Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa kanak-kanak merupakan masa yang rentan terhadap penyakit.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi kesehatan anak, diantaranya yaitu
cuaca, iklim dan lingkungan. Cuaca dan iklim yang kurang baik pada suatu
daerah dapat menyebabkan terjadinya penyakit pada daerah tersebut yang
lebih dikenal sebagai penyakit endemik. Salah satunya penyakit endemik
yang sedang mewabah di negara tropis dan subtropic adalah penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) (Chuansumrit, 2015).
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang menular yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti dan penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat
meyebabkan kematian, terutama pada anak (Nursalam, 2005). Penyakit ini
disebabkan oleh empat serotipe virus dengue dan ditandai dengan empat
gejala klinis utama, yaitu demam tinggi, perdarahan, hepatomegali, dan
kegagalan sirkulasi sampai timbulnya renjatan (sindrom renjatan dengue)
sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat menyebabkan kematian
(Seogijanto, 2014).
Menurut hasil RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2008 Kasus
infeksi dengue di DKI Jakarta menduduki peringkat pertama dengan jumlah
4481 kasus dan angka kematiansebanyak 8 jiwa. Bahkan jumlah penderita
DHF sepanjang 2007 tercatat sebanyak lebih 156.697 orang dengan korban
meninggal dari 1296 orang. Sedangkan menurut catatan dari Rekam Medik
RS Hospital Cinere Depok yang memberikan data tentang jumlah pasien anak
dengan DHFB dari kurun waktu Januari sampai Mei 2011 adalah 204 anak
dari 706 anak, 26,8% anak dengan DHF yang dirawat di ruang Aster RSHC.
Peran perawat untuk mengatasi penyakit Demam Berdarah Dengue
dengan cara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative. Promotif yaitu
memberI penyuluhan kesehatan di masyarakat tentang penyakit Demam
Berdarah Dengue dan penanggulangannya, preventif yaitu untuk mencegah
terjadinya Demam Berdarah Dengue dengan cara merubah kebiasaan hidup
sehari-hari melalui tidak menggantung pakaian yang sudah dipakai, menjaga
kebersihan lingkungan dan penampungan air, kuratif yaitu untuk memenuhi
cairan tubuh sesuai dengan kebutuhan, serta mengkonsumsi minuman yang
dapat meningkatkan trombosit seperti jus kurma, jambu dan lain-lain
(Kemenkes RI, 2012).
Faktor penyebab Demam Berdarah Dengue diantaranya faktor virus
yang menyangkut kerentanan dan imunitasnya terhadap penyakit, sedangkan
faktor lingkungan faktor lingkungan menyangkut kondisi geografi (ketinggian
dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim), kondisi
demografi (kepadatan, mobilitas, pendidikan, pengetahuan, perilaku, adat
istiadat, sosial ekonomi penduduk), dan jenis dan kepadatan nyamuk sebagai
vektor penularan penyakit tersebut (Gama, 2014).
Komplikasi demam berdarah meskipun hanya ditemukan dibeberapa
kasus akan tetapi demam berdarah bisa berkembang menjadi sebuah kondisi
yang lebih serius, atau yang dikenal dengan BDB berat yang ditandai oleh
timbulnya beberapa kondisi seperti : demam yang tinggi, kerusakan getah
bening dan pembuluh darah, perdarahan dari hidung dan gusi, terjadinya
pembesaran pada organ hati, kegagalan sistem sirkulasi, perdarahan massif,
shock berat yang dikenal dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) (Masjoer,
2013).
Menurut WHO tahun 2014 diperoleh data bahwa penyakit DBD pada
anak ini dapat mencapai 2,5 sampai 3 miliar diseluruh populasi di dunia.
Terdapat 50 juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap tahunnya.
yang mana untun asia tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue ( DD )
dan 500.000 kasus DBD yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan
90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun
dengan jumlah kematian oleh penyakit DBD mencapai 5% dengan perkiraan
25.000 kematian setiap tahun (WHO, 2015).
Data dari seluruh dunia menunjukan Negara di Asia menempati urutan
pertama dalam penjulah penderita DBD setiap tahunnya, sementara itu
terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat Negara Indonesia
sebagai Negara dengan kasus DBD tertinggi di asia tenggara dan tertinggi
nomor dua di dunia setelah Thailand (Depkes, 2010).
Pada tahun 2008 jumlah kasus DBD di Indonesia sebanyak 137,469
orang dengan 1.187 orang meninggal atau case fatality rade (CFR) yang
artinya sebesar 0,86% ( kusriastuti, 2010) pada tahun 2011 kasus DBD tetap
ada dengan jumlah kasus sebesar 49,486 kasus dengan dengan kematian 403
orang (Ditjen PP & PL Kemkes RI, 2011).
Demam Berdarah Dengeu (DBD) termasuk dalam 10 besar penyakit
rawat inap dirumah sakit tahun 2016 dan menepati peringkat kedua profil
kesehatan di Indonesia 2016). Deman berdarah dengue pertama kali
ditemukan di Indonesia pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya.
Hingga pertengahan tahun 2016, tercatat jumlah kematian di
Indonesia yang disebabkan oleh DBD sebesar 370 orang, sementara di
Sumatara Selatan yang merupakan salah satu propinsi di Indonesia tepatnya
di kota Palembang, memiliki jumlah kasus DBD yang tinggi, yaitu sebanyak
438 kasus (Diskes Palembang, 2016).
Berdasarkan data diatas maka penulis tertarik untuk menyusun Karya
Tulis Ilmiah mengenai Hubungan sanitasi lingkungan terhadap penyakit DBD

