Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan farmasi di Indonesia sudah dimulai semenjak zaman Belanda,


sehingga teknologi steril sebagai salah satu bagian dari ilmu farmasi mengalami dinamika
yang begitu cepat. Teknologi Steril merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana
membuat suatu sediaan (Injeksi volume kecil, Injeksi volume besar, Infus, Tetes Mata dan
Salep Mata) yang steril, mutlak bebas dari jasad renik, patogen, atau non patogen, vegetatif
atau non vegetatif (tidak ada jasad renik yang hidup dalam suatu sediaan). Teknologi steril
berhubungan dengan proses sterilisasi yang berarti proses mematikan jasad renik (kalor,
radiasi, zat kimia) agar diperoleh kondisi steril. Tentunya di setiap fakultas mendapatkan
mata kuliah tersebut, karena teknologi steril berperan penting dan menjadi mata kuliah pokok
farmasi.
Dalam teknologi steril, kita dapat mempelajari tentang bagaimana menghasilkan
atau membuat sediaan yang steril, sediaan steril dapat dibuat secara sterilisasi kalor basah,
kalor kering, penyaringan, sterilisasi gas, radiasi ion dan teknik aseptik. Kemudian sediaan
steril tersebut dilakukan uji sterilitas, uji pirogenitas (ada atau tidaknya pirogen). Pada saat
kuliah teknologi steril akan kita dapatkan sediaan dalam bentuk larutan, emulsi, suspensi dan
semi solid yang steril (bebas dari pirogen).
Salah satu bentuk sediaan steril adalah injeksi. Injeksi adalah sediaan steril berupa
larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih
dahulu sebelum digunakan yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau selaput lendir. Dimasukkan ke dalam tubuh dengan menggunakan alat
suntik.

B. Tujuan

1. Memenuhi tugas Teknologi Sediaan Steril


2. Mengetahui pengertian dan penggolongan injeksi
3. Mengetahui proses pembuatan sediaan injeksi steril
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

INJEKSI

A. Pengertian

Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril berupa
larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih
dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau melalui selaput lender (FI.III.1979). Sedangkan menurut Farmakope
Indonesia Edisi IV, injeksi adalah injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang.
Umumnya hanya larutan obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena. Suspensi tidak
bisa diberikan karena berbahaya yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh
darah kapiler (FI.IV.1995).
Sediaan steril injeksi dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Injeksi vial adalah
salah satu bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada dosis ganda dan memiliki
kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 mL. Injeksi vial pun dapat berupa takaran tunggal atau
ganda dimana digunakan untuk mewadahi serbuk bahan obat, larutan atau suspensi dengan
volume sebanyak 5 mL atau pun lebih. (Anonim.Penuntun Praktikum Farmasetika I.2011)
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sediaan injeksi
adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan secara perenteral, suntikan dengan cara
menembus, atau merobek jaringan kedalam atau melalui kulit atau selaput lendir.

B. Penggolongan Injeksi

Adapun Penggolongan Obat Sediaan steril untuk sedian perenteral digolongkan


menjadi lima jenis yang berbeda yaitu :
1. Obat larutan, atau emulsi yang digunakan untuk injeksi ditandai dengan nama injeksi,
contohnya adalah injeksi insulin.
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat yang tidak mengandung dapar, pengencer atau
bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang
memenuhi persyaratan injeksi. Sediaan ini dapat membedakannya dari nama bentuknya
yaitu steril, contohnya Ampicilin Sodium steril.
3. Sediaan seperti tertera pada no 2, tetapi mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau
bahan tambahan lain dan dapat dibedakan dari nama bentuknya yaitu untuk injeksi,
contohnya Methicillin Sodium untuk injeksi.
4. Sediaan berupa susupensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan
secara intravena atau di dalam saluran spinal, dan dapat dibedakan dari nama bentuknya
yaitu susupensi steril. Contoh Cortisao Suspensi steril.
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang
memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan pembawanya
yang sesuai. Dan dapat membedakannya dari nama bentuknya yaitu steril untuk suspensi.
Contohnya Ampicilin steril untuk suspensi.

