Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Demam adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh diatas normal, yaitu diatas
38°C. Pada prinsipnya demam dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan.
Pada tingkat tertentu demam merupakan bagian dari pertahanan tubuh yang
bermanfaat karena timbul dan menetap sebagai respon terhadap suatu penyakit,
namun suhu tubuh yang terlalu tinggi juga akan berbahaya (Tjahjadi, 2007).

Pada dasarnya terdapat dua kondisi demam yang memerlukan pengelolaan


yang berbeda. Pertama adalah demam yang tidak boleh terlalu cepat diturunkan
karena merupakan respon terhadap infeksi ringan yang bersifat self limited. Kedua
adalah demam yang membutuhkan pengelolaan segera karena merupakan tanda
infeksi serius dan mengancam jiwa seperti pneumonia, meningitis, dan sepsis.
Oleh karena itu pemahaman mengenai pengelolaan demam pada anak yang baik
menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami (Hasan, 2007).

Pengukuran suhu tubuh dengan menggunakan termometer merupakan cara


yang akurat untuk mengetahui ada tidaknya demam, akan tetapi hal ini masih
sangat jarang dilakukan ibu-ibu di rumah. Pengukuran suhu tubuh yang paling
sering dilakukan ibu adalah dengan perabaan. Menurut Purwoko (2006), 94% ibu
menggunakan perabaan untuk menilai suhu tubuh anaknya. Hal ini menjadi
kendala untuk mendapatkan data yang objektif mengenai demam. Banyak ibu
yang mengira bahwa bila tidak diobati, demam anaknya akan semakin tinggi.
kondisi tersebut mencerminkan bahwa pengetahuan tentang demam pada ibu
masih kurang tepat. dengan pengetahuan yang masih kurang menjadikan ibu
terbatas dalam melakukan tindakan pengobatan kepada anak secara rasional.
Menurut Notoadmojo (2007) orang dengan pengetahuan yang baik akan lebih
memahami dan bertindak secara rasional dalam menghadapi suatu masalah.
termasuk pengetahuan ibu yang baik dan melakukan tindakan perawatan saat
anak mengalami demam.

Trombositopenia atau defisiensi trombosit, merupakan keadaan dimana


trombosit dalam sistim sirkulasi jumlahnya dibawah normal (150.000-350.000/µl
darah) (Guyton dan Hall, 2007). Trombositopenia biasanya dijumpai pada
penderita anemia, leukemia, infeksi virus dan protozoa yang diperantarai oleh
sistem imun (Human Infection Virus, demam berdarah dan malaria).
Trombositopenia juga dapat terjadi selama masa kehamilan, pada saat tubuh
mengalami kekurangan vitamin B12 dan asam folat, dan sedang menjalani
radioterapi dan kemoterapi (Hoffbrand dkk., 2007).

Trombositopenia disebabkan oleh beberapa hal antara lain adalah kegagalan


produksi trombosit, peningkatan konsumsi trombosit, distribusi trombosit
abnormal, dan kehilangan akibat dilusi. Penggunaan obat-obat tertentu juga dapat
menyebabkan trombositopenia, salah satunya adalah kotrimoksazol. Suatu
mekanisme imunologis sebagai penyebab sebagian besar trombositopenia yang
diinduksi obat (Hoffbrand,dkk., 2007). Selain dari mekanisme tersebut, pada
penelitian sebelumnya kotrimoksazol digunakan sebagai obat untuk membuat
trombositopenia pada hewan uji mencit (Astukara, 2008).

Mekanisme sumbat trombosit sangat penting untuk menutup kerusakan kecil


pada pembuluh darah yang sangat kecil, trombosit berperan penting dalam proses
ini. Pada pasien trombositopenia terdapat perdarahan baik kulit seperti patekia
atau perdarahan mukosa mulut. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan
tubuh untuk melakukan mekanisme homeostatis secara normal (Guyton dan Hall,
2007). Banyak penelitian telah dilakukan dengan memanfaatkan bahan-bahan
yang ada di alam untuk mengatasi penyakit dengan defisiensi trombosit. Buah
jambu biji merah, buah angkak, daun ubi jalar, air kelapa muda dan kurma secara
empirik dapat digunakan pada kasus defisiensi trombosit. Penelitian sebelumnya
buah jambu biji merah telah terbukti khasiatnya dapat menaikkan jumlah trombosit
dalam darah pada kelinci (Wahyuningrum, 2007).

