Anda di halaman 1dari 23

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Prinsip desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan

kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi

urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk

memberikan pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat

yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah

daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat

daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan pembangunan daerah yang berorientasi

kepada kepentingan masyarakat. Melalui UU No. 32/2004, pemerintah daerah dan

masyarakat di daerah lebih diberdayakansekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar

untuk mempercepat laju pembangunan daerah.Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia

menitikberatkan pada levelkabupaten/kota dirasakan sudah cukup tepat dengan pertimbangan

untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

Namun penekanan utama otonomi daerah di tingkat kabupaten dan kota yang lebih

kompleks, seperti besarnya jumlah penduduk maupun luasnya cakupan (converge) pelayanan.

Masalah yang muncul antara lain, jauhnya jarak (orbitasi) dan sulitnya akses (accesibility)

masyarakat terhadap pelayanan pemerintah kabupaten/kota. Hal ini menjadikan

tujuan penyelenggaraan otonomi menjadi semu ketika tercipta akses masyarakat yang rendah

terhadap pelayanan pemimpinnya di daerah. Selama berlangsungnya penyelengaraan otonomi

daerah, terdapat dua pendekatan pembangunan pelayanan terhadap masyarakat, pertama

pendekatan“kewilayahan” seperti wilayah propinsi, kabupaten maupun kota, kecamatan dan

1
kelurahan. Kedua, pendekatan “sektoral”, seperti sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah

mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam

tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang sangat esensial

yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya

merupakan perangkat wilayah dalam kerangka asasdekonsentrasi, berubah statusnya menjadi

perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi. Sebagai perangkat daerah, camat dalam

menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan kewenangan dari dan bertanggung jawab

kepada bupati/walikota. Pengaturan penyelenggaraan kecamatan baik dari sisi

pembentukan,kedudukan, tugas dan fungsinya secara legalistik diatur dengan peraturan

pemerintah. Sebagai perangkat daerah, camat mendapatkan pelimpahan kewenangan

yang bermakna untuk urusan pelayanan masyarakat. Selain itu kecamatan juga akan

mengemban penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan.

Perubahan kedudukan kecamatan dari wilayah administrasi pemerintahan menjadi

lingkungan kerja perangkat pemerintah daerah, membuka peluang bagi daerah

untuk mengembangkan kreativitasnya sesuai tuntutan kebutuhan masyarakat setempat.

Perubahan paradigma otonomi daerah dari keseragaman menjadi keanekaragaman dalam

kesatuan, juga memberi kesempatan daerah-daerah untuk mengatur isi otonomi sesuai

karakteristik wilayahnya, termasuk pengaturan mengenai kecamatan yang ada dilingkup

wilayahnya. Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan

dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Kota/Sekretaris Daerah.

Pertanggungjawaban camat tersebut adalah pertanggungjawaban administratif. Pengertiannya

bukan berarti camat mendapatkan kewenangan dari Sekda, karena secara legitimasi camat

mendapatkannya dari Bupati/Walikota.

2
Camat melaksanakan tugas umum pemerintahan di wilayah kecamatan,khususnya

tugas-tugas atributif dalam bidang koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi

pemerintah di wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban, penegakan

peraturan perundangan, pembinaan desa/kelurahan, serta melaksanakan tugas pemerintahan

lainnya yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan desa/kelurahan serta instansi pemerintah

lainnya di wilayah kecamatan.Oleh karena itu, kedudukan camat berbeda dengan kepala

instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan, karena penyelenggaraan tugas instansi

tersebut harus berada dalam koordinasi Camat. Koordinasi tersebut dimaksudkan untuk

mencapaikeserasian, keselarasan, keseimbangan, sinkronisasi dan integrasi

keseluruhankegiatan pemerintahan yang diselenggarakan di kecamatan guna

mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan kecamatan yang efektif dan efisien.

Tidak ada kewenangan spesifik/kondisional kepada kecamatan berdasarkan kondisi

objektif/karakteristik kecamatan. Karena pada dasarnya empat (4) kecamatan yang berada di

Kota Banjar mempunyai perbedaan karakter satu dan lainnya. Dalam pelaksanaan

pelimpahan sebagian kewenangan dari Walikota kepada camat sebagai titik awal menata

organisasi kecamatan di Kota Banjar mengahadapi berbagai masalah krusial, yaitu masih

kurangnya kesamaan persepsi antar Perangkat Daerah tentang pentingnya sebagian

kewenangan Walikota, yaitu masih terdapatnya ego sektoral pada sebagian perangkat daerah,

sehingga enggan untuk menyerahkan sebagian kewenangan yang dimilikinya untuk

kecamatan, sehingga aspek kemauan politis dan good will dari Walikota sangat urgen dalam

menentukan langkah kebijakan kewenangan camat sebagai salah satu tujuan untuk

menciptakan pendekatan pelayanan kepada masyarakat Kota Banjar. Perlu diketahui bersama

bahwa pelimpahan kewenangan Walikota kepada Camat sangat berpengaruh terhadap

penyelenggaraan pemerintahan di tingkatan Kelurahan/Desa.

