Anda di halaman 1dari 21

njectiones 1

A. Pengertian

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek
jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.

Dalam FI.ed.IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang
berbeda :

1. Sediaan berupa larutan dalam air / minyak / pelarut organik yang lain yang digunakan untuk injeksi,
ditandai dengan nama, Injeksi................

Dalam FI.ed.III disebut berupa Larutan. Misalnya :

Inj. Vit.C, pelarutnya aqua pro injection

Inj. Camphor oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection

Inj. Luminal, pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air

2 Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer atau
bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi
persyaratan injeksi, ditandai dengan nama , ...................Steril.

Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang
cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang memenuhi syarat larutan injeksi. Misalnya :
Inj. Dihydrostreptomycin Sulfat steril

3 Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang memenuhi
persyaratan untuk suspensi steril setelahpenambahan bahan pembawa yang sesuai, ditandai dengan
nama , ............ Steril untuk Suspensi.

Dalam FI.ed.III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang
cocok dan steril, hasilnya merupakan suspensi yang memenuhi syarat suspensi steril. Misalnya : Inj.
Procaine Penicilline G steril untuk suspensi.

4 Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan secara
intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan nama , Suspensi.......... Steril.

Dalam FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam pembawa yang
cocok dan steril) .

Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone Acetat steril


5 Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahan tambahan lain,
ditandai dengan nama, ............. Untuk Injeksi.

Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya
merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk
injeksi

B. Macam-Macam Cara Penyuntikan

1. Injeksi intrakutan ( i.k / i.c ) atau intradermal

Dimasukkan ke dalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosa. Volume yang disuntikkan
antara 0,1 - 0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam air.

2. Injeksi subkutan ( s.k / s.c ) atau hipodermik

Disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveolar, volume yang disuntikkan tidak lebih dari
1 ml. Umumnya larutan bersifat isotonik, pH netral, bersifat depo (absorpsinya lambat). Dapat diberikan
dalam jumlah besar (volume 3 - 4 liter/hari dengan penambahan enzym hialuronidase), bila pasien
tersebut tidak dapat diberikan infus intravena. Cara ini disebut"Hipodermoklisa ".

3. Injeksi intramuskuler ( i.m )

Disuntikkan ke dalam atau diantara lapisan jaringan / otot. Injeksi dalam bentuk larutan, suspensi atau
emulsi dapat diberikan secara ini. Yang berupa larutan dapat diserap dengan cepat, yang berupa emulsi
atau suspensi diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkan efek yang lama. Volume penyuntikan
antra 4 - 20 ml, disuntikkan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.

4. Injeksi intravenus ( i.v )

Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena. Bentuknya berupa larutan, sedangkan bentuk
suspensi atau emulsi tidak boleh, sebab akan menyumbat pembuluh darah vena tersebut. Dibuat
isitonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis (disuntikkannya lambat / perlahan-lahan dan tidak
mempengaruhi sel darah); volume antara 1 - 10 ml. Injeksi intravenus yang diberikan dalam dosis
tunggal dengan volume lebih dari 10 ml, disebut "infus intravena/ Infusi/Infundabilia". Infusi harus
bebas pirogen dan tidak boleh mengandung bakterisida, jernih, isotonis.

Injeksi i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisida

Injeksi i.v dengan volume 10 ml atau lebih harus bebas pirogen.


5. Injeksi intraarterium ( i.a )

Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri / perifer / tepi, volume antara 1 - 10 ml, tidak boleh
mengandung bakterisida.

6. Injeksi intrakor / intrakardial ( i.kd )

Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau ventriculus, tidak boleh mengandung bakterisida,
disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.

7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural ( i.d ), subaraknoid.

Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada dasar otak ( antara 3 -4 atau 5 - 6
lumbra vertebrata ) yang ada cairan cerebrospinalnya. Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan
cerebrospinal adalah lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang sering hipertonis.
Jaringan syaraf di daerah anatomi disini sangat peka.

8. Intraartikulus

Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuk suspensi / larutan dalam air.

9. Injeksi subkonjuntiva

Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa suspensi / larutan, tidak lebih dari 1 ml.

10. Injeksi intrabursa

Disuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam bentuk larutan suspensi dalam air.

11. Injeksi intraperitoneal ( i.p )

Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan cepat ; bahaya infeksi besar

12. Injeksi peridural ( p.d ), extradural, epidural

Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan
sumsum tulang belakang.
C. Susunan Isi ( Komponen ) Obat Suntik

1. Bahan obat / zat berkhasiat

2. Zat pembawa / zat pelarut

3. Bahan pembantu / zat tambahan

4. Wadah dan tutup

1. Bahan obat / zat berkhasiat

a) Memenuhi syarat yang tercantum sesuai monografinya masing-masing dalam Farmakope.

b) Pada etiketnya tercantum : p.i ( pro injection )

c) Obat yang beretiket p.a ( pro analisa ) walaupun secara kimiawi terjamin kualitasnya, tetapi belum
tentu memenuhi syarat untuk injeksi.

