Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah (akad,transaksi) dalam
berbagai bidang. Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia
dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya perlu dipelajari dan diketahui
dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak
kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri
masing-masing, sebelum orang terjun dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman
agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul karimah dan pengetahuan tentang
seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri prilaku
(pelaksana) muamalah itu.
Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, diantaranya adalah
akad Al-Wadi’ah. Pengertian Al-Wadi’ah secara singkat adalah penitipan, yaitu
akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya
secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan).
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Wadiah?
b. Apa saja rukun dan syarat Wadiah?
c. Bagaimana landasasn hukum Wadiah?
d. Bagaimana pengaplikasian Wadiah dalam perbankan?
1.3 Tujuan

a. Mengetahui pengertian Wadiah.

b. Mengetahui rukun dan syarat dalam Wadiah.

c. Mengetahui landasan-landasan hukum Wadiah.

d. Mengetahui pengaplikasiaannya dalam perbankan.


2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Akad Wadiah


Wadiah dalam bahasa fiqh adalah barang titipan atau memberikan, juga
diartikan i’tha’u al-mal liyahfadzahu wa fi qabulihi yaitu memberikan harta untuk
dijaganya dan pada penerimaannya. Karena itu, istilah wadi’ah sering disebut
sebagai ma wudi’a ‘inda ghair malikihi liyahfadzuhu yang artinya sesuatu yang
ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga. Seperti dikatakan qabiltu
minhu dzalika al-malliyakuna wadi’ah ‘indi yang berarti aku menerima harta
tersebut darinya. Sedangkan Al-Qur’an memberikan arti wadi’ah sebagai amanat
bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu
pemilik meminta kembali.1
Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ahli fiqh. Pertama, ulama
Mazhab Hanafi mendifinisikan wadi’ah dengan, “mengikutsertakan orang lain
dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan,
maupun melalui isyarat.” Misalnya, seseorang berkata kepada orang lain, “Saya
titipkan tas saya ini kepada Anda,” lalu orang itu menjawab, “Saya terima.” Maka
sempurnalah akad wadi’ah. Atau seseorang menitipkan buku kepada orang lain
dengan mengatakan, “Saya titipkan buku saya ini kepada Anda,” lalu orang yang
dititipi diam saja (tanda setuju). Kedua, ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i
dan Mazhab Hanbali (jumhur ulama) mendefinisikan wadi’ah dengan
“Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.”1
Wadi’ah dipraktekkan pada bank-bank yang menggunakan sistem syariah,
seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI, Bank Islam). Bank Muamalat Indonesia
mengartikan wadi’ah sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh
digunakan oleh bank. Konsep wadi’ah yang dikembangkan oleh BMI adalah
wadi’ah yad ad dhamanah (titipan tentang resiko ganti rugi).2

1
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010,
h.295
2
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001,
h.148
3

Oleh sebab itu, wadi’ah yang oleh para ahli fiqih disifati dengan yad Al-
Amanah (titipan murni tanpa ganti rugi) dimodifikasi dalam bentuk yad ad
dhamanah (dengan resiko ganti rugi). Konsekuensinya adalah jika uang itu
dikelola pihak BMI dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi
milik bank. Di samping itu, atas kehendak BMI sendiri, tanpa ada persetujuan
sebelumnya dengan pemilik uang, dapat memberikan semacam bonus kepada para
nasabah wadi’ah. Dalam hal ini praktek wadi’ah di BMI sejalan dengan pendapat
ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki.2
Secara komulatif, wadi’ah memiliki dua pengertian , yang pertama
pernyataan dari seseorang yang telah memberikan kuasa atau mewakilkan kepada
pihak lain untuk memelihara atau menjaga hartanya; kedua, sesuatu harta yang
dititipkan seseorang kepada pihak lain dipelihara atau dijaganya.3
2.2 Rukun dan Syarat Wadi’ah
a. Rukun Wadi’ah
2
Menurut Hanafiah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat:
1. Barang yang dititipkan (wadiah)
2. Orang yang menitipkan (mudi’ atau muwaddi’)
3. Orang yang menerima titipan (muda’ atau mustawda’)
4. Ijab qabul (sighat)
b. Syarat-Syarat Wadi’ah
Syarat-syarat wadi’ah berkaitan dengan rukun-rukun yang telah
disebutkan di atas, yaitu syarat benda yang dititipkan, syarat sighat, syarat orang
yang menitipkandan syarat orang yang dititipi.4
a). Syarat-Syarat Untuk Benda Yang Dititipkan Syarat-syarat benda yang
dititipkan sebagai berikut :

1. Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan.
Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau

2
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001,
h.148
3
Ahmad Hasan Ridwan, Bmt & Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004 h. 14
4
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, Jakarta:Amzah,2010,h. 459
4

benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah tidak sah sehingga apabila
hilang, tidak wajib mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama
Hanafiyah.
2. Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda
yang mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai mal, walaupun
najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu, atau menjaga
keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang
tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.
b). Syarat- Syarat Sighat
Sighat akad adalah ijab dan qabul. Syarat sighat adalah ijab harus
dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan
adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan
kinayah harus disertai dengan niat. Contoh lafal yang sharih: “Saya titipkan
barang ini kepada Anda”. Sedangkan contoh lafal sindiran (kinayah). Seseorang
mengatakan, “Berikan kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab: “Saya
berikan mobil ini kepada Anda”. Kata “berikan” mengandung arti hibah dan
wadi’ah (titipan). Dalam konteks ini arti yang paling dekat adalah “titipan”.
Contoh ijab dengan perbuatan: Seseorang menaruh sepeda motor di hadapan
seseorang tanpa mengucapkan kata-kata apa pun. Perbuatan tersebut menunjukan
penitipan (wadi’ah). Demikian pula qabul kadang-kadang dengan lafal yang tegas
(sharih), seperti: “Saya terima” dan adakalanya dengan dilalah (penunjukan),
misalnya sikap diam ketika barang ditaruh di hadapannya.3
c). Syarat orang yang menitipkan (Al-Mudi’)

1) Berakal, Dengan demikian, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak
yang belum berakal.

2) Baligh, Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan demikian


menurut Syafi’iyah, wadi’ah tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang
belum baligh masih di bawah umur). Tetapi menurut Hanafiah baligh tidak

3
Ahmad Hasan Ridwan, Bmt & Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004 h. 14
5

menjadi syarat wadi’ah sehingga wadi’ah hukumnya sah apabila dilakukan


oleh anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya atau washiy-nya.

d). Syarat orang yang dititipi (Al-Muda’)


Syarat orang yang dititipi (muda’) adalah sebagai berikut :
1) Berakal, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang masih di bawah
umur. Hal ini dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah kewajiban
menjaga harta, sedangkan orang yang tidak berakal tidak mampu untuk
menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
2) Baligh, syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah
tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi,
melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
3) Malikiyyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga
kuat mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
2.3 Landasan Hukum Wadiah
Landasan syariah dan ketentuan tentang sertifikat wadiah bank Indonesia
diatur dalam fatwa dewan syariah nasional nomor 36/DSN-MUI/X/2002 tentang
sertifikat wadiah bank Indonesia tanggal 23 oktober 2002, dimana dalam fatwa
tersebut sebagau landasan syariah (himpunan fatwa, edisi kedua, hal 233-236)
adalah sebagai berikut:
1) Landasan Hukum dari Al Quran:
a. Firman Allah SWT QS An-Nisa (4) : 58
َّ ‫اس أ َ ْن تَحْ ُك ُموا ِب ْال َع ْد ِل ۚ ِإ َّن‬
َ‫َّللا‬ ِ ‫َّللاَ َيأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْل َ َمانَا‬
ِ َّ‫ت ِإلَ ٰى أ َ ْه ِل َها َو ِإذَا َح َك ْمت ُ ْم َبيْنَ الن‬ َّ ‫ِإ َّن‬
‫يرا‬ً ‫ص‬ َ َ‫َّللاَ َكان‬
ِ ‫س ِميعًا َب‬ َّ ‫ظ ُك ْم ِب ِه ۗ إِ َّن‬ ُ ‫ِن ِع َّما َي ِع‬

Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat. ”
b. Firman Allah SWT, QS Al Maidah (5) : 1
6

‫ص ْي ِد‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم‬


َّ ‫غي َْر ُم ِح ِلي ال‬ ْ َّ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ْوفُوا بِ ْالعُقُو ِد ۚ أ ُ ِحل‬
َ ‫ت لَ ُك ْم بَ ِهي َمةُ ْاْل َ ْنعَ ِام ِإ ََّّل َما يُتْلَ ٰى‬
َّ ‫َوأ َ ْنت ُ ْم ُح ُر ٌم ۗ ِإ َّن‬
ُ‫َّللاَ يَحْ ُك ُم َما ي ُِريد‬

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

c. Firman Allah SWT An Nisa’: 6

‫َوا ْبتَلُوا ْاليَت َا َم ٰى َحت َّ ٰى إِذَا بَلَغُوا النِ َكا َح فَإ ِ ْن آنَ ْست ُ ْم ِم ْن ُه ْم ُر ْشدًا فَا ْدفَعُوا إِلَ ْي ِه ْم أ َ ْم َوالَ ُه ْم ۖ َو ََّل ت َأ ْ ُكلُوهَا‬
‫وف ۚ فَإِذَا‬ِ ‫يرا فَ ْليَأ ْ ُك ْل بِ ْال َم ْع ُر‬ ً ‫ف ۖ َو َم ْن َكانَ فَ ِق‬ ْ ‫غنِيًّا فَ ْليَ ْست َ ْع ِف‬
َ َ‫ارا أ َ ْن يَ ْكبَ ُروا ۚ َو َم ْن َكان‬
ً َ‫إِس َْرافًا َوبِد‬
َ ‫دَفَ ْعت ُ ْم إِلَ ْي ِه ْم أ َ ْم َوالَ ُه ْم فَأ َ ْش ِهدُوا‬
َّ ِ‫علَ ْي ِه ْم ۚ َو َكفَ ٰى ب‬
‫اَّللِ َحسِيبًا‬

Artinya:
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang
patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan
cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

2) Landasan Hukum dari Hadist


Hadist riwayat Abu Dawud dan Al Tirmidzi

َ‫أ َ ِد اْل َ َمانَةَ ِإلَى َم ِن ائْت َ َمنَكَ َوَّلَ ت َ ُخ ْن َم ْن خَانَك‬

Artinya:
7

“Tunaikanlah amanat pada orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah
mengkhianati orang yang mengkhianatimu ”(HR. Abu Daud no. 3535, Tirmidzi
no. 1264 dan Ahmad 3: 414, shahih).

3) Hukum menerima benda titipan


Hukum menerima benda titipan ada empat macam yaitu sunat, haram,
wajib dan makruh. Secara lengkap akan dijelaskan sebagai berikut:
 Sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada
dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda benda yang dititipkan
kepadanya. Wadiah adalah salah satu bentuk tolong menolong yang
diperintahkan oleh Allah dalam Al quran, tolong menolong secara umum
hukumnya sunat.
 Wajib, diwajibkan menerima benda benda titipan bagi seseorang yang
percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda benda
tersebut, sementara orang lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya
untuk memelihara benda benda tersebut.
 Haram, apabila seseorang tidak kuasa atau tidak sanggup memelihara
benda benda titipan. Bagi orang seperti itu diharamkan menerima benda
benda titipn, sebab dengan menerima benda benda titipsn, berarti memberi
kesempatan (peluang) kerusakan atau hilangnya benda benda titipan
sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
 Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia
mampu menjaga benda benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada
kemampuannya maka bagi orang seperti ini makruh hukumnya menerima
benda benda titipan, sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap
yang menitipkan dengan cara merusak benda benda titipan atau
menghilangkannya.5
8

