Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Human ImmunodeficiencyVirus/Acquired Immunodeficiency
Syndrome(HIV/AIDS)
2.1.1 Sejarah
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).
AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDSdikemukakan
pertama kali tahun 1981.U.S. Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) melaporkan kejadian infeksi Pneumocystis jiroveci (P.
carinii) pneumonia di Los Angeles dan Sarkoma kaposi dengan atau
tanpa Pneumocystis jiroveci pneumonia di New York dan Los Angele
(1,15,16)
pada pria homoseksual yang sebelumnya sehat . Beberapa bulan
kemudian kasus tersebut juga dijumpai pada Injection Drug User (IDU),
penerima transfusi darah dan penderita hemofilia(1).Tahun 1983, HIV
diidentifikasioleh Lue Montagnier, diberi nama LAV (Lymphadenopathy
virus) sedangkanRobert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada
1984 yang dinamakan HTLV-III,selanjutnya didemontrasikan bahwa
(1)
virus tersebut merupakan penyebab AIDS .
Barré-Sinoussi F et al. tahun 1983 berhasil mengisolasi HIV dari
pasien dengan limfadenopati kemudian HIV didemonstrasikan sebagai
penyebab dari AIDS. Metode pemeriksaan Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) dikembangkan pada tahun 1985,
pemeriksaan ini memberikan apresiasi yang positif terhadap epidemi
HIV di Amerika Serikat dan negara lainnya (1).
Sejak tahun 1986 telah banyak dilakukan penelitian tentang HIV.
HIV2 berhasil diisolasi dari pasien AIDS di Afrika hingga pada tahun
1996-1997 obat highly active antiretroviral therapy(HAART) digunakan

7
untuk menekan replikasi HIV (17).Luc Montagnier menerima penghargaan
nobel atas penelitian yang berhasil mengisolasi HIV dari pasien dengan
limfadenopati.

2.1.2 Definisi
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah suatu
sindroma klinis yang bervariasi terhadap infeksi opurtunistik spesifik
atau keganasan yang terjadi bersamaan dengan infeksi HIV dan
merupakan petanda telah terjadi infeksi HIV stadium lanjut (18). Menurut
U.S. GovernmentSource for HIV/AIDS Medical Practice Guidelines,
Clinical Trials and Other Research Information, AIDS merupakan kelainan
pada sistem imun yang disebabkan oleh infeksi HIV, dimana terjadi
perusakan limfosit CD4 (sel CD4). Hal ini akan mengakibatkan tubuh
mudah terpapar infeksi dan keganasan. AIDS menunjukan stadium lanjut
(19) (18)
dari infeksi HIV .Sedangkan untuk kepentingan surveilan, WHO
memberikan definisi HIV stadium lanjut sebagai infeksi HIV dengan
stadium klinis 3 atau 4, atau bila tersedia pemeriksaan CD4.

2.1.3 Etiologi
Human Immunodefiency Virus (HIV) adalah virus sitopatik yang
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus
Lentivirus.Berdasarkan strukturnya (Gambar 1) HIV termasuk famili
retrovirus, suatu virus RNA dengan berat molekul 9.7 kb (kilobases) dan
(20,21)
memiliki diameter 120 nm .Virus ini terdiri dari dua salinanRNA
beruntai tunggalyang mengkode sembilangentertutup (gag, pol, vif, vpr,
vpu, env, rev, tat dan nef), dan terdiridari2.000kopi p24 protein
virus.Dikelilingi oleh kapsid selubung virus (envelope).Selubung virus
terdiri atas dua lapis membran lipid, dimana masing-masing unit

8
selubung virus terdiri atas dua protein membran non-kovalen
yaituglycoprotein 120 (gp120) dan glycoprotein 41 (gp41)(20).
Gambar 2.1
StrukturHIV-1.Membranluargp120,komponentransmembrangp41,
Agenom,enzimreverse transkriptase, p18(17) membran dalam(matriks), dan
proteinintip24(kapsid)

Sumber: Fauci AS and Lane HC. Harrison’s Principles of Internal Medicine 2008.

2.1.4 Status imunologi


Patogenesis infeksi HIV berhubungan dengan penurunan jumlah
limfosit T yang mengandung reseptor CD4 (CD4+). Agar dapat terjadi
infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel host yaitu molekul CD4.
Molekul CD4 mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
terutama terhadap molekul gp120 dari selubung virus.Diantara sel tubuh
yang memiliki molekul CD4 paling banyak adalah sel limfosit-T.Status
imunologi penderita HIV dapat dinilai dengan mengukur jumlah absolut
(per mm3 darah) atau persentase dari sel CD4+, dan ini dianggap sebagai
pemeriksaan standar untuk menilai dan menentukan derajat
imunosupresi yang berhubungan dengan infeksi HIV.Penurunan progresif
dari sel T CD4+ berhubungan dengan progresifitas infeksi HIV dan

9
peningkatan resiko infeksi oportunistik serta manifestasi klinis lainnya,
termasuk wasting syndrome dan kematian (19).

2.1.5.Patogenesis Infeksi HIV


HIV merupakan virus yang termasuk famili retroviridae, klas
retrovirus dan subklas lentivirus termasuk virus RNA karena menggunakan
RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Disebut retrovirus
karena memiliki enzim reverse transkriptase. Enzim ini memungkinkan
virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA kedalam
bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan dalam informasi genetik sel
limfosit yang diserang. Termasuk subklas Lentivirus karena terdapat
interval yang lama dari awal mulai infeksi sampai timbul gejala yang
serius.
Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis yang
mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati,
sehingga pada waktu itu dinamakan lymphadenopathy associated virus
(LAV). Para peneliti mengidentifikasi dua jenis HIV, HIV-1 merupakan jenis
yang dominan di seluruh dunia dan HIV-2 terutama terdapat di Afrika
Barat. HIV-1 memiliki peranan dalam menginfeksi makrofag dan limfosit
pada penderita AIDS. Virus ini secara berangsur-angsur menghancurkan
sel-sel pertahanan tubuh, sehingga tubuh tidak dapat mempertahankan
diri terhadap infeksi(22).

10
Siklus hidup HIV
Gambar

Gambar 2.2
Sumber: www.med.sc.edu:85/lecture/hiv7.htm

Viral gp 120 berikatan dengan molekul CD4 yang terdapat pada limfosit T
helper, makrofag, sel dendritik, monosit dan sel langerhan. Terjadi
perubahan bentuk gp 120 yang memfasilitasi pengikatan co reseptor
(chemokine) yaitu CCR5 dan CXCR4 selain itu sel dendritik juga memiliki
reseptor lektin tipe C (DC SIGN) yang dapat berikatan dengan gp 120.
Virus HIV yang menggunakan CCR5 sebagai reseptor disebut virus R5
lebih mudah menginfeksi monosit,microglia sedangkan virus HIV yang
menggunakan CXCR4 disebut virus X4 dan cenderung menginfeksi limfosit
T helper dan membentuk syncytium (penggabungan sel membrane
limfosit yang terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi). Melalui protein
gp40 yang penetrasi membrane sel host kemudian melekuk sehingga

11
menarik sel virus mendekati membrane sel host untuk penggabungan
(fusion)  RNA masuk kedalam sel.
Reverse transkriptase (RT) HIV membentuk DNA copy single strand ( RNA-
DNA hybrid) kemudian di degradasi oleh ribonuklease di RT, kemudian
dibentuk double strand DNA (provirus). Proviral translokasi ke nukleus
dan integrasi ke DNA sel host dengan enzim integrase, aktifasi dari sel
host diperlukan untuk proses transkripsi virus sehingga terbentuk mRNA,
mRNA digunakan untuk mencetak protein HIV di reticulum endoplasma
sel host. Enzim protease memotong rantaipanjang dari protein HIV dan
bersama HIV RNA membentuk virus baru, kemudian virus melakukan
budding untuk menembak envelope.
Secara klinis digunakan hitung jumlah limfosit CD4 sebagai
penanda munculnya infeksi oportunistik ini pada penderita HIV/AIDS.CD4
adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel – sel
darah putih manusia, terutama sel – sel limfosit.Sel ini berfungsi dalam
memerangi infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, jumlah CD4 berkisar antara 1400 –
1500sel/μL .HIV menyerang limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4
pada permukaannya. Limfosit T helper menghasilkan zat kimia yang
berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain
dalam sistem imun dan pembentukan antibodi sehingga bukan hanya
limfosit T tetapi juga limfosit B, monosit, dan makrofag.

12
Gambar 2.3
Sumber: www.wellesley.edu/chemistry/Chem101/hiv/HIV-1.html

Setelah terinfeksi HIV, 2-6 minggu terjadilah sindrom retroviral


akut sebagai gejala infeksi primer berupa demam, nyeri otot, nyeri sendi,
rasa lemah, kelainan mukokutan (ruam kulit, ulkus di mulut),
pembengkakan kelenjar limfe, gejala neurologi (nyeri kepala, nyeri
belakang kepala, fotofobia, depresi), maupun gangguan saluran cerna
(nausea, diare dan jamur di mulut). Selanjutnya merupakan fase
asimtomatik rata-rata 8 tahun (7-10 tahun), di negara bekembang lebih
cepat menjadi 2-3 tahun. Faktor risiko yang menyebabkan cepatnya
progresivitas penyakit ini antara lain viral load, penurunan cepat nilai
Cluster designation4 (CD4), usia lanjut dan pada pengguna obat
suntik.Penurunan CD4 disebabkan oleh kematian CD4 yang dipengaruhi
oleh HIV.Pada masa asimtomatik terjadi penurunan CD4 secara lambat
dan penurunannya semakin tajam pada stadium infeksi HIV yang lanjut.

13
Gambar 2.4
Sumber: www.wellesley.edu/chemistry/Chem101/hiv/HIV-1.html

Sebagian besar pengidap HIV pada fase asimtomatik tampak


sehat, dapat melakukan aktifitas normal namun dapat menularkan
kepada orang lain. Setelah masa tanpa gejala memasuki fase
simptomatik, akan timbul gejala-gejala pendahuluan seperti demam,
pembesaran kelenjar limfe yang diikuti infeksi oportunistik. Dengan
adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakit telah memasuki
stadium AIDS. Fase simtomatik berlangsung rata-rata 1-3 tahun dan
berakhir dengan kematian(23,29).

2.1.6.Stadium klinis
Penilaian stadium klinis (tabel 1) ditentukan setelah diagnosis
infeksi HIV ditegakan (serologi dan/atau virologi).Stadium klinis
bermanfaat untuk menilai status penderita saat diagnosis HIV ditegakan
dan follow-up penatalaksanaan, serta menjadi pedoman untuk memulai
terapi profilaksis kotrimoxazol dan/atau intervensi lainnya yang
berhubungan dengan infeksi HIV, termasuk kapan memulai terapi

14
ARV.Stadium klinis berhubungan dengan angka harapan hidup, prognosis
dan progresifitas penyakit tanpa terapi ARV (19).

Tabel 2.1 Stadium klinis infeksi HIV pada dewasa menurut WHO
Stadium klinis 1
Asimptomatis
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Penurunan berat badan <10%
ISPA berulang, sinusitis, tosilitis, otitis media dan faringitis
Herpes zoster
Luka disekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papular eruption))
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium klinis 3
Penurunan berat badan >10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumonia, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopenia kronis
(<50.000/ml)

Stadium klinis 4

15
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis, pnemonia bakterial yang berat berulang
Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
Kandidosis esofageal
TB extraparu
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV (Cytomegalovirus)
Abses otak toksoplasmosis
Encefalopati HIV
Meningitis kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif (PML)
Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis meluas,
histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis
Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi neurologis tanpa
sebab lain seringkali membaik dengan terapiARV)
Kanker serviks invasive
Leismaniasis atipik meluas
Gejala nefropati atau kardiomiopati terkait HIV

Sumber: WHO Case Definitions of HIV and Revised Clinical Staging and
Immunological Clasification of HIV-related Disease in Adult and
Children 2007.

2.1.7. Kriteria Diagnosis


Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah
seseorang terinfeksi HIV sangat penting, karena pada infeksi HIV gejala
klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahun-tahun lamanya pada tabel
berikut ini.

16
Tabel.2.2 Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
Keadaan Umum
• Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
• Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5 oC) yang lebih dari satu
bulan
• Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
• Limfadenopati meluas
Kulit
• PPE dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan
seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi
tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi
Infeksi Jamur • Kandidosis oral *
• Dermatitis seboroik
• Kandidosis vagina kambuhan
Infeksi viral • Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu dermatom)
• Herpes genital (kambuhan)
• Moluskum kontagiosum
• Kondiloma
Gangguan • Batuk lebih dari satu bulan
Pernapasan • Sesak napas
• TB
• Pneumonia kambuhan
• Sinusitis kronis atau berulang
Gejala neurologis • Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya)
• Kejang demam
• Menurunnya fungsi kognitif
*Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
Dikutip dari: Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral padaorang dewasa

17
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk
memastikan diagnosis infeksi HIV.Pemeriksaan serologi yang digunakan
untuk diagnosis HIV adalah deteksi antibody.Rapid Test adalah
immunokromatografi untuk deteksi antobodi HIV-1 dan antibody HIV-2
secara kualitatif.Western Blotmerupakan metode konfirmasi yang paling
banyak dipakai setelah dilakukan pemeriksaan penyaring misalnya
dengan EIA.Prinsip pemeriksaannya adalah reaksi antara antibody anti
HIV dengan antigen HIV.ELISA(Enzyme linked immunoassay) merupakan
jenis pemeriksaan penyaring yang efektif dan banyak dipakai untuk
mendeteksi antibody antiHIV karena mempunyai sensitifitas yang
tinggi.Mendeteksi antibody terhadap protein p6 dan gp41 yang
merupakan bagian virus HIV.Untuk mendiagnosis infeksi HIV selain
deteksi antibody juga dikembangkan deteksi antigen diantaranya dengan
mengukur viral load memakai metode polymerase chain reaction (PCR)
untuk mendeteksi asam nukleat virus HIV. Dilakukan biasanya pada bayi
dibawah usia 18 bulan karena pada usia kurang 18 bulan antibody belum
terbentuk.
Tabel 2.3 Perbandingan pemeriksaan HIV

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan


panduan nasional yang berlaku pada saat ini, selalu didahului dengan
konseling pra-tes atau informasi singkat.Setelah dinyatakan terinfeksi HIV
maka pasien perlu menjalani serangkaian pemeriksaan yang meliputi
penilaian stadium klinis, penilaian imunologis (pemeriksaan jumlah CD4)
dan pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi.

18
2.2 Terapi Antiretroviral

Setelah ditemukannya virus HIV berbagai upaya telah dilakukan


untuk menghambat ataupun menyembuhkan penyakit ini.Berbagai terapi
baru AIDS dapat segera diaplikasikan pada pasien, mengingat sifat
penyakit ini yang memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi.Ditemukannya
obat golongan NRTI yang mampu memperbaiki masa hidup penderita
AIDS, namun belum mampu mengeradikasi virus secara total.Dengan
diperkenalkannya kombinasi obat golongan PI dengan NRTI yang dikenal
sebagai HAART digunakan untuk menekan replikasi HIV, maka saat ini
penyakit AIDS tidak lagi sefatal dulu selama pengobatan dilakukan secara
teratur dan dalam jangka waktu yang panjang.
Manfaat pemberian terapi ARV lebih awal telah direkomendasikan
pada saat melakukan konsultasi dengan ODHA.Namun demikian,
perhatian lebih ditujukan terhadap risiko efek samping, terjadinya
resistensi terhadap ARV lini pertama, ketersedian kecukupan obat dan
tidak tersedianya regimen lini kedua (8).
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan
kadar CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.
Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah
memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum (7).
WHO merekomendasikan pemberian ARV terhadap(8):
- Seluruh penderita dengan kadar CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinis.
- Penderita dengan stadium klinis 1 dan 2 harus melakukan
pemeriksaan kadarCD4 untuk menentukan kapan akan memulai
terapi ARV.
- Penderita dengan stadium klinis 3 dan 4 tanpa memandang kadar
CD4.