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah
pada penelitian ini sebagai berikut : “Belum diketahuinya apakah ada
Hubungan sanitasi lingkungan terhadap penyakit DBD?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan terhadap penyakit DBD
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui sanitasi lingkungan
b. Untuk mengetahui kejadian penyakit DBD
D. Manfaat Penulis
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan dalam rangka
memperluas ilmu pengetahuan dan bahan acuan dalam proses
pembelajaran khususnya konsep demam berdarah dengue (DBD), selain
itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa
dan menjadi bahan kepustakaan di STIKes Muhammadiyah
Palembang.
2. Bagi Tempat penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber dan
bahan acuan untuk meningkatkan upaya promotif dan preventif dalam
melaksanakan penanggulangan demam berdarah dengue (DBD).
3. Bagi pelaksana kesehatan (AKL)
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber
sekaligus ilmu pengetahuan untuk meningkatkan upaya promotif dan
preventif dalam melaksanakan penanggulangan demam berdarah
dengue (DBD), sehingga pelaksanaannya dapat lebih baik lagi dari
sebelumnya.
4. Bagi Peneliti
Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan, wawasan
peneliti dalam melaksanakan penelitian tentang demam berdarah dengue
(DBD), sehingga pelaksanaannya dapat lebih baik lagi dari sebelumnya.

E. Ruang Lingkup
Penelitian ini termasuk dalam lingkup kajian keperawatan
anak. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara menggunakan lembar
kuesioner kepada masyarakat baik yang tidak maupun yang terkena Demam
Berdarah Dengue (DBD). Penelitian ini akan dilakukan pada bulan ……
2019. Penelitian ini akan dilakukan di ……
BAB II
TINAJAUN PUSTAKA

A. Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)


Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit febris-virus akut, sering
kali disertai dengansakit kepalah, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan
leukopenea sebagai gejalahnya. Deman berdarah dengue (DBD) ditanmdai ole
empat manifentasi klinik utama: demam tinggi, fenomenia hemoregik, sering
dengan hepatomegali dan kasus berat, tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien
ini dapat mengalami syok hipovelemik yang diakibatkan oleh kebocoran
plasma. Syok disebut sindrom syok dengue (DSS) dan dapat menjadi fatal
(WHO, 2012).
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes
aegypti. Penaykit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan
kematian, terutama pada anak. Penyakit ini juga sering menimbulkan kejadian
luar biasa atau wabah (Nursalam, dkk, 2008).
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu infeksi arbovirus akut
yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk spesies aides. Penyakit
ini sering menyerang anak, remaja, dan dewasa yang ditandai dengan demam,
nyeri otot dan sendi. Demam Berdarah Dengue sering disebut pula Dengue
Haemoragic (Anwar 2008).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Demam
Berdarah Dengue (DBD) adalah virus penyakit menular yang diakibatkan oleh
gigitan nyamuk yaitu nyamuk Aedes Aegefty yang ditandai dengan demam,
nyeri otot dan sendi.

B. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam
ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Suhendro, 2006).
Terdapat paling tidak 4 tipe serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-
2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue
atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Sebagai tambahan, terdapat 3
virus yang ditulari oleh artropoda (arbovirus) lainnya yang menyebabkan
penyakit mirip dengue (Halstead, 2007).
Tabel 2.1.
Vektor dan distribusi geografis penyakit-penyakit mirip dengue
Virus Nama Penyakit Vektor Distribusi
Togavirus Chikungunya Aedes aegepty Afrika, India,
Aedes africanus Asia Tenggara
Togavirus O’nyong-nyong Anopheles funestus Afrika Timur
Flavivirus West Nile Fever Culex molestus Eropa, Afrika,
Culex univittatus Timur Tengah, India

C. Penularan Demam Dengue/ Demam Berdarah Dengue


Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus
Aedes (terutama A. Aegepty dan A. Albopticus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air, seperti bak
mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya. Beberapa faktor
yang diketahui berkaitan dengan transmisi virus dengue, yaitu:
1) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan
vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
2) Penjamu: terdapatnya penderita di lingkungan, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;
3) Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, kepadatan penduduk, dan
ketinggian di bawah 1000 di atas permukaan laut (Suhendro, 2008).

D. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan (Suhendro, 2008). Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti
yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya
demam berdarah dengue dan sindroma syok dengue (dengue shock
syndrome). Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan
infeksi pertama kali mungkin memberi gejala demam dengue. Reaksi tubuh
merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi virus. Reaksi yang amat
berbeda tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus
yang berlainan. Berdasarkan hal ini Halstead pada tahun 2009 mengajukan
hipotesis yang disebut secondary heterologous infection atau sequential
infection hypothesis. Hipotesis ini telah diakui oleh sebagian besar para ahli
saat ini (Hendarwanto, 2009).
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD
adalah respon imun humoral. Respon humoral berupa pembentukan antibodi
yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi
komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap
virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
Limfosit T, baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1
akan memproduksi interferon gamma, interleukin-2 (IL-2) dan limfokin,
sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan
makrofag berperan dalam fagositosis virus. Namun, proses fagositosis ini
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
Selain itu, aktivasi oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya senyawa
proaktivator C3a dan C5a, sementara proaktivator C1q, C3, C4, C5-C8, dan
C3 menurun.
Faktor-faktor di atas dapat berinteraksi dengan sel-sel endotel untuk
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular melalui jalur akhir nitrat
oksida. Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis diaktivasi, dan jumlah faktor
XII (faktor Hageman) berkurang. Mekanisme perdarahan pada DBD belum
diketahui, tetapi terdapat hubungan terhadap koagulasi diseminata
intravaskular (dissemintated intravascular coagulation, DIC) ringan,
kerusakan hati, dan trombositopenia.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme
supresi sumsum tulang, serta destruksi dan pemendekan masa hidup
trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari)
menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan
nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen
C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi
melalui mekanisme gangguan pelepasan senyawa adenin-di-fosfat (ADP),
peningkatan kadar β-tromboglobulin dan faktor prokoagulator IV yang
merupakan penanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel
yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan
terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III
dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur
ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui
aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-
inhibitor complex) (Suhendro, 2007).
Kebocoran kapiler menyebabkan cairan, elektrolit, protein kecil, dan,
dalam beberapa kejadian, sel darah merah masuk ke dalam ruang
ekstravaskular. Redistribusi cairan internal ini, bersama dengan defisiensi
nutrisi oleh karena kelaparan, haus, dan muntah, berakibat pada penurunan
hemokonsentrasi, hipovolemia, peningkatan kerja jantung, hipoksia jaringan,
asidosis metabolik dan hiponatremia (Halstead, 2007).
Penelitian tentang patogenesis yang menjelaskan keparahan penyakit
dengue sudah banyak dilakukan. Survei berkala terhadap serotipe DENV
memberi pandangan bahwa beberapa subtipe secara lebih umum dikaitkan
dengan keparahan dengue. Muntaz et al. (2006) dalam penelitiannya
menemukan DEN-3 menyebabkan infeksi lebih parah dibandingkan serotipe
lainnya. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan virus untuk bereplikasi untuk
menghasilkan titer virus yang lebih tinggi.
Sementara dalam laporan WHO Scientific Working Group: Report
on Dengue (2006), ditemukan keadaan lain yang mempengaruhi keparahan
penyakit dengue:
1) Adanya hubungan infeksi primer dan sekunder. Contohnya, kombinasi
serotipe primer dan sekunder DEN-1/DEN-2 atau DEN-1/DEN-3
dipandang memberi risiko yang tinggi untuk terkena dengue yang parah.
2) Imunitas individu dalam menghasilkan sitokin dan kemokin yang
dihasilkan oleh aktivasi imun berhubungan dengan keparahan penyakit.
3) Semakin panjang interval antara infeksi virus dengue primer dan
sekunder, maka keparahan dengue semakin meningkat.
4) Peranan genetik juga diduga berpengaruh terhadap keparahan penyakit.
Penelitian menunjukkan prevalensi DBD pada orang negroid
diasosiasikan dengan insidensi yang rendah (2%), sementara orang
kaukasoid memilki insidensi yang lebih tinggi (30%).

