Anda di halaman 1dari 22

"PNEUMONIA"

(Sesi Pertama)

JUDUL CASE: PNEUMONIA

Riwayat: Mr. Djumali


Djumali, pria berusia 48 tahun datang ke poli paru RSAL dr. Ramelan dengan keluhan sesak nafas,
demam, dan menggigil sejak 2 hari lalu. Dia juga mengatakan bahwa ia batuk berdahak berwarna
kekuningan dan terkadang disertai batuk dengan bercak darah yang tampak seperti berkarat sejak
5 hari lalu. Ia telah minum obat dari dokter keluarga, tetapi tidak membaik. Tidak ada riwayat medis
yang signifikan. Dia memiliki kebiasaan merokok 1 pak per hari selama 10 tahun.

1. Problem yang dialami pasien sekarang


a) Djumali, pria 48 tahun mengeluhkan sesak nafas, demam, menggigil, dan batuk
berdahak sejak 2 hari lalu.
b) Batuk berdahak dan terkadang disertai bercak darah yang tampak seperti berkarat.
c) Kebiasaan merokok 1 pak per hari selama 10 tahun.

2. Hipotesis
Kemungkinan diferensial diagnosis untuk pasien:
a) Pneumonia (Community acquired pneumonia)
b) Infeksi saluran pernafasan atas
c) Bronkitis akut
d) PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
e) Tuberkulosis

3. Struktur anatomi paru


 Masing masing paru berbentuk kerucut, dengan bagian apex tumpul yang mencapai ujung
sternal dari costa 1, bagian basis cekung yang menutupi diafragma, permukaan
costovertebral yang lebar dengan bentuk yang menyesuaikan dinding thoraks, dan
permukaan mediastinal yang cekung sebagai tempak pericardium.
 Paru kanan sedikit lebih besar dibandingkan paru kiri dan dibagi menjadi 3 lobus –
atas, tengah, dan bawah – oleh fisura obliqua dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki
fisura obliqua sehingga hanya memiliki 2 lobus.
 Suplai darah
Meskipun kecil, arteri bronkialis merupakan pembuluh darah yang sangat penting. Vena
pulmonalis superior dan inferior membawa darah yang telah teroksigenasi kembali ke
atrium kiri, sedangkan vena bronkial membawa darah ke sistem azygos.
 Drainase limfatik
Sistem limfatik paru membawa carian limfe secara sentripetal dari pleura menuju ke hilum.
Dari limfonodi bronkopulmonari di hilum, pembuluh limfatik eferen menyalurkan ke nodi
tracheobronkial pada bifurcatio trakea, sedangkan limfonodi paratrakeal dan trunkus
limfatikus mediastinal bermuara langsung ke vena brachiocephalica, atau secara tidak
langsung melalui ductus thoracicus atau limfatikus dextra (jarang).
 Persarafan
Plexus pulmonary berasal dari sabut saraf n. vagus dan trunkus simpatetik. Plexus ini
menyuplai otot polos bronkial (sabut bronkodilator simpatetik) dan menerima
rangsangan aferen dari membrana mukosa bronkiolus dan alveoli.

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2
4. Alveoli.

Alveoli merupakan suatu evaginasi dari bronkiolus respiratorius, ductus alveolaris, dan saccus
alveolar yang berbentuk seperti kantung (diameter sekitar 200 µm). Alveoli bertanggung jawab
membentuk struktur paru yang seperti spons. Secara structural, alveoli menyerupai kantung
kecil yang terbuka pada satu sisi, mirip dengan bentuk sarang lebah. Didalam struktur yang
menyerupai kantung ini, terjadi pertukaran antara O2 di udara dan CO2 di darah. Struktur dinding
alveolar terspesialisasi untuk meningkatkan difusi antara lingkungan internal dan eksternal.
Pada umumnya, tiap dinding terletak diantara dua alveoli yang bersebelahan, sehingga disebut
septum interalveolare, atau dinding. Septum interalveolare terdiri dari 2 lapisan epitel
squamous tipis yang diantaranya terdapat kapiler, sabut elastis dan retikuler, dan matriks dan
sel jaringan ikat. Kapiler dan jaringan ikat membentuk interstitium. Didalam interstitium dari
septum interalveolare ditemukan jaringan kapiler yang paling banyak pada tubuh manusia.

5. Tipe tipe sel pada septum interalveolar

Sel endotel kapiler sangat tipis dan dapat dengan mudah dikelirukan dengan sel epitel alveolar
tipe 1. Lapisan endothelial dari kapiler ini berkelanjutan dan tidak berlubang lubang.
Pengelompokan dari nuclei dan organel lain menyebabkan sebagian besar area menjadi sangat
tipis, sehingga meningkatkan efisiensi dari pertukaran gas. Sifat yang paling prominen dari
sitoplasma pada bagian sel yang pipih adalah banyaknya vesikel pinositotik.

Sel tipe I, atau sel alveolar squamous, adalah sel yang sangat tipis yang melapisi permukaan
alveolar. Sel tipe I membentuk 97% permukaan alveolar (sel tipe II membentuk 3% sisanya).
Sel sel ini sangat tipis (terkadang hanya 25 nm) sehingga diperlukan mikroskop electron untuk
membuktikan bahwa alveoli dilapisi oleh lapisan sel epitelial. Organel seperti kompleks golgi,
retikulum endoplasma, dan mitokondria dikelompokkan disekitar nucleus, mengurangi
ketebalan dari barrier darah-udara serta menyisakan sebagian besar daerah sitoplasma yang
tidak memiliki organel. Sebagian kecil dari sitoplasma mengandung banyak vesikel piknotik,
yang mungkin berperan dalam turnover surfaktan (dijelaskan dibawah) dan pembuangan
partikel kontaminan kecil dari permukaan luar. Selain desmosome, semua sel epithelial tipe I
memiliki persimpangan yang tertutup untuk mencegah kebocoran cairan jaringan kedalam

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


ruang udara di alveoli. Fungsi utama dari sel sel ini adalah untuk membentuk barrier dengan
ketebalan minimal yang dapat ditembus oleh gas.

Sel tipe II tersebar diantara sel alveolar tipe I yang mana mereka saling membentuk
persimpangan yang tertutup dan desmosomal. Sel tipe II berbentuk bulat dan biasanya
ditemukan dalam kelompok 2 atau 3 sel di sepanjang permukaan alveolar pada titik dimana
dinding alveolar bergabung dan membentuk sudut. Sel sel ini, yang terletak pada membrane
basal, merupakan bagian dari epitelium, dengan asal yang sama dengan sel tipe I yang melapisi
dinding alveolar. Sel tipe II bermultiplikasi dengan cara mitosis untuk menggantikan populasi
mereka sendiri serta populasi sel tipe I. Pada irisan histologis, sel tipe II memiliki karakteristik
sitoplasma yang vesikular atau tampak berbusa. Munculnya vesikel vesikel ini disebabkan oleh
adanya lamellar bodies yang tersimpan dan Nampak pada preparat jaringan mikroskop
electron. Lamellar bodies, yang rata rata berdiameter 1-2 µm, mengandung lamella konsentris
atau parallel yang dibatasi oleh membrane unit. Studi histokimia menunjukkan bahwa badan
ini, yang mengandung fosfolipid, glikosaminoglikan, dan protein, disintesis secara terus
menerus dan dilepaskan pada permukaan apical dari sel. Lamellar bodies menghasilkan material
yang menyebar ke permukaan alveolar, memberikan lapisan ekstraseluler, yang disebut
surfaktan pulmonal, yang menurunkan tegangan permukaan alveolar.

Makrofag alveolar, yang disebut juga dust cell, ditemukan pada bagian dalam dari septum
interalveolare dan seringkali tampak pada permukaan alveolus. Banyak makrofag berisi karbon
dan debu pada jaringan ikat disekitar pembuluh darah besar di pleura kemungkinan adalah sel
yang tidak pernah melewati lapisan epithelial. Zat buangan yang telah difagositosis didalam sel
akan dihantarkan dari lumen alveolar kedalam interstitium oleh aktivitas pinositosis dari sel
alveolar tipe I. Makrofag alveolar yang membersihkan permukaan luar dari epitelium pada
lapisan surfaktan akan dibawa ke faring, dimana mereka kemudian akan ditelan.

6. Deskripsi mekanisme pertukaran 𝐂𝐎𝟐 dan 𝐎𝟐 (Sherwood, 2010)

Volume gas yang berdifusi melalui membran respirasi per menit untuk setiap perbedaan
tekanan sebesar 1 mmHg disebut dengan kapasitas difusi. Kapasitas difusi oksigen dalam
keadaan istirahat sekitar 230 ml/menit. Saat aktivitas meningkat maka kapasitas difusi ini juga
meningkat karena jumlah kapiler aktif meningkat disertai dilatasi kapiler yang menyebabkan
luas permukaan membran difusi meningkat. Kapasitas difusi karbondioksida saat istirahat
adalah 200-450 ml/menit. Saat bekerja meningkat menjadi 1200-1500 ml/menit.

Pertukaran gas antara O2 dan CO2 terjadi melalui proses difusi, berlangsung di alveolus dan di
sel jaringan tubuh. Proses difusi berlangsung sederhana, yaitu hanya dengan gerakan molekul-
molekul secara bebas melalui membran sel dari konsentrasi tinggi atau tekanan tinggi menuju
ke konsentrasi rendah atau tekanan rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi difusi gas
melintasi membran sel adalah:

a. Tekanan parsial gas (tekanan gas tertentu, misalnya tekanan oksigen saja terhadap
tekanan seluruh udara),
b. Permeabilitas membran respirasi,
c. Luas permukaan membran respirasi,
d. Kecepatan sirkulasi darah di paru-paru dan,
e. Reaksi kimia yang terjadi di dalam darah.

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


Difusi Gas Tekanan Parsial

Dalam tubuh suatu gas akan berdifusi dari daerah berkonsentrasi tinggi menuju daerah
berkonsentrasi rendah. Konsentrasi masing-masing gas dalam tempat khusus (udara alveolus
dan darah pulmonal) dinyatakan sebagai satu ukuran yang disebut tekanan parsial (P).
Tekanan parsial suatu gas yang diukur dalam mmHg adalah tekanan yang dikeluarkan gas
dalam suatu campuran gas baik campuran dalam bentuk gas ataupun cairan seperti darah.

Tempat PO2 (mmHg) PCO2 (mmHg)


atmosfer 160 0,2
udara alveolar 104 40
darah vena sistemik/arteri pulmonal 40 45
darah vena pulmonal/arteri sistemik 100 40
cairan jaringan 40 50

Karena tekanan parsial mempengaruhi konsentrasi gas akan berdifusi dari daerah yang
mempunyai tekanan parsial tinggi menuju daerah tekanan parsial lebih rendah. Udara dalam
alveolus mempunyai CO2 dan PCO2 yang rendah. Darah dalam kapiler pulmonal yang baru
saja beredar dalam tubuh mempunyai PO2 yang rendah dan PCO2 yang tinggi oleh karena itu
pada respirasi eksternal karbon dioksida berdifusi dari darah menuju udara di alveolus. Darah
yang kembali ke jantung sekarang mempunyai PO2 yang tinggi dan PCO2 yang rendah. Darah
kemudian dipompa oleh ventrikel kiri ke sirkulasi sistemik. Darah arteri yang mencapai kapiler
sistemik mempunyai PO2 yang tinggi dan PCO2 yang rendah. Sel-sel tubuh mempunyai PO2
yang rendah dan PCO2 yang tinggi karena sel secara berkesinambungan menggunakan O2
dalam respirasi sel (produksi energi) dan menghasilkan CO2 dalam proses ini. Oleh karena itu,
dalam respirasi internal O2 berdifusi dari darah menuju cairan jaringan (sel-sel) dan CO2
berdifusi menuju darah. Darah yang memasuki vena untuk kembali memasuki jantung
sekarang mempunyai PO2 yang rendah dan PCO2 yang tinggi dan kemudian dipompakan oleh
bilik kanan menuju paru-paru untuk menjalankan respirasi eksternal.

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


Mekanisme Pertukaran Oksigen (𝐎𝟐 ) dan Karbon Dioksida (𝐂𝐎𝟐 ) Dari Alveolus ke Kapiler
Darah dan Sebaliknya

1. Pertukaran 𝐎𝟐 dan 𝐂𝐎𝟐 Dari Alveolus ke Kapiler Darah


Jumlah oksigen (O2 ) yang diambil melalui udara pernapasan tergantung pada kebutuhan dan
hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, ukuran tubuh, serta jumlah maupun
jenis bahan makanan yang dimakan.

Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc O2 sehari (24 jam) atau sekitar
0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan
ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi O2 udara inspirasi berkurang
atau karena sebab lain, misalnya konsentrasi hemoglobin darah berkurang.

Oksigen yang terkandung dalam udara pernapasan larut dalam lapisan air yang ada di
permukaan dinding alveolus. Dinding alveolus tersusun atas epitel pipih dengan ketebalan
hanya 10 mm. Selanjutnya, oksigen terlarut itu berdifusi melintasi sel-sel epitel dan sel-sel
endothelium kapiler untuk masuk ke dalam plasma darah. Di dalam plasma darah, oksigen
berdifusi masuk ke sel-sel darah merah (eritrosit) dan berikatan dengan hemoglobin (Hb)
dalam darah yang disebut deoksigenasi dan menghasilkan senyawa oksihemoglobin (HbO2 )
seperti reaksi berikut :

Hb + O2 ⟹ HbO2

Hemoglobin yang terdapat dalam butir darah merah (eritrosit) ini tersusun oleh
senyawa hemin atau hematin yang mengandung unsur besi (Fe) dan globin yang
berupa protein. Senyawa hematin bertanggung jawab atas warna merah pada
hemoglobin dan merupakan tempat pengangkutan O2 .

Sekitar 97% O2 dalam bentuk senyawa oksihemoglobin dan hanya 2-3% O2 yang larut
dalam plasma darah akan dibawa oleh darah ke seluruh jaringan tubuh. Dan
selanjutnya akan terjadi pelepasan O2 secara difusi dari darah ke jaringan tubuh,
seperti reaksi berikut :

Hb + 4O2 ⟺ Hb(O2 )4

Satu molekul hemoglobin mengikat empat molekul O2 . Reaksi ke kanan berlangsung di dalam
kapiler darah alveolus paru-paru, sedangkan reaksi ke kiri berlangsung di dalam jaringan
tubuh. Ikatan oksihemoglobin dibentuk dalam paru-paru, yang memiliki PO2 tinggi namun
ikatan ini relatif tidak stabil, dan ketika darah melewati jaringan dengan PO2 rendah, ikatan
pecah dan oksigen dilepas ke jaringan. Pada keadaan konsentrasi O2 jaringan rendah, O2
berlebih yang ada di Hemoglobin akan dilepaskan. Ini berarti bahwa jaringan aktif, seperti otot
yang bekerja, menerima lebih banyak oksigen untuk menjalankan respirasi sel. Karena itu,
hemoglobin sangat berguna untuk membawa O2 dari paru-paru ke jaringan-jaringan tubuh.

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


2. Pertukaran 𝐎𝟐 dan 𝐂𝐎𝟐 Dari Kapiler Darah ke Alveolus
Setelah melakukan proses pembakaran zat-zat makanan, maka akan dihasilkan sisa respirasi
berupa karbon dioksida ( CO2 ). Dari jaringan CO2 akan mengalir lewat vena sistemik ke
jantung. Tekanan CO2 di jaringan 50 mmHg, lebih tinggi dibandingkan vena sistemik yang
hanya 45 mmHg. Dari jantung, CO2 mengalir lewat arteri pulmonalis yang tekanan karbon
dioksidanya sama yaitu 45 mmHg. Dari arteri pulmonalis CO2 masuk ke paru-paru yang
tekanan karbon dioksidanya 40 mmHg, lalu CO2 dilepaskan ke lingkungan luar yang
bertekanan 0,2 mmHg.

Pengangkutan 𝐂𝐎𝟐 oleh darah dapat dilaksanakan melalui tiga cara yakni sebagai berikut:

1. Sekitar 5% dari seluruh CO2 yang ditransport larut dalam darah sehingga mempengaruhi
pH darah menjadi 4,5 karena terbentuknya asam karbonat (H2 CO3). Ketika CO2 memasuki
darah, sebagian besar berdifusi menuju sel darah merah, yang di dalamnya terdapat enzim
karbonik anhidrase yang mengandung seng. Enzim ini mengatalisis reaksi CO2 dan air
(H2 O) untuk membentuk asam karbonat, menurut reaksi berikut:
(karbonat anhidrase)
CO2 + H2 0 ⇒ H2 CO3

Sekitar 30% dari seluruh CO2 yang ditransport terikat pada hemoglobin dalam bentuk
karbomino hemoglobin (HbCO2 ) dengan reaksi sebagai berikut:

CO2 + Hb ⟹ HbCO2

2. Sekitar 65% dari seluruh CO2 yang ditransport terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO3−)
melalui proses berantai pertukaran klorida (Cl− ). Ion bikarbonat (HCO3−) berdifusi keluar
dari sel darah merah menuju plasma, meninggalkan ion hidrogen (H + ) di dalam sel darah
merah. Ion H + yang banyak akan cenderung membuat sel darah merah terlalu asam tetapi
Hb bertindak sebagai dapar/penyangga untuk mencegah asidosis. Untuk
mempertahankan keseimbangan ionik, ion klorida (Cl− ) dari plasma memasuki sel darah
merah, hal ini disebut pertukaran klorida. Reaksinya adalah sebagai berikut:
disosiasi HCO3−
CO2 + H2 0 ⟹ (asamHbCO 2
karbonat)
⇒ H + + (ion bikarbonat)

3. Ketika darah mencapai paru-paru dengan daerah PCO2 yang lebih rendah, reaksi ini akan
membalik, CO2 akan kembali dibentuk dan berdifusi menuju alveolus untuk diekshalasi.

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


Mekanisme batuk dan refleks batuk (Guyton et all, 2016)

Mekanisme batuk dapat dicetuskan secara volunter atau refleksif. Sebagai reflek
defensif, batuk mempunyai jaras aferen dan aferen. Jaras aferen termasuk reseptor di dalam
serabut sensorik saraf trigeminus, glosofaringeus, laringeus superius dan vagus. Jaras aferen
termasuk saraf laringeus rekuren (yang menyebabkan penutupan glotis) dan saraf spinalis
(yang menyebabkan kontraksi otot-otot abdominal dan toraks). Urutan batuk terdiri dari
stimulus yang sesuai yang memulai inspirasi dalam. Keadaan ini diikuti oleh penutupan glotis,
relaksasi diafragma, dan kontraksi otot melawan glotis yang tertutup sehingga menghasilkan
tekanan dalam jalan napas dan intratoraks positif maksimal. Tekanan intratoraks positif ini
menyebabkan penyempitan trakea, yang ditimbulkan oleh lipatan kedalam membrana
posterior yang lebih lentur. Begitu glotis terbuka, kombinasi perbedaan tekanan yang besar
antara jalan napas dan atmosfer yang disertai penyempitan trakea ini menyebabkan laju aliran
melalui trakea mendekati kecepatan suara. Tekanan pembersihan yang timbul membantu
eliminasi mukus dan benda-benda asing. Sirkuit pendek trakeostomi dan tuba endotrakeal
mencegah penutupan glotis. Oleh karena itu, keduanya menurunkan aktivitas mekanisme
batuk.

