Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN

PENGARUH AIA TERHADAP PROSES


ABSISI DAUN Coleus sp.

Disusun Oleh :

Gilang Noval Abdillah

Pendidikan Biologi Unggulan

13030204041

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jaringan tumbuhan dapat mengalami proses penuaan dengan berbagai cara, salah
satunya yaitu proses absisi. Absisi adalah suatu proses secara alami terjadinya
pemisahan bagian/organ tanaman dari tumbuhan, seperti daun, bunga, buah atau
batang. Dalam proses absisi faktor alami seperti dingin, panas kekeringan akan
mempengaruhi proses absisi yang terjadi. Dalam hubungannya dengan hormon
tumbuh, hormon ini akan mendukung atau menghambat proses tersebut.
Salah satu tumbuhan yang mudah mengalami absisi daun adalah iler atau Coleus sp.
Tanaman ini tumbuh subur di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1500 m di atas
permukaan laut (dpI). Coleus memiliki batang yang tegak dan merayap dengan tinggi
berksiar 30—150 cm, mempunyai penampang batang berbentuk segiempat. Daun
Coleus berbentuk hati dan pada setiap tepi daun dihiasi oleh jorong-jorong atau lekuk-
lekuk tipis yang bersambungan dan didukung oleh tangkai daun dan memiliki warna
yang beraneka ragam.
Absisi daun Coleus sp. dipengaruhi oleh aktivitas hormon yang berperan dalam
senesensi tumbuhan, yaitu asam absisat atau ABA dan etilen. Berlawanan dengan etilen
dan ABA, tumbuhan juga memiliki hormon pertumbuhan yang berpengaruh dalam
merangsang pertumbuhan yaitu auksin. Dalam tubuh tumbuhan, auksin terdapat
dalam bentuk AIA atau asam indol asetat yang terdiri atas cincin benzena aromatis dan
gugus karboksil (-COOH)\ (Salisbury, 1992).
Pada eksperimen ini penulis melakukan percobaan tentang Pengaruh AIA terhadap
Proses Absisi Daun pada Coleus sp. untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh AIA
terhadap proses absisi daun Coleus sp., khususnya kecepatan proses absisinya.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh AIA terhadap proses absisi daun pada Coleus sp.?

C. Tujuan
Mengetahui pengaruh AIA terhadap proses absisi daun pada Coleus sp.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Coleus sp.
Coleus sp. atau iler memiliki batang yang tegak dan merayap dengan tinggi
berksiar 30—150 cm, mempunyai penampang batang berbentuk segiempat. Daun
tanaman iler berbentuk hati dan pada setiap tepi daun dihiasi oleh jorong-jorong atau
lekuk-lekuk tipis yang bersambungan dan didukung oleh tangkai daun dan memiliki
warna yang beraneka ragam. Bunganya berbentuk untaian bunga bersusun dan muncul
pada pucuk tangkai batang. Coleus sering tumbuh liar di pematang sawah, atau di tepi-
tepi jalan. Namun, ada juga yang sengaja menanamnya sebagai tanaman hias atau
tanaman pagar. Tanaman ini tumbuh subur di daerah dataran rendah sampai
ketinggian 1500 m di atas permukaan laut (dpI.) Tanaman iler mengandung senyawa
kimia yang bermanfaat di antaranya: alkaloid, etil salisilat, metil eugenol timol,
karvalenol dan mineral.