E. Anatomi fisiologi

Sistem sirkulasi darah adalah suatu sistem tertutup yang mengatur dan
mengalirkan darah di dalam tubuh. Dikatakan tertutup karena pada keadaan
normal tidak ada darah yang berada di luar wadah aliran darah. Wadah itu bisa
berupa pembuluh nadi, pembuluh balik, kapiler atau rongga (sinus) di organ
tertentu.
Sistem ini perlu dibedakan dengan sistem aliran getah bening yang
merupakan aliran terbuka. Getah bening (lymph) terdapat di sela-sela sel di
seluruh tubuh,lalu mengalir masuk ke dalam pembuluh getah bening.
Di tempat-tempat tertentu pembuluh getah bening ini bermuara pada
kelenjar getah bening (lymph node), dan setelah itu melanjutkan diri menuju
muaranya masing-masing. Untuk seperempat tubuh bagian kanan atas cairan
itu pada akhirnya memasuki pembuluh darah balik tanpa saluran khusus.
Untuk tiga perempat bagian tubuh yang lain cairan lymph dialirkan melalui
pembuluh khusus yang dinamakan ductus thoracicus yang juga berakhir pada
pembuluh darah balik. (Suriadi, 2008).

F. Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami
keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri
otot, pegal seluruh badan, hiperemi ditenggorokan, timbulnya ruam dan
kelainan yang mungkin muncul pada system retikuloendotelial seperti
pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DBD
disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan
membedakan DB dan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler
karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi
system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler.
Hal ini berakibat berkurangnya volume plama, terjadinya
hipotensi,hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler buktikan dengan
ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum,
pleura dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat
kehilangan plasma, bila tidak segera teratasi akan terjadi anoxia jaringan,
asidosis metabolic dan kematian. Sebab lain kematian pada DBD adalah
perdarahan hebat (Anwar 2013).

G. Manifestasi klinis
Prediksi klinis infeksi virus dengue ditentukan oleh hubungan
kompleks antara faktor penjamu dan virus WHO Scientific Working Group:
Report on Dengue (2006). Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat
bersifat asimtomatik atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam
dengue, demam berdarah dengue, atau sindrom syok dengue (Suhendro,
2008).
a. Demam Dengue
Periode inkubasi adalah 1-7 hari. Manifestasi klinis bervariasi dan
dipengaruhi usia pasien. Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini dapat tidak
terbedakan atau dikarakteristikkan sebagai demam selama 1-5 hari,
peradangan faring, rinitis, dan batuk ringan.
Kebanyakan remaja dan orang dewasa yang terinfeksi mengalami
demam secara mendadak, dengan suhu meningkat cepat hingga 39,4-
41,1ºC, biasanya disertai nyeri frontal atau retro-orbital, khususnya ketika
mata ditekan. Kadang-kadang nyeri punggung hebat mendahului demam.
Suatu ruam transien dapat terlihat selama 24-48 jam pertama demam.
Denyut nadi dapat relatif melambat sesuai derajat demam. Mialgia dan
artalgia segera terjadi setelah demam.
Dari hari kedua sampai hari keenam demam, mual dan muntah
terjadi, dan limfadenopati generalisata, hiperestesia atau hiperalgesia kutan,
gangguan pengecapan, dan anoreksia dapat berkembang. Sekitar 1-2 hari
kemudian, ruam makulopapular terlihat, terutama di telapak kaki dan
telapak tangan, kemudian menghilang selama 1-5 hari. Kemudian ruam
kedua terlihat, suhu tubuh, yang sebelumnya sudah menurun ke normal,
sedikit meningkat dan mendemonstrasikan karakteristik pola suhu bifasik.