EMULSI

A. Pengertian

Emulsi adalah campuran dari dua cairan yang biasanya tidak bergabung, seperti
minyak dan air. Perlu ditambahkan zat tertentu yang bertindak sebagai pengemulsi, yang
dapat membantu dua cairan dapat bercampur secara homogen dan stabil . Menurut farmakope
edisi IV Emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan
yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Stabilitas emulsi dapat dipertahankan dengan
penambahan zat yang ketiga yang disebut dengan emulgator (emulsifying agent).

B. Komponen Elmusi

Komponen Emulsi dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu :


1. Komponen Dasar

Adalah bahan pembentuk emulsi yang harus terdapat dalam emulsi. Terdiri atas:

 Fase dispers/fase internal/fase discontinue Yaitu zat cair yang terbagi-bagi menjadi
butiran kecil kedalam zat cair lain.

 Fase continue/fase external/fase luar Yaitu zat cair dalam emulsi yang berfungsi
sebagai bahan dasar (pendukung) dari emulsi tersebut.
 Emulgator Adalah bagian dari emulsi yang berfungsi untuk menstabilkan emulsi.
Emulgator Alam seperti : Tumbuh-tumbuhan ( Gom Arab, tragachan, agar-agar,
chondrus), Hewani ( gelatin, kuning telur, kasein, dan adeps lanae), Tanah dan
mineral ( Veegum/ Magnesium Alumunium Silikat). Emulgator Buatan: Sabun,
Tween (20,40,60,80), Span (20,40,80).

2. Komponen Tambahan
Merupakan bahan tambahan yang sering ditambahkan pada emulsi untuk memperoleh
hasil yang lebih baik, antara lain :
 Corrigen : Corigen actionis ( memperbaiki kerja obat), Corigen saporis (memperbaiki
rasa obat), corrigen odoris (memperbaiki bau obat), corrigen colouris ( memperbaiki
warna obat), corigen solubilis (memperbaiki kelarutan obat)

 Preservative (pengawet) : Preservative yang digunakan Antara lain metil dan propil
paraben, asam benzoat, asam sorbat, fenol, kresol, dan klorbutanol, benzalkonium
klorida, fenil merkuri asetas, dll.

 Anti oksidan. Antioksidan yang digunakan Antara lain asam askorbat, a-tocopherol,
asam sitrat, propil gallat, asam gallat.

C. Tipe Elmusi

Tipe Emulsi Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase internal
ataupun external, maka emulsi digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1. Emulsi tipe O/W ( oil in water ) atau M/A ( minyak dalam air ).
Adalah emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar ke dalam air. Minyak
sebagai fase internal dan air sebagai fase external.
2. Emulsi tipe W/O ( water in oil ) atau A/M ( air dalam Minyak ).
Adalah emulsi yang terdiri dari butiran yang tersebar kedalam minyak. Air sebagai fase
internal dan minyak sebagai fase external.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Formulasi