B. TUJUAN
a. Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan terapi diit TKTP pada pasien dengan
diagnosa Febris H-IV dengan Trombositopenia, ISK.
b. Khusus
1. Mahasiswa mampu melaksanakan assesment gizi pada pasien
dengan diagnosa Febris H-IV dengan Trombositopenia, ISK
2. Mahasiswa mampu memberikan diagnosis gizi pada pasien dengan
diagnosa Febris H-IV dengan Trombositopenia, ISK
3. Mahasiswa mampu melaksanakan intervensi dan implementasi gizi
pada pasien dengan diagnosa Febris H-IV dengan Trombositopenia,
ISK
4. Mahasiswa mampu melakukan monitoring dan evaluasi pada pasien
dengan diagnosa Febris H-IV dengan Trombositopenia, ISK
5. Mahasiswa mampu merencanakan dan menyusun menu sesuai
dengan kebutuhan gizi pasien dengan diagnosa Febris H-IV dengan
Trombositopenia, ISK
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FEBRIS
1. Definisi Febris
Febris atau demam adalah suatu keadaan di mana pengeluaran produksi
panas yang tidak mampu untuk dipertahankan karena terjadinya peningktan
suhu tubuh abnormal (Valita, 2007). Produksi panas dapat meningkat atau
menurun dapat dipengaruhi oleh berbagai sebab, misalnya penyakit atau sters,
suhu tubuh yang terlalu ekstrim baik panas ataupun dingin dapat memicu
kematian (Hidayat, 2008).Sedangkan menurut (Widjaja, 2001) Febris atau
demam merupakan reaksi alamiah dari tubuh manusia dalam usaha manusia
untuk melakukan perlawanan terdapat beragam penyakit yang masuk atau yang
berada di dalam tubuh manusia. Normalnya suhu tubuh manusia berkisar antara
36-37C, di mana pada suhu tersebut diartikan sebagai keseimbangan antara
produksi panas tubuh yang diproduksi dan panas yang hilang dari tubuh.
Penyakit febris atau demam Tidak hanya diderita pada anak-anak,tetapi pada
manusia dewasa maupun lansia juga, tergantung dari sistem imun setiap
individu itu sendiri (Hidayat, 2008).
Kerugian yang bisa terjadi karena disebabkan oleh febris atau demam
yaitu penderita febris dapat mengalami dehidrasi karena pada saat demam
terjadi peningkatan pengeluran cairan tubuh yang berlebih (Purwanti, 2008). Oleh
karena itu sebaiknya penderita di usahkan agar banyak minum air dan banyak
istirahat. Pada penurunan suhu badan dengan antipiretik, hendaknya
antipiretik diberikan pada saat dibutuhkan sekali yaitu bila suhu >39 C. (Waspadji,
1996).
2. Etiologi
Penyebab utama terjadinya demam yaitu Infeksi virus, bakteri, fungus
dan parasit lainnya. Hal ini merupakan penyebab demam yang utama (Munandar,
1979). Demam dihasilkan oleh pirogen endogen yang bekerja pada mekanisme
pengatur suhu tubuh di sistem saraf pusat. Pirogen terpenting yang
bertanggung jawab atas demam adalah interleukin 1. Produksi hasil bakteri,
virus, serta jamur merangsang pelepasan interleukin 1 dari makrofag, serta juga
produksi sitokin-sitokinlain, sehingga menghasilkan demam dan manifestasi
lain respon radang (Rudolph, 2006).
3. Gejala Febris
Pada saat terjadi demam, gejala klinis yang timbul bervariasi tergantung
pada fase demam meliputi:
Fase 1 awal ( dingin/ menggigil)
Tanda dan gejala
a. Peningkatan denyut jantung
b. Peningkatan laju dan kedalaman pernapasan
c. Mengigil akibat tegangan dan kontraksi otot
d. Peningkatan suhu tubuh
e. Pengeluaran keringat berlebih
f. Rambut pada kulit berdiri
g. Kulit pucat dan dingin akibat vasokontriksi pembuluh darah
Fase 2 ( proses demam)
Tanda dan gejala
a. Proses mengigil lenyap
b. Kulit terasa hangat / panas
c. Merasa tidak panas / dingin
d. Peningkatan nadi
e. Peningkatan rasa haus
f. Dehidrasi
g. Kelemahan
h. Kehilangan nafsu makan (jika demam meningkat)
i. Nyeri pada otot akibat katabolisme protein.
Fase 3 (pemulihan)
a. Tanda dan gejala
b. Kulit tampak merah dan hangat
c. Berkeringat
d. Mengigil ringan
e. Kemungkinan mengalami dehidrasi (Ilmu kesehatan, 2013).