b. Demam Berdarah Dengue


Pembedaan antara demam demam dengue dan demam berdarah
dengue sulit pada awal perjalanan penyakit. Fase pertama yang relatif lebih
ringan berupa demam, malaise, mual-muntah, sakit kepala, anoreksia, dan
batuk berlanjut selama 2-5 hari diikuti oleh deteriorasi dan pemburukan
klinis. Pada fase kedua ini, pasien umumnya pilek, ekstremitas basah oleh
berkeringat, badan hangat, wajah kemerah-merahan, diaforesis, kelelahan,
iritabilitas, dan nyeri epigastrik.
Sering dijumpai petekie menyebar di kening dan ekstremitas,
ekimosis spontan, dan memar serta pendarahan dapat dengan mudah terjadi
di lokasi pungsi vena. Ruam makular atau makulopapular dapat terlihat.
Respirasi cepat dan melelahkan. Denyut nadi lemah dan cepat, suara
jantung melemah. Hati dapat membesar 4-6 dan biasanya keras dan sulit
digerakkan.
Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue berkomplikasi syok
(sindrom syok dengue). Kurang dari 10% pasien mengalami ekimosis hebat
atau perdarahan gastrointestinal, biasanya sesudah periode syok yang tidak
diobati. Setelah krisis 24-36 jam, pemulihan terjadi dengan cepat pada anak
yang diobati. Temperatur dapat kembali normal sebelum atau selama syok.
Bradikardia dan ektrasistol ventrikular umumnya terjadi saat pemulihan
(Halstead, 2007).

H. Klasifikasi
Menurut WHO klasifikasi demam berdarah dengue (DBD) sebagai
berikut :
a. Derajat I
Apabila demam berdarah mendadak terjadi 2-7 hari disertai gejala klinis
lain dengan manifestasi perdarahan paling ringan yaitu uji tourniquet
(rumple leed) menunjukan hasil yang positif.
b. Derajat II
Apabila terjadi gejala yang berat dari derajat I disertai menifestasi klinis
perdarahan kulit, epitaksis, perdarahan gusi, hemmatemesis atau melena.
Terjadi pula gangguan sirkulasi darah perifer ringan berupa kulit dingin
dan lembab, ujung jari dan hidung dingin.
c. Derajat III
Apabila terjadi kegagalan perdarahan perifer ditandai dengan nadi cepat
dan lemah serta penyempitan tekanan nadi atau hipotensi, kulit dingin,
lembab dan gelisah.
d. Derajat IV
Apabila terjadi syok berat dengan tensi yang tidak terukur dan nadi tidak
teraba.

I. Tanda dan Gejala


1. Kriteria klinis deferrensial
a. Suhu badan yang tiba-tiba meninggi
b. Demam yang berlangsung hanya beberapa hari
c. Perdarahan di gusi
d. Nyeri tekan terutama pada otot dan persendian
e. Leukopenia
f. Badan terasa lemah
g. Mual dan muntah
2. Kriteria WHO 1986
a. Demam akut yang cukup tinggi 2-7 hari, kemudian turun secara lisis.
Demam disertai gejala tidak spesifik seperti anoreksia, malaise, nyeri
pada punggung, tulang persendian, dan kepala.
b. Manifestasi perdarahan seperti uji tornikuet positif, petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis,dan melena
c. Pembesaran hati dan nyeri tekan tanpa ikterus
d. Dengan atau tanpa renjatan
e. Kenaikan hematokrit
(Wijayaningsih, 2013).
J. Penatalaksanaan medis dan keperawatan
Penatalaksanaan pasien DBD umumnya berorientasi kepada pemberian
cairan. Harris et al. (2009) mendemonstrasikan bahwa meminum cairan
seperti air atau jus buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter merupakan
faktor protektif melawan kemungkinan dirawat inap di rumah sakit.
Setiap pasien tersangka demam dengue atau DBD sebaiknya dirawat di
tempat terpisah dengan pasien penyakit lain, sebaiknya pada kamar yang
bebas nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan pada demam dengue atau DBD
tanpa penyulit adalah:
1) Tirah baring.
2) Pemberian cairan.
Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5-2 liter
dalam 24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air tawar ditambah dengan
garam saja).
3) Medikamentosa yang bersifat simtomatis.
Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal.
Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron.
Hindari pemakaian asetosal karena bahaya perdarahan.
4) Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
Pasien DBD perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda
syok, yaitu:
a) Keadaan umum memburuk.
b) Terjadi pembesaran hati.
c) Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.
d) Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.
Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera
dipersiapkan dan terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap
jam terhadap keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernafasan, serta
Hb dan Ht setiap 4-6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya
setiap 24 jam.
Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk
mengembalikan volume cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal
ini dapat tercapai dengan pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan
dapat berupa NaCl 0,9%, Ringer’s lactate (RL) atau bila terdapat syok berat
dapat dipakai plasma atau ekspander plasma. Jumlah cairan disesuaikan
dengan perkembangan klinis.
Kecepatan permulaan infus ialah 20 ml/kg berat badan/ jam, dan bila
syok telah diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/
jam.
Pada tahun 1997, WHO merekomendasikan jenis larutan infus yang
dapat diberikan pada pasien demam dengue/DBD:
1) Kristaloid.
a) Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5/RL).
b) Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer
asetat (D5/RA).
c) Larutan NaCl 0,9% (garam faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan
faali (D5/GF).

