barat sebanyak
128 sampel, 83 sampel positif (33,20%) dan Jakarta Timur sebanyak 128 sampel,
12 sampel positif (9,37%).12
Dari penelitian oleh Mardiana tersebut, di Jakarta Utara dari 50 sampel
yang positif telur cacing, 40 sampelnya (80%) positif Ascaris lumbricoides. Dari
19 sampel yang positif telur cacing di Jakarta Selatan, 13 sampel (68,42%) sampel
positif Ascaris lumbricoides. 83 sampel positif telur cacing dari Jakarta Barat, 62
sampelnya (74,70%) positif Ascaris lumbricoides. Sedangkan pada Jakarta Timur
dari 7 sampel yang positif telur cacing, 5 sampelnya (41,67%) positif Ascaris
lumbricoides.12
Tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan
untuk kecenderungan infeksi Ascaris. Anak-anak lebih cenderung mengalami
askariasis karena kesehatan perorangannya lebih buruk dibandingkan orang
dewasa, serta kecondongan mereka untuk memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
Kelompok umur yang paling sering terinfeksi yaitu di usia 2-10 tahun dan
menurun setelah usia 15 tahun. Pada neonatus dapat terjadi askariasis akibat
infeksi transplasenta.13

2.3 Etiologi

Askariasis disebabkan oleh Ascaris lumbricoides yang mendiami usus halus.


Askariasis terjadi ketika seseorang secara tidak sengaja menelan telur berisi
embrio dari Ascaris lumbricoides. Sumber infeksi Ascaris contohnya mainan anak
yang terkontaminasi, makanan yang terkontaminasi dan tidak dimasak sampai
matang (misalnya sayuran), dan air. Walaupun pada air jarang ditemukan. Infeksi
biasanya terjadi pada anak-anak yang bermain di sekitar rumah yang tanahnya
mengandung telur cacing.2,4,7
Cacing jantan berukuran 10-31 cm, ekor melingkar, memiliki 2 spikula.
Sedangkan cacing betina berukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada 1/3 bagian
anterior memiliki cincin kopulasi. Mulut cacing terdiri atas 3 buah bibir. Telur
yang dibuahi berukuran ±60 x 45 mikron , berbentuk oval, berdinding tebal
dengan 3 lapisan dan berisi embrio. Pada telur yang tidak dibuahi berukuran ±90 x
40 mikron, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas 2
lapisan dan dalamnya bergranula. Sedangkan pada telur decorticated, lapisan
albuminoidnya terlepas karena proses mekanik.14

Taksonomi Ascaris lumbricoides :


Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Chromadorea
Ordo : Ascaridida

Universitas Tarumanagara 4
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris.15

Gambar 2.1 Telur infertil Gambar 2.2 Telur infertil


Ascaris lumbricoides. decorticated Ascaris
lumbricoides.

Gambar 2.4 Larva di dalam Gambar 2.3 Telur fertil


Acaris lumbricoides. decorticated Ascaris lumbricoides.

Universitas Tarumanagara 5
Gambar 2.5 Cacing dewasa
Ascaris lumbricoides.

Sumber : https://www.cdc.gov/dpdx/ascariasis/index.html

Gambar 2.6 Siklus hidup Ascaris lumbricoides

Sumber : https://www.cdc.gov/dpdx/ascariasis/index.html

Siklus hidup Ascaris lumbricoides (Gambar 2.6). Dimulai saat cacing dewasa
betina dibuahi oleh cacing dewasa jantan. Di lumen usus, cacing betina
menghasilkan telur ±200.000 per hari (1). Telur fertil yang dieksresikan bersama
tinja, belum berisi embrio. Telur yang infertil dapat tertelan tetapi tidak infektif
(2). Sedangkan telur yang fertil kemudian mengalami embrionasi lalu berkembang
menjadi larva stadium 2 (L2) dan infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu
(3), proses ini tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimalnya adalah
tanah yang lembab, hangat dan gelap).16,17

Universitas Tarumanagara 6
Setelah telur infektif tertelan (4), L2 di dalam telur akan terstimulasi untuk
menetas di usus sehingga larva keluar (5) dan menginvasi mukosa jejenum.
Dalam beberapa hari larva bermigrasi ke hati melalui aliran darah atau aliran
limfe pencernaan. Larva terbawa bersama aliran darah porta lalu ikut sirkulasi
sistemik menuju ke paru (6). Di paru larva menjadi matur (larva stadium 3 (L3)),
kemudian menembus dinding alveolus dan naik sampai di tenggorokan, lalu
tertelan (7). Larva stadium 3 (bersifat tahan asam) melewati lambung dan sampai
di usus halus. Di usus halus larva berkembang menjadi cacing dewasa.16,17
Selama masa migrasi, larva mencetuskan respon inflamasi yang
melibatkan infiltrasi eosinofil. Antigen Ascaris yaitu ABA-1 memicu respon
imun, dan antibodi IgE terhadapnya. Larva juga melepaskan glycosphingolipids
imunomodulatorik yang menghambat respon TH1. Selama di intestinal , gejala
muncul karena adanya cacing di dalam usus yang bermigrasi ke lumina lain atau
akibat perforasi ke peritoneum. Mekanisme pertahanan cacing sendiri adalah
dengan mensekresikan peptida yang menghambat kerja enzim pencernaan
pankreas (tripsin, kimotripsin, elastase). Enzim pencernaan yang terhambat
menyebabkan malabsorpsi nutrisi termasuk vitamin A. Askariasis juga
menyebabkan intoleransi laktosa.3