R/ Lidokain HCl 0.5%


Nacl qs
Aqua Pro injeksi ad 2 ml

B. Pembuatan

1. Sterilisasi alat dan bahan


2. Penimbangan bahan aktif dan tambahan
3. Pembuatan API
a. Panaskan aquadest hingga mendidih
b. Setelah mendidih, tutup dengan kapas yang terbungkus kasa
c. Didihkan lagi API selama 20- 30 menit
d. Setelah agak dingin kemudian dialiri dengan gas N2
4. Pelarutan bahan obat dan bahan tambahan dalam pembawa
a. Masukan Lidocain HCl ke dalam beaker glass.
b. Tambahkan Aqua Pro Injeksi untuk melarutkan sebanyak + 10 ml, aduk ad larut
c. Masukan NaCl ke dalam beaker glass.
d. Tambahkan Aqua Pro Injeksi untuk melarutkan sebanyak + 10 ml, aduk ad larut
5. Pengukuran volume I ( larutan obat )
a. Ukur volume zat yang telah dilarutkan di atas di dalam gelas ukur atau beaker glass.
b. Cukupkan volumenya dengan aqua pro injeksi ad 10 ml ( sesuai dengan jumlah
volume yang dilarutkan ).
6. Penyaringan
a. Siapkan corong + kertas saring yang telah disterilkan.
b. Saring hasil pengukuran volume I.
7. Pengukuran volume II ( Aqua Pro Injeksi )
a. Ukur kembali hasil dari penyaringan I
b. Bilas Erlenmeyer yang digunakan pada pengukuran I dengan Aqua Pro Injeksi
c. Celupkan volume injeksi yang kita buat dengan Aqua Pro Injeksi ad 15 ml.
8. Pengisian dengan buret
a. Siapkan buret yang telah disterilkan.
b. Lakukan penyaringan ke II langsung ke dalam buret, sebelumnya buret dibilas
dengan 2 x 3 ml hasil pengukuran volume II ( larutan obat suntik ).
c. Kemudian masukan larutan obat suntik Lidocain HCl ke dalam buret ( melalui
corong daitambah kertas saring.
d. Isikan larutan obat suntik ke dalam ampul 1 ml.
9. Ampul berisi larutan obat dialiri uap air untuk mencegah pengarangan dengan gas N2
a. Alirkan uap air ke ampul berisi larutan obat suntik Lidocain HCl untuk
menghilangkan kemungkinan sisa tetesan di obat suntik pada leher ampul. Dan juga
untuk mencegah terjadinnya pengarangan dengan gas N2.
10. Penutupan ampul
a. Tutup ampul dengan cara membakar bagian atas ampul dengan api.
b. Kemudian tarik ujungnya dengan pinset.
11. Sterilisasi akhir
Sterilkan larutan obat suntik dalam ampul pada autoklaf pada suhu 115° - 116°C selam
30 menit.
12. Pengemasan

C. Persyaratan

Persyaratan untuk Injeksi :


1. Aman
Injeksi tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau menimbulkan efek toksik.
2. Harus jernih
Injeksi yang berupa larutan harus jernih dan bebas dari partikel asing, serat dan benang.
Pada umumnya kejernihan dapat diperoleh dengan penyaringan. Alat-alat penyaringan
harus bersih dan dicuci dengan baik sehingga tidak terdapat partikel dalam larutan.
Penting untuk menyadari bahwa larutan yang jernih diperoleh dari wadah dan tutup
wadah yang bersih, steril dan tidak melepaskan partikel.
3. Sedapat mungkin isohidris
Isohidris artinya pH larutan injeksi sama dengan pH darah dan cairan tubuh lain, yaitu
pH 7,4. Hal ini dimaksudkan agar bila diinjeksikan ke badan tidak terasa sakit dan
penyerapan obat dapat maksimal.
4. Sedapat mungkin isotonis
Isotonis artinya mempunyai tekanan osmosa yang sama dengan tekanan osmosa darah
dan cairan tubuh yang lain, yaitu sebanding dengan tekanan osmosa larutan natrium
klorida 0,9%. Penyuntikan larutan yang tidak isotonis ke dalam tubuh dapat
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Bila larutan yang disuntikkan hipotonis
(mempunyai tekanan osmosa yang lebih kecil) terhadap cairan tubuh, maka air akan
diserap masuk ke dalam sel-sel tubuh yang akhirnya mengembang dan dapat pecah. Pada
penyuntikan larutan yang hipertonis (mempunyai tekanan osmosa yang lebih besar)
terhadap cairan-cairan tubuh, air dalam sel akan ditarik keluar, yang mengakibatkan
mengerutnya sel. Meskipun demikian, tubuh masih dapat mengimbangi penyimpangan-
penyimpangan dari isotonis ini hingga 10%. Umumnya larutan yang hipertonis dapat
ditahan tubuh dengan lebih baik daripada larutan yang hipotonis. Zat-zat pembantu yang
banyak digunakan untuk membuat larutan isotonis adalah natrium klorida dan glukosa.
5. Tidak berwarna
Pada sediaan obat suntik tidak diperbolehkan adanya penambahan zat warna dengan
maksud untuk memberikan warna pada sediaan tersebut, kecuali bila obatnya memang
berwarna.
6. Steril
Suatu bahan dikatakan steril jika terbebas dari mikroorganisme hidup yang patogen
maupun yang tidak, baik dalam bentuk vegetatif maupun dalam bentuk tidak vegetatif
(spora).
7. Bebas pirogen
Hal ini harus diperhatikan terutama pada pemberian injeksi dengan volume besar, yaitu
lebih dari 10 ml untuk satu kali dosis pemberian. Injeksi yang mengandung pirogen dapat
menimbulkan demam (Voight, 1995 dan Dra. Rr.Sulistiyaningsih, Apt).

