Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

MATA KULIAH TOKSIKOLOGI INDUSTRI


EFEK KESEHATAN DAN TOKSISITAS

Debby Wijayanti

2017. 030. 1180

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


KESEHATAN MASYARAKAT
BEKASI
2019
A. EFEK DAN MEKANISME TOKSIK
Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya.
Pengertian yang mendalam mengenai ciri-cirinya berguna untuk menilai bahayanya bagi
kesehatan, dan untuk mengembangkan upaya pencegahan dan terapi. Semua efek toksik terjadi
karena interaksi biokimiawi antara toksikan (dan/atau metabolitnya) dengan struktur reseptor
tertentu dalam tubuh. Struktur itu dapat bersifat non-spesifik, seperti jaringan yang berkontak
langsung dengan bahan korosif. Tetapi pada umumnya struktur itu spesifik, misalnya struktur
subseluler tertentu. Berbagai struktur, termasuk reseptor dapat juga dipengaruhi. Sifat efek
toksik pun dapat berbeda.
Mekanisme efek toksik dalam tubuh dimana bahan asing yang berasal dari luar tubuh
khususnya zat kimia dapat menimbulkan efek toksik ketika masuk kedalam tubuh.
Mekanismenya melalui 2 cara yaitu;
a. secara langsung (toksik intra sel) dan secara tidak langsung (toksik ekstra sel)
b. Toksik intra sel adalah toksisitas yang dimulai dengan interaksi langsung antara
zat kimia atau metabolitnya dengan reseptornya. Toksisitas ekstra sel terjadi secara tidak
langsung dengan mempengaruhi lingkungan sel sasaran tetapi dapat berpengaruh
pada sel .

Mekanisme efek toksik intrasel Mekanisme efek toksik ekstrasel


Terjadi secara langsung dimana zat Terjadi tidak secara langsung dimana zat
beracun (baik berbentuk zat kimia induk beracun akan berinteraksi di
maupun produk metabolit) akan langsung lingkunganluar sel
berinteraksi dengan dengan targe
tmolekuler yang khas maupun tidak
melalui salah satu mekanis mereaksi
(misalnya ikatan kovalen
dansubstitusi) di dalam sel, membran sel,
DNA, protein dan energi. sistem syaraf
dan sistem imun
.
B. EFEK KESEHATAN DAN TOKSISITAS
A. Efek Toksik dalam sistem sel
Efek pada elemen sel dapat terjadi mulai pada portal entri atau tempat kontak
seperti kulit, selaput lendir hidung, tenggorokan, trakea, bronkus, mulut,
esofagus, mata dan kulit. Kontak sedemikian dapat langsung atau tidak langsung
menimbulkan efek yang sangat ringan seperti iritasi, kemudian sensitasi, sampai
pada kerusakan yang hebat seperti kematian sel serta jaringannya. Iritasi
disebabkan karena terjadi reaksi antara zat racun dengan jaringan tubuh. Contoh
iritan adalah SO2 terhadap mata dan kulit, fenol, natruim/kalium hidroksida,
asam salisilat, berbagai gas air mata (klorpikrin, bromaseton, bromasetofenon,
klorasetofenon), berbagai debu yang dapat memasuki paruparu (penyakitnya
disebut Pneumoconiosis) dan tertimbun di dalamnya seperti silika, besi, asbest,
intrasit, Cobalt, bagasse, Barium, dll., akan menyebabkan terbentuknya fibrosis
atau jaringan ikat karena rusaknya sel paru-paru. Proses terjadinya
Pneumoconiosis adalah karena terjadinya fagositosis debu tadi oleh makrofag,
diikuti oleh lisis makrofag serta keluarnya enzim, dan terjadilah Pneumoconiosis.
Secara klinis penderita akan sesak napas, napas pendek, kapasitas kerja turun,
tetapi tidak disertai demam. Pemeriksaan sinar-X akan menunjukkan nodulasi
yang difus. Pneumoconiosis ini banyak ditemukan dalam industri, setelah bekerja
2-30 tahun, tergantung pada jumlah paparan. Pada kasus silika, penyakitnya
disebut silikosis, terjadi proses fibrosis yang progresif, sekalipun paparan
terhadap silika telah berhenti. Asbestos selain menimbulkan asbestosis juga dapat
merangsang terjadinya kanker paruparu ataupun kanker selaput paru-paru. Selain
itu pneumoconiosis di Indonesia sering disertai dengan komplikasi TBC, karena
banyaknya insidensi TBC.