2.4 Faktor Resiko Askariasis

2.4.1 Genetik
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi dan penyakit cacing
dipengaruhi oleh genetik.18

2.4.2 Kebiasaan dan Pekerjaan


Kebiasaan dan pekerjaan tertentu mempengaruhi prevalensi dan intensitas infeksi
cacing, terutama cacing gelang. Aktivitas yang berkaitan dengan perkebunan
merupakan salah satu faktor infeksi Ascaris. Dalam beberapa kasus, infeksi cacing
gelang berhubungan dengan penggunaan tinja sebagai pupuk.18

2.4.3 Kemiskinan dan Sanitasi


Transmisi STH bergantung pada lingkungan yang terkontaminasi telur cacing .
Oleh karena itu infeksi cacing berkaitan erat dengan kemiskinan, sanitasi yang
buruk dan kurangnya air bersih. Persediaan air bersih dan peningkatan sanitasi
merupakan hal penting dalam upaya mengontrol infeksi cacing. Kondisi sosial
dan lingkungan di daerah kumuh, pemukiman ilegal pada negara berkembang
merupakan tempat yang ideal untuk infeksi A. lumbricoides.18

2.4.5 Cuaca, Air dan Musim

Universitas Tarumanagara 7
Lingkungan yang cukup hangat dan lembab merupakan tempat ideal untuk STH.
Selain itu tempat yang lebih basah juga meningkatkan transmisi. Pada tempat
yang beriklim tropis dan lembab transmisinya juga lebih tinggi.18

2.5 Manifestasi Klinis

Umumnya infeksi A. lumbricoides bersifat asimtomatik, tetapi infeksi berat pada


anak-anak dapat menunjukkan gejala.2 Masa inkubasi infeksi setelah tertelan telur
cacing sampai ditemukannya telur cacing untuk pertama kali di tinja adalah 60-70
hari. Pada askariasis larva, gejala paru muncul 4-6 hari setelah infeksi.2 Kelainan
disebakabkan oleh migrasi larva di hati dan paru atau oleh cacing dewasa yang
berdiam di usus.

2.5.1 Migrasi Larva (Larval Ascariasis)


Migrasi larva menyebabkan gejala akibat adanya fisik cacing itu sendiri serta
respon inflamasi eosinofil yang dipicunya. Migrasi larva dapat ditemukan dari
aspirasi isi lambung dan sputum. Jika larva mencapai sirkulasi sistemik, dapat
menyebabkan gejala lokal seperti visceral larvae migrans yang disebabkan oleh
Toxocara spp.2

 Pneumonia Acaris

Pneumonia Ascaris atau yang biasa disebut sebagai penumonitis eosinofilik


merupakan penyakit yang disebabkan migrasi dan maturasi Ascaris di paru.
Penyakit ini sering terjadi pada daerah yang endemis infeksi dan reinfeksi Ascaris.
Pneumonia ascaris sering terjadi pada anak-anak karena mereka lebih rentan
dibandingkan orang dewasa.19
Larva cacing yang ikut aliran darah mencapai alveolus dan bronkiolus.
Produk sekretorik larva memicu infiltrasi neutrofil dan eosinofil pada paru. Selain
itu mikrohemoragik paru akibat kapiler alveolus yang ruptur menyebabkan
inflamasi dan eksudasi cairan. Manifestasinya berupa pneumonia yang terjadi 4-
16 hari setelah tertelan telur cacing dan berlangsung selama 2-3 minggu lalu
sembuh dengan sendirinya.19
Pada anak gejalanya berupa demam mendadak dengan suhu mencapai
39,5-40oC, batuk karena penyempitan saluran napas, wheezing, pernafasan cepat
dan dangkal (tipe asmatik), dan retraksi substernal. Batuk dapat bersifat produktif
atau non produktif (ditandai dengan kristal Charcot-Leyden). Jika batuk produktif,
pada dahak bisa saja ditemukan darah. Urtikaria dan edema angioneurotik dapat
mendahului atau muncul bersama dengan gejala paru. Pasien juga dapat jatuh
dalam keadaan status asmatikus.20
Loeffler's syndrome yang disebabkan oleh cacing gelang dapat terjadi
iritasi trakea, laring, dan faring yang menimbulkan sensasi seperti pilek. Pada hari

Universitas Tarumanagara 8
ke-4 infeksi, pasien mengeluhkan nyeri retrosternal dan nyeri dada yang ringan.
Batuk dan nyeri biasanya muncul pada malam hari sehingga mengganggu tidur.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hasil yang tidak khas.21
Pemeriksaan penunjang sinar X menunjukkan infiltrat paru yang bersifat
sementara. Pada pemeriksaan lab ditemukan eosinofilia perifer. Larva Ascaris
lumbricoides biasanya dapat terlihat pada dahak atau pemeriksaan aspirasi
lambung. Umumnya pneumonia ascaris tidak membutuhkan terapi.
Bronkospasme diatasi dengan terapi konvensional. Pada kasus berat dapat
diberikan steroid sistemik dan oksigen.11,22

Gambar 2.7 Sindrom Loeffler.