B. Senesensi dan Absisi


Senesensi adalah proses penuaan pada organ tumbuhan yang menuju ke arah
kematian. Senesensi adalah proses hormonal yang dikendalikan oleh zat pengatur
tumbuhan (ZPT), yaitu asam absisat (abscissic acid atau ABA) dan etilen. Keberadaan
dua hormone ini dalam suatu tanaman memicu terjadinya senesensi yang dapat salah
satunya diindikasikan oleh proses pengguguran daun atau absisi daun. Secara
etimologis, absisi berasal dari ab yang artinya “jauh” dan scindere yang artinya
“memotong”. Proses absisi ini mengacu pada gugurnya satu atau lebih bagian organ
tanaman, seperti daun, buah, bunga, atau biji. Tumbuhan akan mengalami absisi pada
organ yang tidak lagi dibutuhkan untuk membantunya bertahan hidup secara efektif
sekaligus meningkatkan produktivitas (Salisbury, 1992), misalnya absisi daun saat
musim gugur, absisi bunga untuk kepentingan polinasi ataupun absisi buah untuk
pemencaran biji. Tumbuhan evergreen, seperti Gymnospermae umumnya
menggugurkan daunnya secara teratur sedangkan tumbuhan semusim menggugurkan
daunnya sebelum musim dingin. Mekanisme struktural terjadinya absisi adalah sebagai
berikut :
1. Kekurangan Klorofil
Reduksi jumlah klorofil pada daun akibat paparan sinar matahari
menyebabkan daun menguning. Berkurangnya jumlah pigmen hijau daun turut
memegang peran dalam proses absisi
2. Mekanisme Kimiawi
Tumbuhan menghasilkan beberapa oksigen reaktif, misalnya hydrogen
peroksida (H2O2), akibat tekanan biotik dan abiotik, termasuk sinar UV, temperatur
rendah, pathogen, parasit, ataupun salinitas yang tinggi. Produksi hidroksil radikal
ini akan menyebabkan gangguan homeostasis pada metabolism seluler dan
perusakan dinding sel (Sakamoto, 2008).
3. Pengaruh Hormon
Auksin sebagai hormon tumbuh (disebut juga AIA atau asam indol asetat)
dan etilen berpengaruh terhadap regulasi sinyal absisi. Dua senyawa ini bekerja
dalam mekanisme yang sinergis. Saat AIA menurun, fluks AIA yang menuju zona
absisi berkurang. Berkurangnya suplai AIA ini menyebabkan zona absisi menjadi
sensitif terhadap etilen.
Saat tumbuhan terkonsentrasi pada hormon etilen, gen mengekspresikan
enzim selulose dan poligalakturonase yang berfungsi mendegradasi dinding sel.
Enzim yang mengaktifkan etilen ini ditemukan berada dalam area promoter
(Sakamoto, 2008). Hormon asam absisat yang diyakini menstimulasi absisi terbukti
tidak memegang peranan dominan dalam proses ini.

C. Asam Absisat
Asam absisat lebih dikenal dengan sebutan ABA. ABA merupakan zat pengatur
tumbuh berupa hormon yang berperan dalam pengontrolan organisme. ABA
merupakan hormon yang sering memberi isyarat kepada organ tumbuhan akan
datangnya keadaan rawan fisiologis. Keadaan rawan tersebut antara lain adalah kurang
air, tanah bergaram, suhu dingin atau panas. Asam Absisat (ABA) sering menyebabkan
timbulnya respon yang membantu melindungi tumbuhan dari keadaan rawan tersebut.
Asam Absisat yang pertama kali dikenal adalah absisin I dan absisin II yang
menyebabkan gugurnya buah kapas.
Pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan Asam Absisat. ABA adalah
seskuiterpenoid berkarbon 15, yang disintesis sebagian di kloroplas dan plastid melalui
lintasan asam mevalonat (Salisbury dan Ross 1995). Reaksi awal sintesis ABA sama
dengan reaksi sintesis isoprenoid seperti gibberelin sterol dan karotenoid. Menurut
Crellman (1989) biosintesis ABA pada sebagian besar tumbuhan terjadi secara tak
langsung melalui peruraian karotenoid tertentu (40 karbon) yang ada di plastid. ABA
pergerakannya dalam tumbuhan sama dengan pergerakan gibberelin yaitu dapat
diangkut secara mudah melalui xilem floem dan juga sel-sel parenkim di luar berkas
pembuluh. bsisat. Secara umum, ABA banyak ditemukan pada tumbuhan
berpembuluh.

D. Auksin
Auksin adalah salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses
pertumbuhan dan perkembangan (growth and development) suatu tanaman. Auksin
ini mula-mula ditemukan oleh Darwin dengan melalui percobaan pengaruh
prototropisme (penyinaran) terhadap coleoptile. Pada saat penyinaran dilakukan
teradap coleoptile itu melegkung kearah datangnya sinar. Hal ini menunjukan adanya
mengontrol terhadap gerakan tanaman tersebut. Dalam tahun1919 Paal melakukan
suatu percobaan dengan memotong pucuk coleoptile yang membentuk curvature ini
menunjukan adanya carier yang berperan.
Went pad tahun 1928 menemukan suatu zat yang berperan dalam hubunganya
dengan phototropisme dan pertumbuhan lainnya yang dikenal dengan nama “auksin”.
Ia mengemukakan bahwa tidak ada pertumbuhan tanpa auksin dan seterusnya Kogl
dan kontermans dan Thymann mengemukakan bahwa Indole acetic acid (IAA) vadalah
suatu auksin. Di alam, stimulasi auxin pada pertumbuhan celeoptile ataupun pucuk
suatu tanaman, merupakan suatu hal yang dapat dibuktikan. Praktek yang mudah
dalam pembuktian kebenaran diatas dapat dilakukan dengan Bioassay method yaitu
dengan the straight growth tets dan curvature test.
Menurut Larsen (1944), Indoleacetaldehyde diidentifikasikan sebagai bahan auxin
yang aktif dalam tanaman, selanjutnya ia mengemukakan bahwa zat kimia tersebut
aktif dalam menstimulasi pertumbuhan kemudian berubah menjadi IAA.
Perubahan tersebut menurut Gordon (1956) adalah perubahan dari Trypthopan
menjadi IAA Tryptamine sebagai salah satu zat organik, merupakansalah satu zat yang
terbentuk dalam biosintesis IAA. Dalam hal ini perlu.dikemukakan pula bahwa
Tryptophan adalah zat organic terpenting dalam proses biosintesis IAA. Bahan organic
lain yaitu indoleacetonitrile, adalah bahan organic ynag dikemukakan dalam tanaman
famili Cruciferae dam merupakan zat yang dikelompokan kedalam auksin, Beberapa
senyawa yang disintesis para ahli kimia yang dapat menimbulkan respon fisiologi
seperti IAA, dianggap sebagai auksin.yang termasuk kedalam kelompok ini adalah
asam naftalenasetat (NAA), asam indolbutirat (IBA), asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-
D), asam 2,4,5- triklorofenoksi asetat (2,4,5-T) dan asam 2 metil-4-klorofenoksi asetat
(MCPA). Oleh karena tidak disintesis oleh tumbuhan, mereka bukan hormon tetapi
dikelompokkan dalam zat pengatur tumbuh.
1. Asam Indol Asetat
Asam Indolasetat atau yang lebih dikenal dengan sebutan AIA merupakan satu
jenis hormon pertumbuhan yang identik dengan Auksin. AIA berperan dalam
penambahan ukura sel, karena dapat menyebabkan sifat plastisitas dan elastisitas pada
sel, sehingga proses difusi berlangsung dengan cepat. AIA dapat memacu pemanjangan
akar pada konsentrasi yang sangat rendah. IAA adalah auksin endogen atau auksin
