Anda di halaman 1dari 18

UU TAMBANG DAN HUKUM PERBURUAN

“MAKALAH PENYELESAIAN KASUS PERTAMBANGAN ILEGAL”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK II
SION MSANANIAN (2015-63-0)
KURNIAWAN ABDULLAH (2016-63-006)
RISNAWATI KAMARUDIN (2016-63-007)
NATALIA TUANAKOTTA (2016-63-019)

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK PERTAMBANGAN


JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN
UNIVERSITAS PAPUA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penyusun Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Makalah
Penyelesaian Kasus Pertamangan Ilegal. Tujuan dari penyusunan makalah ini
yaitu sebagai salah satu syarat kelulusan pada Matakuliah UU Tambang &
Hukum Perburuan.
Pada kesempatan ini, penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan Makalah ini. Pertama
kepada dosen pengampu yaitu bapak Restu Tandirerung, ST., M.Eng, kedua dan
paling penting yaitu kepada orang tua yang memberi dorongan berupa doa
maupun materil.
Penyusun menyadari bahwa dalam makalah ini masih ada kekurangan,
oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan pembuatan karya ilmiah lain kedepannya. Akhir kata semoga makalah
ini bisa memberi manfaat bagi pembacanya.

Sorong, 10 November 2019

Penyusun

ii
1. DAFTAR ISI

HALAMAN
COVER .................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

Pendahuluan ............................................................................................ 1

Rumusan Masalah ................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 2

Kasus Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Indonesia............................. 2

Upaya Pengendalian PETI Yang Telah Dilakukan Pemerintah .............. 2

Realitas Lapangan Pertambangan Rakyat ............................................. 4

Pandangan Masyaratak Terhadap PETI .................................................. 7

Analisis Hukum Putusan Kasus Pidana Mengenai Permasalahan


Pertambangan Ilegal ................................................................................ 10

BAB III PENUTUP............................................................................................. 13

Kesimpulan ........................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

iii
2. BAB I
PENDAHULUAN

Pendahuluan
Aktivitas pertambangan masih mendapat stigma negatif bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia. Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic
Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan stigma negatif dari aktivitas
pertambangan kerap disebabkan oleh aktivitas pertambangan ilegal atau
pertambangan tanpa izin (PETI). "Tambang ilegal membuat komunitas tambang
yang legal menjadi susah, warga membully tambang padahal itu legal," ujar
Budi dalam diskusi media bertajuk "Mencari Solusi Penertiban Tambang Ilegal".
Menilai pemerintah pusat perlu melakukan intervensi lebih dalam
mengatasi persoalan PETI yang banyak berada di daerah-daerah, mengharuskan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan koordinasi dan
pemahaman yang sama dalam mengatur aktivitas pertambangan.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal
Kasli mengatakan secara geologi, wilayah Indonesia yang berada di jalur gunung
api mengakibatkan besarnya kandungan potensi sumber daya mineral, termasuk
batubara. Hal ini yang membuat banyak masyarakat melakukan aktivitas PETI
dikarenakan adanya permintaan bahan galian yang tinggi.
Selain itu, kurangnya tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat juga
menjadi penyebab lain mengapa aktivitas PETI begitu tinggi di Indonesia.
Kesadaran hukum sangat diperlukan. Bagaimana memasyarakatkan kesadaran
hukum dan tentunya diikuti dengan pengendalian hukum.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana kasus pertambangan tanpa izin (PETI) di Indonesia?
2. Seperti apa upaya pengendalian PETI yang telah dilakukan Pemerintah?
3. Realitas Lapangan Pertambangan Rakyat?
4. Analisis Hukum Putusan Kasus Pidana Mengenai Permasalahan
Pertambangan Ilegal
5. Bagaimana Pandangan Umum Mengenai PETI?

1
3. BAB II
PEMBAHASAN

Kasus Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Indonesia


Pada mulanya pertambangan tanpa izin (PETI) di hampir sebagian besar
wilayah Negara Indonesia dilakukan oleh perorangan atau kelompok orang,
sebagai usaha tambahan/sampingan di daerah-daerah yang diyakini berpotensi
mengandung bahan galian intan, emas dan timah. Kebutuhan ekonomi yang
makin meningkat dan hasil usaha tambang yang diperkirakan dapat memberikan
harapan kehidupan lebih baik, membuat pelaku-pelaku penambangan
mengalihkan usaha sekunder ini menjadi usaha utama. Terdapat beberapa faktor
yang kemungkinan besar mempengaruhi berkembangnya pertumbuhan PETI,
diantaranya :
 Usaha tersebut telah berjalan cukup lama secara turun temurun, sehingga
menimbulkan anggapan bahwa lahan pertambangan merupakan warisan
yang tidak memerlukan izin usaha.
 Modal usaha relatif kecil dan pelaksanaan penambangan dilakukan secara
sederhana/tradisional tanpa menggunakan peralatan berteknologi tinggi.
 Keterbatasan keahlian pelaku usaha dan sempitnya lapangan kerja,
menyebabkan usaha pertambangan ini menjadi pilihan utama.
 Kemudahan pemasaran produk bahan galian.
 Lemahnya pemahaman pelaku usaha PETI terhadap hukum/peraturan
pertambangan.
 Pelaku usaha beranggapan bahwa prosedur pengurusan izin usaha
pertambangan melalui jalur birokrasi yang rumit dan memerlukan waktu
panjang, sehingga cenderung menimbulkan biaya tinggi.

Upaya Pengendalian PETI Yang Telah Dilakukan Pemerintah


Dalam rangka mengantisipasi perkembangan yang tidak terkendali dari
pertambangan tanpa izin (PETI), pemerintah membuat Undang-Undang
Nomor 11 tahun 1967 yang berkaitan dengan upaya penghentian semua usaha
pertambangan tersebut, dengan pengecualian dapat melanjutkan usahanya

2
apabila berstatus Pertambangan Rakyat untuk bahan galian intan dan Tambang
Tradisional untuk bahan galian emas.
Perkembangan PETI mencapai tingkat yang menghawatirkan ketika
terjadi krisis ekonomi global pada tahun 1997, ditunjukkan oleh
beragamnya bahan galian yang diusahakan terutama dari jenis-jenis yang
relatif mudah dipasarkan dan karena alasan utama untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
Pada tahun 1998 terjadi pergantian pemerintahan yang membawa
Indonesia ke nuansa demokratisasi. Hal ini berpengaruh kepada upaya
penanggulangan PETI melalui penentuan kebijakan yang berkaitan dengan
pertambangan skala kecil yang berorientasi kepada ekonomi kerakyatan.
Kemudian Pemerintah berupaya untuk merealisasikannya dengan membuat
peraturan tentang pertambangan resmi berskala kecil melalui penetapan
Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Pengusaha Kecil dan Menengah; Nomor 2002.K/20/MPE/1998 –
Nomor 151A Tahun 1998 – Nomor 23/SKB/M/XII/1998.
Sejak tahun 1999 hingga saat ini Negara Republik Indonesia sedang
menjalankan sistem desentralisasi melalui pembagian pemerintahan yang
terdiri atas pemerintah pusat dan daerah/otonom. Upaya untuk mendapatkan
solusi yang tepat dalam penanggulangan masalah PETI terus dilanjutkan
melalui studi segala hal yang berkaitan dengan pertambangan skala kecil,
bekerjasama dengan pemerintahan otonom dari tingkat provinsi dan
kabupaten di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pada tahun 2000 Pemerintah Pusat melalui Instruksi Presiden Nomor 3
Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
1091K/70/MPE/2000 membentuk Koordinasi Penanggulangan Masalah
Pertambangan Tanpa Izin. Pelaksanaan kegiatan ditekankan kepada
penanggulangan secara fungsional oleh seluruh instansi yang ditentukan
dalam Inpres diatas, dengan Tim Terpadu berfungsi sebagai forum
koordinasi dalam upaya penyelesaian terhadap permasalahan yang bersifat
lintas sektoral; dimana tindak lanjutnya tetap dilakukan secara fungsional dan
sesuai kewenangannya oleh institusi-institusi terkait sesuai kewenangannya.

3
Informasi diatas menunjukkan sejauh mana Pemerintah Pusat telah
berupaya menetapkan aturan-aturan hukum tentang usaha pertambangan untuk
menanggulangi PETI, namun kegiatan tersebut masih berlangsung hingga saat
ini.

Realitas Lapangan Pertambangan Rakyat


Dari semua peraturan yang diuraikan diatas, dapat ditarik catatan
penting yaitu :
1) Berbagai pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan
perundangan memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang,
2) Ketidakpastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang
Kontrak Karya atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat
harus menyingkir,
3) Sedangkan untuk diareal yang ada Kontrak Pertambangannya tetap dibuka
kemungkinan pertambangan rakyat, dengan syarat adanya ijin pemegang
kontrak pertambangan dan
4) Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara lebih merupakan
tindakan yang reaktif dan tidak terencana dan cendrung dimaksudkan untuk
mematikan pertambangan rakyat.
Karena itu sebagai akibat dari berbagai kebijakan terhadap pertambangan
rakyat tersebut, banyak pertambangan-pertambangan dilakukan tanpa ijin
(PETI). PETI (Penambangan Tanpa Izin) adalah “cap” yang diberikan negara
pada pelaku pertambangan yang tidak mendapatkan izin dari pemerintah sebagai
pemegang hak menguasasi negara atas bahan tambang. Tak peduli apakah
penambang adalah rakyat yang melakukan kegiatan pertambangan berdasarkan
adat istiadat, ataupun mereka yang hanya “berjudi” nasib dari bahan tambang,
tetap akan menyandang label PETI jika tak mendapat izin.
Stigma PETI berkonotasi liar, merusak, dan tak menguntungkan. Oleh
karena itu perlu “ditertibkan”. Hasilnya, sederet pelanggaran HAM pun
terjadi. Rumah-rumah penambang seperti di Luit Raya di Kalimantan
Tengah diratakan dengan tanah, alat-alat yang digunakan oleh penduduk untuk

4
menambang juga di hancurkan. Sebagian dari penambang di masukan penjara
lantaran di tuduh melakukan kegiatan ilegal.
Kepala dinas Pertambangan Kalimantan selatan menyebutkan Sepanjang
tahun 1997-2000, tambang rakyat di Kalimantan Selatan berkembang 334
penambang tanpa ijin yang tersebar di 238 lokasi, mencakup 236 ha dengan
memakai alat berat. Sedangkan di Sumatera Barat, Kodya Sawahlunto sampai
dengan tahun 2000 terdapat 2500 orang penambang liar. Sementara itu di
Jambi, dikecamatan Palepat Kab. Bungo sampai tahun 2001 terdapat kurang
lebih 500 orang penambang tanpa ijin. Di Kalimantan Selatan sampai tahun
2001 terdapat 6000 orang penambang emas tanpa ijin.
Selain masalah-masalah tersebut, kebijakan yang mendahulukan
pemegang kontrak pertambangan daripada penambang rakyat, juga menui
konflik. Salah satu kasus yang terjadi yaitu konflik antara masyarakat adat daya
Siang dengan PT. Indo Muro Kencana di Kab. Barito Utara Kalimantan
Selatan. Diatas areal adat dan areal penmbangan daya Siang pemerintah
menerbitkan Kontrak Karya atas nama PT. Indo Muro Kencana yang 100%
sahamnya dimiliki oleh Aurora Gold asal Australia. Areal kontrak karya PT.
Indo Muro Kencana ini tumpang tindih dengan wilayah pertambangan rakyat
dan areal kawasan adat lainnya.
Emas adalah bahan tambang yang paling sering menimbulkan sengketa
antara, penambang rakyat dengan pemerintah dan perusahaan pertambangan
Hampir sebagian besar kegiatan tambang skala kecil yang dilakukan oleh
masyarakat setempat atau pendatang pemburu hasil tambang, juga berupaya
untuk mendapatkan emas. Meningkatnya jumlah perusahaan kontrak karya
yang mengajukan aplikasi penambangan, masih didominasi oleh keinginan
untuk mendapatkan bahan tambang ini. Padahal industri pertambangan tidak lagi
padat buruh karena industri ini hanya menyerap kurang 1% dari angkatan kerja
yang ada. Pertambangan skala kecil justru menyerap banyak tenaga kerja dan
memproduksi 25% dari total emas, intan dan permata.

5
Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Pengembangan
Teknologi Mineral (PPTM), saat ini terdapat hampir 77.000 operasi
penambangan kecil yang menghasilkan hampir semua mineral untuk
kegiatan industri yang bernilai sekitar US$ 58 juta pertahun . Dari jumlah itu,
ternyata hanya 3 % dari mereka yang memiliki izin. Jadi ada 74.500
operasi penambangan yang menjalankan kegiatan itu tanpa izin.

Rendahnya jumlah penambang skala kecil yang mendapat izin


pemerintah lebih disebabkan persoalan birokasi perizinan yang rumit dan
bertele-tele. Kemampuan managerial dan pendanaan serta kemampuan untuk
memitigasi kerusakan lingkungan merupakan kelemahan lain penambang
rakyat. Dukungan untuk meningkatkan kemampuan itu merupakan tugas
pemerintah jika komitmen untuk mendukung kegiatan tambang skala kecil ingin
terwujud.
Menghadapi masalah-masalah PETI ini, pada tahun 2000 pemerintah
mengeluarkan Inpres RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penanggulangan
Masalah Pertambangan Tanpa Izin. Namun demikian pelaksanaan Inpres ini
mendapat reaksi yang keras karena praktek dilapangan yang tidak sepatutnya.
Konflik-konflik yang terjadi dilokasi-lokasi pertambangan yang
mengahadapkan rakyat dengan pengusaha pertambangan dan pemerintah, tidak
memberikan pengaruh yang kuat terhadap pengambilan kebijakan pertambangan
yang baru. PETI mendapat tempat strategis dimata pemerintah sebagai salah
satu faktor yang menjadi penyebab meningkat atau menurunnya pendapatan
negara dari sektor pertambangan. Dengan kenyataan ini, dalam rencana kerja
pemerintah tahun 2006, PETI menjadi salah satu prioritas yang harus ditangani
segera. Penetapan prioritas ini didasarkan pada pemikiran berupa“Persoalanyang
masih belum dapat dituntaskan dan menjadi tantangan adalah kasus-kasus
pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya dimensi ekonomi, hukum dan sosial
dari kasus PETI ini membuat penanganannya harus hati-hati.”
Salah satu sasaran pembangunan tahun 2006 adalah berkurangnya PETI
dengan kegiatan-kegiatan Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan rakyat
yang berpotensi mencemari lingkungan khususnya penggunaan bahan merkuri
dan sianida dalam usaha pertambangan emas rakat termasuk pertambangan tanpa

6
ijin (PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai bahan pembantu pada industri
kecil.
Sangat menarik melihat salah satu sasaran pembangunan pertambangan
pada tahun 1996 adalah menuju berkurangnya kegiatan pertambangan tanpa ijin
(PETI) dan usaha-usaha pertambangan yang merusak dan yang menimbulkan
pencemaran. Dimata pemerintah, PETI yang sebagian besar dilakukan oleh
masyarakat menjadi sebuah masalah yang cukup besar yang menyebabkan
menurunnya pendapatan negara. Tentu pencantuman PETI sebagai salah satu
sasaran pembangunan pertambangan akan menimbulkan dampak yang serius
terhadap pertambangan-pertambangan rakyat. Karena sebagian besar
pertambangan rakyat dalam operasinya tidak memiliki ijin resmi dari
pemerintah.
Jika kita melanjutkan penjelajahan, ada gelombang pertanyaan
menyentak ketika membaca naskah akademik RUU Minerba. PETI dicirikan
dengan adanya penyandang dana (cukong) dan kadang-kadang oknum aparat
sebagai backing, serta operasi dengan modus memperalat kalangan masyarakat
bahwa menjadi “korban” pembangunan, ini, yang didalamnya terlibat
masyarakat pendatang, serta dibawah perlindungan backing ternyata menjadi
kekuatan yang dahsyat dalam menumbuhkan PETI versi baru.
PETI ini menimbulkan masalah yaitu:
1) Merugikan negara, berupa kehilangan pendapatan negara dari sektor
perpajakan, merusak dan mencemari lingkungan,
2) Melecehkan hukum. Masalah-masalah ini diikuti dengan masalah lain yaitu,
kecelakaan tambang, iklim usaha yang tidak kondusif, praktek percukongan,
premanisme dan prostitusi.

Pandangan Masyaratak Terhadap PETI


Usaha pertambangan terhadap jenis bahan galian apapun bertujuan
terutama untuk memperoleh nilai ekonomi dari bahan galian yang diusahakan.
Berkaitan dengan pertambangan tanpa izin (PETI), teridentifikasi bahwa
parameter utama dari konsep usaha pertambangannya adalah :
 Bahan galian yang dijadikan sasaran penambangan merupakan komoditi

7
pilihan yang tidak memerlukan teknologi penambangan yang rumit dan juga
mudah dipasarkan.
 Besarnya kuantitas sumber daya atau cadangan bahan galian yang ditemukan
mungkin bukan menjadi faktor penentu sepanjang bahan galian tersebut
memberikan harapan kelangsungan kebutuhan ekonomi khususnya para
pelaku usaha pertambangan dan umumnya masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan.
Keberadaan PETI dapat menciptakan dampak positif seperti :
menciptakan lapangan kerja yang mendukung usaha pertambangan dan
peningkatan ekonomi khususnya di sekitar wilayah pertambangan; meskipun
berkonotasi tidak resmi/ilegal dan tidak menjamin kesinambungan
keberadaannya. Sementara perkembangan PETI yang tidak terkendali akan
menimbulkan dampak negatif, diantaranya :
 Kerusakan lingkungan sebagai akibat lemahnya penguasaan teknik
penambangan dan pengolahan bahan galian, keterbatasan penguasaan metoda
penanganan limbah tambang, lemahnya pemahaman tentang reklamasi dan
perlindungan terhadap lingkungan wilayah pertambangan.
 Praktek bank gelap berbunga tinggi oleh pemilik modal ilegal, pada kasus
dimana pelaku usaha PETI tidak memiliki modal dan atau kehabisan modal
usaha.
 Praktek monopoli perdagangan gelap, sebagai akibat penerapan sistem
penanaman modal perorangan yang berorientasi kepada cara agunan/jaminan
produk pertambangan sebagai alat pembayaran pinjaman modal usaha.
 Pelanggaran terhadap sistem perpajakan resmi sebagai akibat penghindaran
pajak penjualan produk pertambangan.
 Pengabaian terhadap perlindungan kesehatan, sebagai akibat lemahnya
pengetahuan tentang penggunaan zat atau bahan kimia tertentu yang
mengandung racun/pencemar untuk pengolahan bahan galian tertentu
(terutama logam) dan antisipasi kemungkinan pengaruhnya bagi kesehatan.
 Kemungkinan gangguan keamanan, sebagai konsekwensi logis dari
perkembangan ekonomi dan sosial di wilayah PETI.

8
Dengan dasar semua informasi diatas maka status usaha pertambangan
tradisional (tanpa izin) seharusnya ditingkatkan menjadi usaha pertambangan
skala kecil berizin resmi melalui langkah-langkah pendekatan:
 Rasionalisasi, yaitu upaya untuk mengantisipasi dampak negatif dari
pertambangan dengan munculnya pasar perdagangan gelap dan kerusakan
lingkungan; sementara dari segi positif adalah penciptaan lapangan kerja dan
peningkatan pendapatan masyarakat dari hasil penjualan produk
pertambangan.
 Pengaturan pengembangan pertambangan skala kecil, melalui pengujian
penerapan peraturan pertambangan di daerah otonom dalam mendukung
tujuan nasional. Secara keseluruhan peraturan mengakomodir penambangan
bahan galian untuk tujuan komersil dan perorangan, dengan tujuan
mengantisipasi kemungkinan pemanfaatan bahan galian tersebut oleh pemilik
lahan.
 Peraturan tentang lingkungan. Pengajuan usaha pertambangan skala kecil
harus menyertakan rencana perlindungan terhadap lingkungan dan disyahkan
sebelum surat izin usaha dikeluarkan; apabila perlu mencantumkan ketentuan
tentang penyisihan dana untuk penanggulangan kerusakan lingkungan dan
pegenaan pajak untuk rehabilitasi daerah-daerah bekas penambangan.
 Keselamatan kerja dan kesehatan, melalui upaya penerapan peraturan umum
tentang keselamatan kerja dan penjagaan kesehatan selama melakukan usaha
pertambangan.
 Pemasaran, melalui upaya pengawasan pemerintah daerah terhadap penjualan
atau izin perdagangan produk pertambangan sebagai bagian dari usaha
pertambangan.
 Penerapan sangsi terhadap pemegang izin usaha atau pelaku usaha yang tidak
mematuhi peraturan, berkisar dari pembatalan izin usaha hingga hukuman
denda/penjara.
 Penerapan sistim pemberian izin. Berdasarkan strata atau kedalaman
penambangan, pengaturan izin usaha kelompok atau asosiasi atau kemiteraan,
jenis atau nama bahan galian, pemberian izin terpisah dan tunggal, sistim
nasional atau otonomi.

9
 Ketentuan lain yang terdiri atas lama berlaku izin usaha, luas wilayah
pertambangan dan pemindahan kepemilikan.

Analisis Hukum Putusan Kasus Pidana Mengenai Permasalahan


Pertambangan Ilegal
A. Peristiwa
Seseorang bernama Guswandra melakukan kesepakatan dengan Asril
untuk melakukan penambangan emas tanpa izin. Dalam kesepakatan ini,
Guswandra bersedia menyediakan alat berat berupa escavator, sementara
Asril menyediakan lokasi yaitu di Sawah Gadang Jorong Rantau Jambu
Kenagarian Koto Tuo, Kecamatan IV Nagari, Kabupaten Sijunjung serta
menyediakan alat penambang lainnya dan tenaga kerja. Setelah
kesepakatan, kemudian Guswandra meminjam alat escavator pada Jhon
Reflita yang merupakan pemilik CV Bara Mitra Kencana yang bergerak di
bidang sewa-menyewa alat berat. Sementara Asril menyediakan tenaga kerja
sebanyak 4 orang, yaitu Yolan, Yos, Restu, Yandi dan alat lain berupa
mesin dompeng, box/kotak untuk menampung tanah, dan karpet untuk
menyaring tanah. Kemudian pada hari Sabtu tanggal 28-30 September 2013
, Guswandra bersama Asril memerintahkan pekerja dan operator alat
beratnya untuk melakukan penambangan emas tanpa izin.
Namun kemudian, pada 01 Oktober 2013, Elwis, Lovan, dan
Zulhandi yang merupakan anggota Kapolres melakukan razia penertiban
Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) melakukan pengamanan escavator,
box/kotak, serta karpet yang disembunyikan tidak jauh dari lokasi
penambangan emas milik Guswandra. Sehingga pada hari kamis tanggal 07
November 2013, Guswandra ditangkap dengan dugaan melakukan
penambangan emas tanpa izin.
B. Dakwaan PU
Di persidangan, terdakwa Guswandra didakwa oleh penuntut umum
dengan dakwaan umum dengan dakwaan tunggal, yaitu: Pasal 158 Undang-
Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

10
C. Putusan Pengadilan Negeri
Setelah perkara diperiksa di persidangan Pengadilan Negeri Sawahlunto
dan kemudian perkaranya diputus dengan putusan No. 02/Pid.B/2014/PN.SWL
tanggal 13 Januari 2014 dengan pertimbangan dakwaan yang terbukti, dan amar
putusan selengkapnya sebagai berikut:
a) Menyatakan terdakwa GUSWANDRA Pgl. AGUS Bin SAIDI telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Secara bersama-sama melakukan usaha penambangan tanpa Izin Usaha
Pertambangan (IUP)”;
b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa GUSWANDRA Pgl. AGUS Bin
SAIDI dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar
Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut
tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
c) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan;
d) Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
e) Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) unit alat berat berupa excavator merk Hitachi warna orange;
type/jenis ZX 210 MGF No. AUK 2-0077931;
“Dikembalikan kepada pemiliknya saksi Jhon Reflita;
- Emas urai yang dibungkus dengan kain warna hitam yang diikat
karet dengan berat bersih 7,77 (tujuh koma tujuh puluh tujuh) gram;
“Dirampas untuk Negara”
- 2 (dua) buah karpet yang digunakan untuk kegiatan penambangan
mineral jenis emas tanpa izin;
“Dirampas untuk dimusnahkan”
f) Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar
Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).
D. Analisis
Dalam peristiwa di atas, dapat dilihat bahwa sistem perumusan pidana
penjara pada UU Minerba mayoritas dirumuskan secara kumulatif dengan
pidana denda, sedangkan pidana kurungan dirumuskan secara alternatif dengan

11
pidana denda. Sistem pengancaman pidana ini tidak mengenal pidana minimum
khusus tetapi ancaman pidana maksimum khusus. Untuk pidana penjara paling
lama 10 tahun, untuk pidana kurungan paling lama 1 tahun, dan untuk pidana
denda paling banyak 10 miliar. Selain itu, pemberatan ancaman pidana bagi
badan hukum berupa pemberatan 1/3 kali dari ketentuan maksimum pidana
denda yang dijatuhkan. Namun demikian, sistem denda sulit diimplementasikan
dalam praktik dan bersifat imperatif karena UU Minerba tidak mengatur
mengenai aturan pelaksanaan pidana. misalnya seperti kasus di atas, hakim
menjatuhkan pidana denda 3 juta, tetapi karena tidak mau atau tidak mampu
membayarnya, maka pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana
kurungan selama 2 bulan. Oleh karena UU tersebut tidak mengatur jika denda
tidak dibayar oleh pelaku, maka yang berlaku sesuai dengan hubungan antara
ketentuan umum Buku I KUHP mulai Pasal 1 sampai 85 dengan perundang-
undangan pidana di luar KUHP, adalah Pasal 30 KUHP, yakni pidana kurungan
pengganti denda paling lama 6 bulan, sebanyak-banyaknya 8 bulan. Contoh
kasus lain yang terjadi pada putusan kasus Nomor 112/Pid.B/2012/PN.MR, pada
kasus ini terdakwa dijatuhi pidana penjara 6 bulan, ditambah denda 2 juta,
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan
pidana kurungan selama 2 bulan. Dalam putusan lain Nomor 55/Pid.B/2014/PN
Bko, terdakwa I dan terdakwa II dijatuhi pidana masing-masing selama 1 tahun
dan terdakwa III pidana penjara 8 bulan dengan denda masing-masing 500 ribu
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana
kurungan masing-masing 1 bulan.
Dengan logika seperti ini, maka pelaku usaha lebih memilih kurungan
daripada harus membayar denda. Tidak diaturnya aturan pelaksanaan pidana
juga mengandung masalah apabila yang dinyatakan bersalah adalah badan
hukum. Karena tidak mungkin perusahaan dijatuhi pidana kurungan untuk
mengganti pidana denda. Ketentuan pidana di atas sekalipun diorientasikan pada
jaminan perlindungan hak atas rasa aman tetapi justru dilanggar oleh negara
karena membuat regulasi terkait entitas bisnis pertambangan yang tidak dapat
dilaksanakan