3
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok kami mencoba menganalisis

secara sederhana tentang “Efektivitas Pelimpahan Kewenangan Walikota Kepada Camat

Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di Kota Banjar”

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan fenomena tersebut sebagai upaya revitalisasi dan pemberdayaan

organisasi kecamatan di Kota Banjar dalam melaksanakan kebijakan pelimpahan sebagian

kewenangan pemerintahan, sesuai amanat UU No. 32/2004, maka pelimpahan kewenangan

pemerintahan dari Walikota kepada Camat ini menjadi menarik untuk dikaji guna

memperoleh deskripsi yang jelas tentang bidang dan jenis kewenangan yang mungkin atau

dapat dilimpahkan Walikota kepada camat. Sebagai refleksi atas penerapan otonomi daerah

yang memungkinkan pemerintah Kota Banjar mengurus secara mandiri pemerintahan di

lingkup wilayahnya termasuk menata organisasi perangkat pemerintah kecamatannya, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1) Bagaimana pelaksanaan pelimpahan kewenangan Walikota kepada Camat ?

2) Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dalam pelimpahan kewenanganWalikota

kepada Camat ?

II.. Landasan Teori

2.I. Konsep Otonomi Daerah

Otonomi daerah tidak lepas dari konsep desentralisasi, karena otonomi adalah salah

satu perwujudan dari desentralisasi. Otonomi berasal dari bahasa yunani, auto yang berarti

sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dalam Encyclopedia of Social

Sciences yang dikutip Sumaryadi (2005 : 43), menjelaskan bahwa otonomi dalam pengertian

4
orisinil adalah “the legal self-sufficiencyndan actual independence”. Namun demikian

pelaksanaan otonomi tetap dalam batas koridor yang tidak melampaui wewenang pemerintah

pusat yang menyerahkan urusan kepada daerah. Hal ini sesuai dengan pandangan Ryass

Rasyid (2002 : 32) yang menyatakan bahwa otonomi daerah bukanlah merupakan hak dari

masyarakat dan pemerintah daerah, melainkan kewajiban daerah dalam rangka

mensukseskan pembangunan nasional.

Jadi pada hakekatnya otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak,

yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk

mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung

jawab.Pendapat di atas sejalan dengan pengertian otonomi daerah menurut UU No.32/2004

yang menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikan suatu

daerah otonom adalah daerah yang self suffiency, self authority, dan self regulation to its

laws and affairs dari daerah lainnya baik secara vertikal maupun horizontal karena daerah

otonom memiliki actual independence.

Antara desentralisasi dan otonomi daerah memiliki keterkaitan yang tidak dapat

dipisahkan. Hubungan keduanya dikemukakan oleh Ryaas (2002 : 35) yaitu dalam tataran

konsep desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya memiliki tempatnya masing-masing.

Istilah otonomi daerah lebih cenderung pada political aspect (aspek politik kekuasaan),

sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada administrative aspect (aspek administrasi

negara). Namun demikian dilihat dari konteks sharing of power (berbagi kekuasaan), dalam

prakteknya di lapangan, kedua istilahtersebut berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan

menyangkut pernyataan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan

urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah.Sesuai

5
dengan pendapat Sumaryadi (2005 : 16) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang

saling menentukan dan bergantung antara desentralisasi dan otonomi daerah.

Desentralisasilah yang melandasi suatu daerah dapat dikatakan otonom. Otonomi daerah

tidak akan ada jika tidak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan pemerintahan dan

pembangunan didaerah. Jadi teori desentralisasi merupakan dasar pijakan otonomi.Untuk

konteks Indonesia, maka otonomi daerah menjadi pilihan yang tepat. Menurut Ryaas (2002 :

41) dengan mengatakan bahwa:

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, mungkin merupakan satu-satunya


kebijakan yang paling besar peluangnya untuk sukses. Ini didasarkan pada adanya
suatu komitmen reformasi yang diterima secara nasional didukung perangkat
hukum yang jelas dan komitmen awal yang sangat kuat, serta diterima secara luas
oleh pemerintah daerah, partai politik, organisasi masyarakat dan kaum intelektual
bahkan pemuka agama.

Di sisi lain, otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada kondisi (Sarundajang,

2005 : 34). Dari berbagai pemahaman tentang otonomi daerah tersebut beliau menyimpulkan

sebagai :

1) Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom;


2) Daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya di luar batas
wilayahnya;
3) Daerah tidak boleh mencanpuri urusan rumah tangga daerah lain sesuai dengan
wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya;
4) Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain.Otonomi daerah sebagai salah satu
bentuk desentralisasi pemerintahan, pada dasarnya memiliki tujuan dalam memenuhi
kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Berdasarkan ide hakiki yang terkandung dalam konsep otonomi, sehingga Sarundajang (2002

: 35) juga menegaskan tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah meliputi 4 aspek :

1) Dari segi politik adalah mengikut sertakan, menyalurkan aspirasi dan inspirasi
masyarakat, baik untuk kepentingan untuk daerah sendiri, maupununtuk mendukung
politik kebijakan nasional;
2) Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkat daya gunadan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan;
3) Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi sertamenumbuhkan
kemandirian masyarakat melalui upaya pemberdayaan(empowerment) masyarakat
untuk mandiri;
4) Dari segi ekonomi pembangunan, adalah untuk melancarkan program pembangunan
guna tercapainya kesejahteraan rakyat.