4. Diagnosis

Pada dasarnya harus diperhatikan untuk mencapi ketepatan


diagnosis penyebab demam, antara lain: ketelitian penggambilan riwayat
penyakit pasien, pelaksanaan pemeriksaan fisik, observasi perjalanan
penyakit dan evaluasi
pemeriksaan laboratorium, serta penunjang secara tepat dan holistic
(Rahmasnyah, 2010).

5. Penatalaksanaan Febris
Pada saat demam ini, terdapat beberapa cara-cara untuk
penatalaksanaannya. Cara penatalaksanaan ini di bagi menjadi 2 yaitu
dengan obat atau metode farmakologi dan non-obat atau metode terapi. Dalam
memberikan penanganan secara obat, penderita dapat diberikan parasetamol
karena parasetamol ini adalah suatu obat antipiretik yang sifatnya dapat
mengurangi suhu atau menurunkan panas. Namun harap diperhatikan bahwa
obat ini hanya mengurangi gejala penyakit dan bukan untuk mengobati
penyakit. Selain itu ada juga asetosal selain fungsinya sebagai analgesik atau
pengurang rasa nyeri juga sebagai penurun demam yang merupakan salah
satu gejala suatu peradangan atau infeksi (Aziz, 2008).
Penatalaksanaan febris atau demam menurut (Shvoong,2010), untuk
menurunkan suhu tubuh dalam batas normal tanpa mengunakan obat yaitu
dengan cara di kompres :
a. Menyiapakan air hangat
b. Mencelupkan waslap atau handuk kecil ke dalam baskom dan
mengusapnya ke seluruh tubuh
c. Melakukan tindakkan diatas beberapa kali (setelah kulit kering)
d. Mengeringkan tubuh dengan handuk
e. Menghentikan prosedur bila suhu tubuh sudah mendekati
f. Penurunan suhu tubuh terjadi saat air menguap dari
g. permukaan kulit. Oleh karena itu, anak jangan “dibungkus” dengan lap
atau handuk basah atau didiamkan dalam air karena penguapan akan
terhambat. Tambah kehangatan airnya bila demamnya semakin tinggi.
Sebenarmya mengompres kurang efektif dibandingkan obat penurun
demam. Karena itu sebaiknya digabungkan dengan pemberian obat
penurun demam, kecuali anak alergi terhadap obat tersebut (Nita, 2004).

