(Sesi Pertama)
2. Hipotesis
Kemungkinan diferensial diagnosis untuk pasien:
a) Pneumonia (Community acquired pneumonia)
b) Infeksi saluran pernafasan atas
c) Bronkitis akut
d) PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
e) Tuberkulosis
Alveoli merupakan suatu evaginasi dari bronkiolus respiratorius, ductus alveolaris, dan saccus
alveolar yang berbentuk seperti kantung (diameter sekitar 200 µm). Alveoli bertanggung jawab
membentuk struktur paru yang seperti spons. Secara structural, alveoli menyerupai kantung
kecil yang terbuka pada satu sisi, mirip dengan bentuk sarang lebah. Didalam struktur yang
menyerupai kantung ini, terjadi pertukaran antara O2 di udara dan CO2 di darah. Struktur dinding
alveolar terspesialisasi untuk meningkatkan difusi antara lingkungan internal dan eksternal.
Pada umumnya, tiap dinding terletak diantara dua alveoli yang bersebelahan, sehingga disebut
septum interalveolare, atau dinding. Septum interalveolare terdiri dari 2 lapisan epitel
squamous tipis yang diantaranya terdapat kapiler, sabut elastis dan retikuler, dan matriks dan
sel jaringan ikat. Kapiler dan jaringan ikat membentuk interstitium. Didalam interstitium dari
septum interalveolare ditemukan jaringan kapiler yang paling banyak pada tubuh manusia.
Sel endotel kapiler sangat tipis dan dapat dengan mudah dikelirukan dengan sel epitel alveolar
tipe 1. Lapisan endothelial dari kapiler ini berkelanjutan dan tidak berlubang lubang.
Pengelompokan dari nuclei dan organel lain menyebabkan sebagian besar area menjadi sangat
tipis, sehingga meningkatkan efisiensi dari pertukaran gas. Sifat yang paling prominen dari
sitoplasma pada bagian sel yang pipih adalah banyaknya vesikel pinositotik.
Sel tipe I, atau sel alveolar squamous, adalah sel yang sangat tipis yang melapisi permukaan
alveolar. Sel tipe I membentuk 97% permukaan alveolar (sel tipe II membentuk 3% sisanya).
Sel sel ini sangat tipis (terkadang hanya 25 nm) sehingga diperlukan mikroskop electron untuk
membuktikan bahwa alveoli dilapisi oleh lapisan sel epitelial. Organel seperti kompleks golgi,
retikulum endoplasma, dan mitokondria dikelompokkan disekitar nucleus, mengurangi
ketebalan dari barrier darah-udara serta menyisakan sebagian besar daerah sitoplasma yang
tidak memiliki organel. Sebagian kecil dari sitoplasma mengandung banyak vesikel piknotik,
yang mungkin berperan dalam turnover surfaktan (dijelaskan dibawah) dan pembuangan
partikel kontaminan kecil dari permukaan luar. Selain desmosome, semua sel epithelial tipe I
memiliki persimpangan yang tertutup untuk mencegah kebocoran cairan jaringan kedalam
Sel tipe II tersebar diantara sel alveolar tipe I yang mana mereka saling membentuk
persimpangan yang tertutup dan desmosomal. Sel tipe II berbentuk bulat dan biasanya
ditemukan dalam kelompok 2 atau 3 sel di sepanjang permukaan alveolar pada titik dimana
dinding alveolar bergabung dan membentuk sudut. Sel sel ini, yang terletak pada membrane
basal, merupakan bagian dari epitelium, dengan asal yang sama dengan sel tipe I yang melapisi
dinding alveolar. Sel tipe II bermultiplikasi dengan cara mitosis untuk menggantikan populasi
mereka sendiri serta populasi sel tipe I. Pada irisan histologis, sel tipe II memiliki karakteristik
sitoplasma yang vesikular atau tampak berbusa. Munculnya vesikel vesikel ini disebabkan oleh
adanya lamellar bodies yang tersimpan dan Nampak pada preparat jaringan mikroskop
electron. Lamellar bodies, yang rata rata berdiameter 1-2 µm, mengandung lamella konsentris
atau parallel yang dibatasi oleh membrane unit. Studi histokimia menunjukkan bahwa badan
ini, yang mengandung fosfolipid, glikosaminoglikan, dan protein, disintesis secara terus
menerus dan dilepaskan pada permukaan apical dari sel. Lamellar bodies menghasilkan material
yang menyebar ke permukaan alveolar, memberikan lapisan ekstraseluler, yang disebut
surfaktan pulmonal, yang menurunkan tegangan permukaan alveolar.
Makrofag alveolar, yang disebut juga dust cell, ditemukan pada bagian dalam dari septum
interalveolare dan seringkali tampak pada permukaan alveolus. Banyak makrofag berisi karbon
dan debu pada jaringan ikat disekitar pembuluh darah besar di pleura kemungkinan adalah sel
yang tidak pernah melewati lapisan epithelial. Zat buangan yang telah difagositosis didalam sel
akan dihantarkan dari lumen alveolar kedalam interstitium oleh aktivitas pinositosis dari sel
alveolar tipe I. Makrofag alveolar yang membersihkan permukaan luar dari epitelium pada
lapisan surfaktan akan dibawa ke faring, dimana mereka kemudian akan ditelan.
Volume gas yang berdifusi melalui membran respirasi per menit untuk setiap perbedaan
tekanan sebesar 1 mmHg disebut dengan kapasitas difusi. Kapasitas difusi oksigen dalam
keadaan istirahat sekitar 230 ml/menit. Saat aktivitas meningkat maka kapasitas difusi ini juga
meningkat karena jumlah kapiler aktif meningkat disertai dilatasi kapiler yang menyebabkan
luas permukaan membran difusi meningkat. Kapasitas difusi karbondioksida saat istirahat
adalah 200-450 ml/menit. Saat bekerja meningkat menjadi 1200-1500 ml/menit.
Pertukaran gas antara O2 dan CO2 terjadi melalui proses difusi, berlangsung di alveolus dan di
sel jaringan tubuh. Proses difusi berlangsung sederhana, yaitu hanya dengan gerakan molekul-
molekul secara bebas melalui membran sel dari konsentrasi tinggi atau tekanan tinggi menuju
ke konsentrasi rendah atau tekanan rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi difusi gas
melintasi membran sel adalah:
a. Tekanan parsial gas (tekanan gas tertentu, misalnya tekanan oksigen saja terhadap
tekanan seluruh udara),
b. Permeabilitas membran respirasi,
c. Luas permukaan membran respirasi,
d. Kecepatan sirkulasi darah di paru-paru dan,
e. Reaksi kimia yang terjadi di dalam darah.
Dalam tubuh suatu gas akan berdifusi dari daerah berkonsentrasi tinggi menuju daerah
berkonsentrasi rendah. Konsentrasi masing-masing gas dalam tempat khusus (udara alveolus
dan darah pulmonal) dinyatakan sebagai satu ukuran yang disebut tekanan parsial (P).
Tekanan parsial suatu gas yang diukur dalam mmHg adalah tekanan yang dikeluarkan gas
dalam suatu campuran gas baik campuran dalam bentuk gas ataupun cairan seperti darah.
Karena tekanan parsial mempengaruhi konsentrasi gas akan berdifusi dari daerah yang
mempunyai tekanan parsial tinggi menuju daerah tekanan parsial lebih rendah. Udara dalam
alveolus mempunyai CO2 dan PCO2 yang rendah. Darah dalam kapiler pulmonal yang baru
saja beredar dalam tubuh mempunyai PO2 yang rendah dan PCO2 yang tinggi oleh karena itu
pada respirasi eksternal karbon dioksida berdifusi dari darah menuju udara di alveolus. Darah
yang kembali ke jantung sekarang mempunyai PO2 yang tinggi dan PCO2 yang rendah. Darah
kemudian dipompa oleh ventrikel kiri ke sirkulasi sistemik. Darah arteri yang mencapai kapiler
sistemik mempunyai PO2 yang tinggi dan PCO2 yang rendah. Sel-sel tubuh mempunyai PO2
yang rendah dan PCO2 yang tinggi karena sel secara berkesinambungan menggunakan O2
dalam respirasi sel (produksi energi) dan menghasilkan CO2 dalam proses ini. Oleh karena itu,
dalam respirasi internal O2 berdifusi dari darah menuju cairan jaringan (sel-sel) dan CO2
berdifusi menuju darah. Darah yang memasuki vena untuk kembali memasuki jantung
sekarang mempunyai PO2 yang rendah dan PCO2 yang tinggi dan kemudian dipompakan oleh
bilik kanan menuju paru-paru untuk menjalankan respirasi eksternal.
Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc O2 sehari (24 jam) atau sekitar
0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan
ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi O2 udara inspirasi berkurang
atau karena sebab lain, misalnya konsentrasi hemoglobin darah berkurang.
Oksigen yang terkandung dalam udara pernapasan larut dalam lapisan air yang ada di
permukaan dinding alveolus. Dinding alveolus tersusun atas epitel pipih dengan ketebalan
hanya 10 mm. Selanjutnya, oksigen terlarut itu berdifusi melintasi sel-sel epitel dan sel-sel
endothelium kapiler untuk masuk ke dalam plasma darah. Di dalam plasma darah, oksigen
berdifusi masuk ke sel-sel darah merah (eritrosit) dan berikatan dengan hemoglobin (Hb)
dalam darah yang disebut deoksigenasi dan menghasilkan senyawa oksihemoglobin (HbO2 )
seperti reaksi berikut :
Hb + O2 ⟹ HbO2
Hemoglobin yang terdapat dalam butir darah merah (eritrosit) ini tersusun oleh
senyawa hemin atau hematin yang mengandung unsur besi (Fe) dan globin yang
berupa protein. Senyawa hematin bertanggung jawab atas warna merah pada
hemoglobin dan merupakan tempat pengangkutan O2 .
Sekitar 97% O2 dalam bentuk senyawa oksihemoglobin dan hanya 2-3% O2 yang larut
dalam plasma darah akan dibawa oleh darah ke seluruh jaringan tubuh. Dan
selanjutnya akan terjadi pelepasan O2 secara difusi dari darah ke jaringan tubuh,
seperti reaksi berikut :
Hb + 4O2 ⟺ Hb(O2 )4
Satu molekul hemoglobin mengikat empat molekul O2 . Reaksi ke kanan berlangsung di dalam
kapiler darah alveolus paru-paru, sedangkan reaksi ke kiri berlangsung di dalam jaringan
tubuh. Ikatan oksihemoglobin dibentuk dalam paru-paru, yang memiliki PO2 tinggi namun
ikatan ini relatif tidak stabil, dan ketika darah melewati jaringan dengan PO2 rendah, ikatan
pecah dan oksigen dilepas ke jaringan. Pada keadaan konsentrasi O2 jaringan rendah, O2
berlebih yang ada di Hemoglobin akan dilepaskan. Ini berarti bahwa jaringan aktif, seperti otot
yang bekerja, menerima lebih banyak oksigen untuk menjalankan respirasi sel. Karena itu,
hemoglobin sangat berguna untuk membawa O2 dari paru-paru ke jaringan-jaringan tubuh.
Pengangkutan 𝐂𝐎𝟐 oleh darah dapat dilaksanakan melalui tiga cara yakni sebagai berikut:
1. Sekitar 5% dari seluruh CO2 yang ditransport larut dalam darah sehingga mempengaruhi
pH darah menjadi 4,5 karena terbentuknya asam karbonat (H2 CO3). Ketika CO2 memasuki
darah, sebagian besar berdifusi menuju sel darah merah, yang di dalamnya terdapat enzim
karbonik anhidrase yang mengandung seng. Enzim ini mengatalisis reaksi CO2 dan air
(H2 O) untuk membentuk asam karbonat, menurut reaksi berikut:
(karbonat anhidrase)
CO2 + H2 0 ⇒ H2 CO3
Sekitar 30% dari seluruh CO2 yang ditransport terikat pada hemoglobin dalam bentuk
karbomino hemoglobin (HbCO2 ) dengan reaksi sebagai berikut:
CO2 + Hb ⟹ HbCO2
2. Sekitar 65% dari seluruh CO2 yang ditransport terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO3−)
melalui proses berantai pertukaran klorida (Cl− ). Ion bikarbonat (HCO3−) berdifusi keluar
dari sel darah merah menuju plasma, meninggalkan ion hidrogen (H + ) di dalam sel darah
merah. Ion H + yang banyak akan cenderung membuat sel darah merah terlalu asam tetapi
Hb bertindak sebagai dapar/penyangga untuk mencegah asidosis. Untuk
mempertahankan keseimbangan ionik, ion klorida (Cl− ) dari plasma memasuki sel darah
merah, hal ini disebut pertukaran klorida. Reaksinya adalah sebagai berikut:
disosiasi HCO3−
CO2 + H2 0 ⟹ (asamHbCO 2
karbonat)
⇒ H + + (ion bikarbonat)
3. Ketika darah mencapai paru-paru dengan daerah PCO2 yang lebih rendah, reaksi ini akan
membalik, CO2 akan kembali dibentuk dan berdifusi menuju alveolus untuk diekshalasi.