6
Sebagai bentuk antitesis dari pola sentralisasi, mekanisme desentralisasi adalah

melaksanakan prinsip penyeleggaraan otonomi seluas-luasnya dalam artidaerah diberikan

kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahannya. Daerah memiliki

kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan

partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah secara eksplisit memberikan kewenangan yang

luas kepada pemerintah daerahuntuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan

kesejahteraan masyarakat di daerahnya, Pemerintah daerah dapat mengoptimalkan

pembangunan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat serta pemerintah daerah dan

masyarakat di daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar

untuk mempercepat laju pembangunan daerah. Konsep desentralisasi sangat tepat menjadi

opsi dalam pelaksanaan pemerintahan yang diperhadapkan pada kondisi wilayah negara dan

jumlah populasi penduduk yang besar. Pendapat ini senada dengan Bowman dan Hapton

yang dikutip oleh Koirudin (2005 : 18), menjelaskan bahwa tidak ada satupun pemerintah

dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luasdapat menentukan kebijakan secara efektif

atau mampu melaksanakan kebijakan dan program secara efisien melalui mekanisme

sentralisasi.

Secara etimologi, desentralisasi terdiri dari kata “de” artinya lepas dan “sentrum”

artinya pusat. Jadi secara harafiah, artinya lepas dari pusat (Suradinata,1996 : 27). Dalam

Encyclopedia of the Social Science yang dikutip Sarundajang(2002 : 46), disebutkan

bahwa,“the proces of desentralization denotes the transferences of authorithy, legilasive,

judicial or administrative, from higher level of government to a lower”, mendefiniskan

desentralisasi sebagai peyerahan wewenang dari pemerintah yang lebih tinggi kepada

pemerintah yang lebih rendah. Pengertian desentralisasi yang lebih detail diungkapkan

Rondinelli dan Cheema (dalamSarundajang, 2002 : 47), dengan memberi pengertian :

7
“decentralization is the transfer of planning, decision-making or administrative
authority from the central government to its field organization, local administrative
unit, semi-autonomous and parastatal organization, local government or non
government org anizations”.

Pengertian desentralisasi yang dimaksud dalam kajian ini sejalan dengan konsepyang

tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yaitu

penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerahotonom untuk mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi

pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan asas desentralisasi.

Pengertian tersebut, menderivasikan empat kegiatan (Koirudin, 2005 :18), yaitu :

1.Dekonsentrasi wewenang administratif


2. Delegatif kepada penguasa otorita
3. Devolusi kepada pemerintah daerah
4.Pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta

Sesuai dengan pemahaman di atas, maka format desentralisasi dapat dikelompokkan ke

dalam empat bentuk (Sarundajang, 2002 : 54-56) yaitu :

1) Comprehensive local government system, yaitu aparat daerah melakukan fungsi-


fungsi yang diserahkan oleh pemerintah pusat;
2) Patnership system, yaitu beberapa jenis pelayanan yang dilaksanakan langsungoleh
aparat pusat dan beberapa jenis pelayanan yang lain dilakukan oleh aparatdaerah;
3) Dual system, yaitu aparat pusat melaksanakan pelayanan teknis secara
langsung,demikian juga aparat daerah;
4) Integrated administrative system, yaitu aparat pusat melakukan pelayanan
teknissecara langsung di bawah pengawasan seorang pejabat koordinator.

Aparat daerah hanya punya wewenang kecil dalam kegiatan pemerintahan. Desentralisasi

menurut Riggs ditinjau dari maknanya mengandung dua makna (Sarundajang, 2002 : 47),

yaitu sebagai pelimpahan wewenang (delegation) dan pengalihan kekusaan (devolution). Hal

ini sesuai dengan pendapat Tresna (Sarundajang, 2002 : 48) yang juga menggolongkannya

menjadi dua, yaitu desentralisasi jabatan (staatskundige decentraisatiel) dan desentralisasi

teritorial (teritoriale decentralisatie).

8
2.2. Konsep Kewenangan dan Pelimpahan Kekuasaan

Kewenangan tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, kekuasaan dalam birokrasi

pemerintah selama ini dipergunakan sangat sentralisitik dan eksesif. Dalam hierarki weber,

ditemukan korelasi yang positif antara tingkatan hierarki jabatan dalam birokrasi dengan

kekuasaan (power). Semakin tinggi lapis hierarki jabatan seseorang dalam birokrasi maka

semakin besar kuasanya dan semakin rendah lapisan hierarkinya semakin tidak berdaya

(powerless). Karena korelasi ini menunjukan bahwa penggunaankekuasaan pada hierarki atas

sangat tidak imbang dengan penggunaan kekuasaan tingkat bawah. Dengan ungkapan lain,

sentralisasi kekuasaan yang berada ditingkat hierarki atas semakin memperlemah posisi

pejabat hierarki bawah dan tidak memberdayakan masyarakat yang berada di luar

hierarki(Thoha, 2003 : 79).