1. Inspirasi
Terjadi inspirasi dalam untuk meningkatkan volume gas yang terinhalasi. Semakin dalam
inspirasi semakin banyak gas yang terhirup, teregang otot-otot napas dan semakin meningkat
tekanan positif intratorakal.

2. Kompresi
Terjadi penutupan glotis setelah udara terhirup pada fase inspirasi. Penutupan glotis kira-kira
berlangsung selama 0,2 detik. Tujuan penutupan glotis adalah untuk mempertahankan volume
paru pada saat tekanan intratorakal besar. Pada keadaan ini terjadi pemendekan otot ekspirasi
dengan akibat kontraksi otot ekspirasi, sehingga akan meningkatkan tekanan intratorakal dan
juga intra abdomen.

3. Ekspirasi (ekspulsif)
Pada fase ini glotis dibuka, dengan terbukanya glotis dan adanya tekanan intratorakal dan intra
abdomen yang tinggi maka terjadilah proses ekspirasi yang cepat dan singkat (disebut juga
ekspulsif). Derasnya aliran udara yang sangat kuat dan cepat maka terjadilah pembersihan
bahan-bahan yang tidak diperlukan seperti mukus dll.

4. Relaksasi
Terjadi relaksasi dari otot-otot respiratorik. Waktu relaksasi dapat terjadi singkat ataupun lama
tergantung rangsangan pada reseptor batuk berikutnya

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


7. Mekanisme Batuk
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu fase iritasi, inspirasi,
kompresi, dan eskpulsi (ekspirasi). Secara singkat batuk dimulai ketika suatu zat atau benda
asing mencapai salah satu reseptor batuk di hidung, tenggorokan, atau dada. Reseptor
tersebut kemudian menyampaikan pesan ke pusat batuk di otak yang memberi perintah untuk
batuk. Lalu hidung menghirup napas, epiglotis dan pita suara menutup rapat sehingga udara
dalam paru-paru terjebak. Otot perut dan dada akan berkontraksi dengan kuat sambil
menekan sekat rongga tubuh. Akhirnya epiglotis akan membuka dengan tiba-tiba, dan udara
yang terjebak tadi mendadak keluar, maka terjadilah batuk.

Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf
non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di
dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah
reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar
reseptor didapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan
juga ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, pericardial, dan diafragma.

Serabut afferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang dari
laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan dari telinga melalui cabang
Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis,
nervus glosofaringeus, menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan
rangsang dari perikardium dan diafragma. Oleh serabut afferen rangsang ini dibawah ke pusat
batuk yang terletak di medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari
sini oleh serabut-serabut afferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan
lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor.
Efektor ini terdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal, dan
lain-lain. Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi.

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :

1. Fase iritasi

Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar, atau serat
afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul
bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar
dirangsang.

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


2. Fase inspirasi

Fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar, dimulai dengan inspirasi dalam dan cepat dari
sejumlah besar udara akibat kontraksi otot abduktor kartilago aritenoidea, pada saat ini glotis
secara refleks sudah terbuka. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot
toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan
peningkatan volume paru. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar
antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional). Pertama, volume yang besar
akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat
dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang
tertutup sehingga pengeluaran sekret (mekanisme pembersihan) akan lebih mudah.

Setelah udara diinspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2
detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50-100 mmHg.
Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver
ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan
bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain.

Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan
keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan
suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu
30-50 detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap.
Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan
pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80%.

3. Fase kompresi

Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago aritenoidea,
glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meninggi sampai 300 cmH2 0
agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis
terbuka. Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.

4. Fase ekspirasi/ekspulsi

Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi, sehingga
terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai
dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot
pernafasan dan cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme
batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat
getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.

8. Informasi lebih lanjut untuk membuktikan hipotesis


 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan darah
 Pewarnaan gram sputum
 Kultur sputum
 X ray dada

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


More info

Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut:

 Kondisi umum: dia adalah pria yang perkembangannya baik dalam penderitaannya.
 Tinggi badan: 162 cm, Berat badan: 60 kg.
 Suhu tubuh: 38.8°C, nadinya 110 beats/min, tekanan darahnya 140/80 mmHg,
respiratory ratenya 32 breath/min, dan saturasi O2nya 94% dalam udara ruangan.
 Kepala: dalam batas normal
 Leher: dalam batas normal
 Pemeriksaan paru:
 Inspeksi: simetris
 Palpasi: fremitus getaran meningkat pada bagian bawah kedua paru
 Perkusi: redup pada bagian bawah kedua paru
 Auskultasi: suara napas bronkial dan ronki kasar pada bagian bawah kedua paru
 Jantung: dalam batas normal
 Abdomen: dalam batas normal
 Ekstremitas: dalam batas normal

Hasil laboratorium

 Hb: 13.5 gr/dl


 Hitung leukosit: 18.700/mm3
 Differential count: eosinofil/basofil/stab/segmen/limfosit/monosit: 1/0/3/81/13/2
(Normal: 1-30/0-1/2-6/50-70/20-40/2-8)
 Laju endap darah (LED): 47 mm/jam (normal: 0-20)
 X ray dada:
Jantung: ukuran normal
Paru: konsolidasi bilateral sebagian pada bagian bawah kedua paru
Kedua sudut costo-phrenic bersih

Conclusion: Broncho-pneumonia
9. Diagnosa yang mungkin pada pasien

Broncho-pneumonia (Community Acquired Pneumonia = CAP/ Pneumonia Komunitas)

10. Definisi pneumonia

Pneumonia adalah infeksi pada parenkim paru.

11. Etiologi pneumonia

Pneumonia adalah inflamasi dan infeksi pada paru yang disebabkan oleh bakteri, virus,
mycoplasma, fungi.

a. PNEUMONIA BAKTERIAL
1. Penyebab paling umum dari pneumonia komunitas adalah:
a. Streptococcus pneumoiae (pneumococcus)
b. Legionella pneumophila
c. Mycoplasma pneumoniae
d. Haemophilus influenzae
e. Klebsiella pneumoniae (pada alkoholik kronis)

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


2. Pneumonia nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia/HAP) disebabkan oleh
a. Escherichia coli
b. Pseudomonas aeruginosa
c. Staphylococcus aureus

Pneumonia bakterial akut umunya muncul dengan onset mendadak dari


menggigil, demam, batuk dan sering nyeri dada pleuritik. Batuk seringnya
berdahak dengan sputum purulen. Banyak pasien dengan pneumonia
disebabkan faktor predisposisi seperti CHF, PPOK yang menjadi eksaserbsi dalam
hubungan dengan pneumonia.

b. PNEUMONIA VIRAL
 Virus yang paling umum menyebabkan pneumonia adalah:
a. Respiratory synsytial virus (RSV)
b. Parainfluenza viruses (khususnya tipe 3)
c. Influenza viruses
d. Adenoviruses
e. Measles virus
f. Varicella zooster virus
 Pneumonia viral ditandai oleh inflamasi interstitial dari jaringan paru dan
pembentukan membran hyaline pada ruangan alveoli, sering disertai
bronchiolitis dan luruhnya sel bersilia pada saluran napas kecil dengan inflamasi
peribronkial.
c. PNEUMONIA FUNGAL
 Fungi yang umum menyebabkan pneumonia sebagai pneumonia komunitas
adalah:
a. Histoplasma capsulatum
b. Coccidiodes immitis
c. Cryptococcus neoformans

Infeksi nosokomial

a. Candida
b. Aspergillus sp

terjadi pada pasien dengan AIDS, individu yang mendapat glukokortikoid dan agen
imunosupresif dan pasien dengan kemoterapi kanker.

12. Faktor resiko pneumonia

Faktor resiko Pneumonia Komunitas (CAP)

a. Alkoholisme
b. Usia ≥ 70 tahun
c. Gagal jantung
d. Penyakit cerebrovaskular
e. PPOK
f. Infeksi HIV

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


13. Klasifikasi pneumonia

Keterlibatan potensial dari patogen MDR ini menyebabkan direvisinya sistem klasifikasi
dimana infeksi dikategorikan sebagai salah satunya

a. Community acquired pneumonia/Pneumonia komunitas (CAP): pneumonia ini mengacu


pada pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau fasilitas perawatan.
b. Health Care-Associated Pneumonia/Pneumonia yang berhubungan dengan perawatan
kesehatam (HCAP), dengan sebkategori HCAP termasuk:
1) Hospital-acquired pneumonia/Pneumonia nosokomial (HAP): HAP didefinisikan
sebagai pneumonia yang terjadi 48 jam atau lebih setelah admisi*, dimana tidak
menginkubasi pada waktu admisi*.
2) Ventilator-associated pneumonia (VAP): VAP mengacu pada pneumonia yang
muncul lebih dari 48-72 jam setelah intubasi endotrakeal.

* = Proses resmi yang dialami seseorang pada saat diterima oleh rumah sakit

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


"PNEUMONIA"

(Sesi Kedua)

JUDUL CASE: PNEUMONIA

Dua hari kemudian hasil laboratorium mikorbiologi menunjukkan:

 Pewarnaan gram sputum: coccobacili gram negatif, dan sel inflamasi


 Kultur sputum: Haemophillus influenzae
2. Masalah pasien sekarang

Hasil Laboratorium

 Pewarnaan gram sputum: coccobacili gram negatif, dan sel inflamasi


 Kultur sputum: Haemophillus influenzae
3. Bagaimana informasi ini mengubah hipotesis

Diagnosis untuk pasien:

Broncho-pneumonia yang disebabkan oleh Haemophillus influenzae

4. Karakteristik dan morfologi H. Influenzae

H. influenzae adalah bakteri gram negatif yang kecil dan berbentuk batang (coccobacillus)
dengan sebuah kapsul polisakarida. Bakteri ini merupakan satu dari tiga pyogen berkapsul yang
penting, serta dengan pneumococcus dan meningococcus. Penggolongan serologi berdasarkan
antigensitas dari kapsul polisakarida. Dari enam serotype, tipe b yang paling menyebabkan
penyakit yang parah dan invasif, seperti meningitis dan sepsis. Kapsul dari tipe b ini teridiri dari
polyribitol fosfat. Strain (keturunan) yang tak berkapsul juga dapat menyebabkan penyakit,
terutama penyakit traktus respiratorius bagian atas seperti sinusitis dan otitis media, tapi biasanya
non invasif. Pertumbuhan organisme pada media laboratorium memerlukan penambahan dua
komponen, heme (faktor x) dan NAD (faktor V), untuk produksi energi yang adekuat.

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


5. Patogenesis penyakit H. Influenzae

H. influenzae hanya menginfeksi manusia; tidak ada hewan sebagai host reservoir. Bakteri itu
memasuki tubuh melalui inhalasi tetesan udara kedalam traktus respiratorius, menghasilkan
kolonisasi yang asimtomatik atau infeksi seperti otitis media, sinusitis, atau pneumonia.
Organisme ini menghasilkan sebuah IgA protease yang menurunkan sekresi IgA, sehingga
memfasilitasi perlekatannya pada mukosa respiratori. Setelah menetap pada traktus respiratorius
bagian atas, organisme ini dapat memasuki aliran darah (bacteremia) dan menyebar ke meninges.
Meningitis disebabkan terutama oleh strain berkapsul, tapi strain tak berkapsul kerap kali
menyebabkan otitis media, sinusitis, pneumonia. Catat bahwa insiden meningitis yang disebabkan
tipe b berkapsul sudah sangat berkurang karena vaksin yang mengandung polisakarida tipe b
sebagai immunogen. Patogenensis H. Influenzae melibatkan kapsul antifagositiknya dan
endotoxin; exotoxin tidak diproduksi.

Kebanyakan infeksi terjadi pada anak-anak antara usia 6 bulan dan 6 tahun, dengan puncaknya
pada kelompok usia dari 6 bulan sampai 1 tahun. Penyebaran pada usia ini dikaitkan dengan
penurunan pada IgG maternal pada anak disertai dengan ketidakmampuan untuk menghasilkan
antibodi yang cukup melawan antigen pilisakarida berkapsul sampai pada usia sekitar 2 tahun.

6. Diagnosa lab H.Influenzae

Diagnosis laboratorium bergantung pada isolasi dari organisme pada agar darah yang dipanaskan
(“cokelat”) yang diperkaya dengan dua faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk respirasi
bakteri, dinamakan, faktor X (sebuah senyawa heme/hemin) dan faktor V (NAD). Darah yang
digunakan pada agar cokelat dipanaskan untuk inaktivasi inhibitor nonspesifik dari pertumbuhan
H. Influenza.

Sebuah organisme yang tumbuh hanya dengan adanya kedua faktor pertumbuhan tersebut
diduga teridentifikasi sebagai H. Influenzae; spesies lain dari Haemophilus, seperti Haemophilus
parainfluenzae, tidak memerlukan kedua faktor tersebut. Identifikasi definitif dapat dibuat baik
dengan tes biokimia ataupun reaksi pembengkakan kapsul (quellung). Tambahan berarti
mengidentifikasi strain berkapsul termasuk pewarnaan antibodi fluoroscent dari organisme dan
counter-immunoelectrophoresis atau tes aglutinasi latex, yang mendetiksa polisakarida
berkapsul.

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


7. Mekanisme tranmisi Community Acquired Pneumonia (CAP)
a. Inhalasi partikel penyebab infeksi (umum)
b. Aspirasi oropharynx atau isi dari gaster (umum)
c. Deposisi hematogen (jarang)
d. Invasi dari infeksi pada struktur yang menular (langka)
e. Inokulasi langsung (kurang umum)
f. Reaktivasi (umum pada host yang immunocompromised)

8. Patologi pneumonia
INFEKSI PULMO
Gambaran klinis dapat berupa penyakit akut yang fulminant atau penyakit kronis berkepanjangang.
Spektrum histologis pneumonia dapat dimulai dari ditemukannya eksudat alveolus fibrinopurulent
pada pneumonia yang diakibatkan infeksi bakteri akut, infiltrat mononucleus pada pneumonia
atipik atau yang disebabkan oleh virus, hingga ditemukannya granuloma dan kavitas pada
pneumonia kronis. Pneumonia yang disebabkan infeksi bakteri akut dapat ditunjukkan sebagai satu
atau dua pola anatomis dan radiografis, disebut sebagai bronchopneumonia dan lobarpneumonia.
Bronchopneumonia adalah distribusi inflamasi yang tidak teratur, yang secara umum meliputi
lebih dari satu lobus. Pola tersebut berasal dari infeksi awal pada bronchi dan bronchioli dengan
penyebaran ke alveoli di dekatnya. Sebaliknya, pada lobar pneumonia ruang udara yang saling
berhubunag pada sebagian atau seluruh lobus paru secara homogen terisi dengan eksudat yang dapat
dilihat secara radiografi sebagai konsolidasi lobus atau segmen.
MORFOLOGI
Pada era sebelum antibiotic, pneumonia yang disebabkan pneumococcus meliputi seluruh lobus dan
berkembang melalui 4 tahap: kongesti, red hepatization, gray hepatization, dan resolusi. Terapi
antiobiotik awal merubah atau menghambat progres tersebut.
- Selama tahap pertama, yaitu tahap kongesti, lobus yang terpengaruh berat, merah, dan basah;
secara histologis, kongesti pembuluh dapat terlihat, dengan cairan proteinaceous, neutrophil
yang menyebar, dan banyak bakteri pada alveoli.
- Selama beberapa hari, tahap red hepatization terjadi, di mana lobus paru memiliki konsistensi
seperti hepar, ruang-ruang alveolus dipenuhi dengan neutrophil, red cells, dan fibrin.
- Pada tahap selanjutnya, gray hepatization, paru kering, abu-abu, dan padat, karena red cells
mengalami lisis, sedangkan eksudat fibrinosupuratif tetap berada di alveoli.
- Resolusi terjadi pada kasus yang tidak rumit, eksudat di alveoli secara enzimatik tercerna untuk
membentuk debris setengah cair yang bergranul yang diresorpsi, difagosit oleh makrofag,
dikeluarkan melalui batuk, atau diatur oleh fibroblast. Reaksi pleura (fibrinous atau

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


fibrinopurulent pleuritis) dapat mengalami resolusi atau mengalami organisasi, meninggalkan
adhesi fibrin yang menebal atau permanen.

9. Patofisiologi pneumonia
Akibat patofisiologis utama dari inflamasi dan infeksi yang meliputi paru bagian distal adalah
ventilasi yang menurun pada area yang terkena.
a. Jika perfusi secara relatif teratur seperti biasa, ketidakcocokkan ventilasi-perfusi terjadi,
dengan rasio ventilasi-perfusi yang rendah pada daerah yang terkena.
b. Jika alveoli terpenuhi dengan eksudat inflamasi, maka tidak ada ventilasi pada daerah tersebut,
dan terjadi ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang ekstrem (shunt).
c. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi disebut hipoksemia.
d. Respons sistemik terhadap pneumonia adalah cerminan dari respons tubuh terhadap infeksi
parah. Aspek yang paling nampak dari respons tersebut adalah demam, leukositosis (terutama
dengan pada pneumonia yang disebabkan bakteri).
11. Bagaimana diagnosis community-acquaired pneumonia (cap)
(harrison’s principles od internal medicine 18th)

DIAGNOSIS
Diagnosis klinis:
A. Symtom/gejala pneumonia
CAP dapat bervariasi mulai dari indolent sampai fulminant (ak ga paham artie) daqlam
presentasinya dan dari ringan/sedang sampai fatal pada tingkat keparahannya. Tanda dan
gejala yang bervariasi, yang tergantung dari deretan (progression) dan keparahan infeksi,
termasuk temuan konstitusional dan manisfestasi yang terbatas pada paru dan struktur”
yang berhubungan
Pada pasien biasanya terjadi :
1) Febril/demam
2) Taikadri, dan bisa terdapat
3) Menggigil dan/atau berkeringat
4) Batuk yang antara non-produktif atau produktif yg menghasilkan mucous, purulent
atau sputum berdarah (hemoptysis)
5) Sesak napas (dyspnea)
6) Apabila pleura terlibat, pasien bisa mengalami pleuritic chest pain (nyeri dadar pada
pleura)
7) Hingga 20% pasien bisa mengalami gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah,
dan/atau diare
8) Gejala lain bisa termasuk kelelahan, nyeri kepala, myalgia, dan arthralgia
B. Temuan pemeriksaan fisik pneumonia
Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi dengan derajat konsolidasi paru dan ada
tidaknya efusi pleura yang signifikan
1) Peningkatan respiratory rate dan
2) Pemakaian otot respirasi aksesoris umum terjadi
3) Palpasi : bisa menunjukkan peningkatan atau penurunan tactile fremitus / fremitus
raba
4) Perkusi : note dapat bervariasi dari dull/tumpul sampai flat/rata, menunjukkan
penyebab/pokok masing-masing konsolidasi paru dan cairan pleura

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


5) Auskultasi : crackle/rale (bunyi nonmusik yang biasanya terdengar saat inhalasi *cari
sendiri), suara napas bronchi, dan kemungkinan gesekan friksi pleura dapat terdengar
saat auskultasi
6) Presentasi klinik bisa tidak terlalu terlihat jelas pada orang tua, uamh mungkin mulai
menunjukkan permulaan baru (new-onset) atau kebingungan yang bertambah parah
(worsening confusion?????????) dan beberapa manisfestasi lain. Pasien dengan sakit
parah yang telah mengalami shock septic sekunder dikarenakan CAP mengalami
hipotensi dan dapat terbukti mengalamui kegagalan organ
7) Perkusi yang tumpul/dull, bronchial breath sound/suara napas bronchi, dan egophony
menimbulkan pikiran adanya konsolidasi pulmo/paru tapi bisa saja absen/tidak ada
C. Test laboratorium
1) Complete blood count, pulse oximetry (cek saturasi oksigen pada darah arteri
menggunakan oximetry-dorland cari sendiri) atau analisa gas darah arteri
2) Kultur darah harus mendahului terapi antibiotik dan positif pada 6-20% kasus
3) Pewarnaan gram dan kultur sputum: ditemukannya _25 WBC dan _10 sel epitel
squamos pada high-0power field (lapangan pandang dgn pembesaran besar)
menunjukkan bahwa sample tsb layak dikultur; organisme tunggal dan utamapada
pewarnaan gram menunjukkan etiologi/penyebab
4) Test antigen urin untuk S. Pneumoniae dan Legionella pneumophila ripe 1 dapat
membantu
5) Serologi: adanya IgM atau peningkatan hingga 4x pada titer antibodi dapat membantu
diagnosis dari pneumonia yang dikarenakan beberapa patogen (misalnya M.
Pneumoniae, C. pneumoniae, Chlamydia psittaci, Legionella spp., Coxiella burnetii,
adenovirus, parainfluenza virus, dan influenza A virus)
6) Protein C-reaktif, procalcitonin serum, dan neopterin telah dipakai untuk memisahkan
antara infeksi virus atau bakteri. Assay ultrasensitif untukl procalcitonin terlihat
menjanjikan pada level dibawah atau sama dengan 0.25 mikrogram/L, terapi
antibioytik telah sukses dihentikan pada pasien pneumonia.
D. Radiograf dada biasanya menunjukkan infiltrasi. Radiograf dada bisa menunjukkan infiltrasi
multilobular, kerugian volume (volume loss), atau efusi pleura. Radiograf dada bisa
negatif pada tahap sangat awal penyakit karena dehidrasi atau neutropenia parah
12. Bagaimana melakukan pemeriksaan sputum (pewarnaan gram, kultur) dan interpretasinya
(Patologi Klinik)
13. Apakah pola radiografi pneumonia? (franquet)
Diagnosis klinis pneumonia biasanya dapat mudah dibentuk/ditemukan atas dasar gejala dan
tanda klinis dan radiografi dada.
Pola radiografi dari CAP bisa bervariasi dan sering terkait dengan agen penyebab. Manifestasi
radiografi tipikal satu diantara 3 pola:
a. Lobar pneumonia dikarakteriskit dengan adanya infiltrasi neutrofil didalam alveoli.
Inflamasi menyebar melalui pori dari Khon (pores of Khon) dan Lambert channels, dan
alhasil sering memengaruhi keseluruhan lobus. Pola ini adalah karakteristik pneumonia
paling sering dikanrenakan oleh S. Pneumonia, klebsiella spp, dan H. Influenzae
b. Bronchopneumoniae dikarakteristik oleh eksudat purulent di dalam bronchiolus terminalis
dan alveoli yang berdekatan. Penyebaran endobronchial menghasilkan multiple/banyak
foci konsolidasi di dalam segmen paru, sub segmen, atau unit anatomis yang lebih kecil.

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli dan bacilus graqm-
negatif lainnya (Haemophilus influenzae) biasanya menyebabkan pola penyakit ini.
c. Interstitial pneumonia dikarakteristik oleh edema pada septum alveolar dan infiltrasi oleh
sel mononuklear. Pola ini merupakan karakteristik pneumonia paling sering dikarenakan
Mycoplasma pneumoniae dan virus-virus.

PNEUMONIA

Penakit ini biasanya dimulai pada alveolus dan menyebar dari satu alveolus ke yang lainnya.
Infeksi akan berhenti apabila mencapai fisura. Penemuan kunci pada x-ray yang spesifik
terhadap konsolidasi lobar adalah:

 Opacity/gambaran opaque/kabur homogen yang tidak jelas dan menutupi pembuluh


darah
 Tanda siluet: kehilangan antarmuka paru/jaringan lunak
 Air-bronchogram
 Perluasannya mencapai pleura atau fisurra tapi tidak melewatinya.

Tidak ada kehilangan volume parenkim. Konsolidasi lobar adalah hasil dari penyakit yang
dimulai di perifer dan menyebar dari satu alveolus ke lainnya melalui pori dari Kohn (pores of
Khon). Pada batasan dari penyaklit sebagian alveoli akan terlibat, sedangkan yang lainnya tidak,
yang akan membentuk ill-defined borders / batas yang tak jelas. Saat penyakit mencapai fisura,
ini akan menghasilkan gambaran tajam, karena konsolidasi tidak akan melewati fisura

Penemuannya adalah :

 Densitas meningkat dengan batas tidk jelas pada paru kiri

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


 Siluet jantung masih terlihat, yang menunjukkan densitasnya ada di lobus bagian bawah
 Air-bronchogram

Penemuannya adalah:

 Penampakan opaque yang homogen dan tidak jelas pada lobus medius paru kanan
 Air-bronchogram (+)

BRONCHOPNEUMONIA

Bronchopneumonia, yang juga kadang dikenal sebagai lobular pneumonia, adalah pola
radiologis yang berhubungan dengan inflamasi suppurative peribronchiolar dan disusul oleh
konsolidasi tdk sempurna pada satu atau lebih lobulus sekunder pada paru yang merupakan
respon dari bacterial pneumonia. Ini menghasilkan inflamasi peribronchiolar, yang dapat
menyebar melalui pori-pori dari Kohn (pores of Khon) yang menghasilkan konsolidasi
menyeluruh pada lobulus sekunder paru.
Penampakan radiologis dari bronchopneumonia tidak spesifik terhadap organisme penyebab
tunggal, meskipun begitu ada beberapa organisme yang memiliki presentasi radiologis
bronchopneumonia.
Tidak seperti lobar pneumonia, yang dimilai di alveoli, bronchopneumonia dimulai pada jalur
napas seperti pada bronkitis akut lalu menyebar kedalam parenkim paru yang menuntun
terjadinya densitas multifokal yang tidak jelas (patchy infiltrate). Ketika berlangsung, dapat
menghasilkan konsolidasi diffuse/tersebar. Penyakit ini tidak melewati/melintasi fissura, tapi
biasanya dimulai pada segmen multiple/banyak. Konsolidasi multifokal juga dijelaskan sebagai
multifocal ill-defined opacities or densities (densitas/opaque multifokal yang tidak jelas). Pada
kebanyakan kasus terjadi airspace-consolidation (konsolidasi ruang berudara????) yang
dikarenakan bronchopneumonia.