2.4 Aplikasi Dalam Perbankan


a). Aplikasi Wadiah Yad Amanah4
Dalam perbankan syariah wadiah yad amanah di aplikasikan untuk
penitipan barang-barang berharga dan membebankan fee atas penitipan barang
tersebut. Adapun beberapa barang yang bisa dititipkan antara lain:
1. Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional
tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak
dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
2. Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
3. Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap
berharga mempunyai nilai uang)
b). Aplikasi Wadiah Yad Dhamanah
Dalam perbankan syariah akad wadiah yad dhamanah di aplikasikan
kedalam dua jenis produk, yaitu:2
1. Giro
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro,
sarana perintah bayar lainnya atau dengan pemindahbukuan. Adapun yang
dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-
prinsip syariah. Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-
MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu
giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.2
2. Giro Wadiah
Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasar
akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya
menghendaki. Dalam konsep wadiah yad dhamanah, pihak yang menerima titipan
boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Hal ini
berarti bahwa wadiah yad dhamanah mempunyai implikasi hukum yang sama
dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang

4
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, Jakarta:Amzah,2010,h. 459
5
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian Ekonomi, Bisnis,
dan Sosial. Bogor: Ghalia Indonesia, 2012 . h. 206.
9

dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik dana
dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas
penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.2
Dalam kaitannya dengan produk giro. Bank syariah menerapkan prinsip
wadiah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai penitip yang
memeberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan dan memenfaatkan
uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak
yang dititipi yang disertai hak untuk mengelola dana titipan dengan tanpa
mempunyai kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan pengelolaan dana
tersebut. Namun demikian, bank syariah diperkenankan memberikan insensif
berupa bonusndengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya.2
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa giro wadiah mempunyai
beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Bersifat titipan.
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
bonus yang bersifat sukarela dari pihak bank.
3. Tabungan
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek,
bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu[3]. Adapun yang
dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasar
prinsip-prinsip syariah.Berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000,
menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan
prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.22
a. Tabungan Wadiah
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasar akad
wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiapsaat jika
pemiliknya menghendaki, berkaitan dengan produk tabungan wadiah, bank
syariah menggunakan akad wadiah yad dhamanah. Dalam hal ini, setiap nasabah

2
ibid, h.149
2
ibid, h.149
10

bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk
menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank
syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yang disertai hak
untuk menggunakan dan memanfaatkan dana atau barang tersebut, sebagai
konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan
tersebutnserta mengembalikannya kapan saja pemiliknya menhendaki, di sisi lain,
bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau
pemanfaatan dana atau barang tersebut.2
Mengingat wadiah yad dhamanah ini mempunyai implikasi hukum sama
dengan qardh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan
untuk membagihasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian, bank
diperkenankan memberi bonus kepada pemilik harta titipan sela tidak disyaratkan
di muka. Dengan kata lain, pemberian bonusmerupakan kebijakan bank syariah
semata dan bersifat sukarela.2
Dari pembahasan di atas dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum dari
tabungan wadiah tersebut sebagai berikut:
1. Bersifat simpanan,
2. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan
kesepakatan, dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
bonus yang bersifat sukarela dari pihak bank.

2
ibid, h.150
11

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan
menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada
benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh
kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.
Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan
dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan,
lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang
nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan
barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah
perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang) . Dengan demikian,
bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta
dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah.
3.2 Saran
Dari penjelasan makalah di atas penulis dapat memberikan saran bahwa
setiap apapun yang dititipkan kepada kita merupakan amanah yang harus dijaga
dan tidak boleh dilalaikan sebab orang yang menitipkan amanah kepada kita
berarti sama juga memberikan kepercayaannya.
12

DAFTAR PUSTAKA

Suwiknyo, Dwi. 2010. Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Antonio, M.S. 2001. Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani.
Ridwan, A.H. 2004. Bmt & Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, Bandung:
Pustaka Bani Quraisy.
Muslich, A.W. 2010. Fiqih Muamalah, Jakarta:Amzah.
Nawawi, Ismail . 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian Ekonomi,
Bisnis, dan Sosial. Bogor: Ghalia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai