Anda di halaman 1dari 16

Nama kelompok :

1.Firda Unsa Nurmanda 201610410311008 Farmasi D


2.Aprila Dwi Riqianti 201610410311115 Farmasi C

Topik : Systemic Lupus Eritematosus (SLE)


Penjelasan

Definisi
lupus eritematosus sistemik adalah penyakit AL sistemik multisistem dngan kelainan
klinis yang sangat bervariasi. perbandingan wanita dan pria adalah 9:1. SLE ini ditandai oleh
produksi AA non-organ spesifik terhadap berbagai molekul dalam nukleus, sitoplasma, dan
permukaan sel.

http://www.erwinedwar.com/2018/02/lupus-eritematosus-sistemik-systemic.html

ETIOLOGI SLE

Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES
dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi
antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal,
akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara berlebihan.
Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat
membedakan antara “self ” dan “nonself ”. Selain itu banyak faktor lain yang berperan
terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain faktor genetik, defisiensi komplemen, hormon,
lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor-faktor lain.
Faktor penyebab SLE :
1. Faktor genetik :Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan

Beberapa gen yang berhubungan dengan SLE yang telah ditemukan adalah sebagai berikut:

Gen yang berhubungan respon imun dan inflamasi (HLA-DR, PTPN22, STAT4, IRF5, BLK,
OX40L, FCGR2A, BANK1, SPP1, IRAK1, TNFAIP3, C2, C4, CIq, PXK). Gen seperti CIq
menyebabkan defisiensi dari komplemen.
Gen yang berhubungan dengan repair DNA (TREX1)
Gen yang berkaitan dengan adherensi sel imun ke endotel (ITGAM)
Gen yang berkaitan dengan respon terhadap kerusakan sel (KLK1, KLK3)
Beberapa gen juga berkaitan dengan beratnya penyakit SLE. Misalnya gen STAT4 yang juga
merupakan faktor risiko rheumatoid arthritis dan SLE berkaitan dengan penyakit SLE yang
berat.
2. Faktor Imunologi :Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun.

Disamping peran APC yang berfungsi sebagai cabang dari proses imunitas adaptif
pada SLE, ternyata innate immunity juga berperan dalam proses kejadian penyakit lupus. Hal
ini berkaitan dengan aktivasi sel plasmablas melalui mekanisme ekstrafolikuler.

Tipe sel dendritik yaitu sel dendritik plasmasitoid dapat memproduksi IFN-α dengan
keberadaan antigen dari sisa apoptosis. Interferon ini akan mendorong plasmablas
memproduksi autoantibodi. Autoantibodi yang terbentuk ini ternyata dapat berikatan dengan
BCR dan TLR yang akan semakin meningkatkan maturasi sel limfosit B. Jadi, selain dengan
melalui T helper aktivasi sel B juga dibantu dengan keberadaan autoantibodi yang didorong
oleh sel dendritik.

3.Faktor Hormonal:Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.

Pada model penyakit lupus pada mencit, penambahan estrogen atau prolaktin dapat
menimbulkan fenoitp autoimun dengan peningkatan sel B autoreaktif matur yang memiliki
afinitas yang tinggi. Di penelitian Nurses’ Health Study ditemukan bahawa ada hubungan
berupa sedikit peningkatan risiko terjadinya lupus pada individu yang menggunakan
kontrasepsi oral (risiko relatif 1,9 dibandingkan individu yang tidak pernah menggunakan
kontrasepsi ora). Namun, walaupun jelas bahwa faktor hormonal dapat mempengaruhi
perkembangan penyakit autoimun, namun penggunaan kontrasepsi oral tidak meningkatkan
terjadinya flare pada wanita dengan penyakit yang stabil.

Kehamilan pada beberapa kasus dapat mencetuskan terjadinya flare pada penderita lupus.
Tetapi, hal ini tidak dikaitkan dengan peningkatan estradiol atau progesteron karena kadar
kedua hormon ini menurun pada trimester kedua dan ketiga pada pasien SLE dibandingkan
wanita hamil yang sehat. 4.Faktor Lingkungan: Infeksi virus dan bakteri, paparan sinar uv,
stress, obata-obatan.

Faktor lingkungan berperan sebagai pencetus terjadinya penyakit lupus. Faktor


geenetik yang dibawa individu belum tentu berkembang menjadi penyakit lupus apabila tidak
dicetuskan oleh faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berkaitan dengan lupus
adalah sina rultraviolet, obat demetilasi, serta infeksi virus.
Sinar ultraviolet adalah faktor yang jelas memicu lupus. Pada penderita lupus pun, sinar
ultraviolet menjadi faktor pemicu eksaserbasi atau flare dari penyakit lupus. Sedangkan virus
yang teridentifikasi adalah virus Epstein-Barr (EBV). EBV menginfeksi sel B dan
berinteraksi serta mempromosikan sel dendritik plasmasitoid mengeluarkan interferon-α
(IFN-α).

Beberapa obat dapat menginduksi pengeluaran autoantibodi pada sejumlah pasien.


Untungnya tidak semua pasien tersebut kemudian berkembang menjadi penyakit autoimun.
Teridentifikasi lebih dari 100 obat yang dapat menyebabkan drug-induced lupus (DIL).

Sebenarnya patogenesis dari DIL kurang dimengerti namun predisposisi genetik berperan
pada beberapa kasus terutama obat yang dimetabolisme dengan mekanisme asetilasi seperti
procainamide dan hydralazine dengan DIL kemungkinan besar terjadi pada individu dengan
metabolisme slow acetylator. Obat-obat ini mungkin merubah ekspresi gen dari sel CD4
dengan menghambat metilasi DNA dan menginduksi over-expression dari antigen LFA-1
sehingga mempromosikan autoreaktivitas.

https://caiherang.com/patogenesis-dan-patofisiologi-sle-systemic-lupus-erythematosis/

PATOGENESIS SLE

Sebelumnya disebutkan bahwa terjadinya SLE merupakan hasil dari interaksi berbagai jenis
faktor dengan faktor lingkungan sebagai pencetus. Oleh sebab itu, proses terjadinya SLE atau
rentetan patogenesis dimulai dengan paparan faktor lingkungan seperti sinar ultraviolet
terhadap sel tubuh. Sinar ultraviolet dapat memicu kerusakan sel terutama DNA. Sel-sel yang
tidak dapat memperbaiki kerusakan tersebut akhirnya melakukan apoptosis atau kematian sel
terprogram.

Akibat apoptosis adalah terpaparnya bagian sel atau antigen ke lingkungan tubuh atau milieu
interseluler. Sejatinya pada individu normal, antigen dari proses apoptosis ini dapat secara
cepat dibersihkan baik oleh sel makrofag dan dibantu dengan komplemen.
APOPTOSIS DAN AKTIVASI APC

Pada individu dengan gen yang berisiko menjadi SLE, proses pembersihan apoptosis ini tidak
berjalan dengan sempurna. Baik karena makrofag tidak mampu secara cepat membersihkan
hasil apoptosis ataupun akibat defisiensi atau kekurangan komplemen. Akibatnya, antigen sel
tubuh bertahan lebih lama. Hal ini bisa dikenali oleh sen antigen presenting cell seperti sel
dendritik. Sel dendritik kemudian memproses antigen ini dan menjadi teraktivasi untuk
membawa antigen tersebut ke kelenjar getah bening regional.

Meningkatnya sisa produk apoptosis ini juga dapat memicu makrofag mengeluarkan sitokin
berupa IFN-α. IFN-α ini dapat mempercepat proses maturasi sel dendritik sehingga
pengenalan antigen dari apoptosis berlangsung lebih cepat. Proses aktivasi APC tersebut
dapat disimak pada bagan

https://caiherang.com/patogenesis-dan-patofisiologi-sle-systemic-lupus-erythematosis/

Aktivasi Sel T Helper oleh APC

Ketika sel APC masuk ke kelenjar getah bening, maka sel APC akan bereaksi dengan sel
limfosit T helper atau CD4. Proses ini akan membuat sel T helper menjadi matur dan aktif.
Sel T helper ini kemudian akan mengaktifasi sel B dengan bantuan CD40 dan IL-21. Sel B
ini kemudian akan aktif berproliferasai menjadi sel B memori yang akan mengingat antigen
seumur hidup atau menjadi sel plasma. Sel plasma ini yang kemudian akan memproduksi
autoantibodi yang pada gilirannya akan bereaksi dengan antigen tubuh dan menimbulkan
kerusakan. Proses aktivasi tersebut dapat disimak pada bagan

(SETELAH APC MASUK KE KGB, APC AKAN MENGAKTIVASI SEL CD4


IMATUR MENJADI SEL T HELPER YANG MATUR. SEL T HELPER DENGAN MHC
CLASS II DAN CD40 SERTA IL-21 AKAN MENGAKTIVASI SEL B. SEL B YANG
TERAKTIVASAI AKAN MENGEKSPRESIKAN BCR DAN BERUBAH MENJADI SEL
T MEMORI ATAU MENJADI SEL PLASMA. SEL PLASMA KEMUDIAN AKAN
MEMPRODUKSI AUTOANTIBODI YANG KEMUDIAN MENYERANG ANTIBODI
TUBUH PENDERITA SEHINGGA MUNCUL GEJALA SLE)

https://caiherang.com/patogenesis-dan-patofisiologi-sle-systemic-lupus-erythematosis/

Patofisologi SLE

Autoantibodi yang diproduksi oleh sel plasma akan beredar dalam darah dan mulai
menyerang antigen tubuh penderita. Autoantibodi yang menangkap antigen yang beredar
dalam darah, hasil apoptosis, juga akan membentuk kompleks antigen-antobodi. Autoantibodi
ini akan mengaktivasi sistem inflamasi sehingga kemudian akan menyebabkan kerusakan
organ yang ditargetkannya.

Kerusakan organ dan sel yang terjadi akan semakin menambah dilepaskannya antigen
ke dalam darah. Antigen yang beredar ini akan menginduksi sel B memori dan kemudian
dengan cepat membelah dan membentuk lebih banyak sel plasma. Sel plasma ini kemudian
akan memproduksi lebih banyak lagi autoantibodi sehingga reaksi peradangan dan gejala
SLE semakin berat.
Adakalanya ketika SLE sudah mereda, kerusakan yang dipicu misalkan terkena sinar
matahari atau terkena infeksi virus akan menyebabkan apoptosis baru. Apoptosis ini
kemudian membangunkan kembali sel B memori dan timbulah flare atau kekambuhan dari
penyakit lupus atau SLE.

https://caiherang.com/patogenesis-dan-patofisiologi-sle-systemic-lupus-erythematosis/

Manifestasi klinis umum


http://www.erwinedwar.com/2018/02/lupus-eritematosus-sistemik-systemic.html

1. Manifestasi pada kulit


kebanyakan gambaran klinis sle pada kulit berupa lesi diskoid yang umum bersifat
fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung
yang disebut buterfly rash karena membentuk seperti sayap kupukupu

https://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/imunologi/sistemik-lupus-eritematosus-
overview/

2. Manifestasi pada ginjal


sebanyak 50-70% pasien sle mengalami gangguan pada ginjalnya . keterlibatan ginjal
merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. secara
klinis, penyakit ginjal pada sle berawal dari protein uriaa simtomatik yang kemudian
berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif disertai dengan gagal ginjal

3. MANIFESTASI PADA MUSKULETAL


Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada muskuloskeletal.
Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan nekrosis avaskular telah
dilaporkan terjadi pada pasien SLE.

https://yayasanlupusindonesia.org/author/web148uipm/page/3/

4. MANIFESTASI PADA SSP


Manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar 20% pasien SLE dan
biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP
terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis dan dapat memperburuk keseluruhan
5. MANIFETASI PADA KARDIOVASKULER SLE
dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis. Selain itu,
kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama
kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh
penyakit arteri koroner, dan hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting

https://www.istockphoto.com/es/foto/coraz%C3%B3n-humano-anatom%C3%ADa-
gm1010624306-272375125#/close

6. MANIFETASI PADA RONGGA MULUT


Sekitar 20-45% pasien SLE dilaporkan memiliki lesi oral. Beberapa manifestasi oral
yang timbul pada pasien SLE, antara lain : Xerostomia, Lesi ulserasi, Lesi diskoid, Lesi Mirip
Lichen Planus, Kandidiasis Oral

KRITERIA DIAGNOSIS LES MENURUT ACR

 Malar rash / Ruam pada wajah.


Eritema yang rata atau sedikit menimbul diatas permukaan kulit muka, menyerupai kupu-
kupu, biasanya tidak mengenai plika nasolabialis.
 Lupus discoid.
Ruam berbentuk bulatan menimbul diatas pemukaan kulit dengan lapisan terkelupas disertai
penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin berbentuk jaringan parut.
 Fotosensitif.
Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap sinar matahari, diperoleh dari
anamnesis atau pemeriksaan fisik.
 Ulserasi oral atau nasofaring.
Biasanya tidak terasa nyeri, didapatkan dari pemeriksaan fisik.
 Artritis.
Artritis non erosif mengenai 2 sendi atau lebih, bengkak dan terasa nyeri atau terdapat efusi
sinovial.
 Serositis.
a. Pleuritis – adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan pleura pada
pemeriksaan atau ada efusi pleura.
b. Perikarditis –dari EKG atau didapatkannya bunyi gesekan perikardium atau ada efusi
pericardium.
7. Kelainan Ginjal.
a. Proteinuria menetap > 0.5 g/hari atau pemeriksaan proteinuria urin sewaktu > 3+.
b. Celular cast – dapat berupa sel eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8. Kelainan Neurologis .
a.Kejang – spontan bukan karena obat-obatatn atau gangguan metabolisme seperti uremia,
ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.
b.Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan metabolisme seperti
uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.
9. Kelainan Hematologic.
a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis.
b. Leukopenia – kurang dari 4000/mm3 pada 2/ lebih pengukuran.
c. Limfopenia – kurang dari 1500/mm3 pada 2/ lebih pengukuran.
d.Trombositopenia – kurang dari 100.000/mm3 tanpa obat-obatan yang dapat menimbulkan
trombositopenia.
10. Kelainan Immunologi.
a. Anti-DNA: titer abnormal antibodi terhadap native DNA.
b. Anti-SM: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos.
c. Antiphospholipid antibodi positif berdasarkan pada :
1. Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi anti-kardiolipin.
2 .Antikoagulan lupus positif dengan menggunakan metode standar.
3. Uji serologis positif semu selama minimal 6 bulan dan dikonfirmasi oelh uji imobilisasi
Treponema pallidum atau uji fluorosensi absorpsi antibodi treponema.
11. Antibodi Antinuclear.
Titer ANA abnormal diperiksa dengan metode imunoflurosensi atau cara lain yang setara,
yang dilakukan pada waktu yang sama atau adanya sindroma lupus karena obat.
Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik.
Non Farmakologis.
a. Edukasi.
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang
kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi
klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita
dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif
sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan
direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan
risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.
b. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau
support group sesama penderita lupus.
c. Istirahat.
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu
dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
d. Tabir surya.
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari,
sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan
menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap
4-6 jam.
e. Monitor Ketat.
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam
yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat
immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler,
osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu
pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
2. Farmakologis.

. Terapi Imunomodulator.

1. Siklofosfamid.

Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus.

Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif

dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan

fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan

siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.

Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB

dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit

dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3
bulan. Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan

rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan.

2. Azathioprine.

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi

fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif

siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk

manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan

dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu

menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil >

1000.

Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-

75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi

yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Obat ini merupakan pilihan

imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5

mg/kgBB/hari karena relatif aman.

3. Leflunomide (Arava).

Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada

pengobatan rheumatoid arthritis. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk

3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.

4. Methotrexate.

Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti

efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah

peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga

perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang

mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

5. Siklosporin.
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan

menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3,

C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul

hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah

hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum.

Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik

yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara

rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan

dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

b. Agen Biologis.

1. Anti B lymphocyte stimulator.

Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor),

yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibodi monoklonal terhadap

BlyS.

2. Sitokin inhibitor.

Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi

leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak

ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita SLE.

3. Anti malaria.

Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan

quinakrin.

Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis.

Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu

macam obat tidak efektif.


Hidroksiklotokuin (200–400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing

agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit

menjadi kekuningan.

c. Hormon Seks.

Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin

terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA)

bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid)

dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama

trombositopeni dan anemia hemolitik.

Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang

mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif

oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien

dengan riwayat trombosis.

d. Kortikosteroid.

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan

topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk

artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral

dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau

dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan

serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau

imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan

dosisnya.

Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau

vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari).

Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam

jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.


Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus

cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism,

percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus,

myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh

karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan

atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.

Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada

pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D

50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat

pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid

pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat

menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid

menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir

rendah dan ketuban pecah dini.

G. NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug).

NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan

sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan

dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau

perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga

dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif,

meningkatkan serum transaminase secara reversibel.

Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor

COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada

gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat

golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan

dieksresikan dalam air susu.


1. Plasmaferesis.

Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus

lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc

Thrombocytopenic Purpura).

2. Immunoglobulin Intravena.

Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja

yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti

immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis

400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni,

artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang

terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik.

Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.

OBAT-OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN SLE

SUDAH TERBUKTI LAINNYA


Hidralazin β-bloker : timolol, praktolol Mesalazin

Metildopa Litium Simvastatin

Penisilamin Interferon- Lovastatin

Klorpromazin Interferon- Klobazam

Kinidin Etosuksimid Fenitoin

Isoniazid Propilitiourasil Mefenitoin

Sulfasalazin Valproat Difenil hidantoin

Minosiklin Captopril Trimetadion

Karbamazepin Karbimazol

Hidroklortiazid Pil kontraseptif oral

Interleukin-2 Sulfnamid

Leuprolid asetat Griseofulvin


Bratawidjaya K G. Imunologi Dasar Edisi ke-11. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. hal 631.

KESIMPULAN

Penyakit lupus atau SLE melibatkan proses dengan banyak faktor yang terlibat.
Proses yang paling utama adalah terbentuknya autoantibodi sebagai proses pematangan sel B.
Proses ini dimulai dengan faktor lingkungan yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
memulai proses autoreaktivitas yang kemudian bermanifestasi sebagai penyakit lupus atau
SLE. Adapun gejala kerusakan pada SLE terjadi akibat reaksi peradangan yang diperantarai
oleh autoantibodi.

DAFTAR PUSTAKA

 tsias George et al. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and Clinical


Features. Eular On-line Course Rheum Dis. 2012;(1909):476–505.
 Choi J, Kim ST, Craft J. The Pathogenesis of SLE – an Update. Curr Opin Immunol.
2013;24(6):651–7.
 Moulton VR, Suarez-Fueyo A, Meidan E, Li H, Mizui M, Tsokos GC. Pathogenesis
of Human Systemic Lupus Erythematosus: A Cellular Perspective. Trends Mol Med.
2017 Jul;23(7):615–35.
 https://caiherang.com/patogenesis-dan-patofisiologi-sle-systemic-lupus-
erythematosis/
 Bratawidjaya K G. Imunologi Dasar Edisi ke-11. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
 Setiati Siti, Alwi Idrus, Sudoyo AW, K Simadibrata M, Setiyahadi B, Syam FA, et
al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi keenam: lupus eritematosus dan
sindrom antibodi antifosfolipid. Jakarta: Interna Publishing, 2014. p. 3331-90
 https://www.istockphoto.com/es/foto/coraz%C3%B3n-humano-anatom%C3%ADa-
gm1010624306-272375125#/close
 https://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/imunologi/sistemik-lupus-
eritematosus-overview/
 https://yayasanlupusindonesia.org/author/web148uipm/page/3/
http://www.erwinedwar.com/2018/02/lupus-eritematosus-sistemik-systemic.html

Anda mungkin juga menyukai