Mekanisme batuk dapat dicetuskan secara volunter atau refleksif. Sebagai reflek
defensif, batuk mempunyai jaras aferen dan aferen. Jaras aferen termasuk reseptor di dalam
serabut sensorik saraf trigeminus, glosofaringeus, laringeus superius dan vagus. Jaras aferen
termasuk saraf laringeus rekuren (yang menyebabkan penutupan glotis) dan saraf spinalis
(yang menyebabkan kontraksi otot-otot abdominal dan toraks). Urutan batuk terdiri dari
stimulus yang sesuai yang memulai inspirasi dalam. Keadaan ini diikuti oleh penutupan glotis,
relaksasi diafragma, dan kontraksi otot melawan glotis yang tertutup sehingga menghasilkan
tekanan dalam jalan napas dan intratoraks positif maksimal. Tekanan intratoraks positif ini
menyebabkan penyempitan trakea, yang ditimbulkan oleh lipatan kedalam membrana
posterior yang lebih lentur. Begitu glotis terbuka, kombinasi perbedaan tekanan yang besar
antara jalan napas dan atmosfer yang disertai penyempitan trakea ini menyebabkan laju aliran
melalui trakea mendekati kecepatan suara. Tekanan pembersihan yang timbul membantu
eliminasi mukus dan benda-benda asing. Sirkuit pendek trakeostomi dan tuba endotrakeal
mencegah penutupan glotis. Oleh karena itu, keduanya menurunkan aktivitas mekanisme
batuk.
1. Inspirasi
Terjadi inspirasi dalam untuk meningkatkan volume gas yang terinhalasi. Semakin dalam
inspirasi semakin banyak gas yang terhirup, teregang otot-otot napas dan semakin meningkat
tekanan positif intratorakal.
2. Kompresi
Terjadi penutupan glotis setelah udara terhirup pada fase inspirasi. Penutupan glotis kira-kira
berlangsung selama 0,2 detik. Tujuan penutupan glotis adalah untuk mempertahankan volume
paru pada saat tekanan intratorakal besar. Pada keadaan ini terjadi pemendekan otot ekspirasi
dengan akibat kontraksi otot ekspirasi, sehingga akan meningkatkan tekanan intratorakal dan
juga intra abdomen.
3. Ekspirasi (ekspulsif)
Pada fase ini glotis dibuka, dengan terbukanya glotis dan adanya tekanan intratorakal dan intra
abdomen yang tinggi maka terjadilah proses ekspirasi yang cepat dan singkat (disebut juga
ekspulsif). Derasnya aliran udara yang sangat kuat dan cepat maka terjadilah pembersihan
bahan-bahan yang tidak diperlukan seperti mukus dll.
4. Relaksasi
Terjadi relaksasi dari otot-otot respiratorik. Waktu relaksasi dapat terjadi singkat ataupun lama
tergantung rangsangan pada reseptor batuk berikutnya
Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf
non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di
dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah
reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar
reseptor didapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan
juga ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, pericardial, dan diafragma.
Serabut afferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang dari
laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan dari telinga melalui cabang
Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis,
nervus glosofaringeus, menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan
rangsang dari perikardium dan diafragma. Oleh serabut afferen rangsang ini dibawah ke pusat
batuk yang terletak di medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari
sini oleh serabut-serabut afferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan
lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor.
Efektor ini terdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal, dan
lain-lain. Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi.