Berangkat dari konsep hierarki dan kekuasaan tersebut, maka perluadanya transfer

kewenangan ke level bawah guna menghindari penumpukan kekuasaan dan kewenangan di

level atas. Wewenang atau kewenangan adalah padanan kata authority, yaitu “the power or

right delegated or given: the power to judge, act or command”. Kewenangan dapat

dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan

yang diduduki oleh pemimpin. Otoritas adalah kekuasaan yang disahkan oleh peranan formal

seseorang dalam suatu organisasi (Thoha, 2003 : 81).Sedangkan dalam Ensklopedi

Administrasi (dalam Wasistiono dkk,2009 : 49 ), wewenang didefinisikan sebagai hak

seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggung

jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik.

Pendelegasian atau pelimpahan kewenangan (delegation of authority) dapat dilihat

dari beberapa aspek, yakni aspek tugas, tanggung jawab dan wewenang. Pada prinsipnya,

pendelegasian atau pelimpahan sama dengan penyerahan, jadi pendelegasian atau pelimpahan

kewenangan berarti penyerahan sebagian hak untuk mengambil tindakan yang diperlukan

9
agar tugas dan tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik dari pejabat satu kepada

pejabat lainnya. Menurut Sutarto (2002:144-145), pelimpahan kewenangan itu

bukan penyerahan hak dari atasan kepada bawahan, melainkan penyerahan hak dari pejabat

kepada pejabat. Format pendelegasian wewenang dapat dilakukan oleh pejabat yang

berkedudukan lebih tinggi (superior) kepada pejabat yang berkedudukan rendah

(subordinate) atau pejabat atasan kepada pejabat bawahan, di samping itu pelimpahan

wewenang dapat pula dilakukan diantara pejabat yang berkedudukan pada jenjang yang

sama atau antara pejabat yang sederajat. Pelimpahan wewenang menegak atau vertikal,

sedangkan pelimpahan kewenangan yang kedua diartikan pelimpahan kewenangan mendatar

atau horizontal.

Dilihat dari sumbernya, kewenangan dapat dibedakan menjadi dua jenis (Wasistiono,

2009:26), yaitu :

1. Kewenangan atributif adalah kewenangan yang melekat dan diberikan kepada suatu
institusi atau pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan;
2. Kewenangan delegatif adalah kewenangan yang berasal dari pendelegasian
kewenangan dari institusi atau pejabat yang lebih tinggi tingkatannya. Masing-masing
pejabat diberikan tugas melekat sebagai bentuk tanggung jawab agar tugas yang
diberikan itu dapat dilaksanakan dengan baik.Tanggung jawab merupakan keharusan
pada seseorang pejabat untuk melaksanakan secara layak segala sesuatu yang telah
dibebankan kepadanya.Tanggung jawab hanya dapat dipenuhi bila pejabat yang
bersangkutan disertaidengan wewenang tertentu dalam bidang dan tugasnya. Dengan
tiadanya otoritas itu, tanggung jawab tidak dapat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya. Jadi ada korelasi antara tugas, tanggung jawab dan wewenang.

Desentralisasi dalam sistem pemerintahan mutlak diperlukan, setidaknya ada 14

alasan rasional yang melatar belakanginya menurut ungkapan Cheema dan Rondinelli yang

dikutip (Ryass Rasyid, et al, 2007 : 53), yaitu :

1) Desentralisasi ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena


perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik;
2) Dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang terstruktur
dari pemerintah;
3) 3.Memberikan fungsi yang dapat meningkatkan pemahaman pejabat daerah
atas pelayanan publik yang diemban

10
4) Mengakibatkan terjadinya penetrasi yang lebih baik dari pemerintah pusat bagidaerah
terpencil, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahamimasyarakat setempat
atau dihambat oleh elit lokal
5) Memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik,
etniskeagamaan, dalam perencanaan pembangunan;
6) Dapat meningkatkan kemampuan maupun kapasitas pemerintahan serta
lembaga privat daerah;
7) Dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagimenjalankan
tugas rutin;
8) Dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapatdikoordinasi
secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGO (Non Govenrmental
Orgnazations);
9) Digunakan untuk melambangkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan
danimplemetasi program;
10) Dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan berbagai aktifitas yangdilakukan elit
lokal yang kerap tak simpatik dengan program pembangunan;
11) Dapat mengantarkan pada administrasi pemerintahan yang mudah
disesuaikan,inovatif dan kreatif;
12) Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen memungkinkan pemimpindaerah
menetapkan pelayanan secara efektif di tengah masyarakat terisolasi;
13) Dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan
memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah;
14) Dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang
lebih rendah.

Sesuai dengan alasan tersebut pemerintah pusat mendelegasikan urusan wajib dan

pilihan kepada daerah otonom (Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa) untuk menjadi urusan

kewenangan daerah sesuai dengan UU 32 Tahun 2004 Pasal 10 yaitu:

1) Urusan wajib, yaitu suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan

dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal,

prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan

terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.

2) Urusan Pilihan, yaitu urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan

potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Secara general berbagai studi desentralisasi mengalami perkembangan pesat dalam

rangka mewujudkan gagasan besar desentralisasi ke dalam praktek penyelenggaraan

pemerintahan termasuk di Indonesia. Tetapi esensinya desentralisasi adalah instrumen dalam

11
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi

merupakan nilai-nilai dari komunitas politik yang dapat berupa:

a. Kesatuan bangsa (national unity),


b. Pemerintahan demokrasi (goverment democration)
c. Kemandirian sebagai penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi dan
pembangunan sosial ekonomi. (J.W. Fester dan A.F. Leemans dalam Sarundajang,
2002 : 56).

III. Pembahasan

Sesuai dengan data dokumen yang kami kaji, di samping camat menangani urusan

daerah juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi :

1) Mengkoordinasikan penerapan upaya penyelenggaraan ketenteraman danketertiban

umum

2) Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;

3) Mengkoordinasikan pemeliharaan sarana dan prasarana dan fasilitas pelayanan

umum;

4) Menkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkatkecamatan;

5) Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;

6) Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau

yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa/kelurahan.

Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan jika dibandingkan dengan

perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk mendukung

pelaksanaan azas desentralisasi. Kekhususan tersebut yaitu adanya suatu kewajiban

mengintegrasikan nilai-nilai sosio-kultural,menciptakan stabilitas dalam dinamika politik,

ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketentraman dan ketertiban wilayah

sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat serta masyarakat dalam kerangka membangun

integrasi kesatuan wilayah.

12
Dalam hal ini, fungsi utama camat selain memberikan pelayanan kepada

masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan wilayah. Secara filosofis, kecamatan

yang dipimpin oleh camat perlu diperkuat dari aspek sarana prasarana, sistem adminitrasi,

keuangan dan kewenangan bidang pemerintahan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan

di kecamatan sebagai ciri pemerintahan kewilayahan yang memegang posisi strategis dalam

hubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin

oleh bupati/walikota. Sehubungan dengan itu, camat melaksanakan

kewenangan pemerintahan dari dua sumber yaitu bidang kewenangan dalam lingkup tugas

umum pemerintahan dan kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan

oleh bupati/walikota dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Untuk memberikan

pelayanan langsung kepada masyarakat atau mendekatkan pelayanan kepada masyarakat,

maka kecamatan memegang peran yang sangat urgen dan strategis.

Dalam konteks ini, diperlukan adanya pemikiran untuk mempertajam otonomi dan

pemberdayaan organisasi kecamatan sebagai ujung tombak pemerintah daerah

Kabupaten/Kota. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pelimpahan sebagian kewenangan

pemerintah kabupaten/kota kepada kecamatan (camat) sesuai amanat UU 32/2004, pasal 126

ayat 2, bahwa camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari

Bupati/Walikota. Kewenangan ini sendiri ditilik dari sumbernya, dapat dibedakan menjadi

dua macam yaitu kewenangan atributif dan delegatif, berbeda dengan aturan sebelumnya (UU

22/1999 pasal 66 ayat 4) dimana kewenangan camat hanya bersifat delegatif. Tujuan

pelimpahan kewenangan tersebut untuk memberikan batasan yang jelas tentang kewenangan

kecamatan, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

Memperpendek rentang kendali bupati/walikota kepada desa/kelurahan

yang bermuara pada penguatan institusi kecamatan. Hal ini sejalan dengan upaya penataan

kelembagaan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003, yang

13
mengatur tentang upaya penyederhanaan organisasi (rightsizing) dalam rangka untuk

mengembangkan organisasi yang lebih proposional, datar (flat) transparan, hierarki yang

pendek serta kewenangan yang terdesentralisasi (Wasistiono, 2002). Pelimpahan kewenangan

Pemerintah kabupaten/kota kepada kecamatan perlu ditelaah dan dikaji secara detail, karena

tidak secara keseluruhan kewenangan bisa diberikan kepada kecamatan, tetapi didasarkan

atas berbagai aspek pertimbangan. Menurut kelompok kami, ada empat prasyarat pelimpahan

kewenangan tersebut, yaitu :

1) Adanya kemauan politik dari bupati/walikota.

2) Kemauan politik dari pihak eksekutif dan legislatif.

3) Kelegawan dari Dinas dan Lembaga Teknis Daerah untuk melimpahkan

kewenangan teknis yang dapat dijalankan oleh kecamatan melaluikeputusan

buapti/walikota.

4) Dukungan anggaran dan personil dalam menjalankan kewenangan yang telah

didelegasikan.

Berhubungan dengan penjelasan tersebut, sesuai PP Nomor 41 Tahun 2007tentang Organisasi

Perangkat Daerah dan PP 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, maka kedudukan Kecamatan

adalah sebagai perangkat daerah pelaksana tugas kewilayahan, 2 (dua) makna utama dari

posisi ini adalah sebagai pembina kewilayahan dan penyelenggara pelayanan masyarakat.