B. Efek Pada Transpor Oksigen


Inhibisi pada transpor oksigen karena gangguan hemoglobin Hemoglobin
adalah pengangkut oksigen. Hemoglobin mengandung dua rantau α dan dua rantai
ß, serta 4 gugus heme, yang masingmasing berikatan dengan ratai polipeptida.
Masing-masing gugus heme dapat mengikat satu molekul oksigen secara bolak-
balik. Sebagian besar hemoglobin terdapat di dalam sel darah merah ”eritrosit”.
Gangguan pada hemoglobin dan sel darah merah akan menggagu transpor oksigen
bagi organisme tersebut, yang pada akhirnya akan menimbulkan efek yang tidak
dinginkan. Gangguan-gangguan ini mungkin melalui;
a. Keracunan karbon monoksida ”CO” Karbon monoksida mempunyai tempat
ikatan yang sama dengan oksigen pada heme. Kompleks hemoglobin dengan
karbon monoksida disebut karboksi hemoglobin. Kompleks ini menujukkan
kenendrungan ikatan yang lebih kuat dari pada ikatan oksigen pada heme.
Pendudukan CO pada heme berarati dapat menurunkan bahkan meniadakan
kemampuan eritrosit untuk mentranpor oksigen. Keracunan CO dapat
mengakibatkan dari efek perasaan pusing, gelisah sampai kematian.
b. Pembentukan methemoglobin dan sulfhemoglobin.
Methemoglobin adalah suatu hasil oksidasi hemoglobin yang tidak
mempunyai kemampuan lagi untuk mengangkut oksigen. Banyak zat, seperti
amina aromatik atau senyawa nitro aromatik yang dalam organisme direduksi
menjadi amina aromatik, sulfonamida, asetanilid, asam aminosalisilat,
nitrofurantion, primakuina, kinina atau nitrit, menyebabkan pembentikan
methemoglobin dari hemoglibin. Jika methemoglobin terbentuk dalam
jumlah sedikit makan di dalam eristrosit dapat direduksi kembali menjadi
hemoglobin. Tetapi jika jumlah methemoglobin naik sampai jumlah tertentu,
kemampuan regenerasi eristrosit tidak akan cukup dan dengan demikian
kemampuan darah untuk mentranspor oksigen akan berkurang dengan nyata.
Disamping methemoglobin, juga ada yang disebut sulfhemoglobin,
yang dengan methemoglobin menunjukkan kesamaan tertentu dan tidak
mempunyai kemampuan untuk mengangkut oksigen. Pembentukan
sulfhemoglobin terjadi jiika senyawa yang mengandung sulfur (contoh
sulfonamida) dan zat pembentuk methemoglibin (contoh asetanilid atau
turunannya) bersama-sama digunakan.