19
Selama pemberian terapi ARV, perlu dilakukan pemantauan klinis
pada minggu ke-2, 4, 8, 12 dan 24 sejak memulai terapi ARV dan
kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.
Begitu juga dengan kadar CD4, pemantauan berkala dilakukan setiap 6
bulan atau lebih sering bila ada indikasi klinis (6).

Tabel 2.4

Dikutip dari : Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan


Terapi Antiretroviral pada orang dewasa
HIV memerlukan sel inang untuk memproduksi salinan dari selnya. Ketika
salinan itu terbentuk, HIV lalu keluar dan menginfeksi jutaan sel lainnya
dalam waktu singkat bila produksi tidak dicegah. Pengobatan ARV terdiri
dari obat-obat yang bertujuan untuk memperlambat reproduksi HIV pada
tubuh. Agar pengobatan ini dapat lebih efektif dalam waktu yang lama
maka diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat ARV. Penggunaan
tiga atau lebih obat ARV dikenal sebagai terapi HAART(21,24).

20
Terdapat lebih dari 20 obat ARVdan tersedia untuk regimen
kombinasi. Masing-masing memiliki cara yang berbeda dalam merusak
atau menghambat HIV( 21,25,26):
Reverse Transcriptase Inhibitors
Reverse transcriptaseadalah suatu enzim yang dibutuhkan HIV untuk
menginfeksi sel inang dan mereproduksi dirinya. Reverse Transcriptase
Inhibitor berfungsi untuk memperlambat produksi dari enzim
transcriptase dan membuat HIV tidak dapat menginfeksi sel dan
menduplikasi sel-selnya. Golongan obat reverse transcriptase ini terdiri
dari:

• Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors


Obat Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs) juga dikenal
sebagai nukleoside analog adalah obat jenis pertama untuk menghambat
HIV. Obat golongan ini dikenal sejak tahun 1987.
• Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
Obat Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs) mulai
dikenal pada tahun 1997. Obat golongan ini secara umum dikenal sebagai
non-nukleosid.
• Nukleotide Reverse Transcriptase Inhibitors
Hanya ada satu jenis obat golongan ini yaitu tenovovir. Obat ini bekerja
dengan cara mencegah enzim reverse transcriptase,namun dengan cara
yang berbeda dengan obat reverse transcriptase lain.

21
Tabel 2.5 ARV golongan Reverse Transcriptase Inhibitors
Nucleotide
Non Nucleside Reverse Reverse
Nukleosid analog Transcriptase Inhibitors Transcriptase
(NNRTIs) inhibitors
(NRTIs)

- 3TC (Epivir, lamivudine) - Delavirdine (Rescriptor) Tenofovir


- Abacavir (Ziagen, ABC) - Efavirenz (Sustiva) (Viread)
- AZT (Retrovir, zidovudine) - Nevirapine(Viramune)
- Combivir (AZT/3TC)
- Trizivir (AZT/3TC/abacavir)
- D4T (Zerit, stavudine)
- ddC (Hivid, zalcitabine)
- ddI (Videx (tablet) Videx
C (capsule),
- FTC (Emtriva, emtricitabine)

Protease Inhibitor (PI)


Jenis kedua dari obat ARV adalahProtease Inhibitor (PI),
diperkenalkan pertama kali tahun 1995. PI menginhibisi protease yaitu
suatu enzim digestif yang berfungsi untuk memecah protein dan
merupakan salah satu dari banyak enzim yang digunakan oleh HIV untuk
menduplikasikan dirinya. Enzim protease pada HIV berperan untuk
merusak dan memotong rantai protein menjadi potongan-potongan kecil.
Potongan ini kemudian digunakan oleh HIV untuk menduplikasi diri dan
menginfeksi sel lainnya. PI berperan dalam mencegah sebelum enzim
protease dalam HIV merusak dan memotong rantai enzim dan protein. Ini

22
adalah cara protease untuk menghambat proses duplikasi dari virus dan
mencegah HIV menginfeksi sel-sel baru.
Tabel 2.6 Obat Protease Inhibitor
Protease Inhibitor (PI)
- Amprenavir (Agenerase)
- Atazanavir (Reyataz)
- Indinavir (Crixivan)
- Lopinavir/ritonavir (Kaletra)
- Nelfinavir (Viracept)
- Ritonavir (Norvir)
- Saquinavir (Fortovase (soft gel) Invirase (hard gel))
- Tipranavir (PNU)

Fusion Inhibitor (FI)


Permukaan dari HIV bermuatan protein yang dikenal sebagai gp
41 dan gp120. Protein ini merupakan protein yang mempersiapkan HIV
untuk dapat melekatkan dirinya pada sel atau masuk kedalam sel. Dengan
mencegah salah satu dari protein tersebut, maka akan dapat
memperlambat proses reproduksi dari HIV sendiri. Sebagai contoh T20
adalah fusi inhibitor yang melekat pada gp41. Obat T20 berbeda dari obat
lainnya karena harus disuntikkan. T20 merupakan suatu protein, sehingga
tidak dapat diberikan secara oral karena tidak dapat dicerna. Salah satu
T20 adalah fruzeon atau enfuvirtid.

Co-reseptor Antagonist
Sebagai tambahan untuk reseptor CD4, HIV juga membutuhkan
ko-reseptor untuk memasuki target sel. Pada pertengah tahun 1990
ditemukan dua buah reseptor yaitu reseptor CXCR4 dan reseptor CCR5.

23
Reseptor-reseptor ini, yang diduga lebih dari 200, dinamakan
berdasarkan natural chemokines yang biasanya mengikat mereka.Varian
HIV menggunakan kedua reseptor ini untuk masuk ke sel target.Varian
HIV disebut R5 apabila menggunakan CCR5 sebagai ko-reseptornya,
sedangkan virus yang menggunakan CXCR4disebut virus X4. Virus R5
adalah virus yang didominasi dengan menginfeksi makrofag, sedangkan
virus X4 terutama menginfeksi sel T. Pada kebanyakan pasien, virus R5
ditemukan pada awal-awal stadium infeksi, virus X4 lebih mematikan dan
dapat menginfeksi sel dengan spektrum yang lebih luas, muncul pertama
kali pada stadium lanjut.

Integrase Inhibitors
Integrase inhibitor pertama kali dikenal mulai tahun 2000. Tahun
2005 studi klinis berkembang dengan cepat sehingga akhirnya integrase
inhibitor menjadi kelas obat baru yang menjanjikan dalam pengobatan
HIV. Tiga enzim utama dalam siklus replikasi HIV-1 yaitu integrase,
reverse transkriptase dan protease. Enzim ini mengandung 288 asam
amino, terlibat dalam integrasi virus DNA ke host genome, dan penting
untuk proliferasi HIV. Integrasi virus DNA memiliki 4 langkah yang
semuanya dihambat oleh integrase inhibitor yang berbeda:
• Pengikatan integrase inhibitor pada sitoplasma terhadap virus
DNA, sehingga membentuk kompleks pre-integrasi yang stabil
(langkah ini dapat dicegah dengan pyranodipyridimine sebagai
integrase-DNA-binding inhibitor).
• Proses 3’: sebuah langkah katalik awal, integrase memotong
dinucleotide dari ujung virus DNA untuk memproduksi akhir 3’-
hydroxyl dengan kompleks protein pre-integrasi (langkah ini
dihambat oleh proses inhibitor termasuk styrylquinolone atau di-
ketoacids).

24
• Strand transfer. Integrase mengikat host DNA terjadi setelah
kompleks pre-integrasi diubah dan ditransfer ke dalam nukleus sel
melalui pori-pori nuklear. Hal ini memediasi ikatan irreversibel
ujung hydroxyl dari virus DNA terhadap jembatan
phosphodiesterase host DNA (langkah ini dihambat 2
integraseinhibitor yaitu raltegravir dan elvitegravir), yang disebut
strand transfer inhibitor (STI).
• Gap repair. Kombinasi dari virus DNA dan host DNAyang
merupakan produk menengah dengan gap, yang dapat diperbaiki
dengan enzim perbaikan sel host.
Berdasarkan Pedoman Nasional Tatalaksana HIV 2011 di
Indonesia, pemerintah menganjurkan pengobatan antiretroviral lini
pertama adalah 2NRTI + 1NNRTI, dengan salah satu dari paduan
dibawah ini :
Tabel 2.7 Panduan ARV lini pertama
AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine) ATAU
AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) ATAU
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP (Tenofovir + Lamivudine (atau ATAU
Emtricitabine) + Nevirapine)
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (Tenofovir + Lamivudine (atau
Emtricitabine) + Efavirenz)

25
Tabel 2.8
Dikutip dari : Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada orang dewasa

26
Pedoman pemberian pengobatan ARV pada koinfeksi HIV-TB
CD4 REJIMEN YANG Keterangan
DIANJURKAN
CD4<200/mm3 Mulai terapi TB Dianjurkan ART
Mulai ART segera setelah EVP merupakan
terapi TB dapat kontraindikasi ibu hamil
ditoleransi ( 2 minggu-2 atau PUS tanpa
bulan). kontrasepsi
Regimen yang
mengandung EFV ( AZT
atau d4T) + 3TC + EFV.
Setelah OAT selesai bila
perlu EFV diganti NVP
CD4 200-350/mm3 Mulai terapi TB Pertimbangkan ART
Mulai salah satu rejimen
berikut setelah fase
intensif
Rejimen yang
mengandung EFV : ( AZT
atau d4T) + 3TC + EFV.
Atau rejimen yang
mengandung NVP bila
regimen TB fase lanjutan
tidak menggunakan
rifamfisin. (AZT atau d4T)
+ 3TC + NVP
CD4>350/mm3 Mulai terapi TB Tunda ART
CD4 tak mungkin Mulai terapi TB Pertimbangkan ART
diperiksa

27
Tabel 2.9 (Sumber : Depkes RI,2004)

Tabel 2.10 Rekomendasi ARV penderita HIV disertai munculnya TB dalam 6


bulan pengobatan ART rejimen lini pertama atau lini kedua
ARV lini pertama atau Rejimen ARV yang Pilihan
lini kedua dipakai saat munculnya
TB
ART lini pertama Dua NRTIs + EFV Lanjutkan dengan dua
NRTIs + EFV
Dua NRTIs + NVP Subsitusi EFVab
Atau
Subsitusi dengan rejimen
tiga NRTIa, atau lanjutkan
dengan dua NRTIs + NVPc
Lanjutkan dengan
Tiga Rejimen NRTI rejimen tiga NRTI
ART Lini Kedua Dua NRTIs + PI Subsitusi dengan atau
lanjutkan ( bila tersedia)
LPV/r- atau SOV/r- dan
RTVa
(WHO,2006)
Keterangan :
a. Subsitusi kembali ke rejimen semula sekali lagi yaitu ke rejimen yang
mengandung rifamfisin. Bila swit dari EFV ke NVP tidak memungkinkan
b. Penggunaan EFV tidak direkomendasikan pada wanita hamil trisemester
pertama atau wanita peserta program kontrasepsi tetapi tidak adekuat
c. Monitoring klinis dan laboratoris (ALT) perlu dilakukan dengan hati-hati bila
NVP atau disertai Pis yang diberikan bersama rifamfisin

28

Anda mungkin juga menyukai