Pelimpahan sebagian kewenangan/urusan pemerintah daerah kabupaten/kota kepada

kecamatan ini sebagai konsekuensi kebijakan dari kewenangan kecamatan perlu diperluas,

tidak hanya bersifat administratif-koordinatif semata, namun hendaknya juga mengandung

substansi pemerintahan, antara lain berupa kewenangan penetapan kebijakan, pembinaan dan

pengawasan, penyelenggaraan pelayanan/perizinan, serta kewenangan merencanakan,

mengkoordinasikan, mengawasi dan mengevaluasi proses penyelenggaraan pemerintahan dan

14
pembangunan yang dilaksanakan baik oleh unit kerja/instansi vertikal pemerintah di wilayah

maupun oleh swasta.

Pembenahan spesifik tentang organisasi kecamatan secara regelutif diatur dalam

Peraturan Pemerintah No. 19/2008 tentang Kecamatan..Kecamatan di Kota Palu mengalami

kendala dalam penyelenggaraankewenangan yang diberikan oleh pemerintah Kota. Hal ini

disebabkan kewenanganyang diatur masih bersifat umum (kewenangan atributif) dan sangat

sedikit sesuaidengan UU 32/2004, pasal 126 ayat 3, serta belum terinci dengan jelas bidang

dan jenis kewenangan apa yang diberikan kepada kecamatan. Kewenangan Camat

yangdilimpahkan oleh Walikota lebih terfokus pada aspek tugas dan tanggung

jawabnyadaripada aspek kewenangannya itu sendiri.Selain itu, karena kewenangan yang

didistribusikan bersifat general, maka pengaruhnya terhadap format pendelegasian

kewenangannya berlaku seragam untuk semua kecamatan.

Ditengah semangat membangun otonomi, adalah hal ironis bahwa kewenangan dan

sumber daya besar yang dimiliki Kabupaten/Kota kurang berdampak pada pemberdayaan

Kecamatan dan Kelurahan. Padahal Kecamatan dan Kelurahan inilah yang semestinya

diposisikan sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Otonomi boleh saja menjadi

domein Pemkab/Pemkot, namun front line dari sebagian fungsi pelayanan mestinya

diserahkan kepada Kecamatan dan Kelurahan, disamping kepada Dinas Daerah. Dengan

demikian, Pemkab/Pemkot perlu lebih mengedepankan fungsi-fungsi steering seperti

koordinasi, pembinaan, fasilitasi, dan pengendalian, dari pada fungsi rowing atau

penyelenggaraan langsung suatu urusan.

Tuntutan memberdayakan Kecamatan dan Kelurahan ini adalah sebuah keniscayaan.

Sebab, sejak berlakunya UU No. 22/1999, ada beberapa perubahan signifikan yang

menyangkut status, fungsi dan peran Kecamatan. Saat ini, Kecamatan bukan lagi sebagai

perangkat kewilayahan yang menyelenggarakan fungsi-fungsi dekonsentrasi dan tugas

15
pembantuan, namun menjadi perangkat daerah otonom. Itulah sebabnya, dalam pasal 66

diatur bahwa “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari

Bupati/Walikota”. Pasal ini mengandung pengertian bahwa Kecamatan berfungsi atau

berperan menjalankan sebagian kewenangan desentralisasi. Sementara itu, pasal 67 mengatur

bahwa Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan, sehingga wajarlah jika Lurah sebagai

Kepala Kelurahan menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.

Dari perspektif administrasi publik, pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota

kepada Camat, dan dari Camat kepada Kelurahan ini bukan hanya sebuah kebutuhan, namun

lebih merupakan suatu keharusan untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi

penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan umum di daerah.

Sebab, jika kewenangan dibiarkan terkonsentrasi di tingkat Kabupaten/Kota, maka akan

didapatkan paling tidak dua permasalahan.

1) Pemkab/Pemkot akan cenderung memiliki beban kerja yang terlalu berat (overload)

sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang efektif. Disisi lain,

sebagai akibat kewenangan yang terlalu besar, maka organisasi Kabupaten/Kota juga

didesain untuk mewadahi seluruh kewenangannya sehingga justru menjadikan format

kelembagaan semakin besar dan tidak efisien.

2) Kecamatan sebagai perangkat Kabupaten/Kota dan Kelurahan sebagai perangkat

Kecamatan akan muncul sebagai organisasi dengan fungsi minimal. Apa yang

dilakukan oleh Kecamatan dan Kelurahan hanyalah tugas-tugas rutin administratif

yang selama ini dijalankan, tanpa ada upaya untuk lebih memberdayakan kedua

lembaga ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan adanya pemborosan organisasi yang

luar biasa.

Disisi lain, upaya melakukan pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari

Walikota kepada Camat pun masih akan menghadapi beberapa kendala, yakni:

16
1) Kecamatan selama ini terbiasa menjalankan kewenangan yang bersifat atributif, yakni

kewenangan yang melekat pada saat pembentukannya. Akibatnya, pola kerja

kecamatan terlihat kaku, mekanis dan cenderung kurang dinamis. Oleh karena itu, jika

kecamatan akan diberi kepercayaan menjalankan kewenangan tambahan yang bersifat

delegatif, maka perlu dikaji secara mendalam kewenangan apa saja yang layak dan

prospektif untuk diemban oleh kecamatan. Sebab, pelimpahan kewenangan yang asal-

asalan justru akan berdampak pada ketidakmampuan kecamatan melaksanakan

kewenangan tersebut, serta terjadinya penurunan mutu pelayanan umum.