C. Efek Atas Dasar Gejala


Tidak ada satu nama penyakit yang disebabkan oleh satu racun saja, atau
sebaliknya banyak gejala dan kumpulan gejala yang sama dapat disebabkan oleh
banyak racun. Hal ini sangat berbeda dengan penyakit yang disebabkan
mikroorganisme yang kita kenal. Misalnya, Tiphus abdominales hanya disebabkan
Salmonella typhi atau TBC hanya disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosa.
Tetapi tidak menimbulkan penyakit yang spesifik seperti pada penyakit infeksi,
dimana ditemukannya mikroorganisme penyebab merupakan diagnostik yang
paling ampuh. Tetapi dalam hal keracunan, gejala yang sama dapat disebabkan oleh
zat yang berbeda. Misal yang dikenal sebagai Pneumokoniosis dapat disebabkan
oleh silika, asbest, dll. Jadi dapat disebut Pneumoconiosis akibat silika sehingga
disebut Silikosis. Tentu saja seorang dokter ahli paru akan dapat memperkirakan
fibrosis yang ditemukan di paru-paru disebabkan oleh zat apa. Misal lain adalah
bahwa Cadmium dapat menyebabkan kelainan ginjal dengan gejala yang sama
dengan penyakt ginjal akibat mikroorganisme. Juga Cobalt dapat menyebabkan
hipertensi, CO dapat menyebabkan karboksi-hemoglobin, tetapi dapat juga
meningkatkan kolesterol darah. Maksud dari uraian ini adalah untuk menyatakan
bahwa racun itu tidak menyebabkan penyakit yang spesifik, tetapi bahwa suatu
kelainan ditimbulkan oleh suatu logam misalnya, maka logam tersebut harus dapat
ditemukan kelainan organ tersebut. Oleh karena itu dalam mencari penyebab
keracunan, sering orang mencari gejalagejala, untuk dapat melakukan analisis
kualitatif, karena orang saat ini menyatakan, bahwa gejala yang sama cenderung
disebabkan oleh zat kimia sejenis.
a. Fibrosis adalah pertumbuhan jaringan ikat yang berlebih dan pada tempat
tidak normal. Pada hakekatnya semua sel yang rusak akan diganti oleh
jaringan ikat, apabila tidak dapat lagi terjadi regenerasi. Fibrosis, yang sering
ditemukan dalam paru-paru di Pneumokoniosis atau paru-paru berdebu
disebabkan oleh berbagai zat seperti misalnya Fe, Asbest, CO, Co, C, dll.
b. Granuloma adalah kelainan jaringan yang berbentuk jaringan radang kronis,
sehingga tampak merah dan berbonjol-bonjol. Granuloma dapat terjadi
akibat berbagai peradangan atau infeksi oleh mikroorganisme, tetapi juga
oleh zat kimia seperti Beryllium, kloro difluoro metan, karbid, Zn, Mn,
bagasse, kapas, tricalcium fosfat, tungsten, dll. Oleh karena itu perlu
diwaspadai, bahwa kelainan granuloma bukan akibat bakteri, atau fungi,
sehingga tidak perlu terapi antimikroba.
c. Demam merupakan gejala kenaikan suhu badan melebihi 38-39°C atau
disebut pyreksia. Demam seringkali dikaitkan dengan penyakit infeksi, tetapi
dari pengalaman di industri, terjadi demam akibat terhirupnya uap logam
seperti Mn, Zn, Sn, As, Cd, Co, Cu, Fe, Pb, Hg, dan Ni. Para pekerja yang
terpapar uap logam, selama 4-12 jam sering menderita demam, dan apabila
diistirahatkan di rumah (berarti paparan dihentikan), maka demam hilang
sendiri. Tetapi begitu ia masuk kerja lagi, maka demam akan terjadi lagi,
sehingga dahulu orang mengira demam ini akibat kemalasan pekerja.
d. Asfiksia Yang dimaksud dengan asfiksia adalah keadaan di mana darah dan
jaringan tubuh kekurangan oksigen dan tidak dapat membuang
karbondioksida (misalnya anestesia umum yang terlalu dalam).
Konsekuensinya ialah bahwa organ vital tidak mendapat oksigen, sehingga
banyak sel yang mati, dan organ tidak dapat berfungsi. Asfiksia juga dapat
diartikan sebagai tubuh yang tidak dapat memanfaatkan oksigen sekalipun
tersedia banyak oksigen. Kedua kondisi ini bila tidak lekas ditolong, akan
menyebabkan kematian. Asfiksia disebabkan oleh segala macam
penyumbatan saluran pernapasan, dan adanya racun yang menyebabkan
hemoglobin tidak dapat berfungsi. Zat sedemikian adalah konsentrasi tinggi
karbon dioksida (CO2), yang sering didapat di dalam sumur kering, dan
hidrogen sulfida (H2S) dari sumur minyak (pemboran BBM), NH3, CH4 di
pertambangan, dan yang sangat terkenal dan mematikan cepat adalah karbon
oksida atau CO, dan CN. Penyakit yang sering disebut Blue Babies,
menyerang bayi akibat adanya nitrit dalam air minumnya, sehingga terbentuk
metHb dan bayi akan kekurangan oksigen. Bayi nampak biru terutama
apabila sedang menangis.
e. Alergi Alergi adalah kondisi badan yang bereaksi berlebih terhadap materi
tertentu yang disebut allergen. Mekanisme terjadinya alergi seperti reaksi
antara antigen dan antibodi namun pada kasus alergi akan terbentuk histamin
dan menimbulkan gejala alergi. Hipersensitivitas terhadap suatu zat memang
memerlukan bakat, (constitutional atau atopik) akan tetapi zat sintetis saat ini
seperti dinitro-klorobenzena, hampir semua orang akan alergis terhadapnya.
Allergen di lingkungan banyak sekali, termasuk debu organik, dan
anorganik, gigitan insekta, berbagai zat kimia sintetis dan juga zat fisis
seperti cahaya matahari.
f. Mutan, Kanker dan Teratoma Ketiga efek atau gejala ini dibahas bersama,
karena proses terjadinya sama, yakni didasarkan terjadinya mutasi pada sel,
hanya jenis sel yang berbeda. Apabila mutasi terjadi pada sel genetik, maka
akan terjadi mutan. Bila mutasi pada sel somatik, maka akan terjadi kanker,
dan bila terjadi pada sel embrio, maka akan terjadi teratoma. Selain
perbedaan sel ketiga proses/ /mekanisme ini mempunyai persamaan lain
selain proses mutasi, yakni permulaan/onset yang tidak jelas, ireversibel/dan
perlu waktu inkubasi lama atau paparan yang kronis. Seperti halnya yang
lain, maka sel yang lebih muda akan lebih peka terhadap mutagen.
g. Keracunan Sistemik adalah keracunan yang mengenai seluruh badan, jadi
tidak organ spesifik. Penyebabnya banyak a.l. adalah Pb, Cd, Hg, F, Va, P,
Bo, Ti, TEL. Keracunan sistemik dapat menyertai keracunan organ spesifik,
seperti logam Pb dan Hg. Oleh karena itu gejala seperti ini saja akan
menyulitkan diagnosa. Racun yang sengaja dibuat untuk meningkatkan
ekonomi, yaksi pestisida disebut racun ekonomik.