B. TROMBOSIT
1. Definisi Trombosit
Kepingan darah (trombosit) adalah sel tak berinti, berbentuk cakram dengan
diameter 2-4 µm. Keping darah berasal suatu megakariosit yang terdapat dalam
sumsum tulang (Junqueira dan Carneiro, 1995). Trombosit dibentuk di sumsum
tulang dari megakariosit, yaitu sel yang sangat besar dalam susunan hemopoietik
dalam sumsum tulang belakang yang memecah menjadi trombosit, baik dalam
sumsum tulang atau segera setelah memasuki darah, khususnya ketika mencoba
untuk memasuki kapiler paru. Konsentrasi normal trombosit dalam darah adalah
antara 150.000-350.000/µL (Guyton dan Hall, 2007). Prekursor megakariosit-
megakarioblas, timbul dengan proses diferensiasi dari sel asal hemopoitik.
Megakariosit matang dengan proses replikasi endomitotik inti secara sinkron, yang
memperbesar volume sitoplasma saat jumlah inti bertambah dua kali lipat. Pada
tingkat bervariasi pada perkembangan, terbanyak pada stadium 8 inti, replikasi inti
lebih lanjut dan pertumbuhan sel berhenti, sitoplasma menjadi granular dan
selanjutnya trombosit dibebaskan. Setiap megakariosit menghasilkan sekitar 4000
trombosit. Interval waktu dari deferensiasi sel asal (stem cell) sampai dihasilkan
trombosit sekitar 10 hari pada manusia (Hoffbrand, dkk., 2007).

2. Sirkulasi trombosit

Volume rata-rata trombosit 5,8fl. Volume berkurang saat matang di dalam


sirkulasi. Trombosit muda mempunyai waktu 24 sampai 36 jam di dalam limfa
setelah dibebaskan dari sumsum tulang. Sepertiga dari pengeluaran trombosit
oleh sumsum tulang dapat dijerat dalam satu waktu dalam satu limfa normal
(Hoffbrand, dkk., 2007). Trombosit merupakan struktur yang aktif. Waktu paruh
hidupnya di dalam darah 8-12 hari, setelah itu proses fungsionalnya berakhir.
Setelah waktu paruh trombosit berakhir, trombosit kemudian diambil dari dalam
sirkulasi (Guyton dan Hall, 2007).

3. Struktur trombosit

Trombosit mempunyai banyak ciri khas yang fungsional sebagai sebuah


sel, walaupun tidak mempunyai inti dan tidak dapat berproduksi. Di dalam
sitoplasma terdapat factor-faktor aktif seperti (1) molekul aktif dan myosin, sama
seperti yang terdapat dalam sel-sel otot, juga protein kontraktil lainnya, yaitu
trombostenin yang dapat menyebabkan trombosit berkontraksi; (2) sisa-sisa
retikulum endoplasma dan apparatus golgi yang mensintesis berbagai enzim dan
menyimpan sejumlah besar ion kalsium; (3) mitokondria dan sistem enzim yang
mampu membentuk adenosine trifosfat (ATP) dan adenosine difosfat (ADP); (4)
sistem enzim yang mensintesis prostaglandin, yang merupakan hormon setempat
yang menyebabkan berbagai jenis reaksi pembuluh darah dan reaksi jaringan
setempat lainnya; (5) suatu protein penting yang disebut faktor stabilisasi fibrin;
(6) faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan penggandaan dan pertumbuhan
sel endotel pembuluh darah dan fibroblast, sehingga dapat menimbulkan
pertumbuhan seluler yang akhirnya memperbaiki dinding pembuluh yang rusak
(Guyton dan Hall, 2007). Pada permukaan membran sel trombosit terdapat
lapisan glikoprotein yang menyebabkan trombosit menghindari perlekatan pada
endotel normal dan melekat pada daerah dinding pembuluh darah yang terluka,
terutama sel-sel endotel yang rusak, dan bahkan melekat pada jaringan kolagen
yang terbuka di bagian pembuluh darah. Selain itu membran mengandung banyak
fosfolipid yang berperan dalam mengaktifkan berbagai hal dalam proses
pembekuan darah (Guyton dan Hall, 2007).

4. Fungsi trombosit

Trombosit berperan penting dalam usaha tubuh untuk mempertahankan


jaringan bila terjadi luka. Trombosit ikut serta dalam menutup luka, sehingga tubuh
tidak mengalami kehilangan darah dan terlindungi dari penyusupan benda dan sel
asing (Sadikin, 2001). Pada waktu bersinggungan dengan permukaan pembuluh
yang rusak, maka sifat-sifat trombosit segera berubah secara drastis yaitu
trombosit mulai membengkak, bentuknya menjadi irregular dengan tonjolan-
tonjolan yang mencuat dari permukaannya; protein kontraktilnya berkontraksi
dengan kuat dan menyebabkan pelepasan granula yang mengandung berbagai
faktor aktif; trombosit menjadi lengket sehingga melekat pada serat kolagen;
mensekresi sejumlah besar ADP; dan enzim-enzimnya membentuk tromboksan
A2, yang juga disekresikan ke dalam darah. ADP dan tromboksan kemudian
mengaktifkan trombosit yang berdekatan, dank arena sifat lengket dari trombosit
tambahan ini maka akan menyebabkan melekat pada trombosit semula yang
sudah aktif sehingga membentuk sumbat trombosit. Sumbat ini mulanya longgar,
namun biasanya dapat berhasil menghalangi hilangnya darah bila luka di
pembuluh darah yang berukuran kecil. Setelah itu, selama proses pembekuan
darah, benang-benang fibrin terbentuk dan melekat pada trombosit, sehingga
terbentuklah sumbat yang rapat dan kuat (Guyton dan Hall, 2007).

5. Trombositopenia

Trombositopenia atau defisiensi trombosit, merupakan keadaan dimana


trombosit dalam sirkulasi jumlahnya di bawah normal (150.000-350.000/µL darah).
Penderita trombositopenia cenderung mengalami pendarahan yang biasanya
berasal dari venula-venula atau kapiler-kapiler kecil. Akibatnya, timbul bintik-bintik
perdarahan di jaringan tubuh. Pada kulit penderita menampakkan bercak-bercak
kecil berwarna ungu, sehingga disebut dengan trombositopenia purpura (Guyton
dan Hall, 2007).

a. Purpura trombositopenia autoimun

Perjalanan klinik purpura yang disertai trombositopenia autoimun (Immune


Trombocytopheni Purpura, ITP) dapat bersifat akut atau kronik. Bentuk akut
biasanya ditemukan pada anak-anak. Insiden pada pria dan wanita adalah sama.
Riwayat infeksi virus 1-3 minggu sebelumnya. Gejala perdarahan bersifat
mendadak dan remisi spontan pada 80% kasus. Bentuk yang kronis paling sering
terjadi pada oaring dewasa, jarang ada riwayat infeksi sebelumnya, wanita lebih
sering terkena daripada pria. ITP orang dewasa bermula secara perlahan-lahan
dan jarang mereda secara spontan (Handayani dan Sulistyo, 2008). Penyebab
tampaknya adalah suatu antibodi yang diarahkan terhadap antigen yang
berhubungan dengan trombosit (Woodley dan Whelan, 1995).

b. Trombositopenia yang berhubungan dengan heparin

Kelainan ini terjadi pada 10% pasien penerima heparin. Kelainan ini sering
ditemukan pada pasien hitung trombosit rutin dan jarang menyebabkan
perdarahan yang bermakna. Trombositopenia yang berkaitan dengan heparin
biasanya terjadi dalam minggu pertama terapi, pada pasien yang sebelumnya
memekai heparin. Trombositopenia ini dapat terjadi setelah pemberian heparin
intravena atau subkutan. Hitung trombosit kembali normal dalam beberapa hari
setelah heparin dihentikan (Stein, 1998).

c. Purpura trombositopenik trombotik


Purpura trombositopenik trombotik (TTP) jarang dijumpai dan ditandai
dengan trombositopenia, anemia hemolitik mikroangiopati, kelainan neurologi
yang berfluktuasi, sering ditandai dengan demam dan gangguan ginjal.
Penyebabnya tidak dikenal, tetapi sekitar setengah jumlah pasien mempunyai
riwayat penyakit virus yang belum lama terjadi. Kelainan ini menyerang semua
kelompok usia, dan insiden antara pria dan wanita adalah sama (Woodley dan
Whelan, 1995).

