PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibnu Sina merupakan ilmuan yang memiliki kemampuan yang
setara dalam bidang ilmu, khususnya filsafat dan kedokteran.
Kegigihannya dalam menuntut ilmu telah terlihat dari kecil sehingga Al-
Qur’an dapat dihafal saat ia berusia 10 tahun. Selain itu ia juga
mempelajari ilmu agama seperti tafsir, fikih dan tasawuf. Ia juga berhasil
dalam menguasai ilmu-ilmu tersebut. Ibnu sina dikenal sebagai orang yang
tekun dan cerdas. Ia menguasai ilmu kedokteran dalam waktu satu
setengah tahun tanpa bimbingan seorang guru.
Sebagai ilmuan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan buah
pemikirannya dalam karangannya yang berjumlah 276 buah. Karya-karya
Ibnu Sina yang terkenal dalam filsafat adalah As-Shifa, An-najat, dan Al-
Isyarat. Kualitas karyanya begitu luar biasa. Selain itu juga, ia banyak
menulis karangan-karangan pendek yang disebut Maqallah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagimana riwayat hidup Ibnu Sina?
2. Apa saja karya-karya Ibnu Sina?
3. Bagaimana filsafat Ibnu Sina?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui riwayat Ibnu Sina
2. Mengetahui karya-karya Ibnu Sina
3. Mengetahui filsafat Ibnu Sina
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Mukhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, Yogyakarta, Narasi, 2008 hlm 89.
2
religius daripada beberapa filsof pendahulunya, karena untuk menyebut
Tuhan tidak lagi menggunakan kata menurut sebutan tradisonal, tetapi
menggunakan sebutan filsafat, yakni ada wajib. Akan tetapi, ada juga yang
menuduh Ibnu Sina terlalu Aristoteles sentrisme.
2
Anawati, Essai de Bibliographie Avicenniene, dalam buku Majid Fakhri, Ibid, 193.
3
baik didunia timur maupun barat. Karya ini merupakan ensiklopedia
studi islamic-Yunani pada abad ke-11, yang ia susun dari logika samoai
matematika dan metafisika.
4
dan Tahshil As-Sa’adah. Puisi terpentinggnya adalah Al-Urjuzah fi Ath-
Thibb. Al-Qoshidah Al-Muzdawiyyah dan masih banyak karya lain yang
ditulis dalam bentuk puisi ke dalam bahsa Persia.
1. Filafat Emanasi
Filsafat emanasi atau al faidh adalah teori pancaran tentang
penciptaan alam, yang mana alam mini maujud karena limpahan dari
yang Maha Esa (The One). Ibnu sina sepertinya mengalami kesulitan
dalam menjelaskan masalah ini, yaitu bagaimana terjadinya alam yang
bersifat materi berasal dari Allah yang imateri dan Maha Sempurna.
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan ia
adalah penggerak pertama (Prime Cause).
Sebenarnya teori emanasi ini bukanlah berasal murni dari hasil
renungan ibnu sina. Tetapi berasal dari Neoplatanisme yang
5
menyatakan hal ini terjadi (Wujud Alam) padahal pancaran dari Yang
Esa. Kemudian ibnu sina mengambil kaidah filsafat Plotinus yang
menyatakan bahwa “Dari yang satu hanya satu yang melimpah”.3
Dengan demikian, dapat dipahami berarti tuhan bergerak dari dokrin
spekulatif filsafat yunani telah bergeser menjadi Tuhan Pencipta dari
sesuatu yang sudah ada secara pancaran.
Bila di cermati secara seksama, filsafat emanasi ibnu sina tidak
jauh berbeda dengan emanasi menurut Al-farabi, bahwa dari tuhan
memancarkan akal pertama, dan dari kal pertama memaacarkan akal
kedua dan seterusnya, Sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi.
Dari akal kesepuluh memancarkan segala apa yang terdapat di bumi
yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah melaikat tertinggi
dan akal kesepuluh adalah malaikat jibril. 4
Proses pelimpahan tersebut menurut ibnu sina adalah bahwa Allah
memikirkan tentang diri-Nya, maka melimpahkan akal pertama yang
mengandung dalam dirinya ke-jamaan potensial, yaitu anatar mungkin
dan wajid, ia mungkin dari segi zatnya dan wajib dari segi wujudnya
yang nyata, karena ia memikirkan asalnya (Allah) maka melimpahkan
dirinya akal kedua dan dari segi memikirkan zatnya.
Berbeda dengan al farabi yang berpendapat, bahwa akal pertama
itu mempunyai satu sifat, yaitu wujud. Dan setiap wujud hanya
melahirkan dua macam, yaitu wujud berikutnya dan langit atau planet.
Ibnu sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat,
yaitu sifat wajib wujud pancaran dari tuhan dan sifat mungkin wujud,
jika ditinjau dari hakekatnya.5 Dengan demikian ia mempunyai tiga
obyek pemikiran, yaitu Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya.