D. SPEKTRUM EFEK TOKSIK


Berbagai jenis efek toksik dapat dikelompokkan menurut organ sasarannya,
mekanisme kerjanya, atau ciri-ciri lain.
 Efek lokal dan Sistemik , beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada
tempat bahan itu bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh
senyawa kaustik, misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta
iritasi gas atau uap pada saluran napas. Efek lokal ini menggambarkan perusakan
umum pada sel-sel hidup. Efek sistemik terjadi hanya setelah toksikan diserap dan
tersebar ke bagian lain tubuh. Pada umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu
atau beberapa organ saja. Organ seperti itu dinamakan “organ sasaran”. Kadar
toksikan dalam organ sasaran tidak selalu yang paling tinggi. Contohnya, organ
sasaran metil merkuri adalah SSP, tetapi kadar metil merkuri di hati dan ginjal jauh
lebih tinggi. Atau organ sasaran DDT adalah SSP, tetapi DDT terkumpul di
jaringan lemak.
 Efek berpulih dan Nirpulih. Efek toksik disebut berpulih (reversibel) jika efek itu
dapat hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, efek nirpulih (ireversibel) akan
menetap atau justru bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek
nirpulih diantaranya karsinoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. Beberapa
efek digolongkan nirpulih walaupun kadang dapat hilang beberapa waktu setelah
pajanan toksikan dihentikan. Misalnya efek insektisida golongan penghambat
kolinesterase yang disebut “ireversibel”, karena menghambat aktivitas enzim untuk
jangka waktu yang sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk sintesis dan
mengganti enzim tersebut. Efek toksikan dapat berpulih bila tubuh terpajan pada
kadar yang rendah atau untuk waktu yang singkat. Sementara, efek nirpulih dapat
dihasilkan pada pajanan dengan kadar yang lebih tinggi atau waktu yang lama.
 Efek Segera dan Tertunda. Banyak toksikan menimbulkan efek segera, yaitu efek
yang timbul segera setelah satu kali pajanan. Contohnya, keracunan sianida.
Sedangkan efek tertunda timbul beberapa waktu setelah pajanan. Pada manusia,
efek karsinogenik pada umumnya baru nyata jelas 10-20 tahun setelah pajanan
toksikan. Pada hewan pengerat pun dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk
timbulnya efek karsinogenik.
 Efek Morfologis, Fungsional, dan BiokimiaEfek morfologis berkaitan dengan
perubahan bentuk luar dan mikroskopis pada morfologi jaringan. Berbagai efek
jenis ini, misalnya nekrosis dan neoplasia, bersifat nirpulih dan berbahaya. Efek
fungsional biasanya berupa perubahan berpulih pada fungsi organ sasaran. Oleh
karena itu pada penelitian toksikologi, fungsi hati dan ginjal selalu diperiksa
(misalnya, laju ekskresi zat warna). Oleh karena efek fungsional biasanya berpulih,
sedangkan efek morfologis tidak, beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui
apakah perubahan fungsional dapat diketahui lebih dini, atau dapat dideteksi pada
hewan dalam dosis yang lebih rendah daripada dosis yang menyebabkan perubahan
morfologis. Walaupun semua efek toksik berkaitan dengan perubahan biokimiawi,
pada uji toksisitas rutin, yang dimaksud dengan “efek biokimiawi” adalah efek
toksik yang tidak menyebabkan perubahan morfologis. Contohnya, penghambatan
enzim kolinesterase setelah pajanan insektisida organofosfat dan karbamat.
 Reaksi Alergi dan Idiosinkrasi. Reaksi alergi (reaksi hipersensitivitas atau
sensitisasi) terhadap toksikan disebabkan oleh sensitisasi sebelumnya oleh toksikan
itu atau bahan yang mirip secara kimiawi. Bahan kimia itu bekerja sebagai hapten
dan bergabung dengan protein endogen membentuk antigen yang akan merangsang
pembentukan antibodi. Pajanan berikutnya akan menghasilkan interaksi antigen-
antibodi berupa reaksi alergi. Jadi reaksi ini berbeda dengan efek toksik biasa.
Pertama, karena dibutuhkan pajanan awal, dan kedua, karena kurva dosis-respons
yang khas, yang berbentuk sigmoid, tidak muncul pada reaksi alergi. Walaupun
demikian, pada sensitisasi kulit, dapat diperlihatkan adanya dosis ambang untuk
induksi (pajanan awal) maupun untuk pajanan kedua. Pada umumnya, reaksi
idiosinkrasi didasari oleh faktor keturunan yang menyebabkan reaktivitas abnormal
terhadap bahan kimia tertentu. Contohnya, pada orang yang kekurangan NADH
methemoglobinemia reduktase yang sangat peka terhadap nitrit dan bahan kimia
lain sehingga terjadi methemoglobinemia.
 Respon Bertingkat dan Respon Kuantal Pengaruh terhadap berat badan, konsumsi
makanan, dan pengambatan enzim merupakan contoh respon bertingkat.
Sedangkan mortalitas dan pembentukan tumor adalah contoh respon kuantal (ada
atau tidak sama sekali). Reaksi ini mengikuti kurva hubungan dosis-respons. Jadi,
jika dosisnya naik, begitu pula responsnya, baik dari segi proporsi populasi yang
bereaksi, maupun dari segi keparahan respon bertingkat tadi. Bahkan efek toksik
tambahan akan timbul kalau dosisnya meningkat. Contohnya kekurangan vitamin
C akan mengakibatkan gejala defisiensi, tetapi kelebihan vitamin akan segera
dibuang melalui urin.