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar, atau serat
afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul
bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar
dirangsang.
Fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar, dimulai dengan inspirasi dalam dan cepat dari
sejumlah besar udara akibat kontraksi otot abduktor kartilago aritenoidea, pada saat ini glotis
secara refleks sudah terbuka. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot
toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan
peningkatan volume paru. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar
antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional). Pertama, volume yang besar
akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat
dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang
tertutup sehingga pengeluaran sekret (mekanisme pembersihan) akan lebih mudah.
Setelah udara diinspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2
detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50-100 mmHg.
Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver
ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan
bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain.
Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan
keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan
suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu
30-50 detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap.
Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan
pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80%.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago aritenoidea,
glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meninggi sampai 300 cmH2 0
agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis
terbuka. Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4. Fase ekspirasi/ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi, sehingga
terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai
dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot
pernafasan dan cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme
batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat
getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.
Kondisi umum: dia adalah pria yang perkembangannya baik dalam penderitaannya.
Tinggi badan: 162 cm, Berat badan: 60 kg.
Suhu tubuh: 38.8°C, nadinya 110 beats/min, tekanan darahnya 140/80 mmHg,
respiratory ratenya 32 breath/min, dan saturasi O2nya 94% dalam udara ruangan.
Kepala: dalam batas normal
Leher: dalam batas normal
Pemeriksaan paru:
Inspeksi: simetris
Palpasi: fremitus getaran meningkat pada bagian bawah kedua paru
Perkusi: redup pada bagian bawah kedua paru
Auskultasi: suara napas bronkial dan ronki kasar pada bagian bawah kedua paru
Jantung: dalam batas normal
Abdomen: dalam batas normal
Ekstremitas: dalam batas normal
Hasil laboratorium
Conclusion: Broncho-pneumonia
9. Diagnosa yang mungkin pada pasien
Pneumonia adalah inflamasi dan infeksi pada paru yang disebabkan oleh bakteri, virus,
mycoplasma, fungi.
a. PNEUMONIA BAKTERIAL
1. Penyebab paling umum dari pneumonia komunitas adalah:
a. Streptococcus pneumoiae (pneumococcus)
b. Legionella pneumophila
c. Mycoplasma pneumoniae
d. Haemophilus influenzae
e. Klebsiella pneumoniae (pada alkoholik kronis)
b. PNEUMONIA VIRAL
Virus yang paling umum menyebabkan pneumonia adalah:
a. Respiratory synsytial virus (RSV)
b. Parainfluenza viruses (khususnya tipe 3)
c. Influenza viruses
d. Adenoviruses
e. Measles virus
f. Varicella zooster virus
Pneumonia viral ditandai oleh inflamasi interstitial dari jaringan paru dan
pembentukan membran hyaline pada ruangan alveoli, sering disertai
bronchiolitis dan luruhnya sel bersilia pada saluran napas kecil dengan inflamasi
peribronkial.
c. PNEUMONIA FUNGAL
Fungi yang umum menyebabkan pneumonia sebagai pneumonia komunitas
adalah:
a. Histoplasma capsulatum
b. Coccidiodes immitis
c. Cryptococcus neoformans
Infeksi nosokomial
a. Candida
b. Aspergillus sp
terjadi pada pasien dengan AIDS, individu yang mendapat glukokortikoid dan agen
imunosupresif dan pasien dengan kemoterapi kanker.
a. Alkoholisme
b. Usia ≥ 70 tahun
c. Gagal jantung
d. Penyakit cerebrovaskular
e. PPOK
f. Infeksi HIV
Keterlibatan potensial dari patogen MDR ini menyebabkan direvisinya sistem klasifikasi
dimana infeksi dikategorikan sebagai salah satunya
* = Proses resmi yang dialami seseorang pada saat diterima oleh rumah sakit
(Sesi Kedua)
Hasil Laboratorium
H. influenzae adalah bakteri gram negatif yang kecil dan berbentuk batang (coccobacillus)
dengan sebuah kapsul polisakarida. Bakteri ini merupakan satu dari tiga pyogen berkapsul yang
penting, serta dengan pneumococcus dan meningococcus. Penggolongan serologi berdasarkan
antigensitas dari kapsul polisakarida. Dari enam serotype, tipe b yang paling menyebabkan
penyakit yang parah dan invasif, seperti meningitis dan sepsis. Kapsul dari tipe b ini teridiri dari
polyribitol fosfat. Strain (keturunan) yang tak berkapsul juga dapat menyebabkan penyakit,
terutama penyakit traktus respiratorius bagian atas seperti sinusitis dan otitis media, tapi biasanya
non invasif. Pertumbuhan organisme pada media laboratorium memerlukan penambahan dua
komponen, heme (faktor x) dan NAD (faktor V), untuk produksi energi yang adekuat.