Berasal dari pemikiran tentang Tuhan timbullah akal-akal dari
pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-
langit.
Jadi ketika akal pertama berfikir, maka memancarkan akal
selanjutnya, sekaligus juga memancarkan dua wujud lainnya (bukan
satu sebagaimana pendapat alfarabi). Bila dicermati teliti, perbedaan
yang mendasar antara teori emanasi platinus dengan ibnu sina, juga al-
farabi, ialah: bagi platinum ala mini hanya terpancar dari tuhan, yang
mengesankan tuhan bukan tidak sebagai pencipta dan tidak aktif. Hal
ini juga ditangkap secara metafora yang ia gunakan adalah bagaimana
mentari memancarkan sinarnya. Sedangkan dalam islam, emanasi ini
ada dalam rangka menjalankan cara tuhan menciptakan alam. Ala
mini sudah bersifat kholik. Kekhalikan tuhan ini mesti di imani
3
De Boer J.T. Tarikh Al-falsafah Fi Islam. Terjemahan Ke Dalam Bahasa Arab Oleh Muhamad
Abdul. Lajna Al Ta’lif wa Al Tarjmah. Kairo.
4
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992.
6
seutuhnya oleh setiap muslim. Bagi orang yang mengingkarinya dapat
membawa kekafiran.
Oleh karena itu, dalam islam Tuhan bersifat aktif maka secara
metafora yang mengakibatkan bagi mereka dengan sinarnya
merupakan ibarat yang dapat menyesatkan. Sejalan dengan filsafat
emanasi, ala mini qadim, karena ia diciptakan oleh allah sejak zaman
azali. Terdapat perbedaan pendapat tentang qodimnya Tuhan dengan
alam.perbedaannya terdapat pada sebab pembuatan alam terwujud.
Keberadaan alam tidak di ketahui oleh zaman, maka alam qadim dari
segi zaman .6
2. Filsafat Jiwa
Ibnu sina memberi perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan
kejiwaan. Pengaruh ibnu sina soal kejiwaan tidak boleh di remehkan,
Baik pada dunia pikir arab sejak abad kesepuluh masehi sampai akhir
abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas
Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya
tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham
pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama
memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya
sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh
memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah
bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh
adalah Jibril.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum
mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa
hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang
mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti
bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh
karena itu mereka berpendapat: Tiada yang berwujud selain dari Allah
swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain
itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan
bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya,
sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan tidak ada.
Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-
wujud (kesatuan wujud), dalam arti wuju bayangan bergantung pada
wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada;
bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang
punya bayangan.
Segi-segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat
dibagi menjadi dua segi yaitu:
6
Zar,Sirajuddin. Filsafat Islam. IAIN Iman Bonjol Press. Padang. 1999.
7
1) Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa
(jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan
kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan
pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa
yang sebenarnya.
2) Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat
jiwa, pertalianjiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang
tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia
timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat
menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak
mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat
pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir,
jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya
badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.7
Jiwa (al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai derivatnya dan atas dasar
tingkatan daya -daya tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa (al-
nufus al-tsalatsah)
7
Harun Nasution, Falsafat Opcit , hal 34
8
Al-Ghazali, Madarij Al-Salikin , (Kairo : Tsaqofah al-Islamiyah, 1964), hlm. 16
8
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam
jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang b erpengaruh
pada dirinya, maka orang itu berpengaruh pada dirinya, maka
orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manusia
mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat
menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan.
3 Filsafat Ketuhanan
9
min al-kharaj) dengan pancaindra, menangkap dari dalam (al-
murdikah min al-dakhil).
3. Jiwa manusia (al-nafs al-natiqah) dengan dua daya: praktis (al-
amilah; practical) yang hubungannya dengan badan, dan teoritis
(al-‘alimah atau al-nazariyah; theoritical) yang berhubungan
dengan hal-hal abstrak.
4. Filsafat Nabi
Berdasarkan keterangan di atas, akal mempunyai empat
tingkat. Tingkat yang terendah diantaranya adalah akal materi atau al-
aql al-alhayulan. Ada kalanya tuhan menganugerahkan kepada
10
manusia akal materi yang besar dan kuat, yang oleh Ibn Sina
dinamakan al-hads, yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal meteril
serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan
mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari tuhan. Akal seperti ini mempunyai
daya suci (quwwah qudsiyah). Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat
diperoleh manusia dan terdapat hanya pada Nabi-nabi.9 Ibn Sina
bukan hanya mengakui adanya nabi dan rosul serta kenabian dan
kerosulan, melainkan menegaskan pula bahwa para nabi dan rosul
lebih tiinggi daripada fisuf.
9
Maftukhin, Filsafat Islam, Penerbit Teras, Depok Sleman Yogyakarta, 2012, hlm. 108-113
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
12
Daftar Pustaka
Nasution, H 1992. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta : Bulan dan
Bintang.
13