Oleh:
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .................................................................................................... 2
2.1 Dasar Hukum Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir ....................... 2
2.2 Pengertian Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir............................. 3
a. Definisi Masyaqqah ..................................................................................... 3
b. Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah .......................................................... 4
c. Metode Taqribi ............................................................................................. 5
2.3 Penjabaran Tentang Rukhsakh ................................................................. 6
1. Hukum-Hukum Rukhsah ............................................................................. 6
2. Bentuk-Bentuk Rukhsah .............................................................................. 7
3. Obyek-Obyek Rukhsah ................................................................................ 8
2.4 Kaidah-Kaidah Cabang dari Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir . 9
BAB III ................................................................................................................. 13
PENUTUP ............................................................................................................ 13
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan baragam peristiwa
yang dialaminya. Adakalanya baik-baik saja, namun terkadang mengalami
yang namanya kesulitan, bahkan sampai menganggu jalannya beribadah
kepada Allah. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan yang
universal (rahmatan lil ‘alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya
kepada unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi
besar kepada kesulitan yang dihadapi oleh umatnya dengan memberikan
keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit.
Dalam kaidah ini, ditegaskan bahwa al-masyaqqatu tajlibu at-taisir, yang
berarti kesulitan akan mendorong adanya kemudahan. Bila seorang muslim
mendapatkan suatu kendala dalam menjalankan suatu kewajiban, maka di
titik inilah Islam memberikan toleransi dan kemudahan-kemudahan. Oleh
sebab itu, dalam makalah kali ini, kami selaku penulis akan membahas
bagaimana penjabaran dari kaidah pokok ketiga yakni al-masyaqqatu tajlibu
at-taisir.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana dasar hukum kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-taisir?
2. Bagaimana pengertian kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-taisir?
3. Bagaimana penjabaran tentang rukhsakh?
4. Bagaimana kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-
taisir?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami dasar hukum kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-taisir.
2. Untuk memahami pengertian kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-taisi.
3. Untuk memahami penjabaran tentang rukhsakh.
4. Untuk memahami kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-masyaqqatu tajlibu
at-taisir.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Hukum Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taisir
2
Contoh sederhana adalah cara bersuci kaum Bani Israil yakni, diantara
anggota tubuh yang terkena najisharus dipotong, sedangkan dalam islam yang
cara bersucinya cukup dengan menggunakan tanah dan air.
b. Al-Hadits
Banyak sekali hadis yang menjelaskan mengenai kaidah ini, seperti:
Hadis riwayat imam Ahmad ra:
ِ إِ هن ِدين: قال ر سول هللا صلى هللا عليه وسلم
ثَالَثا،هللا يُ ْسٌر َْ
Rosulullah saw. bersabda: ”Sesungguhnya agama Allah adalah agama
yang mudah.”(kata-kata itu) diucapkan tiga kali.
Lalu hadits yang berbunyi:
a. Definisi Masyaqqah
3
Sedangkan kata al-taysir secara bahasa (etimologis) adalah kemudahan,
seperti di dalam hadis Rasulullah saw disebutkan:
ِ إِ هن
الديْ َن يُ ْسٌر
Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Secara istilah, al-Syaitibi (dalam Haq, dkk, 2017: 177-178) memberikan
empat makna:
1) Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu
dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang
manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah
dalam pengertian ini.
2) Masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu
dikerjakan manusia, hanya saja hal itu akan menyebabkan orang yang
melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat.
3) Masyaqqah dalam pengertian kesulitan yang tidak sampai ‘keluar’ dari
kebiasaan umum.
4) Masyaqqah yang dimaknai sebagai ‘melawan hawa nafsu’.
Kaidah kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya kesukaran
menyebabkan adanya suatu kemudahan hukum yang di dalam
praktiknya menyulitkan mukallaf. Maka syariat memudahkannya
sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf untuk
mengerjakannya.
4
hanya dapat terlaksana jika telah melewati kesulitan-kesulitan berupa
rasa lelah, capek, dan sebagainya. Sehingga tidak logis jika kemudahan
(rukhsah) diterapkan dalam hal ini.
2) Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah yang
kedua ini dibagi lagi menjadi tiga tingkatan:
a) Masyaqqah yang sangat berat dan sulit ditanggung (a’la). Seperti
rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, dan hal-hal
yang lainnya. Karena pada umumnya menjalankan kewajiban untuk
menjaga dan memelihara jiwa dan raga untuk menjalankan syariat
sangat diutamakan. Artinya, jika umat islam ‘dipaksa’
melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidakmampu
dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada keselamatan jiwa dan
raganya. Hal ini akan membuat kewajiban ini terbengkalai. Dengan
diberlakukannya rukhshah, maka kewajiban itu tetap bisa
terlaksana.
b) Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal, pusing,
dan lain sebagainya. Pada tingkatan ini, sama sekali tidak ada
syariat untuk memberikan rukhshah. Sebab kemaslahatan ibadah
masih lebih penting daripada menghindari (mafsadah) kerusakan
yang timbul dari masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya
mafsadah karena masih sangat minim, sehingga kemaslahatan
ibadah lebih diutamakan.
c) Masyaqqah pertengahan (al-mutawassithah) yang berada diantara
dua bagian sebelumnya. Tingkatan ini bisa mendapat rukhshah, jika
telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan yag tertinggi (a’la).
Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang
paling ringan (adna) maka tidak dapat menyebabkan rukhshah.
c. Metode Taqribi
Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif, dalam arti
ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan. Karena itulah fuqoha
mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna mengukur beragam
jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan hukum.
5
Secara umum, taqribi diartikan sebagai upaya pengukuran kadar
masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak.
1. Hukum-Hukum Rukhsah
6
memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam
pada permulaannya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli
barang yang tidak wujud (ma’dum), dan manfaat dalam ijarah juga
dinilai ma’dum (tidak berwujud).
5) Khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Contohnya: menjama’ sholat
dan berbuka puasa bagi musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila
harus mengerjakannya.
6) Makruh, contohnya: meng-qashar sholat dalam perjalanan yang belum
mencapai tiga marhalah. Dihukumi makhruh karena termotivasi untuk
menghindari khilaf Imam Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar
sebelum perjalanan mencapai tiga marhalah (142 KM, versi Hanafiyah).
Sementara Al-Syafi’I menilai dua marhalah cukup untuk melakukan
qashar.
2. Bentuk-Bentuk Rukhsah
7
6) Takhfif Tarkhish: rukhsah berbentuk peringanan. Seperti
diperbolehkannya memakan bangkai saat kelaparan, berobat
menggunakan obat-obatan yang najis atau haram.
3. Obyek-Obyek Rukhsah
8
Lupa adalah ketidakmampuan untuk mengingat sesuatu saat
dibutuhkan. Misalnya, seharusnya minum itu membatalkan puasa,
tetapi jika minumnya karena lupa, puasanya tidak batal.
5. Jahl (bodoh)
Jahl didefinisikan sebagai ketidaktahuan mengenai hukum syar’i,
baik itu secara keseluruhan atau hanya sebagian. Misalnya orang
muallaf yang belum mengerti hukum memakan daging anjing haram,
tetapi dia memakannya, maka ia tidak dikenai sanksi.
6. Usrun (kesulitan)
Al-usr adalah kesusahan atau kesukaran. Misalnya saja tidak
diwajibkannya qadha sholat bagi wanita haid karena kesulitan
pengulangannya.
7. Naqsh (kekurangmampuan)
Kekurangan alamiah merupakan salah satu alasan hukum yang sah
(udzur), yang meniscayakan pemberian keringanan dalam pembebanan
hukum syar’i. misalnya berkaitan dengan tidak diwajibkannya qadha
sholat bagi wanita haid karena kesulitan pengulangannya.
9
Kaidah ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa
diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Contohnya, ketika
melaksanakan shalat, kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab
kondisi kita saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan
tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular,
kalajengking, dan lainnya, maka pergerakan tersebut diperbolehkan.
Dengan kata lain, shalat yang kita lakukan tanpa adanya gangguan
termasuk kategori keadaan lapang (ittasa’a), sehingga hukumnya menjadi
sempit dan terbatas (dlaqa), yakni tidak boleh melakukan pergerakan yang
berlebihan.
Ada satu kaidah yang merupakan gabungan atau perpaduan dari dua
kaidah di atas, yakni
ِ ُك ُّل ماَ ََتاَوَز َعن ح ِدهِ اِنْ ع َكس اِ ََل
ض ِد ِه َ َ َ ْ َ
“Setiap sesuatu yang sudah melewati batas kewajaran, memiliki hukum
yang sebaliknya”.
2. Kaidah Kedua
10
Misalnya ketika sedang berpuasa, kita berkumur-kumur, maka tidak
mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa air.
4. Kaidah Keempat
ِ ط بِالْم ْع
ص ِي َ ُ صةُ ََلتُنَا
َ الر ْخ
ُّ
“Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini dikaitkan untuk menjaga kemudahan-kemudahan di dalam
hukum tidak agar disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan
atau dosa). Contohnya seperti orang yang menggunakan rukhsah puasa
dengan membatalkannya dengan niat apabila staminanya kembali kuat
akan membunuh orang lain. Contoh lain seperti orang yang bepergian
ketempat prostitusi, kemudian setelah itu ia kehabisan uang dan merasa
kelaparan, dan tidak ditemukan makanan yang halal kemudian ia
mendapatkan seekor tikus lalu memakannya. Maka dia tidak dipandang
sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan
makan daging tikus.
5. Kaidah Kelima
11
Misalnya, seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku saudara
sekandung dari si mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu keluarga,
ternyata si mayit tidak memiliki saudara. Maka perkataan orang tersebut
ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
7. Kaidah Ketujuh
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya”
Misalnya, mahasiswa yang menyewa kost maka diharuskan membayar
uang muka oleh pemilik kost. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan
dan dia ingin melanjutkan sewaan berikutnya, maka dia tidak perlu
membayar uang muka lagi.
8. Kaidah Kedelapan
12
BAB III
PENUTUP
1. Dasar hukum kaidah Al-masyaqqah tajlib at-taisir dapat ditemukan di dalam
QS. Al-Baqarah: 185, Al-Hajj: 78, atau di dalam QS. Al-Maidah ayat 6. Juga
berupa hadits Nabi yang semuanya shohih.
2. Al-masyaqqah tajlib at-taisir berarti kesukaran akan mendorong kemudahan.
3. Rukhsah jika disederhanakan merupakan suatu kemudahan atau toleransi
yang diberikan kepada mukallaf yang mengalami kesulitan dalam
melaksanakan kewajiban ibadah.
4. Ada 9 kaidah cabang dari kaidah Al-masyaqqah tajlib at-taisir:
1) Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan
kebalikannya Apabila suatu perkara menjadi luas maka hukumnya
menyempit.
2) Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.
3) Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu
dimaafkan.
4) Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.
5) Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka
kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya.
6) Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan.
7) Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya.
8) Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya.
9) Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang
lainnya.
13
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Boedi & Saebani, Beni Ahmad. (2018). Perbandingan Kaidah
Fiqhiyah. Bandung: Pustaka Setia.
Haq, Abdul. Mubarok, Ahmad. Ro’uf, Agus. (2017). Formulasi Nalar Fiqh.
Surabaya: Khalista.
14