E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOKSITAS


1) Faktor intrinsik zat beracun
a. Faktor kimia
Seperti telah diketahui, di dalam tubuh terdapat beraneka ragam membran
biologis yang merupakan penghalang bagi translokasi racun yang memiliki,
sifat fisika-kimia yang khas. Senyawa non polar ( misalnya etanol ), ternyata
mampu melintasi semua membrane biologis dengan cepat. Ketidak-polaran
suatu senyawa, salah satunya ditentukan oleh tingkat ionisasinya dalam larutan.
Karena itu, tingkat ionisasi racun dalam larutan merupakan salah satu
penentu kemampuannya melintasi membran dan translokasinya di dalam tubuh.
Selain itu, karena komponen lipid membran yang bertanggung jawab terhadap
permeabililitas membran suatu zat kimia, maka kelarutan racun di dalam lipid,
juga merupakan penentu kemampuannya melintasi membran biologis.
Pada umumnya, senyawa tidak terionkan lebih mudah larut di dalam lipid,
sehingga akan lebih mudah ditranslokasikan daripada senyawa yang terionkan,
sedangkan aksi biologis suatu zat kimia berkaitan erat dengan struktur kimianya
dan komponen-komponen kimia yang ada pada tempat aksi. Kesesuaian struktur
ini, menjadi salah satu penentu keefektifan antaraksi , antar racun, dan tempat
aksi maupun tempat metabolitsmenya.Jadi faktor kimia yang mempengaruhi
ketoksikan racun dapat digolongkan menjadi dua, antara lain :
Sifat kimia atau fisika-kimia yang secara individual maupun kolektif
menentukan kemampuan racun melintasi membran biologis.
struktur kimia racun, yang memungkinkan terjadinya reaksi
pada tempat aksi tertentu, atau yang menjadikan rentan terhadap
metabolisme.
b. Kondisi pemejanan
Racun, zat tambahan makanan, atau senyawa pencemar dapat
menimbulkan keracunan karena peristiwa pemejanan tunggal atau berulang
pada diri makhluk hidup. Kekerapan dan lama pemejanan, serta besar takaran
racun juga merupakan faktor penentu keracunan. Semua faktor tersebut akan
mempengaruhi keberadaan racun di tempat aksi.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kondisi pemejanan ialah semua
faktor yang menentukan keberadaan racun di tempat aksi tertentu di dalam
tubuh, yang berkaitan dengan pemejanannya pada diri makhluk hidup. Yang
termasuk dalam kondisi pemejanan meliputi jenis, jalur, lama, kekerapan, saat
dan takaran pemejanan racun.
Aneka ragam kondisi pemejanan tersebut dapat mempengaruhi keberadaan
racun di tempat aksinya. Kondisi pemejanan akan menentukan keefektifan
translokasi racun di dalam tubuh. Hal ini benar apabila racun memberikan efek
toksik yang sistemik. Artinya efek toksik terjadi di tempat aksi setelah
penyebarannya dari sirkulasi darah. Namun, bila efek toksik racun bersifat lokal,
yaitu terjadi di tempat tertentu sebelum diabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik,
maka translokasi racun di dalam tubuh tidak mempengaruhi ketoksikannya.