yang terdapat dalam tanaman. AIA berperan dalam aspek pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yaitu pembesaran sel yaitu koleoptil atau batang
penghambatan mata tunas samping, pada konsentrasi tinggi menghambat
pertumbuhan mata tunas untuk menjadi tunas absisi (pengguguran) daun aktivitas dari
kambium dirangsang oleh AIA pertumbuhan akar pada konsentrasi tinggi dapat
menghambat perbesaran sel-sel akar. Dua mekanisme sintesis AIA yaitu pelepasan
gugus amino dan gugus karboksil akhir dari rantai triphtofan. Enzim yang paling aktif
diperlukan untuk mengubah tripthofan menjadi AIA terdapat di jaringan muda seperti
meristem tajuk, daun serta buah yang sedang tumbuh.
Beberapa senyawa yang identik dengan AIA adalah Asam α-naftalenasetat
(NAA), asam 2,4-dikloroferoksiasetat. Namun kedua senyawa tersebut tidak disintesis
oleh tumbuhan sehingga hanya dikelompokkan sebegai zat pengatur tumbuh tanaman.
Cara kerja AIA terjadi secara mendadak, oleh beberapa ilmuwan menyatakan bahwa
pada pertumbuhan yang diinduksi AIA, potensial air dipertahankan tidak hanya lebih
negatif dari potensial air larutan sekitarnya, tapi juga lebih negatif dari pada potensial
air potongan auksin yang lebih mudah melentur, sehingga potensial tekanan yang
diperlukan untuk mendesak pemelaran sel yang tidak diberi auksin AIA
mengakibatkan pengenduran dinding, yang menjelaskan sifat mudah melar atau sifat
plastis dinding sel yang diberi auksin. Daun secara berkala gugur setelah melakukan
fungsinya untuk melakukan fotosintesis dan setelah kadar klorofil yang dikandungnya
berkurang. Selama proses pengguguran daun terlepas dari batangnya tanpa
menimbulkan kerusakan terhadap jaringan hidup di batang dan dipermukaan yang
baru terbuka itu untuk melindungi dari pengeringan dan infeksi. Pada sebagian besar
spesies, gugur daun, bunga atau buah didahului oleh pembentukan zona absisi
(pengguguran) atau lapisan absisi. Pada daun, zona ini terbentuk melintasi tangkai di
dekat pautannya dengan batang. Banyak daun majemuk juga membentuk zona
majemuk juga membentuk zona absisi di masing-masing anak daunnya. Zona absisi
terdiri dari satu lapis sel atau lebih sel parenkim berdinding tipis, yang berasal dari
pembelahan antiklinal melintasi tangkai.
Pada beberapa spesies, sel ini sudah terbentuk sebelum daun mencapai masa
dewasa. Tepat sebelum gugur, lamela tengah di antara beberapa sel tertentu di daerah
distal (daerah yang paling jauh dari batang) zona absisi sering tercerna. Pencernaan ini
melibatkan sintesis sejumlah enzim penghidrolisis polisakarida, yang terpenting adalah
selulase dan pektinase, yang kemudian dikeluarkan dari sitoplasma ke dinding sel.
Pembentukan enzim ini disertai dengan kenaikan cepat respirasi sel dibagian proksimal
zona absisi. Selanjutnya, lapisan sel proksimal bertambah besar ukurannya (panjang
dan diameternya), sedangkan sel di zona absisi, di bagian distal dari titik pematahan,
tidak memebesar.