d. Trombositopenia akibat pengaruh obat

Penyakit ini didiagnosis dengan mencatat hubungan waktu antara


pemberian obat dan mulai timbulnya trombositopenia. Pengurangan produksi
trombosit dikaitkan dengan penggunaan diuretik tiazid, etanol, esterogen,
trimetropim-sulfamethoxazol, dan agensia kemoterapi. Peningkatan perusakan
trombosit diduga terjadi pada pasien yang diberi obat quinine, quinidine, heparin,
garam-garam emas, rifampin dan sulfonamida (William, et al., 1990).Kelainan lain
yang berhubungan dengan trombositopenia Penyebab-penyebab trombositopenia
yang lain meliputi DIC (disseminated intravascular coagulation), defisiensi asam
folat, infiltrasi sumsum tulang akibat penyakit myelophthisic (misalnya tuberkulosis,
karsinoma metastatik, myelofibrosis), penyakit-penyakit hematopoitik primer
misalnya leukemia, anemia aplastika dan berbagai macam infeksi virus dan bakteri
(Guyton dan Hall, 2007).

C. INFEKSI SALURAN KEMIH


1. Definisi
Infeksi saluran kemih adalah istilah umum yang menunjukan adanya
mikroorganisme dalam urin (bakteriuria) yang bermakna (significant bacteriuria)
(Sudoyo dkk, 2006). Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh
bakteri, namun virus dan jamur juga dapat menjadi penyebabnya. (Corwin,J.E.
2007). Bakteri yang menjadi penyebabnya merupakan bakteri gram negatif aerob
yang biasa ditemukan pada saluran pencernaan (Enterobacteriaceae) dan jarang
disebabkan oleh bakteri anaerob (Samirah dkk, 2004). Bakteri Escherichia coli
merupakan penyebab utama sebesar 70% – 90% (Sudoyo dan dkk, 2006) dan
bakteri lainnya berupa Proteus, Klebsiella, kadang Enterobacter berperan pada
sebagian kecil infeksi ringan (Adib,M. 2011).
2. Epidemiologi
Infeksi Saluran Kemih merupakan infeksi yang paling sering terjadi dan
masih menjadi masalah kesehatan dan dapat menjadi penyebab sepsis
terbanyak setelah infeksi saluran nafas (Mangatas, S.M dan Suwitra,K, 2004).
Prevalensi infeksi saluran kemih di Indonesia masih cukup tinggi. Penderita
infeksi saluran kemih di Indonesia diperkirakan mencapai 222 juta jiwa.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, penderita ISK di
Indonesia berjumlah 90 – 100 kasus per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar
180.000 kasus baru per tahun (Depkes RI, 2014).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Tugurejo
Semarang, infeksi saluran kemih yang disebabkan infeksi nosokomial pada tahun
2008 menunjukan 0,6%, tahun 2009 mengalami penurunan hingga 0,32%, pada
tahun 2010 dan 2011 kembali naik menjadi 0,5% (Putri,R.A dkk, 2012).
Faktor – faktor yang dapat menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
diantaranya berupa faktor usia, jenis kelamin, prevalensi bakteriuria, dan
predisposisi (pencetus). Infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada usia
beberapa bulan dan > 65 tahun (Sudoyo dkk, 2006).
Perempuan umumnya beresiko empat hingga lima kali mengalami infeksi
saluran kemih dibandingkan dengan laki – laki. Hal tersebut disebabkan oleh
anatomi uretra perempuan lebih pendek dibandingkan uretra laki – laki, sehingga
mikroorganisme dari luar lebih mudah mencapai kandung kemih yang letaknya
dekat dengan daerah perianal (Febrianto,A.W dkk, 2013).
Perempuan dewasa (25% - 35%) pernah mengalami Infeksi saluran kemih.
Faktor pencetusnya berupa kebersihan organ intim, penggunaan kontrasepsi
atau gel spermisida, dan aktivitas sex yang memungkinkan bakteri terodong
masuk ke saluran kemih, wanita hamil pun beresiko ISK akibat perubahan
hormonal (Dharma,P.S dkk, 2015)

Prevalensi infeksi meningkat mencapai 10% pada usia lanjut. Produksi hormon
estrogen menurun pada perempuan usia postmenopouse mengakibatkan pH pada
cairan vagina naik sehingga perkembangan mikroorganisme pada vagina
meningkat (Adib,M. 2011). Infeksi saluran kemih pada laki – laki biasanya
dikarenakan adanya kelainan anatomi, batu saluran kemih atau penyumbatan
pada saluran kemih (Sudoyo dkk, 2006).
3. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi dua kategori umum berdasarkan
lokasi anatomi, yaitu :
a. Infeksi saluran kemih atas
Infeksi saluran kemih atas meliputi pielonefritis, abses intrarenal dan perinefrik
yang dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Pielonefritis akut, yaitu proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan
oleh infeksi bakteri
2. Pielonefritis kronik, yaitu akibat proses infeksi bakteri berkelanjutan atau
infeksi yang didapat sejak dini. Obstruksi saluran kemih dan refluks
vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai dengan
pielonefritis kronik yag spesifik (Sukandar,E. 2006).

b. Infeksi saluran kemih bawah


Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari uretritis (infeksi uretra) dan sistitis
(infeksi kandung kemih). Prostatitis (infeksi prostat) dan epididimidis (infeksi
epididimis) juga dapat ditemui pada laki – laki (Sukandar,E. 2006).

4. Patogenesis dan Patofisiologis

Escherichia coli merupakan penyebab utama infeksi saluran kemih dan memiliki
patogenesitas terkait dengan bagian permukaan sel polisakarida dan
lipopolisakarida (LPS). Hanya IG serotipe dari 170 serotipe O / E.coli yang
berhasil diisolasi rutin dari pasien infeksi saluran kemih, strain E.coli ini diduga
mempunyai patogenisitas khusus. Fimbrae pada bakteri digunakan untuk
melekat pada permukaan mukosa saluran kemih (Sukandar,E. 2004).
Sifat patogenisitas lain dari E. coli yaitu berhubungan dengan toksin.
Beberapa toksin E. coli diantaranya seperti α-hemolisin, cytotoxic necrotizing
factor-1(CNF-1), dan iron reuptake system (aerobactin danenterobactin) (Sudoyo
dkk, 2006).

Infeksi saluran kemih dapat ditimbulkan melalui dua jalur infeksi, yaitu
infeksi hematogen dan infeksi asending. Infeksi hematogen biasanya terjadi pada
pasien dengan daya tubuh yang rendah, karena menderita penyakit kronik atau
pada pasien yang mendapatkan imunosupresif. Penyebaran hematogen juga
bisa timbul akibat adanya fokus infeksi di salah satu tempat. Misalnya infeksi
Staphylococcus aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen
dari infeksi tulang, kulit, endotel, atau di tempat lain. Salmonella, Pseudomonas,
dan Proteus merupakan bakteri yang menginfeksi secara hematogen (Adib,M.
2011).
Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh infeksi asending
berupa kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina yang disebabkan oleh
Escherichia coli (Adib,M. 2011). Mikroorganisme juga dapat menginvasi ke
kandung kemih. Bakteri yang menyerang saluran kemih disebut dengan bakteri
uropatogen dan dapat berkolonisasi dan atau pada uroepitel untuk melakukan
pengerusakan terhadap epitel saluran kemih (Semaradana,W.G.P. 2014).
Bakteri yang menginvasi ke kandung kemih dapat naik ke ginjal karena
adanya refluks vesikoureter dan menyebarkan infeksi dari pelvis ke korteks
karena refluks intrarenal. Refluks vesikoureter adalah keadaan patologis karena
tidak berfungsinya valvula vesikoureter yang didapat baik secara kongenital
ataupun akibat adanya infeksi (Tessy dkk, 2011).
Mekanisme saluran kemih dalam mencegah timbulnya infeksi dapat
dilakukan secara mekanik melalui pembersihan organisme serta adanya tekanan
urin saat miksi berperan dalam mencegah masuknya bakteri ke dalam mukosa.
Mekanisme lainnya berupa adanya aktivitas antibakteri intrinsik pada saluran
kemih (Semaradana,W.G.P. 2014).