2) Faktor intrinsik makhluk hidup


Pada dasarnya, faktor intrinsik makhluk hidup adalah kondisi makhluk hidup yang
meliputi berbagai keadaan fisiologis serta patologis yang dapat mempengaruhi
ketoksikan suatu racun, melalui pengaruhnya atas keefektifan translokasi racun di
dalam tubuh, atau kerentanan tempat aksi terhadap aksi racun. kondisi makhluk
hidup dapat dibagi menjadi dua golongan , yaitu kondisi normal (fisiologis) dan tidak
normal (patologis). Keadaan fisiologis meliputi : berat badan, umur suhu tubuh,
kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi, kehamilan,
genetika, jenis kelamin, irama sirkadian, irama diurnal Keadaan patologi meliputi :
penyakit saluran cerna, penyakit kardiovaskular, penyakit hati, dan penyakit ginjal .
a. Keadaan Fisiologi
b. Keadaan Patologi
c. Kapasitas Fungsional Cadangan
Pada dasarnya untuk melakukan berbagai fungsi, aneka ragam organ tubuh memiliki
kapasitas cadangan. Misalnya 50 % hati Anjing dapat dirusak secara kimia atau
dengan cara pembedahan. Namun sisa hati masih dapat melakukan fungsi normal
untuk mempertahankan kelangsungan hidup si Anjing, paling tidak dalam
memenuhi persyaratan minimalnya. Keadaan tersebut dapat terjadi karena organ
memiliki kapasitas fungsi cadangan yang hanya digunakan dalam kondisi
mendesak. Contoh Seseorang terpapar dengan Aflatoksin B1 yang mencemari
makanan, maka kemungkinan wujud efek toksik aflatoksik yaitu nekrosis sel hati,
yang pada awalnya tidak nampak dan tidak terdeteksi. Tidak nampaknya berbagai
gejala klinis, disebabkan oleh masih berfungsinya hati secara normal, sebagai
kapasitas fungsional cadangan. Efek toksik aflatoksin tersebut, baru akan nampak
setelah kerusakannya meluas sehingga fungsi normal hati tidak dapat ditopang lagi
dengan kapasitas fungsional cadangannya. Sehingga jelas bahwa kapasitas cadangan
akan menutupi ketoksikan suatu racun Penyimpanan racun dalam diri makhluk
hidup.
d. Toleransi dan resistensi
Daya tahan seseorang terhadap ketoksikan racun berbeda dengan yang lain.
Seseorang mungkin lebih tahan terhadap ketoksikan suatu racun daripada yang lain,
sehingga untuk menderita tingkat toksik yang sama diperlukan takaran atau dosis
yang lebih tinggi. Perbedaan daya tahan individu terhadap ketoksikan racun dikenal
sebagai toleransi dan resistensi. Meskipun searti dalam kata, tetapi tidak searti dalam
pengertian. Menurut Loomis ( 1978 ), toleransi didefinisikan sebagai kemampuan
makhluk hidup untuk memperlihatkan respon yang kurang terhadap dosis khas zat
kimia daripada yang diperlihatkan sebelumnya, dengan dosis yang sama. Artinya
toleransi murni merupakan proses peningkatan daya tahan seseorang, yang semula
kurang tahan menjadi lebih tahan terhadap ketoksikan suatu racun. Keadaan ini