H. influenzae hanya menginfeksi manusia; tidak ada hewan sebagai host reservoir. Bakteri itu
memasuki tubuh melalui inhalasi tetesan udara kedalam traktus respiratorius, menghasilkan
kolonisasi yang asimtomatik atau infeksi seperti otitis media, sinusitis, atau pneumonia.
Organisme ini menghasilkan sebuah IgA protease yang menurunkan sekresi IgA, sehingga
memfasilitasi perlekatannya pada mukosa respiratori. Setelah menetap pada traktus respiratorius
bagian atas, organisme ini dapat memasuki aliran darah (bacteremia) dan menyebar ke meninges.
Meningitis disebabkan terutama oleh strain berkapsul, tapi strain tak berkapsul kerap kali
menyebabkan otitis media, sinusitis, pneumonia. Catat bahwa insiden meningitis yang disebabkan
tipe b berkapsul sudah sangat berkurang karena vaksin yang mengandung polisakarida tipe b
sebagai immunogen. Patogenensis H. Influenzae melibatkan kapsul antifagositiknya dan
endotoxin; exotoxin tidak diproduksi.
Kebanyakan infeksi terjadi pada anak-anak antara usia 6 bulan dan 6 tahun, dengan puncaknya
pada kelompok usia dari 6 bulan sampai 1 tahun. Penyebaran pada usia ini dikaitkan dengan
penurunan pada IgG maternal pada anak disertai dengan ketidakmampuan untuk menghasilkan
antibodi yang cukup melawan antigen pilisakarida berkapsul sampai pada usia sekitar 2 tahun.
Diagnosis laboratorium bergantung pada isolasi dari organisme pada agar darah yang dipanaskan
(“cokelat”) yang diperkaya dengan dua faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk respirasi
bakteri, dinamakan, faktor X (sebuah senyawa heme/hemin) dan faktor V (NAD). Darah yang
digunakan pada agar cokelat dipanaskan untuk inaktivasi inhibitor nonspesifik dari pertumbuhan
H. Influenza.
Sebuah organisme yang tumbuh hanya dengan adanya kedua faktor pertumbuhan tersebut
diduga teridentifikasi sebagai H. Influenzae; spesies lain dari Haemophilus, seperti Haemophilus
parainfluenzae, tidak memerlukan kedua faktor tersebut. Identifikasi definitif dapat dibuat baik
dengan tes biokimia ataupun reaksi pembengkakan kapsul (quellung). Tambahan berarti
mengidentifikasi strain berkapsul termasuk pewarnaan antibodi fluoroscent dari organisme dan
counter-immunoelectrophoresis atau tes aglutinasi latex, yang mendetiksa polisakarida
berkapsul.
8. Patologi pneumonia
INFEKSI PULMO
Gambaran klinis dapat berupa penyakit akut yang fulminant atau penyakit kronis berkepanjangang.
Spektrum histologis pneumonia dapat dimulai dari ditemukannya eksudat alveolus fibrinopurulent
pada pneumonia yang diakibatkan infeksi bakteri akut, infiltrat mononucleus pada pneumonia
atipik atau yang disebabkan oleh virus, hingga ditemukannya granuloma dan kavitas pada
pneumonia kronis. Pneumonia yang disebabkan infeksi bakteri akut dapat ditunjukkan sebagai satu
atau dua pola anatomis dan radiografis, disebut sebagai bronchopneumonia dan lobarpneumonia.
Bronchopneumonia adalah distribusi inflamasi yang tidak teratur, yang secara umum meliputi
lebih dari satu lobus. Pola tersebut berasal dari infeksi awal pada bronchi dan bronchioli dengan
penyebaran ke alveoli di dekatnya. Sebaliknya, pada lobar pneumonia ruang udara yang saling
berhubunag pada sebagian atau seluruh lobus paru secara homogen terisi dengan eksudat yang dapat
dilihat secara radiografi sebagai konsolidasi lobus atau segmen.
MORFOLOGI
Pada era sebelum antibiotic, pneumonia yang disebabkan pneumococcus meliputi seluruh lobus dan
berkembang melalui 4 tahap: kongesti, red hepatization, gray hepatization, dan resolusi. Terapi
antiobiotik awal merubah atau menghambat progres tersebut.
- Selama tahap pertama, yaitu tahap kongesti, lobus yang terpengaruh berat, merah, dan basah;
secara histologis, kongesti pembuluh dapat terlihat, dengan cairan proteinaceous, neutrophil
yang menyebar, dan banyak bakteri pada alveoli.
- Selama beberapa hari, tahap red hepatization terjadi, di mana lobus paru memiliki konsistensi
seperti hepar, ruang-ruang alveolus dipenuhi dengan neutrophil, red cells, dan fibrin.
- Pada tahap selanjutnya, gray hepatization, paru kering, abu-abu, dan padat, karena red cells
mengalami lisis, sedangkan eksudat fibrinosupuratif tetap berada di alveoli.
- Resolusi terjadi pada kasus yang tidak rumit, eksudat di alveoli secara enzimatik tercerna untuk
membentuk debris setengah cair yang bergranul yang diresorpsi, difagosit oleh makrofag,
dikeluarkan melalui batuk, atau diatur oleh fibroblast. Reaksi pleura (fibrinous atau
9. Patofisiologi pneumonia
Akibat patofisiologis utama dari inflamasi dan infeksi yang meliputi paru bagian distal adalah
ventilasi yang menurun pada area yang terkena.
a. Jika perfusi secara relatif teratur seperti biasa, ketidakcocokkan ventilasi-perfusi terjadi,
dengan rasio ventilasi-perfusi yang rendah pada daerah yang terkena.
b. Jika alveoli terpenuhi dengan eksudat inflamasi, maka tidak ada ventilasi pada daerah tersebut,
dan terjadi ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang ekstrem (shunt).
c. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi disebut hipoksemia.
d. Respons sistemik terhadap pneumonia adalah cerminan dari respons tubuh terhadap infeksi
parah. Aspek yang paling nampak dari respons tersebut adalah demam, leukositosis (terutama
dengan pada pneumonia yang disebabkan bakteri).
11. Bagaimana diagnosis community-acquaired pneumonia (cap)
(harrison’s principles od internal medicine 18th)
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis:
A. Symtom/gejala pneumonia
CAP dapat bervariasi mulai dari indolent sampai fulminant (ak ga paham artie) daqlam
presentasinya dan dari ringan/sedang sampai fatal pada tingkat keparahannya. Tanda dan
gejala yang bervariasi, yang tergantung dari deretan (progression) dan keparahan infeksi,
termasuk temuan konstitusional dan manisfestasi yang terbatas pada paru dan struktur”
yang berhubungan
Pada pasien biasanya terjadi :
1) Febril/demam
2) Taikadri, dan bisa terdapat
3) Menggigil dan/atau berkeringat
4) Batuk yang antara non-produktif atau produktif yg menghasilkan mucous, purulent
atau sputum berdarah (hemoptysis)
5) Sesak napas (dyspnea)
6) Apabila pleura terlibat, pasien bisa mengalami pleuritic chest pain (nyeri dadar pada
pleura)
7) Hingga 20% pasien bisa mengalami gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah,
dan/atau diare
8) Gejala lain bisa termasuk kelelahan, nyeri kepala, myalgia, dan arthralgia
B. Temuan pemeriksaan fisik pneumonia
Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi dengan derajat konsolidasi paru dan ada
tidaknya efusi pleura yang signifikan
1) Peningkatan respiratory rate dan
2) Pemakaian otot respirasi aksesoris umum terjadi
3) Palpasi : bisa menunjukkan peningkatan atau penurunan tactile fremitus / fremitus
raba
4) Perkusi : note dapat bervariasi dari dull/tumpul sampai flat/rata, menunjukkan
penyebab/pokok masing-masing konsolidasi paru dan cairan pleura
PNEUMONIA
Penakit ini biasanya dimulai pada alveolus dan menyebar dari satu alveolus ke yang lainnya.