D. Evaluasi Sediaan

1. Uji Kejernihan dan Warna


Umumnya setiap larutan suntik harus jernih dan bebas dari kotoran-kotoran. Uji ini
sangat sulit dipenuhi bila dilakukan pemeriksaan yang sangat teliti karena hampir tidak
ada larutan jernih. Oleh sebab itu untuk uji ini kriterianya cukup jika dilihat dengan mata
biasa saja yaitu menyinari wadah dari samping dengan latar belakang berwarna hitam
dan putih. Latar belakang warna hitam dipakai untuk menyelidiki kotoran-kotoran
berwarna muda, sedangkan latar belakang putih untuk menyelidiki kotoran-kotoran
berwarna gelap.
2. Uji pH (FI ed. IV, hal 1039-1040)
Cek pH larutan dengan menggunakan pH universal, dengan syarat pH sediaan harus
sama dengan pH stabil zat aktif
3. Uji Keseragaman Volume (FI IV hal 1044)
Pilih salah satu atau lebih wadah, bila volume 10 ml atau lebih : 3 wadah atau lebih bila
volume lebih dari 3 ml dan kurang dari 10 ml. - Ambil isi tiap wadah dengan alat suntik
hipodemik kering berukuran tidak lebih dari 3 kali volume yang akan diukur dan
dilengkapi dengan jarum suntik nomor 21, panjang tidak kurang dari 2,5 cm. - Keluarkan
gelembung udara dari dalam jarum dan alat suntil dan pindahkan isi dalam alat suntik,
tanpa mengosongkan bagian jarum, ke dalam gelas ukur kering volume tertentu yang
telah dibakukan sehingga volume yang diukur memenuhi sekurang-kurangnya 40%
volume dari kapasitas tertentu (garisgaris penunjuk volume gelas ukur menunjukkan
volume yang ditampung, bukan yang dituang).
4. Uji Sterilitas (FI IV hal 855)
Uji sterilitas dilakukan dengan cara inokulasi langsung pada media: 1) Media tioglikolat
cair inkubasi pada 30-35oC selama 7 hari 2) Soybean-casein digest, inkubasi pada 20-
25oC selama 7 hari. Cara: Pengambilan ampul yang digunakan untuk uji sterilitas
dengan cara sampling pada beberapa ampul yang diambil tiap beberapa waktu. Atau
menggunakan rumus sampling dalam 1 batch dengan √1000 + 1= 32,6 ̴ 33 dimana
sampling ampil no 33,66,99 dan seterusnya yg diuji. Atau sampling random pada ampul
yang yang telah dibuat dengan mengambil 10 ampul dari tiap bagian depan, tengah dan
belakang pada baisan ampul yang telah jadi.
5. Uji Kebocoran (lachman hal 1354)
Letakkan ampul didalam beaker glass dengan terbalik pada otoklaf, indikasinya adanya
kebocoran adalah volume apul setelah diuji. Jika volume berkurang maka terjadi
kebocoran.

E. Pemilihan Wadah dan Kompatibilitas wadah

1. Bentuk Ampul
a. Ampul adalah wadah berbentuk silindris terbuat dari gelas, yang memiliki ujung
runcing (leher) dan bidang dasar datar ukuran normalnya adalah 1, 2, 5, 10, 20,
kadang – kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah wadah takaran tunggal, oleh
karena total jumlah cairannya ditentukan pemakainannya untuk satu kali injeksi
(Voight, 1995).
b. Sediaan suntik dibuat secara steril karena sediaan ini diberikan secara parenteral.
Istilah steril adalah keadaan bebas dari mikroorganisme baik bentuk vegetatif,
nonvegetatif, pathogen maupun nonpatogen. Sedangkan parenteral menunjukkan
pemberian dengan cara disuntikkan. Produk parenteral dibuat mengikuti prosedur
steril mulai dari pemilihan pelarut hingga pengemasan. Bahan pengemas yang biasa
digunakan sebagai sediaan steril yaitu gelas, plastik, elastik (karet), metal.
Pengemasan sediaan suntik harus mengikuti prosedur aseptis dan steril karena
pengemas ini langsung berinteraksi dengan sediaan yang dibuat, termasuk dalam hal
ini wadah. Wadah merupakan bagian yang menampung dan melindungi bahan yang
telah dibuat (ansel,1989).
c. Wadah obat suntik (termasuk tutupnya) harus tidak berinteraksi dengan sediaan, baik
secara fisik maupun kimia karena akan mengubah kekuatan dan efektifitasnya. Bila
wadah dibuat dari gelas, maka gelas harus jernih dan tidak berwarna atau berwarna
kekuningan, untuk memungkinkan pemeriksaan isinya. Jenis gelas yang sesuai dan
dipilih untuk tiap sediaan parenteral biasanya dinyatakan dalam masing-masing
monograf. Obat suntik ditempatkan dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis
berganda (Ansel, 1989).
d. Wadah dosis tunggal biasanya disebut ampul, tertutup rapat dengan melebur wadah
gelas dalam kondisi aseptis. Wadah gelas dibuat mempunyai leher agar dapat dengan
mudah dipisahkan dari bagian badan wadah tanpa terjadi serpihan-serpihan gelas.
Sesudah dibuka, isi ampul dapat dihisap kedalam alat suntik dengan jarum
hipodermik. Sekali dibuka, ampul tidak dapat ditutup dan digunakan lagi untuk waktu
kemudian, karena sterilitas isinya tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Beberapa
produk yang dapat disuntikkan dikemas dalam alat suntik yang diisi sebelumnya
dengan atau tanpa cara pemberian khusus. Gelas yang digunakan dalam mengemas
sediaan farmasi digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu :
Gelas Komposisi Sifat-sifat Aplikasi

Sediaan parenteral
Resistensi terhadap
asidik dan netral,
Tipe hidrolisis
Borosilikat bisa juga untuk
1 tinggi,eksporasi
sediaan alkali yang
termal rendah
sama

Sediaan parenteral
Kaca soda
asidik dan netral,
Tipe kapur Resistensi hidrolitik
bisa juga untuk
II (diperlukan relatif tinggi
sediaan alkalin yang
dealkalisasi)
sesuai

Kaca soda lapur Cairan anhidrat dan


Sama dengan tipe II,
Tipe (tidak produk kurang,
tapi dengan
III mengalami sediaan parenteral
pelepasan oksida
perlakuan jika sesuai

Kaca soda Hanya digunakan


Tipe kapur Resistensi hidrolitik untuksediaaan non
NP (penggunaan sangat rendah parenteral (oral,
umum) tipikal, dsb)
 Tipe 1, 2 dan 3 dimaksudkan untuk produk parenteral
 Dan tipe NP dimaksudkan untuk produk non-parenteral dan tipe itu dimaksudkan
untuk penggunaan oral dan topical

2. Proses pengemasan ampul :


a. Pembersihan
1) Pada umumnya, ampul kosong yang dipasarkan dalam keadaan terbuka
memiliki leher yang lebar untuk memudahkan pembersihan dan pengisian.
Dengan cara pengisian ampul berulang kali dengan cairan pencuci dan akhirnya
dikosongkan dapat diperoleh ampul yang bersih dan menjamin bahwa seluruh
partikel pengotor dan serpihan gelas telah dihilangkan.
2) Dalam industri kecil, digunakan beberapa alat pencuci dimana ampul-ampul
dipasang pada kanula dan air ditekan mengalir kedalam ampul melaui kanula
bermantel. Suplai air dihentikan digantikan dengan aliran udara bertekanan yang
menekan keluar sisa-sisa air sampai ampul mengering.
3) Dalam industri besar, tersedia mesin-mesin pembersih ampul semiotomatis dan
otomatis. Pada mesin pencuci otomatis pembersihan dilakuakan dengan cairan
pencuci panas bersuhu 80C bertekanan tinggi (0,4 Mpa, 4 at) dimana serpihan
gelas yang melekat erat pada dinding-dinding dan umumnya baru dapat
dihilangkan pada saat sterilisasi melalui kerja panas, juga turut tercuci. Setelah
dilakukan penyemprotan dengan cairan pencuci umumnya masih diikuti
2xpencucian dengan air pada tekanan yang sama dan diakhiri dengan air suling
(0,05 Mpa, 0,5 at) (voight,1995).
b. Pengisian
Pengisian ampul dengan larutan obat dilakuakn pada sebuah alat khusus untuk
pabrik kecil atau menengah pengisian dilakukan dengan alat torak pengisi yang
bekerja secara manual atau elektris. Melalui gerak lengannya larutan yangakan
diisikan dihisap oleh sebuah torak kedalam penyemprot penakar dan melalui
kebalikan gerak lengan dilakukan pengisiannya (voight,1995).

3. Penutupan
Penutupan ampul dapat dilakukan dengan 2 cara. Pertama cara peleburan, dimana
semburan nyala api diarahkan pada leher ampul yang terbuka dan ampul ditutup dengan
membakar disatu lokasi lehernya sambil diputar kontinyu. Kedua cara tarikan, dimana
seluruh alat penutup ampul otomat yang digunakan dalam industri bekerja menurut
prinsip ini.
BAB IV

KESIMPULAN

Sediaan injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan secara
perenteral, suntikan dengan cara menembus, atau merobek jaringan kedalam atau melalui
kulit atau selaput lendir.
Emulsi adalah campuran dari dua cairan yang biasanya tidak bergabung, seperti
minyak dan air. Perlu ditambahkan zat tertentu yang bertindak sebagai pengemulsi, yang
dapat membantu dua cairan dapat bercampur secara homogen dan stabil . Menurut farmakope
edisi IV Emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan
yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Stabilitas emulsi dapat dipertahankan dengan
penambahan zat yang ketiga yang disebut dengan emulgator (emulsifying agent).
Dalam pembuatan injeksi, sediaan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan
untuk sediaan parenteral, seperti syarat isohidris, steril, bebas pirogen, dan isotonis. Hal ini
dikarenakan, pemberiaan sediaan ini langsung diinjeksikan melalui pembuluh darah.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI press


Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia ediai IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Soetopo dkk. 2002. Ilmu Resep Teori. Jakarta : Departemen Kesehatan
Voight Rudolf. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press
Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI Press
Departemen Kesehatan RI. 1978. Formularium Nasional edisi II. Jakarta
Van Duin. 1947. Ilmu Resep. Jakarta : Soeroengan
Anief. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : UGM Pres
Martindale, The Extra Pharmacopeia Twenty-eight Edition. The Parmaceutical Press, London.
1982.
MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Infomaster.
https://www.academia.edu/9329071
https://farmasetika.com/2019/07/13/emulsi-dan-tipe-tipe-emulsi-dalam-sediaan-farmasi/

Anda mungkin juga menyukai