F. EFEK PADA DNA DAN RNA


Asam deoksiribonukleat (DNA) merupakan bagian terpenting yang ada pada inti sel,
karena merupakan bagian dari kromosom. Dua buah DNA akan membentuk satu
kromosom, berbentuk heliks ganda (double helix). la berupa sepasang benang panjang
yang terlilit atau berbentuk spiral. Setiap nukleotida terdiri atas satu basa, suatu gula
(deoksiribose) dan satu asam fosfat. Karena hanya ada empat basa yang berbeda, maka
hanya ada empat macam nukleotida. Ke-empat basa tersebut adalah guanin (G), adenin
(A), sitosin (C) dan timin (T). Basa tadi akan berpasangan dengan basa yang ada pada
pasangan nukleotida. Misalnya, G dengan C atau A dengan T.
Suatu rangkaian yang terdiri atas tiga basa merupakan suatu kode atau kodon bagi
asam amino atau protein. Pada pembelahan sel, pasangan ini akan berpisah untuk
membentuk komplemennya masing-masing, sehingga terbentuk dua pasang kromosom,
yang akan dibagikan pada setiap sel yang baru DNA ini merupakan informasi genetik
yang ada dalam inti sel dan berfungsi sebagai cetakan dalam produksi protein atau
pembelahan sel, sehingga protein yang baru akan sama dengan cetakannya. Sintesa
protein ini dapat terganggu apabila ada racun sewaktu terjadi proses pembelahan atau
sintesa protein. Sintesa protein terlaksana dalam ribosom, sedangkan DNA tidak dapat
keluar dari inti sel. Karena itu dibuat bayangan cerminnya yang disebut m-RNA (m-asam
ribo nukleat) atau messenger-RNA. m-RNA yang dapat keluar dari nukleus akan
berpindah ke ribosom dan membentuk t-RNA yang sama dengan DNA untuk selanjutnya
digunakan sebagai cetakan dalam sintesa protein (polipeptida) baru. Bahan yang
diperlukan untuk sintesa adalah asam amino yang ada di dalam plasma (ada 20 macam),
energi yang diperlukan adalah ATP, dan reaksi terjadi karena bantuan enzim.
Jadi, ada dua fase dalam sintesa protein, yakni fase translasi dan fase transkripsi.
Fase transkripsi adalah fase di mana terjadi pembentukan m-RNA, dan fase translasi
adalah fase di mana terjadi sintesa protein dengan t-RNA sebagai matriks (cetakan) di
dalam ribosom. Kedua fase itu dapat terganggu oleh aktivitas racun. Bila terjadi
gangguan dalam transfer informasi genetik ini pada saat terjadi sintesa protein, maka
akan terbentuk protein yang tidak sama dengan induknya (cetakannya). Dengan demikian
terjadi perubahan pada gen. Perubahan itu dapat berupa jumlah yang bertambah/lebih
sedikit; bentuk yang berubah, atau kelainan susunan basa. Perubahan genetik seperti itu
disebut mutasi.
Mutasi gen dapat berakibat terjadinya dua kelainan sbb.: (i) kelainan makro
(macrolesion), yaitu, apabila susunan gen dan jumlah gen berubah. (ii) kelainan
microlesion, apabila jumlah gen tetap, tetapi terjadi perubahan pada pasangan basa.
Mutan yang terbentuk saat ini masih tidak dapat bertahan hidup. Kebanyakan akan
terlahir sebagai keguguran, lahir mati, lahir dengan berat badan rendah ataupun lahir
dengan kelainan seperti keterbelakangan mental, misalnya kasus mongolism. Mutasi ini
sebetulnya secara spontan terjadi sebanyak 10% pada bayi yang diabortuskan atau lahir
mati. Apabila dari pemantauan ternyata mutasi terjadi berlebih, maka di dalam
lingkungan sudah terdapat racun mutagenik yang berlebih pula. Dalam hal
karsinogenesis, proses dasarnya adalah mutasi pada sel badan (somatik). Sel ini secara
genetik sudah berbeda dari induknya, oleh karena itu pertumbuhannya tidak dapat lagi
dikendalikan oleh badan. Dengan demikian terjadi pertumbuhan sel yang terus menerus
dengan memanfaatkan energy tubuh. Oleh karena itu pulalah, terjadi penurunan berat
badan penderita. Kanker ini didapatkan banyak akibat bahan yang digunakan dalam
proses industry ataupun yang terdapat di dalam buangan industri.

