APENDISITIS
Diajukan guna memenuhi nilai tugas Kepaniteraan Senior di Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
Salma Melati Pertiwi
22010118220089
Pembimbing :
dr. Muryanto, Msi. Med, Sp. B
1
HALAMAN PENGESAHAN
Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan Senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
2
BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.1 Apendiks disebut juga umbai
cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang
tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum. Sampai saat ini belum
diketahui secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering
sekali menimbulkan masalah kesehatan.2
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit.
Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks
menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen
dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut,
tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisits. Di dalam apendiks juga
terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif terhadap infeksi
(berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam
apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat
pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.1
Kejadian apendisitis di Indonesia menurut Kementrian Kesehatan RI pada tahun
2009 sebesar 596.132 orang dengan presentasi 3.36% dan meningkat pada tahun 2010
menjadi 621.435 orang dengan presentase 3.53%. Apendisitis termasuk penyakit tidak
menular tertinggi kedua di Indonesia pada rawat inap di rumah sakit pada tahun 2009 dan
2010.3
Apendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan
dan dapat mengenai semua kelompok usia, serta masih menempati prevalensi tertinggi dari
akut abdomen lain dibidang bedah yang memerlukan operasi segera baik di negara
berkembang maupun maju. Semua kasus appendisitis memerlukan tindakan pengangkatan
dari appendiks yang terinflamasi, baik dengan laparotomi maupun laparoskopi. Oleh sebab
itu apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi,
terutama disebabkan karena peritonitis dan syok.4
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.1 Apendisitis akut menjadi
salah satu pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri perut atau pasien yang
menunjukkan gejala iritasi peritoneal. Apendisitis akut adalah frekuensi terbanyak
penyebab persisten, progressive abdominal pain pada remaja. Belakangan ini
gejalanya kadang-kadang dibingungkan karena akut abdomen dapat menyerang
semua usia. Tidak ada jalan untuk mencegah perkembangan dari apendisitis.
Satusatunya cara untuk menurunkan morbiditas dan mencegah mortalitas adalah
apendiktomi sebelum perforasi ataupun gangrene.5
2.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya turun
secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada
semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden
tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada lelaki
dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insiden lelaki
lebih tinggi.3
2.3 ANATOMI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm,
dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insidens apendisitis pada usia itu.4
2
torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus.4
3
Secara histologis, appendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti
usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa
maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama.
Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh
darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak
retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.7
Histologis:
- Tunika mucosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.
- Tunika submucosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika muscularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale
( gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.
- Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum
viscerale
4
2.4 FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.1
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari
sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran
cerna termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.4
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu
setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan
kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan
lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.7
2.5 ETIOLOGI
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi,
terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak
faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks,
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat
menyebabkan sumbatan.8 Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan
faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah
timbulnya apendisitis akut.4
5
2.6 PATOFISIOLOGI
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.8
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks
yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20.
Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangrene atau terjadi perforasi.7
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.4
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.1
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.4
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang
6
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang.4
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.4
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.7
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus
yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus
tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses
melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).8
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.4
2.7 GEJALA KLINIS
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain9
1. Nyeri abdominal
7
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium
atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di
abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi
perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut
pada saat berjalan atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi
biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis
diketahui setelah terjadi perforasi.
8
Infiltrat
Tidak berhasil demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik
Berhasil Keadaan umum berangsur membaik
Abses demam remiten, keadaan umum toksik,
keluhan dan tanda setempat
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak
jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat
didiagnosis setelah perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah
nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan
trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut
sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.9
9
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang
ada nyeri pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,
berjalan, batuk, mengedan.
Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya
penonjolan di perut kanan bawah.
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12.
Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok
dubur.9
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak
dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang
meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji
obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan
menimbulkan nyeri.
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan
kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada
pinggul / pangkal paha kanan.4
Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).
10
Rovsing’s sign. Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini
menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif pada appendisitis akut namun
tidak spesifik.7
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan.
Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada
sisi samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam.
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak
denhgan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.7
11
2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium10
a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan
kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-
reaktif protein meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan
meningkat.
b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di
dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
2. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis
pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai
metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis khronis. Dimana
akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai
penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.11
5. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
12
6. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan dalam
abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan
tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga
dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.11
7. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk
diagnosis appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai
gambaran histopatologi appendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi appendisitis
akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut
pada orang yang tidak dilakukan operasi. Riber et al, pernah meneliti variasi
diagnosis histopatologi appendisitis akut. Hasilnya adlah perlu adanya
komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli
bedahnya.12
Sistem skor Alvarado
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan
gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua
dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami,
suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan
angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30%.
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah
membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk
menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang
bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif. Alvarado tahun 1986
membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua
temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan
untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini
menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau
13
vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan ,
temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan
kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya
masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan
jumlah skor 10.13
14
2.10 DIAGNOSIS BANDING14
1. Gastroenteritis
2. Limfadenitis mesenterica
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang
anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi
insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang
membingungkan.
4. DHF
5. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua
organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau
adnecitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat
15
kontak sexual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri
perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada
colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri.
6. Kehamilan ektopik
7. Diverticulitis
2.11 PENATALAKSANAAN
16
perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal,
secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode
terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney
banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak
jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan
ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan.
Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus
meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.11
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
b. Intubasi
17
c. Antibiotik
2. Terapi bedah
18
2.12 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan lekuk usus halus.14
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.
Prognosis
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R &de Jong W, 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2, Jakarta, EGC,
Jakarta.
2. Pusat Data Dan Informasi Kesehatan, 2012, Buletin Jendela Data & Informasi
Kesehatan Penyakit Tidak Menular,JakartaKementerian Kesehatan RI.
3. http://www.bedahugm.net/Bedah-Digesti/Apendik/Epidemiologi.html
4. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
5. http://www.medicinenet.com/appendicitis/
6. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR.
Surabaya.
7. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-
Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
8. Anonim, 2005. Appendix. PathologyOutlines. http://www.patholoyoutlines.com
9. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
10. Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis
Akut. Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
11. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.
www.emedmag.com
12. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy
of Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas
.http://www.aafg.org
13. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah Digestif”,
dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima. Media
Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.
14. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services.
National Institute of Health. NIH Publication No. 04–4547.June 2004.
www.digestive.niddk.nih.gov
21