2) Koloid (plasma)
Transfusi darah dilakukan pada:
a. Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan
melena).
b. Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala,
menunjukkan penurunan kadar Hb dan Ht.
Pemberian transfusi profilaksis trombosit atau produk darah masih
banyak dipraktikkan. Padahal, penelitian Lum et al. (2008) menemukan bukti
bahwa praktik ini tidak berguna dalam pencegahan perdarahan yang
signifikan.
Pemberian kortikosteroid tidak memberikan efek yang bermakna.
Pada pasien dengan syok yang lama, koagulopati intravaskular diseminata
(disseminated intravascular coagulophaty, DIC) diperkirakan merupakan
penyebab utama perdarahan.
Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti adanya DIC, heparin
perlu diberikan. (Hendarwanto, 1996).
a) Penatalaksanaan medic menurut Padila (2013) :
 Demam berdarah dengue tanpa renjatan
1. Beri minum banyak (1 ½ - 2 liter/ hari)
2. Obat antipirentik, untuk menurunkan panas, dapat juga
dilakukan kompres
3. Jika kejang dapat diberikan luminal (anticonvulsant) untuk
anak kurang dari 1 tahun dosis 50 mg dan untuk anak dari 1
tahun dosis 75 mg lm. Jika 15 menit kejang belum teratasi, beri
lagi luminal dengan dosis 3 mg/kg BB (anak kurang dari 1
tahun dan pada anak lebih dari 1 tahun diberikan 5 mg/kg BB).
 Demam berdarah dengue dengan renjatan
1. Pasang infus RL
2. Jika dengan infuse tidak ada respon maka berikan plasma
expander (20-30)
3. Transfuse jika Hb dan Ht turun.
b) Penatalaksanaan keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan menurut Padila (2013):
 Pengawasaan tanda-tanda vital secara continue tiap jam
1. Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 jam
2. Observasi intake dan output
3. Pada pasien demam berdarah dengue derajat I : pasien
diistirahatkan, observasi tanda-tanda vital tiap 3 jam, periksa
Hb, Ht, Trombosit tiap 4 jam, beri minum 1 1/2 – 2 liter/hari,
beri kompres
4. Pada pasien derajat II : pengawasan tanda-tanda vital,
pemeriksaan Hb, Ht, Trombosit , perhatikan gejala seperti nadi
lemah, kecil dan cepat, terkena darah menurun, anuria dan sakit
perut, beri infuse
5. pada pasien derajat iii : infus diguyur, posisi semi fowler, beri
o2 pengawasan tanda-tanda vital tiap 15 menit, pemasangan
cateter, observasi produksi urin tiap jam, periksa hb, ht,
trombosit.
 Resiko perdarahan
1. Observasi perdarahan : petekie, epistaksis, hematomisis, dan
malena
2. Catat banyak, warna dari perdarahan
3. Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan Tractus Gastro
Intestinal
 Peningkatan suhu tubu
1. Observasi/ ukur suhu tubuh secara periodic
2. Beri minum banyak
3. Berikan kompres

K. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan terutama untuk mendeteksi
perubahan hematologis. Parameter laboratorium yang dapat diperiksa
antara lain:
1. Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (>15% dari jumlah total leukosit) yang pada fase syok
meningkat.
Tabel 2.2. Hitung leukosit normal.
Tipe sel Persentase Hitung Absolut Normal
Leukosit 5.000-11.000/μl
Neutrofil 45-75 4000-6000/μl
Monosit 5-10 500-1000/μl
Eosinofil 0-5 <450/μl
Basofil 0-1 <50/μl
Limfosit 10-45 2000-5000/μl
2. Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia (jumlah trombosit <
100.000/μl) pada hari ke 3-8.

3. Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke-3 demam.
Tabel 2.3. Nilai normal hemoglobin/ hematokrit.
Usia/Jenis Kelamin Hemoglobin Hematokrit (%)
(g/dl)
Saat lahir 17 52
Anak-anak 12 36
Remaja 13 40
Pria Dewasa 16 (±2) 47 (±6)
Wanita dewasa 13 (±2) 40 (±6)
(menstruasi)
Wanita dewasa 14 (±2) 42 (±6)
(postmenopause)
Selama Kehamilan 12 (±2) (±6)

4. Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan prothrombin time (PT), partial
thromboplastin time (aPTT), thrombin time (TT) atau fibrinogen pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan
darah.
Tabel 2.4. Tes koagulasi rutin.
Tes Nilai Normal
Hitung trombosit 150.000-350.000/μl
Bleeding time (BT) 3-7 menit
Prothrombin time (PT) 10-14 detik
Partial thromboplastin time (aPTT) 25-38 detik
Fibrinogen
200-400 mg/dl
Orang sehat
400-800 mgdl
Orang sakit

5. Protein/albumin
Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Nilai
normal albumin adalah 3-5,5 g/dl, nilai normal protein total adalah 5-8
g/dl (Price, 2003).

6. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase)


Dapat meningkat. Nilai normal alanin amino transferase
adalah 0-40 IU/l. Menurut Kalayanarooj (2008) anak dengan level
enzim hati yang meningkat sepertinya lebih rentan mengalami dengue
yang parah dibandingkan dengan yang memiliki level enzim hati yang
normal saat didiagnosis.
7. Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan. Jumlah
kalium normal serum adalah 3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135-
145 mEq/l.
8. Golongan darah dan cross match
Bila akan diberikan transfusi darah dan komponen darah.
9. Imunoserologi
Dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer mulai
terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi
pada hari ke-2.
b. Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan. Tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.

L. Komplikasi
Menurut (Masjoer 2008) komplikasi Demam Berdarah Dengue yaitu :
1. Pendarahan Luas
2. Syok atau Renjatan
3. Penurunan Kesadaran

M. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD


1. Cara Penularan melalui media pelantara
Nyamuk Aedes dapat menularkan virus dengue kepada manusia
baik langsung yaitu setelah mengigit orang yang sedang mengalami
viremia; maupu secara tidak langsung setelah melalui masa inkubasi dalam
tubuhnya selama 8-10 hari. Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan
dapat menularkan selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia,
penularan hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yaitu
antara 3-5 hari. (Hadinegoro, 1999).
2. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian mempunyai peran yang besar dalam penularan
suatu penyakit. Kepadatan hunian merupakan salah satu faktor yang
sering diteliti dalam kaitanya dengan kejadian penyakit salah satunya
penyakit DBD. Jumlah penduduk yang padat dapat mempercepat
penyebaran DBD, karena salah satu penyebab munculnya kembali wabah
dengue adalah pertumbuhan kepadatan hunian dan adanya urbanisasi yang
tidak terkontrol.
3. Lingkungan (Sanitasi dan Higine)
Lingkungan merupakan kegiatan yang mencangkup perencanaan,
pelaksanaan dan pengamatan dalam kegiatan manipulasi faktor lingkungan
atau membatasi perkembangan vektor dan mengurangi kontak antara
manusia dengan vektor (Pane. M, 2005).
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori yang diusulkan di atas, penelitian ini
dilaksanakan dalam kerangka konsep seperti berikut :

Cara Menular
melalui alat
pelantara yaitu
nyamuk aedes

Kepadatan KEJADIAN DBD


Hunian

Lingkungan
(Sanitasi dan
Higine)

Keterangan :
: Variabel Yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti

B. Definisi Operasional Variabel


1. Variabel Kejadian Penyakit DBD
Definisi operasional : Penularan penyakit DBD yang ditularkan oleh
nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus
betina (sebagai media pelantara).
Cara ukur : Wawancara dengan Penderita DBD
Alat ukur : Kuesioner
Hasil ukur : 1. Penderita DBD
2. Bukan Penderita DBD
Skala ukur : Oridinal
2. Variabel Lingkungan (Higine dan sanitasi)
Definisi operasional : Keadaan di sekitar rumah atau kegiatan yang
dilakukan dalam PSN yang diselengarakan
dalam gerakan “3M”.
Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Hasil ukur : 1. Melaksanakan gerakan 3M
2. Tidak melaksanakan gerakan 3M
Skala ukur : Oridinal

C. Hipotesis
Berdasarka kerangka konsep, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian
antara lain:
1. Faktor lingkungan berpengaruh terhadap penularan penyakit DBD.
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan
metode survey analitik dan desain penelitiaan cross sectional yaitu subjek
penelitiaan diobservasi sekali saja dengan cara observasi atau pengumpulan
data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010).
Penelitiaan analitik bertujuan untuk melihat hubungan antara variable
independen (sanitasi lingkungan) dan variable dependen yaitu (penyakit
DBD).

B. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan s/d bulan tahun 2019.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitiaan ini adalah masyarakat yang berkunjung ke
Puskesmas Tahun 2019 dengan jumlah populasi …….
2. Sampel
Menurut Notoatmodjo sampel adalah sebagian yang diambil dari
keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili keseluruhan objek
yang diteliti.
Jumlah sampel ditentukan dengan rumus :

(𝑁)
𝑛=
1 + 𝑁(𝑑2)

Keterangan :
n = Besar Sampel
N = Besar Populasi
d = Tingkat kepercayaan atau ketepatan (d= 0,10)

D. Pengumpulan Data
1. Teknik pengumpulan data
a. Data primer
Data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu data yang
dikumpulkan sendiri oleh penulis dengan cara wawancara dan ceklist
kepada responden dengan menggunakan kuesioner yang
dikembangkan sendiri oleh peneliti.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu sumber bahan kajian yang digambarkan
oleh bukan yang ikut mengalami atau yang hadir pada waktu kejadian
(Notoatmodjo, 2010). Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
tertulis yang didapat dari Puskesmas.

E. Teknik Pengolahan Data


Proses Analisis data terhadap variabel penelitian didahului oleh proses
entry, editing, coding,sorting, cleaning, dan mengeluarkan informasi (Setiadi,
2007).
1. Editing
Editing merupakan proses kelengkapan pengecekan, kejelasan
jawaban responden. Responden diminta untuk melengkapi jawaban atau
penjelasan jawaban jika terdapat ketidak jelasan jawaban.
2. Coding
Coding yaitu merubah data dalam bentuk huruf menjadi data yang
berbentuk bilangan atau angka untuk mempermudah memasukkan data
kekomputer.
3. Entry
Entry data adalah pengetikan kode jawaban responden pada
kuesioner kedalam program pengolahan data.
4. Cleaning
Cleaning yaitu pengecekan kembali terhadap kemungkinan
kesalahan pada saat memasukkan data-data ke dalam computer
(Notoatmodjo, 2014).

F. Analisis Data
Analisis yang terdapat pada penelitian ini meliputi :
1. Analisis Univariat
Menyederhanakan dan meringkas kumpulan data hasil
pengukuran, disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi gunanya
untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dari responden atau
variabel yang diteliti. Analisis deskriptif univariat pada penelitian ini
untuk mendapatkan gambaran dari karakteristik masing-masing variabel
dependen (Kejadian DBD) dan variable independen (sanitasi lingkungan).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan atau berkolerasi. Dalam penelitiaan ini dilakukan uji
statistik dengan menggunkan uji statistik Chi Square dengan batasan
bermakna 0,05. Keputusan hasil statistic diperoleh dengan cara
membandingkan nilai p ( p value) dengan nilai ∞ : 0,05.
Kriteria hasil uji :
1. Bila p value ≤ 0,05 berarti ada hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen.
2. Bila p value > 0,05 berarti tidak ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, 2008. Buku Kedokteran Egc. Jakarta

Chuansumrit, 2009. “KMB”. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Manjoer, Arif,dkk. 2013. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Gramedia

Nursalam, 2006. “ Penularan Kesehatan”. Rineka Cipta, Jakarta.

Rikesdes (Riset Kesehatan Dasar), 2008.

Soegijanto, 2008. “Buku Saku DBD”. Bursa Ilmu. Jakarta.

Suriadi, 2008. “Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Ibu Dengan
Status Gizi Anak Balita” Tesis Surakarta Universitas Sebelas Maret
Bandung.

Suhendro. 2010. “Penularan DBD” Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Anda mungkin juga menyukai