G. EFEK ORGAN SASARAN


1. Kepekaan Orga Neuron dan otot jantung sangat bergantung pada adenosis trifosfat
(ATP), yang dihasilkan oleh oksidasi mitokondria; kapasitasnya dalam metabolisme
anaerobik juga kecil, dan ion bergerak dengan cepat melalui membran sel. Maka
jaringan itu sangat peka terhadap kekurangan oksigen yang timbul karena gangguan
sistem pembuluh darah atau hemoglobin (misalnya, keracunan CO). Sel-sel yang
membelah cepat, seperti sel-sel di sumsum tulang dan mukosa usus, sangat peka
terhadap racun yang mempengaruhi pembelahan sel.
2. Penyebaran Saluran napas dan kulit merupakan organ sasaran bagi toksikan yang
berasal dari industri dan lingkungan karena di sinilah terjadi penyerapan.
Berdasarkan satuan berat, volume darah di hati dan ginjal paling tinggi. Akibatnya
mereka paling banyak terpajan toksikan. Lagi pula, fungsi metabolisme dan ekskresi
pada kedua organ ini lebih besar, sehingga keduanya lebih peka terhadap toksikan.
3. Ambilan Selektif. Beberapa sel tertentu mempunyai afinitas yang tinggi terhadap zat
kimia tertentu. Contohnya, pada saluran napas, sel-sel epitel alveolus tipe I dan II
yang mempunyai sistem ambilan aktif untuk poliamin endogen, akan menyerap
parakuat, yang struktur kimianya mirip. Proses ini dapat menyebabkan kerusakan
jaringan alveoli walaupun parakuat masuk secara oral.
4. Biotransformasi Akibat bioaktivasi, terbentuk metabolit yang reaktif. Proses ini
biasanya membuat sel-sel di dekatnya menjadi lebih rentan. Karena merupakan
tempat utama biotransformasi, hati rentan terhadap pengaruh bermacam-macam
toksikan. Untuk beberapa toksikan, bioaktivasi pada tempat-tempat tertentu
mempengaruhi efeknya. Contohnya, berbagai insektisida organofosfat, seperti
paration. Mereka terutama mengalami bioaktivasi di hati, namun banyaknya enzim
detoksikasi di tempat itu serta banyaknya tempat pengikatan yang reaktif, mencegah
munculnya tanda-tanda keracunan yang nyata. Di sisi lain, jaringan otak memiliki
enzim-enzim bioaktivasi yang jauh lebih sedikit, akan tetapi karena bioaktivasi
tersebut terjadi di dekat tempat sasaran yang kritis, yakni sinaps, manifestasi toksik
yang paling menonjol dalam kelompok toksikan ini tampak pada sistem saraf.

H. Interaksi bahan kimia


Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan efek dari dua
atau lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan menghasilkan suatu
respons yang mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi, dan antagonistik. Karakteristik
pemaparan membentuk spektrum efek secara bersamaan membentuk hubungan korelasi
yang dikenal dengan hubungan dosis-respons.
Toksisitas senyawa kimia sendiri didefinisikan sebagai kemampuan senyawa kimia
mengakibatkan bahaya terhadap metabolism jaringan makhluk hidup. Racun yang
berasal dari zat atau senyawa kimia dapat berada di dalam lingkungan secara alamiah
atau yang sengaja dibuat oleh manusia. Harus diakui bahwa zat kimia beracun
kebanyakan berasal dari aktivitas manusia dan meliputi berbagai aspek kehidupan.
Senyawa kimia beracun juga dapat hadir di dalam lingkungan secara alamiah. Kehadiran
zat kimia beracun alamiah di dalam lingkungan diasumsikan akan selalu konstan,kecuali
ditambah oleh aktivitas manusia seperti penambahan logam beracun kedalam lingkungan
oleh kegiatan-kegiatan industry dan kemajuan teknologi. Pengaruh kehadiran berbagai
jenis zat kimia beracun tersebut di dalam lingkungan mungkin dapat diketahui dengan
cepat, akan tetapi pengaruh negative pada umumnya baru diketahui setelah masuknya zat
kimia tersebut dalam jangka waktu cukup lama.
REFERENSI MAKALAH
Loomis, Ted A.1978. Toksikologi Dasar. Edisi Ketiga. IKIP semarang press. Semarang
Fausto, Mitchell Kumar Abbas. 2006.

Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Wirasuta, I Made
Agus Gelgel., Niruri, Rasmaya. 2006.

Toksikologi Umum. Universitas Udayana. Bali. Nugroho, Agung Endro. 2012.


Farmakologi. Pustaka Pelajar.

Des W. Connel & Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

E.J. Ariens, E. Mutschler & A.M. Simonis. 1987. Toksikologi Umum, Pengantar.
Terjemahan oleh Yoke R.Wattimena dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar. Terjemahan oleh Edi Nugroho. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai