Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KAIDAH DASAR KETIGA: KERINGANAN DALAM MELAKUKAN


PERBUATAN
ِ ‫التَّي‬
“‫س ُر‬ ْ ُ ْ‫ش َّقةُ ََت‬
‫لب‬ َ ‫”ال َْم‬
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Qowaidul Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Dian Mohammad Hakim, S. Pd. I, M. Pd. I

Oleh:

1. Fahrudin Hardiansyah (21701011197)


2. Faridatul Kibtiyah Zaini (21701011178)
3. Farih Tsabitah Imtinan (21701011153)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur karena atas berkat Allah Yang Maha Esa, kami dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kaidah Ketiga: Teori Kemaslahatan”
sebagai tugas mata kuliah Qowaidul Fiqhiyah. Juga tak lupa kami mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Dian Mohammad Hakim,, S. Pd, M. Pd. selaku dosen
mata kuliah Qowaidul Fiqhiyah yang senantiasa membimbing kami.
Makalah ini berisi tentang jabaran kaidah al-Masyaqqatu tajlibu at-Taisir.
Kami selaku penulis makalah ini menulis berdasarkan buku-buku yang telah kami
baca dan pelajari.
Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, mohon kepada pembaca dan dosen dapat memberikan saran dan kritik yang
bermanfaat bagi kesempurnaan makalah ini dan yang akan datang. Apabila
terdapat kesalahan dalam penulisan maupun hal lainnya, Kami meminta maaf atas
ketidaksengajaan itu. Atas perhatiannya dan selamat membaca.

Malang, 10 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .................................................................................................... 2
2.1 Dasar Hukum Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir ....................... 2
2.2 Pengertian Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir............................. 3
a. Definisi Masyaqqah ..................................................................................... 3
b. Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah .......................................................... 4
c. Metode Taqribi ............................................................................................. 5
2.3 Penjabaran Tentang Rukhsakh ................................................................. 6
1. Hukum-Hukum Rukhsah ............................................................................. 6
2. Bentuk-Bentuk Rukhsah .............................................................................. 7
3. Obyek-Obyek Rukhsah ................................................................................ 8
2.4 Kaidah-Kaidah Cabang dari Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir . 9
BAB III ................................................................................................................. 13
PENUTUP ............................................................................................................ 13
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan baragam peristiwa
yang dialaminya. Adakalanya baik-baik saja, namun terkadang mengalami
yang namanya kesulitan, bahkan sampai menganggu jalannya beribadah
kepada Allah. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan yang
universal (rahmatan lil ‘alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya
kepada unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi
besar kepada kesulitan yang dihadapi oleh umatnya dengan memberikan
keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit.
Dalam kaidah ini, ditegaskan bahwa al-masyaqqatu tajlibu at-taisir, yang
berarti kesulitan akan mendorong adanya kemudahan. Bila seorang muslim
mendapatkan suatu kendala dalam menjalankan suatu kewajiban, maka di
titik inilah Islam memberikan toleransi dan kemudahan-kemudahan. Oleh
sebab itu, dalam makalah kali ini, kami selaku penulis akan membahas
bagaimana penjabaran dari kaidah pokok ketiga yakni al-masyaqqatu tajlibu
at-taisir.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana dasar hukum kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-taisir?
2. Bagaimana pengertian kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-taisir?
3. Bagaimana penjabaran tentang rukhsakh?
4. Bagaimana kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-
taisir?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami dasar hukum kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-taisir.
2. Untuk memahami pengertian kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-taisi.
3. Untuk memahami penjabaran tentang rukhsakh.
4. Untuk memahami kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-masyaqqatu tajlibu
at-taisir.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Hukum Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dihadapkan dengan berbagai


peristiwa senang, sedih, takut, tenang, dan lain-lain. Perbedaan sifat yang
demikian itu sudah tidak bisa dielakkan lagi karena sudah merupakan
sunnatullah. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal
(rahmatan lil ‘alamin), islam tidak melepaskan perhatiannya dan tidak akan
memberikan kesulitan kepada hambanya.
Seperti yang dijelaskan dalam kaidah ini, bahwa kesulitan-kesulitan yang
dialami seorang Muslim, baik dalam ibadah maupun muamalah, akan
diberikan kemudahan hokum pada obyek yang diberikan kepadanya. Jika
seorang Muslim mengalami kesulitan maka di titik inilah Islam meberikan
toleransi serta kemudahan-kemudahannya. Berikut ini dasar hukum kaidah Al-
Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir:
a. Al-Qur’an
Dalam surat al-Baqarah ayat 185 disebutkan:

‫يد بِ ُك ُم الْعُ ْسَر‬


ُ ‫اَّللُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َوال يُِر‬
‫يد ه‬ ُ ‫يُِر‬

“Allah SWT, mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak mencintai


kesulitan bagimu sekalian”.

Dilihat dari asbabun nuzulnya, ayat ini diturunkan dalam konteks


memberikan keringanan hokum berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi
orang sakit atau orang yang melakukan perjalanan (musaffir). Namun
menurut kalangan Mufassirin, jika dilihat dari aspek universalitas dan pesan
mendasarnya, ayat ini berlaku dalam skala yang sangat luas. Sehingga,
kemudahan itu tidak hanya diberikan kepada orang sakit atau orang yang
melakukan perjalanan melainkan bagi semua umat islam yang mengalami
kesulitan.

2
Contoh sederhana adalah cara bersuci kaum Bani Israil yakni, diantara
anggota tubuh yang terkena najisharus dipotong, sedangkan dalam islam yang
cara bersucinya cukup dengan menggunakan tanah dan air.
b. Al-Hadits
Banyak sekali hadis yang menjelaskan mengenai kaidah ini, seperti:
Hadis riwayat imam Ahmad ra:
ِ ‫ إِ هن ِدين‬: ‫قال ر سول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ ثَالَثا‬،‫هللا يُ ْسٌر‬ َْ
Rosulullah saw. bersabda: ”Sesungguhnya agama Allah adalah agama
yang mudah.”(kata-kata itu) diucapkan tiga kali.
Lalu hadits yang berbunyi:

‫يَ ِسُّروا َوالَ تُ َع ِس ُروا‬


“Permudahlah dan jangan menyulitkan”
Selain itu, masih banyak hadis-hadis yang menjelaskan mengenai
kemudahan keringanan syariat yang dibawa oleh Nabi SAW. Dari kumpulan
ayat dan hadis yang sudah disebutkan diatas, maka terbentuklah kaidah fiqh:
al-masyaqqah tajlib al-taysir yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan
yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan
memperingan sesuatu tersebut. Namun, perlu diingat, bahwa kemudahan
dimaksudkan bukan untuk seenaknya dan tanpa arah. Ada Batasan dan
kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi agar kemudahan itu dapat diperoleh.
(dalam Haq, dkk, 2017: 177)

2.2 Pengertian Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir

‫لب الت َّْي ِس ُر‬


ُ ْ‫ش َّقةُ ََت‬
َ ‫ال َْم‬
Artinya : “Kesukaran akan mendorong kemudahan”.

a. Definisi Masyaqqah

Secara bahasa masyaqqah berarti sulit, berat dan yang searti


dengannya. Dalam Bahasa Arab, ketika dikatakan syaqqa alayhi al-syai’,
berarti sesuatu yang telah memberatkan seseorang.

3
Sedangkan kata al-taysir secara bahasa (etimologis) adalah kemudahan,
seperti di dalam hadis Rasulullah saw disebutkan:
ِ ‫إِ هن‬
‫الديْ َن يُ ْسٌر‬
Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Secara istilah, al-Syaitibi (dalam Haq, dkk, 2017: 177-178) memberikan
empat makna:
1) Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu
dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang
manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah
dalam pengertian ini.
2) Masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu
dikerjakan manusia, hanya saja hal itu akan menyebabkan orang yang
melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat.
3) Masyaqqah dalam pengertian kesulitan yang tidak sampai ‘keluar’ dari
kebiasaan umum.
4) Masyaqqah yang dimaknai sebagai ‘melawan hawa nafsu’.
Kaidah kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya kesukaran
menyebabkan adanya suatu kemudahan hukum yang di dalam
praktiknya menyulitkan mukallaf. Maka syariat memudahkannya
sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf untuk
mengerjakannya.

b. Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah

Dalam melakukan kegiatan aktivitas, khususnya dalam melakukan


ibadah kita sering mendapati kesulitan yang muncul secara tiba-tiba.
Karakternya pun bermacam-macam.
Berdasarkan Analisa al-Suyuthi (sebagaimana dalam Haq, dkk, 2017:
178), karakteristik kesulitan (masyaqqah) secara umum terbagi dalam dua
pembagian pokok:
1) Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah).
Misalnya, rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara
otomatis menggugurkan kewajiban haji. Artinya, kewajiban seperti haji

4
hanya dapat terlaksana jika telah melewati kesulitan-kesulitan berupa
rasa lelah, capek, dan sebagainya. Sehingga tidak logis jika kemudahan
(rukhsah) diterapkan dalam hal ini.
2) Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah yang
kedua ini dibagi lagi menjadi tiga tingkatan:
a) Masyaqqah yang sangat berat dan sulit ditanggung (a’la). Seperti
rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, dan hal-hal
yang lainnya. Karena pada umumnya menjalankan kewajiban untuk
menjaga dan memelihara jiwa dan raga untuk menjalankan syariat
sangat diutamakan. Artinya, jika umat islam ‘dipaksa’
melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidakmampu
dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada keselamatan jiwa dan
raganya. Hal ini akan membuat kewajiban ini terbengkalai. Dengan
diberlakukannya rukhshah, maka kewajiban itu tetap bisa
terlaksana.
b) Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal, pusing,
dan lain sebagainya. Pada tingkatan ini, sama sekali tidak ada
syariat untuk memberikan rukhshah. Sebab kemaslahatan ibadah
masih lebih penting daripada menghindari (mafsadah) kerusakan
yang timbul dari masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya
mafsadah karena masih sangat minim, sehingga kemaslahatan
ibadah lebih diutamakan.
c) Masyaqqah pertengahan (al-mutawassithah) yang berada diantara
dua bagian sebelumnya. Tingkatan ini bisa mendapat rukhshah, jika
telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan yag tertinggi (a’la).
Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang
paling ringan (adna) maka tidak dapat menyebabkan rukhshah.

c. Metode Taqribi

Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif, dalam arti
ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan. Karena itulah fuqoha
mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna mengukur beragam
jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan hukum.

5
Secara umum, taqribi diartikan sebagai upaya pengukuran kadar
masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak.

2.3 Penjabaran Tentang Rukhsakh

Menurut Abdullah (2018), pada dasarnya rukhsah adalah kodifikasi


hukum yang diberikan syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam
melaksanakan hukum atau syariat yang telah ditetapkan dan dibebankan
kepadanya. Dengan kata lain, rukhsah adalah ketetapan hukum yang telah
berubah dari bentuk asalnya karena mempertimbangkan objek hukum, kondisi
dan situasi serta tempat tertentu. Bisa juga dimaknai dengan diperbolehkannya
sesuatu yang hukum asalnya dilarang menjadi sesuatu yang diperbolehkan.
Sebaliknya, jika formulasi hukum tersebut tidak mengalami perubahan
sama sekali maka dinamakan dengan azimah. Atau dapat dikatakan bahwa
azimah adalah suatu formulasi hukum dasar syariat yang bersifat umum dan
tidak terbatas pada obyek, situasi dan kondisi serta orang tertentu. Dengan
kata lain, azimah adalah bentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang
belum mengalami perubahan.
Dari sini dapat kita ketahui bersama bahwa titik perbedaan antara
rukhsah dan azimah adalah dalam perubahan hukumnya. Apabila hukum
tersebut masih seperti sedia kala maka dinamakan dengan azimah, akan tetapi
jika hukum tersebut sudah mengalami perubahan karena alasan tertentu maka
dinamakan dengan rukhsah.

1. Hukum-Hukum Rukhsah

2) Wajib, contohnya: memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan


dan tidak ada makanan lain selain bangkai tersebut. Hal ini
diperbolehkan karena untuk tetap menjaga keselamatan jiwanya.
3) Sunah, contohnya: sholat qashar bagi seorang musafir yang telah
melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka
puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah
apabila melanjutkan puasanya.
4) Mubah, misalnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-
menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi itu dikategorikan mubah karean

6
memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam
pada permulaannya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli
barang yang tidak wujud (ma’dum), dan manfaat dalam ijarah juga
dinilai ma’dum (tidak berwujud).
5) Khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Contohnya: menjama’ sholat
dan berbuka puasa bagi musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila
harus mengerjakannya.
6) Makruh, contohnya: meng-qashar sholat dalam perjalanan yang belum
mencapai tiga marhalah. Dihukumi makhruh karena termotivasi untuk
menghindari khilaf Imam Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar
sebelum perjalanan mencapai tiga marhalah (142 KM, versi Hanafiyah).
Sementara Al-Syafi’I menilai dua marhalah cukup untuk melakukan
qashar.

2. Bentuk-Bentuk Rukhsah

1) Takhfif Isqath: rukhsah yang berbentuk menggugurkan kewajiban.


Seperti udzur sholat jumat, haji, umroh, dan jihad. Jika semua kegiatan
diatas itu tidak dapat dilaksanakan karena adanya udzur dengan
ketentuan-ketentuan tertentu, maka syariat memberi toleransi dengan
menghapus kewajiban-kewajiban tadi.
2) Takhfif Tanqish: rukhsah yang berupa pengurangan kuantitas
pekerjaan. Seperti diperbolehkannya qashar sholat bagi musafir dengan
ketentuan-ketentuan sesuai syariat.
3) Takhfif Ibdal: rukhsah berbentuk penggantian. Contohnya mandi dan
wudhu boleh diganti dengan tayamum jika memang tidak menemukan
air dan sudah berusaha mencarinya.
4) Takhfif Taqdim: rukhsah dengan mendahulukan. Contohnya adalah
sholat jama’ taqdim, dimana sholat ashar boleh dilaksanakan pada
waktu sholat dhuhur.
5) Takhfif Ta’khir: rukhsah berupa penundaan aktivitas. Misalnya sholat
jama’ ta’khir. Sholat dhuhur boleh dikerjakan pada waktu sholat ashar.

7
6) Takhfif Tarkhish: rukhsah berbentuk peringanan. Seperti
diperbolehkannya memakan bangkai saat kelaparan, berobat
menggunakan obat-obatan yang najis atau haram.

3. Obyek-Obyek Rukhsah

Menurut Abdurarahman As-Suyuti dalam Al-Asyba’wan Nadhair


(dalam Boedi Abdullah: 183) menyebutkan bahwa dalam ilmu fiqh ada
tujuh macam kesulitan yang membawa kepada kemudahan, yaitu sebagai
berikut.
1. Safar (bepergian)
Safar adalah melakukan perjalanan panjang menuju daerah yang
memiliki jarak tempuh beberapa hari atau lebih dengan menggunakan
kendaraan atau berjalan kaki. Atau dalam perkiraan menurut mazhab
Hanafi sekitar 20 1/3 jam atau sekitar 86 km. Adapun menurut mazhab
Syafi’i jarak tempuhnya sekitar 96 km. Menurut Imam Nawawi,
keringanan yang didapat dari safar (bepergian) adalah
diperbolehkannya meng-qashar sholat, berbuka puasa, meninggalkan
sholat jumat, memakai muza lebih dari sehari semalam, memakan
bangkai, sholat jamak, menggunakan kendaraan ternak dan
bertayamum.
2. Maradh (sakit)
Sakit merupakan salah satu kesulitan yang dapat membuat
mukallaf memperoleh keringanan dan menghilangkan kesukaran.
Keringanan yang bisa didapat oleh orang yang sakit antara lain sholat
sambil duduk, berbuka puasa dengan membayar fidyah, meninggalkan
sholat jumat, menjama’ dua rakaat, dan lainnnya.
3. Ikrah (terpaksa atau dipaksakan)
Menurut terminologi syara’, ikrah adalah menekankan orang lain
untuk melakukan sesuatu yang dibencinya dan tidak ingin dilakukannya
seandainya tidak ditekan. Misalnya, minum arak karena dipaksa oleh
orang lain dan diancam akan dianiaya jika tidak mau meminumnya,
maka hukum meminumnya menjadi tidak haram.
4. Nisyan (lupa)

8
Lupa adalah ketidakmampuan untuk mengingat sesuatu saat
dibutuhkan. Misalnya, seharusnya minum itu membatalkan puasa,
tetapi jika minumnya karena lupa, puasanya tidak batal.
5. Jahl (bodoh)
Jahl didefinisikan sebagai ketidaktahuan mengenai hukum syar’i,
baik itu secara keseluruhan atau hanya sebagian. Misalnya orang
muallaf yang belum mengerti hukum memakan daging anjing haram,
tetapi dia memakannya, maka ia tidak dikenai sanksi.
6. Usrun (kesulitan)
Al-usr adalah kesusahan atau kesukaran. Misalnya saja tidak
diwajibkannya qadha sholat bagi wanita haid karena kesulitan
pengulangannya.
7. Naqsh (kekurangmampuan)
Kekurangan alamiah merupakan salah satu alasan hukum yang sah
(udzur), yang meniscayakan pemberian keringanan dalam pembebanan
hukum syar’i. misalnya berkaitan dengan tidak diwajibkannya qadha
sholat bagi wanita haid karena kesulitan pengulangannya.

2.4 Kaidah-Kaidah Cabang dari Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir

Di dalam buku Perbandingan Kaidah Fiqhiyah (2018) ada sembilan kaidah


cabang dari kaidah asasiyyah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir:
1. Kaidah Pertama
ِ َ ‫إِذَا‬
َ َّ‫ضا َق األ َْم ُر إت‬
‫س َع‬
“Ketika sesuatu menjadi sempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)”.
ِ ِ
‫ضا َق‬ َ َّ‫إذَا إت‬
َ ‫س َع‬
“Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”.
ِ ِ ِ َ ‫إِ َذا‬
‫ضا َق‬ َ َّ‫س َع َو إ َذا إت‬
َ ‫س َع‬ َ َّ‫ضا َق األ َْم ُر إت‬
“Ketika sesuatu menjadi sempit, maka hukumnya menjadi luas
(ringan) dan ketika keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit
(ketat)”.

9
Kaidah ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa
diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Contohnya, ketika
melaksanakan shalat, kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab
kondisi kita saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan
tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular,
kalajengking, dan lainnya, maka pergerakan tersebut diperbolehkan.
Dengan kata lain, shalat yang kita lakukan tanpa adanya gangguan
termasuk kategori keadaan lapang (ittasa’a), sehingga hukumnya menjadi
sempit dan terbatas (dlaqa), yakni tidak boleh melakukan pergerakan yang
berlebihan.
Ada satu kaidah yang merupakan gabungan atau perpaduan dari dua
kaidah di atas, yakni
ِ ‫ُك ُّل ماَ ََتاَوَز َعن ح ِدهِ اِنْ ع َكس اِ ََل‬
‫ض ِد ِه‬ َ َ َ ْ َ
“Setiap sesuatu yang sudah melewati batas kewajaran, memiliki hukum
yang sebaliknya”.

Sebagai contohnya adalah masyaqqah khusus yang bukan esensi


pekerjaan, tapi muncul karena kekhilafan pelakunya. Seperti nadzar tidak
meminum air sehari-semalam, nadzar berjemur di tengah terik matahari,
tidak mau berkomunikasi dengan siapapun, dan pekerjaan-pekerjaan
absurd (ghairu al-ma’qul) lainnya.

2. Kaidah Kedua

‫ار إِ ََل البَ َد ِل‬


ُ‫ص‬ ْ ‫إِذَا تَ َع َّذ َر األ‬
َ ُ‫َص ُل ي‬
“Apabila yang asli sulit dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
Misalnya, dapat melaksanakan tayammum sebagai pengganti dari
wudhu.
3. Kaidah Ketiga
ِ
ُ‫َما ََل ُيُْ ِك ُن التَّ َح ُّر ُز م ْنهُ َم ْع ُفو َع ْنه‬
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu
dimaafkan”.

10
Misalnya ketika sedang berpuasa, kita berkumur-kumur, maka tidak
mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa air.
4. Kaidah Keempat
ِ ‫ط بِالْم ْع‬
‫ص ِي‬ َ ُ ‫صةُ ََلتُنَا‬
َ ‫الر ْخ‬
ُّ
“Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini dikaitkan untuk menjaga kemudahan-kemudahan di dalam
hukum tidak agar disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan
atau dosa). Contohnya seperti orang yang menggunakan rukhsah puasa
dengan membatalkannya dengan niat apabila staminanya kembali kuat
akan membunuh orang lain. Contoh lain seperti orang yang bepergian
ketempat prostitusi, kemudian setelah itu ia kehabisan uang dan merasa
kelaparan, dan tidak ditemukan makanan yang halal kemudian ia
mendapatkan seekor tikus lalu memakannya. Maka dia tidak dipandang
sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan
makan daging tikus.
5. Kaidah Kelima

‫ار إِ ََل اجملَا ِز‬ ِ ْ ‫إِذَا َتَ َّذر‬


ُ‫ص‬ َ ُ‫ت احلَقي َقةُ ي‬َ
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka
kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contoh : Haji Syarkawi berkata, “Saya wakafkan tanah saya kepada
anak Ustadz Salim”. Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Ustadz
Salim sudah lama meninggal, yang ada adalah hanyalah cucunya bernama
Sarifudin. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu
kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin
mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.
6. Kaidah Keenam

ُ ‫إِ َذ َاتَ َّذ َر إِ ْع َم‬


‫ال ال َك ََلِم يُ ْه َم ُل‬
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan”

11
Misalnya, seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku saudara
sekandung dari si mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu keluarga,
ternyata si mayit tidak memiliki saudara. Maka perkataan orang tersebut
ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
7. Kaidah Ketujuh

‫الد َو ِام َما ََل يُغْتَ َف ُر ِ ِْف ا ِإل بْتِ َد ِاء‬


َّ ‫يُغْتَ َف ُر ِِف‬

“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya”
Misalnya, mahasiswa yang menyewa kost maka diharuskan membayar
uang muka oleh pemilik kost. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan
dan dia ingin melanjutkan sewaan berikutnya, maka dia tidak perlu
membayar uang muka lagi.
8. Kaidah Kedelapan

َّ ‫يُغْتَ َف ُر ِِف ا ِإلبْتِ َد ِاء َما ََل يُغْتَ َف ُر ِ ِْف‬


‫الد َو ِام‬
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”.
Misalnya, seseorang yang baru masuk Islam dan dia tidak mengetahui
bahwa daging babi itu haram dimakan, maka dia dimafkan atas
ketidaktahuannya. Namun selanjutnya, setelah ia mengetahui bahwa hal
tersebut haram maka tidak boleh mengulanginya.
9. Kaidah Kesembilan

‫َّوابِ ِع َما ََل يُغْتَ َف ُر ِِف غَ ِْْيَها‬


َ ‫يُغْتَ َف ُر ِِف الت‬
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada
yang lainnya”
Misalnya, penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras
karena karung mengikuti kepada beras yang dijual.

12
BAB III
PENUTUP
1. Dasar hukum kaidah Al-masyaqqah tajlib at-taisir dapat ditemukan di dalam
QS. Al-Baqarah: 185, Al-Hajj: 78, atau di dalam QS. Al-Maidah ayat 6. Juga
berupa hadits Nabi yang semuanya shohih.
2. Al-masyaqqah tajlib at-taisir berarti kesukaran akan mendorong kemudahan.
3. Rukhsah jika disederhanakan merupakan suatu kemudahan atau toleransi
yang diberikan kepada mukallaf yang mengalami kesulitan dalam
melaksanakan kewajiban ibadah.
4. Ada 9 kaidah cabang dari kaidah Al-masyaqqah tajlib at-taisir:
1) Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan
kebalikannya Apabila suatu perkara menjadi luas maka hukumnya
menyempit.
2) Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.
3) Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu
dimaafkan.
4) Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.
5) Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka
kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya.
6) Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan.
7) Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya.
8) Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya.
9) Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang
lainnya.

13
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Boedi & Saebani, Beni Ahmad. (2018). Perbandingan Kaidah
Fiqhiyah. Bandung: Pustaka Setia.

Haq, Abdul. Mubarok, Ahmad. Ro’uf, Agus. (2017). Formulasi Nalar Fiqh.
Surabaya: Khalista.

14

Anda mungkin juga menyukai