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


THIRD SESSION

Dia dibawa ke bangsal Paru. Dia diberikan infus ceftriaxon 1 gr/12 jam, antitussive (codein 10 mg/ 8
jam) dan diberikan oxygen suplemental 2 L/min melalui canalis nasalis. Pada hari ke 5 di rumah sakit,
temperaturnya menjadi 36’C, HR 80 bpm, BP 120/80 mmHg, RR 18x/menit, dan pemeriksaan pada
dua paru menunjukkan: palpasi normal; perkusi: sonor; auskultasi: vesikuler dan pasien membaik pada
hari ke 7.

1. Bagaimana terapi antibiotik pada pneumonia?


Prinsip pengobatan antibiotik utama pneumonia didasari oleh:
a. Terapi empiris
b. Pemeriksaan mikrobiologis

2. Apa terapi Antibiotic untuk inpatient, terapi CAP non ICU?


Pengobatan antibiotik untuk CAP

Inpatient, treatment non ICU


a. Respiratori fluoroquinolone (moxifloxacin 400mg PO/IV qd, Gemifloxacin 320mg PO qd, atau
levofloxacin [750 mg] PO/IV qd) (direkomendasikan; level I evidence)
b. Beta lactam dan macrolide (clarithromycin oral atau azithromycin) (direkomendasikan; level I
evidence) (Agen beta lactam yang direkomendasikan termasuk cefoxatime, ceftriaxone, dan
ampicillin; ertapenem untuk beberapa pasien; dengan doxycycline [level III evidence] sebagai
alternatif terhadap macrolide. Fluoroquinolone respiratorik harus digunakan untuk pasien dgn
alergi penicillin)

3. Berapa lama terapi antibiotik pada CAP

a. Pasien dengan CAP harus diobati minimal selama 5 hari, demam harus turun dalam
jangka waktu 48-72 jam, dan gejala yang berhubungan dengan CAP harus kurang dari 1
sebelum terapi diberhentikan
b. Durasi terapi yang lebih lama mungkin dibutuhkan jika terapi inisial tidak efektis terhadap
patogen yang teridentifikasi, atau jika pasien mengalami komplikasi infeksi ekstrapulmoner,
seperti meningitis atau endokarditis.

4. Bagaimana properti farmakologis dari antitussive?


Opiates. Opiates memiliki mekanisme aksi pusat pada µ reseptor opioid pada pusat batuk
medullar, tetapi ada beberapa alasan mereka memiliki aksi perifer tambahan pada reseptor batuk
pada saluran nafas proximal. Kodein dan pholcodine (tidak tersedia di U.S.) umumnya digunakan,
tetapi ada sedikit alasan jika mereka efektif secara klinis, sebagian pada batuk postviral; dg
tambahan, mereka terkait dengan sedasi dan konstipasi (Dicpinigaitis, 2009a). morphine dan
methadone efektif tetapi hanya diindikasikan untuk batuk keras yg terkait dengan carcinoma
bronchial. Aksi peripheral agonist opioid, 443C81, tidak efektif untuk batuk.

Dextromethorpan. Dextromethorpan adalah reseptor antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA)


yang aktif secara terpusat. Dia jg merupakan reseptor antagonis opioid. Meski faktnya
Dextromethorpan lebih banyak digunakan untuk suppressant batuk yang berlebihan dan umumnya
digunakan untuk terapi batuk, namun ini kurang efektif. Pada anak-anak dengan batuk akut
nocturnal ini tidak terlalu berbeda dengan placebo dalam mengurangi batuk. Ini juga dapat
menyebabkan halusinasi pada dosis yg lebih tinggi dan potensi penyalahgunaan yg tinggi.

Benzonatate. Adalah sebuah anestesi local, bertindak secara perifer dg menganestesi reseptor
regangan yang terletak pada jalur respirasi, paru, dan pleura. Dg melembabkan aktivitas pada

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2


reseptor itu, benzonatate mampu mengurangi reflex batuk pada sumbernya. Dosis yg
direkomendasikan adalah 100 mg, 3 kali/hari dan lebih dari 600 mg/hari jika diperlukan. Meski
studi klinis beberapa saat setelah izin menunjukkan beberapa kemanjuran, namun benzonatate 200
mg tidak efektif untuk menekan experimentally-induced cough pada uji klinis baru-baru ini. efek
samping termasuk pusing dan dysphagia. Kejang dan gagal jantung dapat terjadi jika diikuti dg
konsumsi berlebihan. Reaksi alergi parah dilaporkan pada pasien alergi untuk para-aminobenzoic-
acid, sebuah metabolite dari benzonatate.
Beberapa obat lain dilaporkan memiliki sedikit manfaat dalam perlindungan melawan batuk atau
dalam mengurangi batuk pada penyait paru. Obat itu termasuk moguisteine (tidak tersedia di U.S.)
yang bertindak secara perifer dan muncul untuk membuka kanal ATP sensitive K+; baclofen,
GABAB selective agonist; dan theobromine, methylxanthine yg terjadi secara alami. Meski
expectorant guaifenesin bukan tipe yg dikenali sebagai suppressant batuk, namun itu jauh lebih baik
daripada placebo dalam mengurangi batuk akut viral dan menghambat sensitifitas reflex batuk pada
pasien dg infeksi saluran nafas atas.

5. Apa komplikasi dari pneumonia?


a.Efusi pleura
b.Empysema
c.Lung abcess
d.Pneumothorax
e.Sepsis/septic shock
f.Respiratory failure

6. Bagaimana prognosis dari pneumonia


Prognosis dari CAP tergantung pada umur pasien, komorbiditas, dan letak terapi (inpatient atau
outpatient). Pasien muda tanpa komorbiditas melakukannya dengan baik dan sembuh total setelah
2 minggu. Pasien yg lebih tua dan dengan kondisi komorbid membutuhkan beberapa minggu lebih
lama untuk sembuh total. Secara keseluruhan tingkat mortalitas untuk kelompok outpatient adalah
<1 %. Untuk pasien yg perlu rawat inap, keseluruhan tingkat mortalitas di estimasikan pada 10%,
dengan 50% dari kematian langsung akibat pneumonia.

7. Bagaimana pencegahan dari pneumonia

Pencegahan utama adalah dengan vaksinasi. Komite Penasihat dalam Praktik Imunisasi harus
diikuti untuk influenza dan vaksin pneumococcal

SAPHIR BLOK RESPI | CASE 2

Anda mungkin juga menyukai