5. Faktor Virulensi dan Pejamu (host)


Bakteri uropatogen adalah bakteri yang mempunyai faktor virulensi spesifik
untuk menimbulkan kolonisasi pada uroepitel. Bakteri uropatogen yang berhasil
masuk ke saluran kemih memiki kemampuan untuk berkembangbiak dalam urin
dan mampu melawan aliran urin saat miksi serta mekanisme pertahanan alamiah
lainnya di saluran kemih (Susilo,F.C.D. 2013). Bakteri dapat menghindar dari
pengenalan dan pemusnahan yang dilakukan sel fagosit, menonaktivasi sistem
komplemen dan antibodi sehingga dapat melakukan pertumbuhan di dalam host
(Murray,P.R dkk 2013).

Infeksi diawali dengan terjadinya perlekatan bakteri pada sel epitel


dilanjutkan dengan penetrasi bakteri ke jaringan, sehingga terjadi inflamasi dan
kerusakan jaringan. Inflamasi yang diakibatkan oleh infeksi mikroorganisme
menimbulakan respon inflamasi melalui aktivasi mediator kemotaktik yang
dilepaskan pada saat mikroorganisme patogen melekat ke dinding sel uroepitel.
Mediator ini akan mengaktivasi leukosit polimorfonuklear ke tempat infeksi
sehingga terjadi respon inflamasi lokal. Leukosit dalam jumlah banyak berperan
dalam melawan infeksi pada saluran kemih sehingga menyebabkan peningkatan
leukosit pada urin (Leukosituria) atau Piuria (Radji,M. 2015).
Piuria dapat terjadi karena infeksi maupun non infeksi. Keadaan non infeksi
yang menyebabkan piuria antara lain batu saluran kemih, tumor saluran kemih,
reaksi obat dan bahan kimia seperti cyclophosphamide. Piuria dapat pula
ditemukan di urin steril pada keadaan klamidiasis, tuberkulosis, brucellosis, dan
pada pasien yang mendapatkan antibiotik (Susilo,F.C.D. 2013).
Leukosituria atau Piuria yang merupakan bentuk respon imunologi. Respon
imunologi tubuh terhadap infeksi saluran kemih dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya usia, lokasi infeksi, paparan sebelumnya terhadap bakteri patogen
sejenis dan virulensi bakteri yang menginfeksi (Susilo,F.C.D. 2013).

6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi, dari tanpa gejala
(asimptomatis) ataupun disertai gejala (simptom) (Ikram,A.F.Z. 2015) dari yang
ringan (panas, uretritis, sistitis) hingga cukup berat (pielonefritis akut, batu saluran
kemih dan bakteremia) (Semaradana,W.G.P. 2014).

Gejala yang timbul antara lain rasa nyeri pada saluran kemih, rasa sakit saat
buang air kecil atau setelahnya, anyang-anyangan, warna air seni sangat pekat
seperti air teh, nyeri pada bagian pinggang, hematuria (kencing berdarah),
perasaan tertekan pada perut bagian bawah, rasa tidak nyaman pada bagian
panggul serta tidak jarang pula penderita mengalami panas tubuh (Dharma, P.S.
2015). Kasus asimptomatik berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya
infeksi simptomatik berulang yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal
(Anggraini,P. 2014).
Manifestasi klinis infeksi saluran kemih juga bergantung pada lokalisasi
infeksi dan umur penderita. Infeksi saluran kemih atas pielonefritis yang paling
sering dijumpai, ditandai dengan adanya demam, nyeri perut atau pinggang,
mual, muntah, kadang-kadang disertai diare. Pielonefritis pada neonatus
umumnya tidak spesifik berupa mudah terangsang, tidak nafsu makan dan berat
badan yang menurun, pada anak usia <2 tahun dapat disertai demam
(Andriani,R. 2010).

Anda mungkin juga menyukai