Terdapat ilfiltrat bilateral perifer pada lapang paru atas
Sumber : Learning radiology recognizing the basics. 3rd ed.

2.5.2 Cacing Dewasa


Cacing dewasa sendiri menyebabkan sedikit patologis pada usus halus. Infeksi
berat dapat menyebabkan kolik usus yang merupakan keluhan terpenting. Massa
agregat cacing dapat menyebabkan volvulus, obstruksi usus (terutama pada ileum)
dan perforasi, atau intususepsi.2

 Askariasis intestinal

Larva stadium 4 pada saluran pencernaan berkembang menjadi cacing dewasa


yang tinggal di jejenum dan ileum. Produk metabolik cacing mengiritasi reseptor
sensorik di usus sehingga memicu peristaltik yang abnormal, kontraksi

Universitas Tarumanagara 9
spasmodik, dan iskemi dinding usus. Hal tersebut menyebabkan manifestasi klinis
tersering berupa nyeri kolik perut yang tidak spesifik dan distensi perut.23
Infeksi A. lumbricoides dapat menyebabkan abnormalitas fungsi usus
halus, sehingga terjadi malabsorpsi nutrisi dan mikronutrisi, defisiensi nutrisi dan
kegagalan pertumbuhan. Infeksi Ascaris menyebabkan intoleransi lemak dan
laktosa serta malabsorpsi vitamin A. Penyerapan protein meningkat pada anak
setelah diberikan terapi askariasis. Banyak penelitian yang menunjukkan
hubungan askariasis dengan gangguan kognitif. Pada anak-anak yang diberikan
terapi eliminasi cacing, terdapat perbaikan rabun senja yang cepat.2

2.5.3 Migrasi Cacing Dewasa


Migrasi cacing dapat menyebabkan gejala akut: ileus akibat obstruksi mekanik,
perforasi usus pada regio ileosekal, apendisitis akut akibat sumbatan cacing pada
lumen, divertikulitis, trauma lambung atau duodenal, sumbatan ampulla vater
dengan nekrosis pankreas, sumbatan duktus koledokus dengan jaundice
obstruktif, masuknya cacing ke dalam parenkim hati dan abses hati, invasi saluran
kemih serta perforasi esofagus.2

 Askariasis Hepatobilier dan Askariasis Pankreatis (Hepatobiliary and


pancreatic ascariasis (HPA))

Tidak seperti obstruksi usus, HPA lebih sering terjadi pada orang dewasa
dibandingkan anak-anak. Hal ini diperkirakan karena cacing tidak dapat masuk ke
lumen duktus anak-anak karena ukurannya lebih kecil dibandingkan orang
dewasa. Beberapa iritan tertentu seperti halogenated hydrocarbons (contohnya
karbon tetraklorida dan tetrakloroetilen), peningkatan suhu tubuh, dapat memicu
migrasi cacing yang menyimpang. Lima presentasi klinis HPA yaitu kolik bilier,
kolesistitis akalkulus, kolangitis akut, pankreatitis akut, dan abses hati.3
Cacing Ascaris dapat bermigrasi ke duktus biliaris atau duktus pankreas
melalui ampulla. Pada anak askariasis bilier ditandai dengan riwayat askariasis,
nyeri kuadran kanan atas, muntah, jaundice, hepatomegali, dan kandung empedu
yang teraba. Jaundice bisa saja bersifat subklinis, dengan kadar serum bilirubin
mencapai 2 mg/dl atau kadang lebih.24 Cacing yang mati dapat melepaskan
telurnya. Reaksi granulomatosa di sekitar cacing yang mati dapat menyebabkan
abses hati dan nyeri perut atas akut, terkadang muncul bersama demam dan
jaundice.25
Ascaris lumbricoides merupakan parasit yang paling sering menyebabkan
pankreatitis. Askaris pankreatitis disebabkan karena invasi cacing ke sistem bilier,
duktus pankreas,atau keduanya. Akan tetapi invasi pada duktus pankreas jarang
terjadi karena lumen duktus yang berukuran kecil. Hampir seluruh pasien dengan
askaris pankreatitis mengeluhkan nyeri perut, mual, muntah, dan emesis cacing.26

Universitas Tarumanagara 10
Diagnosis HPA paling sering menggunakan ultrasonografi dan ERCP.
Pada pemeriksaan sonografi tampak morfologi cacing yang menunjukkan
tampilan "strip sign" dan "inner tube sign". Penemuan lain yang mendukung HPA
yaitu dilatasi duktus bilier atau pankreas, edema pankreas atau penebalan dinding
kandung empedu, udara pada duktus bilier atau pankreas, dan abses intrahepatik.
HPA diatasi dengan pemberian terapi antibiotik pada suspek infeksi dan
pengambilan cacing dari duktus bilier menggunakan terapi endoskopi secepatnya.
Setelah gejala membaik dilanjutkan dengan pemberian obat anti cacing.11,26