Infeksi akan berhenti apabila mencapai fisura. Penemuan kunci pada x-ray yang spesifik
terhadap konsolidasi lobar adalah:
Tidak ada kehilangan volume parenkim. Konsolidasi lobar adalah hasil dari penyakit yang
dimulai di perifer dan menyebar dari satu alveolus ke lainnya melalui pori dari Kohn (pores of
Khon). Pada batasan dari penyaklit sebagian alveoli akan terlibat, sedangkan yang lainnya tidak,
yang akan membentuk ill-defined borders / batas yang tak jelas. Saat penyakit mencapai fisura,
ini akan menghasilkan gambaran tajam, karena konsolidasi tidak akan melewati fisura
Penemuannya adalah :
Penemuannya adalah:
Penampakan opaque yang homogen dan tidak jelas pada lobus medius paru kanan
Air-bronchogram (+)
BRONCHOPNEUMONIA
Bronchopneumonia, yang juga kadang dikenal sebagai lobular pneumonia, adalah pola
radiologis yang berhubungan dengan inflamasi suppurative peribronchiolar dan disusul oleh
konsolidasi tdk sempurna pada satu atau lebih lobulus sekunder pada paru yang merupakan
respon dari bacterial pneumonia. Ini menghasilkan inflamasi peribronchiolar, yang dapat
menyebar melalui pori-pori dari Kohn (pores of Khon) yang menghasilkan konsolidasi
menyeluruh pada lobulus sekunder paru.
Penampakan radiologis dari bronchopneumonia tidak spesifik terhadap organisme penyebab
tunggal, meskipun begitu ada beberapa organisme yang memiliki presentasi radiologis
bronchopneumonia.
Tidak seperti lobar pneumonia, yang dimilai di alveoli, bronchopneumonia dimulai pada jalur
napas seperti pada bronkitis akut lalu menyebar kedalam parenkim paru yang menuntun
terjadinya densitas multifokal yang tidak jelas (patchy infiltrate). Ketika berlangsung, dapat
menghasilkan konsolidasi diffuse/tersebar. Penyakit ini tidak melewati/melintasi fissura, tapi
biasanya dimulai pada segmen multiple/banyak. Konsolidasi multifokal juga dijelaskan sebagai
multifocal ill-defined opacities or densities (densitas/opaque multifokal yang tidak jelas). Pada
kebanyakan kasus terjadi airspace-consolidation (konsolidasi ruang berudara????) yang
dikarenakan bronchopneumonia.
Dia dibawa ke bangsal Paru. Dia diberikan infus ceftriaxon 1 gr/12 jam, antitussive (codein 10 mg/ 8
jam) dan diberikan oxygen suplemental 2 L/min melalui canalis nasalis. Pada hari ke 5 di rumah sakit,
temperaturnya menjadi 36’C, HR 80 bpm, BP 120/80 mmHg, RR 18x/menit, dan pemeriksaan pada
dua paru menunjukkan: palpasi normal; perkusi: sonor; auskultasi: vesikuler dan pasien membaik pada
hari ke 7.
a. Pasien dengan CAP harus diobati minimal selama 5 hari, demam harus turun dalam
jangka waktu 48-72 jam, dan gejala yang berhubungan dengan CAP harus kurang dari 1
sebelum terapi diberhentikan
b. Durasi terapi yang lebih lama mungkin dibutuhkan jika terapi inisial tidak efektis terhadap
patogen yang teridentifikasi, atau jika pasien mengalami komplikasi infeksi ekstrapulmoner,
seperti meningitis atau endokarditis.
Benzonatate. Adalah sebuah anestesi local, bertindak secara perifer dg menganestesi reseptor
regangan yang terletak pada jalur respirasi, paru, dan pleura. Dg melembabkan aktivitas pada
Pencegahan utama adalah dengan vaksinasi. Komite Penasihat dalam Praktik Imunisasi harus
diikuti untuk influenza dan vaksin pneumococcal