2) Kondisi obyektif kecamatan dapat dikatakan kurang mendukung kebijakan tentang

pelimpahan kewenangan. Jumlah dan kualitas SDM yang minim, sarana kerja yang

konvensional, sumber dana yang terbatas, adalah beberapa fakta riil yang perlu

diperkuat sebelum pelimpahan kewenangan direalisasikan. Namun secara logika,

pengembangan kelembagan akan terlebih dahulu diprioritaskan kepada Kecamatan

mengingat telah dilimpahkannya sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada

Camat.

3) Satu hal yang perlu dicatat adalah, meskipun banyak kendala yang harus diatasi,

namun pemberdayaan Kecamatan melalui pelimpahan kewenangan beserta sumber

daya pendukungnya adalah langkah terbaik untuk mewujudkan cita-cita pemberian

otonomi, yakni peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum, serta kehidupan

masyarakat daerah yang lebih demokratis.

Mengingat hal diatas, maka pendelegasian atau pelimpahan sebagian wewenang dari

atas (dari Bupati/Walikota ke Camat dan dari Camat ke Lurah) perlu diupayakan seoptimal

mungkin. Tujuannya jelas, yaitu untuk mempercepat proses sekaligus meningkatkan mutu

pelayanan kepada masyarakat. Pada saat yang bersamaan, kebijakan ini akan meringankan

beban beban Daerah, sehingga penyelenggaraan pemerintahan umum diharapkan akan

17
semakin efektif dan efisien. Dan sungguh patut disyukuri bahwa banyak Bupati/Walikota di

Indonesia yang sudah melakukan pelimpahan kewenangan kepada Camat di wilayahnya

masing-masing. Meskipun pelimpahan kewenangan ke unit organisasi yang lebih rendah

perlu terus dimantapkan, namun harus dicermati pula bahwa kebijakan ini membawa

konsekuensi di berbagai hal.

Dalam hal ini, paling tidak ada 3 dimensi strategis pada level Kecamatan yang perlu

diperhatikan untuk menjamin keberhasilan kebijakan tersebut.

1) Menyangkut aspek koordinasi antar lembaga dan standarisasi tata kerja. Artinya,

sebagai konsekuensi dari pelimpahan kewenangan, Camat wajib melakukan

koordinasi dengan Dinas/Lemtek, khususnya untuk hal-hal yang bersifat teknis

operasional. Dalam kaitan dengan koordinasi ini, perlu dipertegas antara tugas dan

kewajiban Kecamatan disatu pihak dengan tugas dan kewajiban Dinas/Lemtek di

pihak lain. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih dalam

pelaksanaan kewenangan tertentu. Dalam hal pemberian IMB misalnya, perlu ada

kejelasan tentang apa yg harus disediakan dan/atau dilakukan Dinas dan Cabang

Dinas Bangunan, apa yang harus disediakan dan/atau dilakukan Kecamatan, serta tata

laksana antara kedua pihak lengkap dengan standar waktu dan sumber

pembiayaannya. Tanpa adanya kejelasan tentang pembagian tugas, tata kerja, standar

kerja serta sumber pendukung, pelimpahan kewenangan dikhawatirkan justru akan

membingungkan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan publik.

2) Berkenaan dengan kebutuhan perimbangan sumber daya keuangan, SDM dan sarana.

Adalah hal yang logis jika pelimpahan kewenangan harus diikuti pula oleh

pemberian sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan

kewenangan tersebut. Sebagaimana halnya perimbangan sumber daya antara Pusat

dan Daerah, pelimpahan kewenangan di tingkat loka lpun harus diikuti oleh

18
perimbangan sumber-sumber daya. Tanpa adanya penguatan sumber daya,

Kecamatan akan mengalami over-load dalam tugas-tugasnya, dan kewenangan yang

dilimpahkan tidak akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Jika ini terjadi,

maka tujuan pelimpahan kewenangan dapat dikatakan mengalami kegagalan.

3) Mengenai kebutuhan pengembangan struktur organisasi kecamatan Dengan

bertambahnya kewenangan dan sumber-sumber daya, maka sangatlah wajar jika

struktur organisasi Kecamatan perlu dikembangkan atau diperkuat. Pada saat yang

bersamaan, organisasi pemerintah Kabupaten/Kota, perlu dirampingkan. Jika

kewenangan-kewenangan teknis suatu Dina / Cabang Dinas telah dilimpahkan

kepada Kecamatan sementara kelembagaannya justru membengkak dengan

dibentuknya cabang-cabang Dinas baru, maka akan terjadi inkonsistensi antara

pemegang dan pelaksana kewenangan. Salah satu prinsip dalam distribusi

kewenangan yang harus dijaga adalah tidak adanya kewenangan yang dimiliki dan /

atau dilaksanakan secara bersama-sama oleh lebih dari satu lembaga. Oleh karena

itu, untuk menghindari kewenangan rangkap tadi, suatu kewenangan mestinya hanya

dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki dan/atau diberi delegasi untuk

melaksanakannya.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas dpat diambil kesimpulan bahwa:

1) Prinsip desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan

kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang

menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

untuk memberikan pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

19
2) Camat melaksanakan tugas umum pemerintahan di wilayah kecamatan,khususnya

tugas-tugas atributif dalam bidang koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi

pemerintah di wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban,

penegakan peraturan perundangan, pembinaan desa/kelurahan, serta melaksanakan

tugas pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan

desa/kelurahan serta instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan

3) Empat prasyarat pelimpahan kewenangan dari Walikota kepada Camat, yaitu :

a) Adanya kemauan politik dari Walikota.

b) Kemauan politik dari pihak eksekutif dan legislatif.

c) Kelegawan dari Dinas dan Lembaga Teknis Daerah untuk melimpahkan

kewenangan teknis yang dapat dijalankan oleh kecamatan melalui keputusan

Walikota.

d) Dukungan anggaran dan personil dalam menjalankan kewenangan yang telah

didelegasikan.

4) Jika kewenangan dibiarkan terkonsentrasi di tingkat Kabupaten/Kota, maka akan

didapatkan paling tidak dua permasalahan, yaitu:

a) Pemkab/Pemkot akan cenderung memiliki beban kerja yang terlalu berat

(overload) sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang efektif.

b) Kecamatan sebagai perangkat Kabupaten/Kota dan Kelurahan sebagai perangkat

Kecamatan akan muncul sebagai organisasi dengan fungsi minimal. Apa yang

dilakukan oleh Kecamatan dan Kelurahan hanyalah tugas-tugas rutin administratif

yang selama ini dijalankan, tanpa ada upaya untuk lebih memberdayakan kedua

lembaga ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan adanya pemborosan organisasi

yang luar biasa.

20
5) Kendala yang timbul dari pelaksanaan kebijakan pelimpahan kewenangan dari

Walikota kepada Camat adalah:

c) Kecamatan selama ini terbiasa menjalankan kewenangan yang bersifat atributif,

yakni kewenangan yang melekat pada saat pembentukannya. Akibatnya, pola

kerja kecamatan terlihat kaku, mekanis dan cenderung kurang dinamis.

a) Kondisi obyektif kecamatan dapat dikatakan kurang mendukung kebijakan

tentang pelimpahan kewenangan. Jumlah dan kualitas SDM yang minim, sarana

kerja yang konvensional, sumber dana yang terbatas, adalah beberapa fakta riil

yang perlu diperkuat sebelum pelimpahan kewenangan direalisasikan.

6) Tiga dimensi solusi strategis pada level Kecamatan yang perlu diperhatikan untuk

menjamin keberhasilan kebijakan tersebut, yakni:

a) Menyangkut aspek koordinasi antar lembaga dan standarisasi tata kerja.

b) Berkenaan dengan kebutuhan perimbangan sumber daya keuangan, SDM dan

sarana. Adalah hal yang logis jika pelimpahan kewenangan harus diikuti pula oleh

pemberian sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan

kewenangan tersebut.

c) Mengenai kebutuhan pengembangan struktur organisasi kecamatan Dengan

bertambahnya kewenangan dan sumber-sumber daya, maka sangatlah wajar jika

struktur organisasi Kecamatan perlu dikembangkan atau diperkuat.

21
DAFTAR PUSTAKA.

Karim, A. Gaffar (Ed), 2006, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah diIndonesia, Pustaka
Pelajar : Yogyakarta

Koiruddin, 2005,Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia : Format Masa Depan Otonomi


Menuju Kemandirian Daerah, Averroes Press : Malang.

Ndraha, Taliziduhu, 2003, Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru), PT. Rineka Cipta Jakarta.

Purwanto, A. Erwan dan Ratih, Dyah, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif


untuk Administrasi Publik, Gava Media : Yogyakarta.

Rasyid, Ryass, 2002, Makna Pemerintahan (Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan),
PT. Mutiara Sumber Widya : Jakarta.

Sarundajang, 2002,Arus Balik Kekuasaan dari Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan :
Jakarta.

Sedaryanti, 2005,Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah,Humaniora :


Bandung.

Sumaryadi, I Nyoman, 2005. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah,Citra


Utama : Jakarta.

Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, Gadjah University Press : Yogyakarta

Utomo, Warsito, 2005,Administrasi Publik Baru Indonesia : Perubahan Paradigma


Administrasi Negara ke Administrasi Publik, MAP UGM-Pustaka Pelajar :
Yogyakarta.

Wasistiono Sadu, Dkk, 2009, Perkembangan Organisasi Kecamatan dari Masake Masa,Fokus
Media-Bandung.

Aturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2003 tentang Pedoman


Organisasi Perangkat Daerah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi


Perangkat Daerah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan

22
Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan

Surat Edaran Menpan Nomor 26 Tahun 2004 Tentang Pedoman Umum Tatalaksana
Administrasi Pemerintahan

23

Anda mungkin juga menyukai