Gambar 2.8 Askariasis CBD

Sumber : Hajong R. Gall bladder ascariasis. Ann Trop


Med Public Health 2013;6:489-90

Universitas Tarumanagara 11
Gambar 2.9 Askariasis kandung empedu

Sumber : Gude D, Biradar K, Chandrakala C. Managing


gallbladder ascariasis: To go full throttle or not!. Int J
Health Allied Sci 2013;2:56-7

Gambar 2.10 ERCP Ascaris pada CBD

Sumber : http://www.tropicalgastro.com/printerfriendly.aspx?id=441

2.5.4 Efek Imunopatologis


Banyak orang yang menunjukkan sensitivitas terhadap antigen A.lumbricoides,
dan memicu gejala atopik berupa konjungtivitis, urtikaria dan asma. Kulit orang
askariasis dapat menjadi sensitif terhadap antigen A.lumbricoides dalam jumlah
kecil dan menyebabkan reksi hipersensitivitas cepat, sering bersama utrikaria dan
lesi eritematosa. Keluarnya cacing dewasa dari tubuh orang yang sensitif dapat
memicu pruritus anal yang intens dan edema glotis.2

Universitas Tarumanagara 12
2.6 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Diagnosis askariasis bergantung pada identifikasi cacing dewasa atau telur cacing.
Cacing dewasa dapat keluar melalui rektum atau bagian tubuh lainnya. Sedangkan
telur cacing Ascaris lumbricoides dapat ditemukan di tinja, muntahan, sputum,
atau aspirasi usus halus. Terkadang telur, larva atau cacing dewasa dapat
diidentifikasi di potongan jaringan. Ada beberapa pemeriksaan serologis yang
dapat mendeteksi antibodi terhadap Ascaris, tetapi tidak ada pemeriksaan
imunodiagnostik yang spesifik karena sering terjadi reaksi silang.24

Gambar 2.11 Diagnostik infeksi A.lumbricoides

Sumber : Lamberton PH, Jourdan PM. Human Ascariasis: diagnostic


update. Curr Trop Med Rep. 2015 Oct 3; 2(4): 189-200.

2.6.1 Diagnosis Koprologis

Diagnosis askariasis dapat diperkuat dengan pemeriksaan tinja. Telur Ascaris


lumbricoides yang biasanya berjumlah cukup banyak, cenderung lebih mudah
untuk diidentifikasi walaupun dalam perbesaran sedang (x 100-200) dikarenakan
karakteristik bentuk dan warnanya. Melalui pemeriksaan mikroskopis tinja yang
teliti, telur cacing juga dapat ditemukan tanpa teknik konsentrasi.27
Kato-Katz thick smear merupakan salah satu pemeriksaan yang
direkomendasikan oleh WHO pada daerah dengan tingkat prevalensi infeksi STH
sedang sampai tinggi (proporsi orang yang terinfeksi ≥20 - ≥50%). Pada daerah
dengan prevalensi infeksi STH <20% pemeriksaan ini kurang cocok dilakukan.28
Prinsip pemeriksaannya yaitu, pada orang yang terinfeksi STH akan
mengeluarkan telur cacing melalui tinja. Sampel tinja diperiksa dibawah
mikroskop untuk menghitung jumlah telur per gram tinja (Eggs per gram of stool
(EPG) ), dan menentukan jenis telur cacing yang tampak. Tingkat sensitivitas

Universitas Tarumanagara 13
Kato-Katz rendah pada bayi yang masih menyusui, karena tinjanya mengandung
lebih banyak cairan dan EPG lebih rendah dibandingkan anak-anak. 28

Gambar 2.12 Fertile egg A.lumbricoides pada


Kato-Katz smear

Sumber:
http://ruby.fgcu.edu/courses/davidb/50249/web/ascari
s%20128.htm
2.6.2 Diagnosis Serologi
Ascaris lumbricoides memicu pembentukan antibodi yang bergantung pada
tingkat paparan serta intensitas infeksi, terutama daerah endemis. Total titer
immunoglobulin (Ig) berhubungan dengan tingkat infeksi sesorang yang tinggal
di daerah endemis. Untuk membantu program pengendalian STH, antibodi dapat
digunakan sebagai penanda infeksi pada anak usia dini, terutama di daerah tempat
anak-anak sering terpapar patogen intestinal.29

2.6.3 Diagnosis Molekuler


Diagnosis molekuler memiliki sensitivitas tinggi dan spesifik.

 Real-time quantitative PCR (qPCR)


Pada pemeriksaan PCR konvensional hanya dapat menenuntukan ada atau
tidaknya infeksi, sedangkan pemeriksaan qPCR memungkinkan kuantifikasi
amplicon (juga berkaitan dengan intensitas infeksi). Reaksi intensitas yang tinggi
akan menunjukkan amplifikasi yang cepat dan fluoresensi dini. qPCR lebih
sensitif dalam mendeteksi infeksi atau ko-infeksi A.lumbricoides daripada
pemeriksaan Kato-Katz.
Selain itu terdapat pemeriksaan multiplex qPCR yang dapat mendeteksi
beberapa spesies parasit. Multiplex qPCR berhasil mendeteksi infeksi
A.lumbricoides yang bersamaan dengan parasit usus lainnya, dengan >90% anak
kurang dari 10 tahun terinfeksi 2 atau lebih jenis parasit.30

2.6.4 Diagnosis Makroskopis


Cacing Ascaris lumbricoides dapat ditemukan pada tinja atau saat muntah,
terutama saat demam. Cacingnya mudah dikenali karena ukurannya (15-40 cm)
dan mirip dengan cacing tanah.31

2.6.5 Pemeriksaan Darah Perifer


Peningkatan eosinofil pada darah perifer berkaitan dengan alergi, penyakit
jaringan ikat, infeksi dan keganasan. Hanya infeksi parasit invasif yang
berhubungan dengan eosinofilia perifer, dan peningkatannya sebanding dengan

Universitas Tarumanagara 14
derajat invasi parasit. Produksi eosinofil distimulasi oleh sitokin dari sel Th2.
Respon imun sel Th2 dipicu oleh alergen dan cacing. Eosinofilia bukanlah
pemeriksaan skrining yang sensitif untuk infeksi parasit, tetapi jika terdapat
eosinofilia, infeksi Ascaris perlu dipikirkan.31

2.6.6 Pemeriksaan Radiologis

 X-ray abdomen
Pemeriksaan rontgen abdomen menunjukkan bentuk dan kuantitas Ascaris, dan
jika digunakan kontras barium, parasit akan lebih tampak.32

Gambar 2.13 Foto polos abdomen Gambar 2.14 Foto rontgen abdomen dengan
dengan cacing yang tampak pada kontras barium (panah merah menunjukkan
kuadran kiri atas (kotak merah) cacing)

 USG Abdomen

Ultrasound merupakan alat diagnostik spesifik pada kasus dengan infestasi bilier.
Askariasis intestinal menggunakan frekuensi yang lebih tinggi. Tampilan cacing
pada potongan longitudinal terlihat sebagai bayangan tubuler yang menggeliat
dengan tepian yang lebih terang, disebut sebagai "strip sign". Pada potongan
cross-sectional juga terlihat karakteristik tubuler yang mirip seperti cincin atau

Universitas Tarumanagara 15
disebut "bull's eye sign". Tampilan bull's eye biasanya terlihat jika cacing berada
di duktus koledokus atau di lumen yang sempir.33

Gambar 2.15 USG abdomen dengan transduser frekuensi tinggi


menunjukkan struktrur tubular linier hipoeikoik dengan
dinding luar ekogenik dan kanalis sentral cacing terlihat di
lumen usus halus (panah putih).

Sumber : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4368959/

Universitas Tarumanagara 16
Gambar 2.16 USG abdomen dengan transduser frekuensi tinggi
menunjukkan cacing pada lumen usus halus (panah putih).

Sumber : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4368959/

Gambar 2.17 USG abdomen dengan transduser frekuensi tinggi


menunjukkan tampilan "Bull's eye" (panah putih).

Sumber : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4368959/

c. MRI dan MRCP


Magnetic resonance imaging juga membantu mendiagnosis parasit, karena MRI
dapat menunjukkan gambaran kolangiografi sehingga dapat menentukan ada atau
tidaknya nematoda di struktur tersebut. Selain itu MRCP juga dapat digunakan
pada kasus askariasis bilier.

2.7 Diagnosis Banding


Berdasarkan gejala, diagnosis banding dapat mencakup infeksi Trichuris, asma
(untuk askariasis paru) dan pankreatitis.

a.Infeksi Trichuris

Universitas Tarumanagara 17
Biasanya asimtomatik. Dapat terjadi nyeri kuadran kanan bawah atau nyeri
periumbilikal yang samar. Manifestasi klinisnya yaitu disentri kronik, prolaps
rektum, anemia, pertumbuhan yang buruk, defisit pertumbuhan dan kognitif.
Tidak terdapat eosinofilia yang signifikan. Pada pemeriksaan mikroskopis tinja
tampak telur cacing Trichuris trichiura yang menyerupai bentuk laras.34

b. Asma
Asma ditandai dengan batuk kering yang intermiten dan wheezing ekspiratorik.
Gejala biasanya memburuk saat malam. Biasanya serangan asma dipicu infeksi
saluran napas atau inhalasi alergen. Gejala asma juga berkaitan dengan aktivitas
fisik atau saat bermain. Pemberian bronkodilator memberikan perbaikan klinis.34

2.8 Komplikasi

Komplikasi tersering dan terberat askariasis adalah obstruksi usus (parsial atau
total). Jika terdapat cacing dalam jumlah besar maka ada kecenderungan cacing
untuk terlilit satu sama lain dan membentuk bolus yang besar. Bolus ini akan
menyumbat lumen usus secara parsial atau total, terutama terjadi saat demam
karena infeksi dan setelah pemberian obat anti cacing. Obstruksi usus terjadi pada
infeksi berat dan lebih banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.
Hal ini dikarenakan lumen usus anak-anak yang lebih kecil.24
Obstruksi paling sering terjadi di regio ileosekum maupun didekatnya,
walaupun hal ini dapat terjadi dimana saja pada usus halus ataupun kolon. Saat
terjadi obtruksi anak-anak dapat merasakan kolik berat dengan interval 10-15
menit, di bagian periumbilikus atau kuadran kanan bawah. Selain itu distensi
perut, muntah, peningkatan peristaltik, demam ringan dan eosinofilia dapat
terjadi. Pada sebagian pasien dapat teraba massa yang dapat digerakkan dengan
bentuk yang tidak beraturan, di bagian periumbilikus atau di kuadran kanan
bawah.24
Manifestasi klinis tersebut dapat terjadi berulang dalam beberapa minggu
atau bulan dan kadang ada riwayat keluarnya cacing melalui mulut, hidung atau
rektum. Diagnosis suspek obstruksi usus jika terdapat riwayat keluarnya cacing
bersama tinja dan ditemukan lebih dari satu massa abdomen. Bolus cacing dapat
terlihat pada foto polos abdomen. Tatalaksana obstruksi Ascaris meliputi
penggantian cairan secara intravena,drainase nasogastrik pada muntah yang berat,
pemberian antispasmodik (scopolamine butylbromide (Bucospan)) dan analgesik
pada kolik. Saat gejala akut sudah reda, biasanya 24-48 jam setelahnya diberikan

Universitas Tarumanagara 18
obat anti cacing secara oral. Laparotomi untuk mengambil bolus cacing harus
dilakukan pada kasus yang tidak berespon dengan pemberian obat anti cacing31

Gambar 2.18 Spesimen bedah


menunjukkan cacing A.lumbricoides
yang menyumbat usus halus

Sumber : Principles and practice of pediatric


infectious diseases. 5th ed

Gambar 2.19 Foto polos abdomen


obstruksi usus oleh A.lumbricoides

Sumber : http: //sajs.redbricklibrary.com


/index.php/sajs/article/view/1723/404

2.9 Tatalaksana

Universitas Tarumanagara 19
Askariasis diatasi dengan pemberian albendazole, mebendazole atauivermectin.
Dosis pada anak sama seperti dewasa. Mebendazole dan albendazole merupakan
terapi efektif untuk askariasis dengan tingkat penyembuhan >90%.

a. Albendazole
Albendazole adalah obat oral anti cacing spektrum luas . Albendazole adalah obat
yang belum di terima oleh FDA untuk mengatasi askariasis. Tingkat keamanan
albendazole pada anak dibawah 6 tahun belum jelas. Penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan albendazole pada anak berusia 1 tahun termasuk aman.
Berdasarkan pedoman WHO, albendazole dapat diberikan pada anak berusia
dibawah 1 tahun. Banyak anak berusia dibawah 6 tahun yang telah diberikan
albendazole , walaupun dosisnya sudah diturunkan.35
Albendazole menghambat sintesis mikrotubulus nematoda. Selain itu obat
ini memiliki efek larvasidal dan efek ovosidal pada askariasis. Dosis albendazole
yaitu 400 mg (dosis tunggal). Diminum dalam keadaan perut kosong jika
digunakan untuk mengatasi parasit intraluminal, dan bersama lemak makanan
untuk mengatasi parasit jaringan. Jika digunakan dalam jangka waktu 1-3 hari,
hampir tidak ada efek samping albendazole yang muncul. nyeri epigastrik ringan,
diare, sakit kepala, mual, dan insomnia dapat terjadi. Obat ini tidak boleh
diberikan pada orang dengan alergi benzomidazole lainnya.36

b. Mebendazole
Adalah obat anti cacing spektrum luas dengan efek samping minimal.
Mebendazole bekerja dengan menghambat sintesis mikrotubulus cacing. Obat ini
membunuh Ascaris. Mebendazole dapat diminum sebelum atau sesudah makan. ,
tabletnya harus dikunya sebelum ditelan. Tingkat penyembuhannya baik terhadap
askariasis.36
Keamanan mebendazole pada anak belum pasti. Data untuk anak berusia
≤2 tahun terbatas. Pada WHO, Mebendazole digunakan sebagai obat anti cacing
usus, ditujukan pada anak hingga berusia 12 tahun. Dosis Mebendazole yaitu 100
mg 2 kali sehari selama 3 hari, atau 500 mg sekali.35
Terapi mebendazole jangka pendek untuk nematoda intestinal hampir
tidak menimbulkan efek samping apapun. Mual ringan, muntah, diare, dan nyeri
perut jarang dilaporkan.36

c. Ivermectin
Ivermectin menyebabkan paralisis pada nematoda. Tingkat keamanan ivermectin
oleh FDA untuk anak dengan berat badan kurang dari 15 kg belum jelas.
Berdasarkan pedoman WHO, anak dengan tinggi badan minimal 90 cm dapat
diberi ivermectin karena aman. Kurva pertumbuhan WHO menunjukkan tinggi
badan ini dicapai oleh 50% anak laki-laki saat berusia 28 bulan, dan dicapai 50%
anak perempuan saat berusia 30 bulan. Banyak anak berusia kurang dari 3 tahun