12
4. BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Di Indonesia, negara diberi kewenangan untuk menguasai sumber daya
mineral dan batubara. Kewenangan negara dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi meliputi membuat kebijakan (beleid) dan pengurusan
(bestuursdaad); pengaturan (regelendaad); pengelolaan (beheersdaad); dan
pengawasan (toezichthoudensdaad). Dalam hal kewenangan demi
tercapainya penegakan hukum, negara membuat beberapa peraturan
nasional baik berupa UU, peraturan pemerintah, maupun keputusan
menteri yang mengatur tentang pertambangan. Untuk pencapaian
penegakan hukum terhadap masalah-masalah pertambangan khusunya
pertambangan liar harus dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa,
termasuk bidang penegakan hukum pidana. Pengaturan khusus mengenai
sanksi pidana bagi kegiatan pertambangan yang berhubungan dengan
lingkungan terdapat dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
2. Dalam rangka mengoptimalkan upaya penanggulangan aktivitas
penambangan ilegal, maka dapat dilakukan melalui penerapan upaya
penalti meliputi penerapan sanksi pidana terhadap pihak-pihak yang
terlibat dalam aktivitas pertambangan ilegal sesuai dengan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan maupun non penalti dengan
mendorong pemerintah untuk meningkatkan upaya pembinaan,
pengawasan dan pengendalian pengelolaan kegiatan usaha pertambangan
serta mengubah pola pikir masyarakat dalam melaksanakan aktivitas
penambangan melalui program kemitraan usaha dengan perusahaan
pemegang izin usaha pertambangan, sehingga mampu mendorong
terlaksananya good mining practice yang berwawasan lingkungan hidup.

13
3. Sistem perumusan pidana penjara pada UU Minerba mayoritas dirumuskan
secara kumulatif dengan pidana denda, sedangkan pidana kurungan
dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda. Sistem pengancaman
pidana ini tidak mengenal pidana minimum khusus tetapi ancaman pidana
maksimum khusus. Selain itu, sistem denda sulit diimplementasikan dalam
praktik dan bersifat imperatif karena UU Minerba tidak mengatur
mengenai aturan pelaksanaan pidana. yakni ketika hakim memutuskan
pidana denda, pidana tersebut dapat dapat diganti dengan pidana kurungan
apabila tidak mau atau tidak bisa membayar sejumlah pidana denda yang
diputuskan.

14
5. DAFTAR PUSTAKA

IESR. Pertambangan Ilegal di Indonesia dan Permasalahannya


http://iesr.or.id/files/Pertambangan%20Ilegal%20di%20Indonesia.pdf
Larasati Ayu Maulidina, 2015. Penegakan Hukum Terhadap Pertambangan
Emas Ilegal di Aceh Selatan. https://www.academia.edu/ (Diakses pada
tanggal 8 November 2019)
Mancayo Andiko, 2017. Tambang Rakyat Anak Tiri Pertambangan Nasional.
https://www.academia.edu/ (Diakses pada tanggal 8 November 2019)
https://republika.co.id/berita/pwhhlm383/penambangan-ilegal-marak-
pemerintah-diminta-bertindak-tegas.

1hizkia
Kondisi keadaan ekonominya, uuno 4 thun 2009’
Keadaan ekonominya

2. mengkaji ulang , melakukan pelatihan.

15

Anda mungkin juga menyukai