2. Pembentukan AIA dalam Jaringan Tumbuhan


Jalur yang lebih disukai pada banyak spesies adalah melibatkan pemberian gugus
amino kepada asam α-keto lain dengan reaksi transminasi, membentuk asam indol
piruvat dan kemudian dekarboksilasi indolpiruvat membentuk indolasetaldehide. Pada
akhirnya indolasetaldehide dioksidasi menjadi IAA. Enzim yang mengkonversi
triptofan menjadi IAA, lebih aktif pada jaringan muda seperti meristem pucuk dan
daun sertabuah yang sedang tumbuh. Dua mekanisme sintesis IAA yaitu pelepasan
gugus amino dan gugus karboksil akhir dari rantai triphtofan. Enzim yang paling aktif
diperlukan untuk mengubah tripthofan menjadi IAA terdapat di jaringan muda seperti
meristem tajuk, daun serta buah yang sedang tumbuh.

E. Etilen
Kehilangan daun pada setiap musim gugur merupakan suatu adaptasi untuk
menjaga agar tumbuhan yang berganti daun, selama musim dingin tetap hidup ketika
akar tidak bisa mengabsorpsi air dari tanah yang membeku. Sebelum daun itu
mengalami absisi, beberapa elemen essensial diselamatkan dari daun yang mati, dan
disimpan di dalam sel parenkhim batang. Nutrisi ini dipakai lagi untuk pertumbuhan
daun pada musim semi berikutnya. Warna daun pada musim gugur, merupakan suatu
kombinasi dari warna pigmen merah yang baru dibuat selama musim gugur, dan
warna karotenoid yang berwarna kuning dan orange, yang sudah ada di dalam daun,
tetapi kelihatannya berubah karena terurainya klorofil yang berwarna hijau tua pada
musim gugur. Ketika daun pada musim gugur rontok, maka titik tempat terlepasnya
daun merupakan suatu lapisan absisi yang berlokasi dekat dengan pangkal tangkai
daun.
Sel parenkim berukuran kecil dari lapisan ini mempunyai dinding sel yang sangat
tipis, dan tidak mengandung sel serat di sekeliling jaringan pembuluhnya. Lapisan
absisi selanjutnya melemah, ketika enzimnya menghidrolisis polisakarida di dalam
dinding sel. Akhirnya dengan bantuan angin, terjadi suatu pemisahan di dalam lapisan
absisi. Sebelum daun itu jatuh, selapisan gabus membentuk suatu berkas pelindung di
samping lapisan absisi dalam ranting tersebut untuk mencegah patogen yang akan
menyerbu bagian tumbuhan yang ditinggalkannya Absisi diatur oleh perubahan
keseimbangan etilen dan auksin. Lapisan absisi dapat dilihat disini sebagai suatu
lapisan vertikal pada pangkal tangkai daun. Setelah daunnya gugur, suatu lapisan
pelindung dari gabus, menjadi bekas tempelan daun yang membantu mencegah
serbuan patogen. Suatu perubahan keseimbangan etilen dan auksin, mengontrol absisi.
Daun yang tua, menghasilkan semakin sedikit auksin; yang menyebabkan sel lapisan
absisi lebih sensitif terhadap etilen. Pada saat pengaruh etilen terhadap lapisan absisi
kuat, maka sel itu memproduksi enzim, yang mencerna sellulose dan komponen
dinding sel lainnya.
1. Etilen dan Permeablitas Membran
Etilen adalah senyawa yang larut di dalam lemak sedangkan memban dari
sel terdiri dari senyawa lemak. Oleh karena itu etilen dapat larut dan menembus ke
dalam membran mitokondria. Apabila mitochondria pada fase pra klimakterik
diekraksi kemdian ditambah etilen, ternyata terjadi pengembangan volume yang
akan meningkatkan permeablitas sel sehingga bahan-bahan dari luar mitochondria
akan dapat masuk. Dengan perubahan-perubahan permeabilitas sel akan
memungkinkan interaksi yang lebih besar antara substrat buah dengan enzim-enzim
pematangan.
2. Etilen dan Aktivitas ATP-ase
Etilen mempunai peranan dalam merangsang aktivitas ATP-ase dalam
penyediaan energi yang dibutuhkan dalam metabolisme. ATP-ase adalah suatu
enzim yang diperlukan dalam pembuatan energi dari ATP yang ada dalam buah.
Adapun reaksinya adalah sebagai berikut:
ATP ---------------- ADP + P + Energi
ATP-ase

3. Etilen sebagai “Genetic Derepression”


Pada reaksi biolgis ada dua faktor yang mengontrol jalannya reaksi. Yang
pertama adalah “Gene repression” yang menghambat jalannya reaksi yang berantai
untuk dapat berlangsung terus. Yang kedua adalah “Gene Derepression” yaitu faktor
yang dapat menghilangkan hambatan tersebut sehingga reaksi dapat berlangsung.
Selain itu etilen mempengaruhi proses-proses yang tejadi dalam tanaman termasuk
dalam buah, melalui perubahan pada RNA dan hasilya adalah perubahan dalam
sintesis protein yang diatur RNA sehingga pola-pola enzim-enzimnya mengalami
perubahan pula.
4. Interaksi Etilen dengan Auxin
Di dalam tanaman etilen mengadakan interaksi dengan hormon auxin.
Apabila konsentrasi auxin meningkat maka produksi ethylen pun akan meningkat
pula. Peranan auxin dalam pematangan buah hanya membantu merangsang
pembentukan etilen, tetapi apabila konsentrasinya etilen cukup tinggi dapat
mengakibatkan terhambatnya sintesis dan aktivitas auxin.
5. Produksi dan Aktivitas Etilen
Pembentukan etilen dalam jaringan-jaringan tanaman dapat dirangsang oleh
adanya kerusakan-kerusakan mekanis dan infeksi. Oleh karena itu adanya
kerusakan mekanis pada buah-buahan yang baik di pohon maupun setelah dipanen
akan dapat mempercepat pematangannya. Penggunaan sinar-sinar radioaktif dapat
merangsang produksi etilen. Pada buah Peach yang disinari dengan sinar gama 600
krad ternyata dapat mempercepat pembentukan etilen apabila dibeika pada saat pra
klimakterik, tetapi penggunaan sinar radioaktif tersebut pada saat klimakterik dapat
menghambat produksi etilen. Produksi etilen juga dipengaruhi oleh faktor suhu dan
oksigen. Suhu rendah maupun suhu tinggi dapat menekan produk si etilen. Pada
kadar oksigen di bawah sekitar 2 % tidak terbentuk etilen, karena oksigen sangat
diperlukan. Oleh karena itu suhu rendah dan oksigen renah dipergunakan dalam
praktek penyimpanan buahbuahan, karena akan dapat memperpanjang daya
simpan dari buah-buahan tersebut. Aktivitas etilen dalam pematangan buah akan
menurun dengan turunnya suhu, misalnya pada Apel yang disimpan pada suhu
30C, penggunaan etilen dengan konsentrasi tinggi tidak memberikan pengaruh yang
jelas baik pada proses pematangan maupun pernafasan. Pada suhu optimal untuk
produksi dan aktivitas etilen pada buah tomat dan apel adalah 320C, untuk buah-
buahan yang lain suhunya lebih rendah.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental, karena yang
diselidiki hubungan antar dua variabel, yaitu pengaruh AIA terhadap proses absisi
daun.

B. Variabel Penelitian
1. Variabel kontrol: jenis tanaman (Coleus sp.), kondisi tanaman, jumlah lamina, media
tanam, letak lamina, konsentrasi AIA
2. Variabel manipulasi: perlakuan yang diberikan, yaitu 1) pemberian lanolin, 2)
pemberian lanoloin + AIA
3. Variabel respon: waktu pengguguran tangkai daun

C. Alat dan Bahan


1. 2 pot tanaman Coleus sp. yang memiliki kondisi yang sama.
2. Lanolin
3. AIA 1 ppm dalam Lanolin (4 ml AIA 1 ppm dicampur dengan 10 gram lanolin)
4. Pisau atau silet
5. Label

D. Langkah Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Mengambil 2 buah pot tanaman Coleus sp. kemudian memotong satu pasang lamina
yang terletak paling bawah dan memotong satu pasang lamina yang terletak tepat di
atas lamina paling bawah
3. Mengolesi satu tangkai bekas potongan lamina dengan lanolin dan tangkai satunya
lanolin + AIA
4. Memberi tanda pada tangkai-tangkai tersebut agar tidak tertukar
5. Mengamati waktu gugurnya tangkai daun
6. Mencatat perbedaan waktu gugurnya daun pada dua pot tersebut.
E. Desain Eksperimen

Memotong satu pasang lamina yang terletak


paling bawah dan lamina yang terletak tepat di
atas lamina paling bawah
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Tabel
Tabel 1. Pengaruh AIA terhadap proses absisi daun Coleus scutellarioides
Gugur daun Pot 1 (Lamina paling bawah) Pot 2 (Lamina nomor 2 dari
pada hari ke- bawah)
AIA + Lanolin Lanolin AIA + Lanolin Lanolin
1
2
3 V
4 V
5 V
6 V
7
8
9
10

b. Grafik

0
Pot 1 Pot 2

Lanolin + AIA Lanolin

Grafik 1 Pengaruh AIA terhadap absisi daun Coleus scutellarioides


A. Analisis

Berdasarkan tabel dan histogram hasil pengamatan, dua pot Coleus sp. yang
diberi dua perlakuan berbeda, yaitu 1) pemberian lanolin, dan 2) pemberian campuran
lanolin + AIA, mengalami perbedaan waktu absisi daun. Indikasi proses absisi daun ini
ditandai dengan gugurnya tangkai daun yang laminanya telah dipatahkan sehingga
ujungnya dapat diolesi dengan larutan sesuai perlakuan, terhitung sejak waktu dimana
tangkai tersebut diberi dua perlakuan yang berbeda.

Pada pot pertama, Lamina paling bawah yang diolesi lanolin gugur pada hari ke
3 setelah pengolesan, sedangkan yang diolesi dengan AIA dalam lanolin gugur pada
hari ke 5 setelah pengolesan.
Pada pot kedua, Lamina nomer dua dari bawah yang diolesi lanolin gugur pada
hari ke 4 setelah pengolesan, sedangkan yang diolesi dengan AIA dalam lanolin gugur
pada hari ke 6 setelah pengolesan.
Menurut perbandingan waktu absisi daun tersebut, kedua pot menunjukkan
bahwa tangkai yang diolesi campuran AIA dalam lanolin gugur dalam waktu yang
lebih lambat daripada tangkai yang hanya diolesi lanolin. Perbandingan antara Lamina
paling bawah dan Lamina no 2 dari baawah menunjukkan bahwa Lamina paling bawah
mengalami pengguguran daun yang lebih cepat daripada lamina nomor dua dari
bawah baik pada pot 1 maupun pada pot 2, hal ini menunjukkan semakin bawah letak
daun maka semakin cepat proses absisi daun.

B. Pembahasan

Percobaan tentang pengaruh AIA terhadap proses absisi daun Coleus sp.
diberikan dua perlakuan berbeda, yaitu 1) diolesi lanolin, dan 2) diolesi campuran
lanolin + AIA, untuk diketahui kecepatan absisi daunnya. Gejala absisi yang diamati
dalam eksperimen ini adalah gugurnya tangkai daun yang laminanya telah dipotong
sehingga ujungnya dapat diolesi dengan dua perlakuan di atas.
Pemotongan Lamina Coleus sp. bertujuan untuk menghentikan produksi auksin
alami, yaitu AIA yang dihasilkan oleh pelepasan gugus amino dan gugus karboksil
akhir dari rantai triphtofan. Enzim yang paling aktif diperlukan untuk mengubah
tripthofan menjadi AIA terdapat di jaringan muda seperti meristem pucuk, daun, serta
buah yang sedang tumbuh. Dengan memotong lamina, diasumsikan bahwa produksi
auksin endogen terhenti, sehingga auksin eksogen yang diberikan dalam campuran
lanolin pada perlakuan ke-dua dapat berpengaruh secara signifikan dan reliabel
terhadap kecepatan absisi daun Coleus sp.
Penggunaan lanolin dalam eksperimen ini berguna untuk menutup luka akibat
pemotongan lamina daun sehingga jaringan yang terbuka tidak diinfeksi oleh bakteri.
Lanolin merupakan substansi lilin berwarna kuning yang disekresikan oleh kelenjar
sebaseous dari hewan berbulu wool, misalnya domba domestik. Pemberian lanolin juga
diyakini tetap memungkinkan jaringan untuk melakukan difusi atau pertukaran udara
(Barnett, 1986). Efek perlindungan dan penutupan luka oleh lanolin dapat bertahan
dalam lima hari berturut-turut dalam area olesan 4 mg/cm-2 (Hoppe, 1999) yang mana
jangka waktu perlindungan ini sangat memadai untuk proses absisi daun Coleus sp.
yang membutuhkan waktu 4 hari untuk semua perlakuan yang diberikan.
Berdasarkan data dari tabel dan histogram hasil percobaan dan analisis di atas,
hormon AIA berpengaruh terhadap peristiwa absisi pada daun Coleus sp. yaitu
menghambat atau memperlambat proses absisi. Perlakuan pertama pada pot 1 maupun
pot 2, yaitu pengolesan lanolin, menghasilkan proses absisi yang lebih cepat karena
tidak ada penghambat bagi aktivitas kerja hormon asam absisat (ABA) dan etilen. ABA
yang berperan dalam eksperimen ini adalah ABA endogen yang dihasilkan melalui
peruraian karotenoid tertentu (40 karbon) yang ada di plastid dan diangkut secara
mudah melalui xilem atau floem dan juga sel-sel parenkim di luar berkas pembuluh.
ABA endogen lebih efektif menggugurkan daun dibandingkan ABA eksogen
(Milborrow dalam Salisbury dan Ross, 1992:347) dengan mekanisme reduksi jumlah
klorofil, RNA, protein, dan enzim sehingga konstituen bahan organik yang dibutuhkan
dialihkan ke organ lain. Akibat kompetisi dan degradasi bahan organik yang
dibutuhkan sebagai senyawa pembangun, yaitu protein dan katalisnya yang berupa
enzim, tangkai daun mengalami deteriorasi dan akhirnya gugur.
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan eksperimen pengaruh AIA terhadap proses absisi daun Coleus
sp. dapat disimpulkan bahwa AIA berpengaruh dalam menunda atau menghambat
proses absisi daun. Absisi daun akan tertunda atau terhambat apabila jumlah auksin
yang berada di daerah distal lebih besar daripada jumlah auksin yang berada di
daerah proksimal.

B. Saran
Lakukanlah kegiatan praktikum dengan teliti dengan mengikuti prosedur
percobaan. Lakukan koordinasi dan kerjasama kelompok agar cepat dalam
penyelesaian melakukan praktikum dan untuk mengurangi kesalahan kerja. Olesi
luka pada tangkai daun dengan benar jangan sampai ada bagian yang tidak tertutup
oleh lanolin maupun lanolin + AIA.
DAFTAR PUSTAKA

Coder, Kim D. 1999. Falling Tree Leaves: Leaf Abscission. Georgia: School of Forest Resources,
University of Georgia
Dewi, Intan Ratna. 2008. Peranan dan Fungsi Fitohormon bagi Pertumbuhan Tanaman. Bandung:
Universitas Padjadjaran (makalah tidak diterbitkan)
G Barnett, Lanolin and Derivatives, Cosmetics & Toiletries, 1986, 101, 21-44
Gaur, B. K., dan Leopold, C. 1955. Plant Physiology: The Promotion of Abscission by Auxin Vol.
30 No. 6. Lafayette: Horticulture Department, Purdue University Indiana
Hoppe, Udo. 1999. The Lanolin Book. Published by Beiersdorf AG, Hamburg
La Rue, Carl D. 1936. The Effect of Auxin on the Abscission of Petioles. Michigan: Department of
Botany University of Michigan
Rahayu, Yuni Sri, dkk. 2014. Petunjuk Praktikum Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan.Surabaya:
Laboratorium Biologi UNESA.
Sakamoto, M., I. Munemura, R. Tomita, & K. Kobayashi (2008). Reactive oxygen species in leaf
abscission signaling. Plant Signal Behavior, 3(11), 1014-1015
Salisbury, F. B. & Ross, C. W. 1992. Plant Physiology. Wadsworth Publishing co, California.
Setiawan, Wawan A. _____ . Zat Pengatur Tumbuh. Lampung: Unila Press
Tjitrosomo.1987. Botani Umum 2. Penerbit Angkasa, Bandung.
LAMPIRAN

Gambar 1 tangkai yang diolesi lanolin


gugur lebih dahulu dibanding tangkai
yang diolesi AIA+lanolin

Gambar 2 tangkai yang diolesi lanolin Gambar 3 tangkai yang diolesi


pada tangkai paling bawah gugur lanolin+AIA pada tangkai paling
bawah belum gugur meski tangkai
lainnya sudah gugur

Anda mungkin juga menyukai