Universitas Tarumanagara 20
diberikan ivermectin, walaupun dosisnya sudah diturunkan. Dosis ivermectin
adaah 150-200 ug/kg sekali.35

2.10 Prognosis
Banyak orang yang sembuh dari infeksi, tanpa terapi. Terapi yang diberikan pada
askariasis yang asimtomatik memberikan prognosis yang baik. Reinfeksi sering
terjadi pada daerah endemis, dan seseorang bisa menjadi carier Ascaris. Prognosis
pada pasien dengan obstruksi usus umumnya baik.11
2.11 Pencegahan
Walaupun telur Ascaris mati jika terpapar sinar matahari berkepanjangan, atau
pada suhu >40oC, telur ini dapat bertahan hidup pada suhu yang sangat dingin
dalam waktu berbulan-bulan dan resisten terhadap berbagai desinfektan kimia.
Telur Ascaris dapat bertahan hidup pada iklim sedang dan lingkungan perkotaan.
Pencegahan askariasis bergantung pada peningkatan sanitasi, edukasi masyarakat,
dan intervensi dini kemoterapeutik.37
Salah satu cara mencegah askariasis yaitu menghindari kontak dengan
tanah yang terkontaminasi tinja berisi telur cacing. Anak-anak karena sering
bermain dengan tanah, mereka tidak boleh memasukkan sesuatu ke dalam
mulutnya, termasuk tangannya sendiri. Tangan seharusnya dicuci dengan sabun
dan air mengalir. Pada daerah yang menggunakan tinja manusia sebagai pupuk,
sayur dan buah harus dimasak sampai matang, atau dibersihkan dengan cairan
iodine.11
Pencegahan dengan pemberian obat cacing rutin pada anak di daerah
endemis atau daerah yang terbelakang, Terapi anak-anak tiap 6 bulan dapat
meningkatkan kesehatan dan kognitif. Di Indonesia pemberian obat anti cacing
rutin diberikan pada anak balita (12-59 bulan) bersamaan dengan bulan pemberian
vitamin A yaitu di bulan Februari dan Agustus. Obat yang diberi yaitu
albendazole 200 mg pada bayi dan 400 mg pada anak balita setelah mendapatkan
vitamin A. Untuk anak balita usia 12-23 bulan, 1/2 tablet albendazole 400 mg
digerus dan dilarutkan dalam air. Sedangkan anak balita usia 24-59 bulan
mendapat 1 tablet kunyah albendazole.38

Universitas Tarumanagara 21
BAB III

KESIMPULAN

Askariasis merupakan penyakit akibat infeksi cacing Ascaris lumbricoides. yang


dapat menimbulkan manifestasi bergantung pada lokasi larva atau cacingnya.
Contohnya di paru (pneumonia Ascaris), pencernaan (askariasis intestinal) atau di
sistem bilier (Hepatobiliary and pancreatic ascariasis). Penularannya melalui
telur cacing yang tertelan. Telur cacing keluar bersama tinja penderita, sehingga
tanah sering terkontaminasi telur cacing (terutama pada daerah dengan sanitasi
yang buruk). Anak-anak biasanya sering bermain di lingkungan (berkontak
dengan tanah) sehingga lebih sering mengalami askariasis dibandingkan orang
dewasa.
Pada anak-anak askariasis menimbulkan efek yang merugikan diantaranya
malabsorpsi nutrisi dan mikronutrisi, defisiensi nutrisi dan kegagalan
pertumbuhan. Selain itu askariasis juga menyebabkan gangguan kognitif. Bahkan
anak-anak lebih rentan mengalami komplikasi obstruksi usus pada infeksi Ascaris
yang berat karena lumen ususnya lebih kecil daripada orang dewasa.
Diagnosis askariasis umumnya ditegakkan dengan menemukan telur
cacing pada tinja melalui pemeriksaan mikroskopik. Setelah diagnosis ditegakkan,
tatalaksana pada askariasis menggunakan obat cacing seperti albendazole,
mebendazole atau ivermectin. Prognosis askariasis termasuk baik. Di Indonesia
askariasis pada anak dicegah dengan pemberian obat anti cacing bersamaan
dengan bulan pemberian vitamin A. Selain itu kebersihan tangan, makanan dan
sanitasi juga ditingkatkan untuk mengurangi resiko askariasis.

Universitas Tarumanagara 22
DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention. Soil-transmitted helminths. (cited


2018 April 30). Available from: https://www.cdc.gov/parasites/sth/index.html
2. Cook GC, Zumla AI. Manson's Tropical Diseases.22nd ed. London: Elsevier;
2009.
3. Feigin RD, Cherry JD, Kaplan SL, et al. Feigin & Cherry's textbook of
pediatric infectious disease. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2009. 2981.
4. de Silva NR, Brooker S, Hotez PJ, et al. Soil-transmitted helminth infections:
updating the global picture. Trends Parasitol 2003; 19: 547-551.
5. Bethony J, Brooker S, Albonico M, et al. Soil-transmitted helminth infections:
ascariasis, trichuriasis, and hookworm. Lancet 2006; 367: 1521-1532.
6. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, et al. Buku ajar parasitologi kedokteran.
6th ed.
7. Zeibig EA. Clicinal parasitology a practical approach. 2nd ed. China: Elsevier;
2013. 201.
8. Holland C: The negleted parasite. 1st ed. United States of America: Elsevier;
2013. 171.
9. World Health Organization. Water related diseases. (cited 2018 April 30).
Available from: http:// www. who.int/ water_sanitation_health/diseases-
risks/diseases/ascariasis/en/
10. Ridley JW. Parasitology for medical and clinical laboratory professionals. 1st
ed. United States of America: Delmar; 2012. 140.

Universitas Tarumanagara 23
11. Sharland M. Manual of childhood infections. 3rd ed. New York: Oxford
University Press; 2011.
12. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar
wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh
di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008 August; 7(2): 769-774.
13. Ferri FF. Ferri's clinical advisory. United States of America: Elsevier;
2015:132.
14. Prianto J, Tjahaya PU, Darwanto. Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama; 2006: 3.
15. ITIS Taxonomy. Ascaris. (cited 2018 April 30). Available from:
https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_val
ue=63899#null
16. Christensen M, et al. Waterborne pathogens. 2nd ed.United States of America:
American Water Works Association; 2006. 171.
17. Centers for Disease Control and Prevention. Ascariasis. (cited 30 April 2018).
Available from: https://www.cdc.gov/dpdx/ascariasis/index.html
18. Peterson CM, Lipschik GY. Diseases and disorders. Malaysia: Marshall
Cavendish; 2008. 744.
19. Foster CS, Vitale AT. Diagnosis & treatment of uveitis. 2nd ed. New delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers; 2013. 618
20. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, et al. Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. 2nd ed. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2008. 373.
21. Gutierrez Y. Diagnostic pathology of parasitic infections with clinical. 2nd ed.
New York: Oxford University Press; 2000.
22. Herring W. Learning radiology recognizing the basics. 3rd ed. United States
of America: Elsevier; 2016.
23. McMillan JA, Feigin RD, DeAngelis CD, et al. Oski's pediatrics principles &
practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. 1363.
24. Palmer PES, Reeder MM. The imaging of tropical diseases. 2nd ed. Berlin:
Springer-Verlag; 2001. 19.
25. Holland C. Ascaris the neglected parasite. 1st ed. United States of America:
Elsevier; 2013.

Universitas Tarumanagara 24
26. Kenamond CA, Warshauer DM, Grimm IS. Ascaris
pancreatitis. RadioGraphics. 2006 Feb 20; 26 (5). Available from: https://
pubs.rsna.org/doi/full/10.1148/rg.265055201
27. Wyllie R, Hyams JS, Kay M. Pediatric gastrointestinal and liver disease. 5th
ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. 464.
28. World Health Organization. Dose poles and field tools. (cited 2018 may 1).
Available from:http: //www.who.int /neglected_diseases /preventive_
chemotherapy/pctnewsletter11.pdf?ua=1
29. Lamberton PH, Jourdan PM. Human ascariasis: diagnostic update. Curr Trop
Med Rep. 2015 Oct 3; 2(4): 189-200.
30. Cimino RO, Jeun R, Juarez M, et al. Identification of human intestinal
parasites affecting an assymptomatic peri-urban Argentinian population using
multi-parallel quantitative real-time polymerase chain reaction. Parasit Vectors.
2015 Jul 17; 8: 380.
31. Piekarski G. Medical Parasitology. 1st ed. Berlin: Springer-Verlag; 1989. 264.
32. Alexakis LC. Ascaris lumbricoides roundworms visible on a plain non-
contrast abdominal x-ray in a patient presenting with gastric outlet obstruction.
Pan Afr Med J; 26: 184.
33. Suthar PP, Doshi RP, Mehta C, et al. Incidental detection of ascariasis worms
on USG in a protein energy malnourished (PEM) child with abdominal pain. BMJ
Case Rep. 2015 Mar 12.
34. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, et al. Nelson textbook of pediatrics.
20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016.
35. Centers for Disease COntrol and Prevention. Ascariasis treatment. (cited 2018
may 1). Available from: https : // www.cdc.gov /parasites /ascariasis / health _
professionals/index.html#tx
36. Katzung BG, Trevor AJ. Basic and clinical pharmacology. 13th ed. San
Francisco: McGraw-Hill Medical; 2014.
37. Long SS, Prober CG, Fischer M. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2018.

Universitas Tarumanagara 25
38. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis pelaksanaan bulan kapsul vitamin
A terintegrasi program kecacingan dan crash program campak. (cited 2018 may
1).Available from: http://gizi.depkes.go.id/download/draf_juknis_kapsul_vitA.pdf

Universitas Tarumanagara 26

Anda mungkin juga menyukai