2. Zat pembawa / zat pelarut

Dibedakan menjadi 2 bagian :

a) Zat pembawa berair

Umumnya digunakan air untuk injeksi. Disamping itu dapat pula digunakan injeksi NaCl, injeksi glukosa,
injeksi NaCl compositus, Sol.Petit. Menurut FI.ed.IV, zat pembawa mengandung air, menggunakan air
untuk injeksi, sebagai zat pembawa injeksi harus memenuhi syarat Uji pirogen dan uji Endotoksin
Bakteri. NaCl dapat ditambahkan untuk memperoleh isotonik. Kecuali dinyatakan lain, Injeksi
NaCl atau injeksi Ringer dapat digunakan untuk pengganti air untuk injeksi.

Air untuk injeksi ( aqua pro injection ) dibuat dengan cara menyuling kembali air suling segar dengan alat
kaca netral atau wadah logam yang dilengkapi dengan labu percik. Hasil sulingan pertama dibuang,
sulingan selanjutnya ditampung dalam wadah yang cocok dan segera digunakan. Jika dimaksudkan
sebagai pelarut serbuk untuk injeksi, harus disterilkan dengan cara Sterilisasi A atau C segera setelah
diwadahkan.

Air untuk injeksi bebas udara dibuat dengan mendidihkan air untuk injeksi segar selama tidak kurang
dari 10 menit sambil mencegah hubungan dengan udara sesempurna mungkin, didinginkan dan segera
digunakan. Jika dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk injeksi , harus disterilkan dengan cara
sterilisasi A, segera setelah diwadahkan.

b) Zat pembawa tidak berair


Umumnya digunakan minyak untuk injeksi (olea pro injection) misalnya Ol. Sesami, Ol. Olivarum, Ol.
Arachidis.

Pembawa tidak berair diperlukan apabila :

(1) Bahan obatnya sukar larut dalam air

(2) Bahan obatnya tidak stabil / terurai dalam air.

(3) Dikehendaki efek depo terapi.

Syarat-syarat minyak untuk injeksi adalah :

(1) Harus jernih pada suhu 100 .

(2) Tidak berbau asing / tengik

(3) Bilangan asam 0,2 - 0,9

(4) Bilangan iodium 79 - 128

(5) Bilangan penyabunan 185 - 200

(6) Harus bebas minyak mineral

(7) Memenuhi syarat sebagai Olea Pinguia yaitu cairan jernih ataumassa padat yang menjadi jernih
diatas suhu leburnya dan tidak berbau asing atau tengik

Obat suntik dengan pembawa minyak, tidak boleh disuntikkan secara i.v , hanya boleh secara i.m.

3. Bahan pembantu / zat tambahan

Ditambahkan pada pembuatan injeksi dengan maksud :

a) Untuk mendapatkan pH yang optimal

b) Untuk mendapatkan larutan yang isotonis

c) Untuk mendapatkan larutan isoioni

d) Sebagai zat bakterisida

e) Sebagai pemati rasa setempat ( anestetika lokal )

f) Sebagai stabilisator.
Menurut FI.ed.IV, bahan tambahan untuk mempertinggi stabilitas danefektivitas harus
memenuhi syarat antara lain tidak berbahaya dalam jumlah yang digunakan, tidak mempengaruhi efek
terapetik atau respon pada uji penetapan kadar.

Tidak boleh ditambahkan bahan pewarna, jika hanya mewarnai sediaan akhir. Pemilihan dan
penggunaan bahan tambahan harus hati-hati untuk injeksi yang diberikan lebih dari 5 ml. Kecuali
dinyatakan lain berlaku sebagai berikut :

§ Zat yang mengandung raksa dan surfaktan kationik, tidak lebih dari 0,01 %

§ Golongan Klorbutanol, kreosol dan fenol tidak lebih dari 0,5 %

§ Belerang dioksida atau sejumlah setara dengan Kalium atau Natrium Sulfit, bisulfit atau metabisulfit
, tidak lebih dari 0,2 %

a) Untuk mendapatkan pH yang optimal

pH optimal untuk darah atau cairan tubuh yang lain adalah 7,4 dan disebutIsohidri.

Karena tidak semua bahan obat stabil pada pH cairan tubuh, sering injeksi dibuat di luar pH cairan tubuh
dan berdasarkan kestabilan bahan tersebut.

Pengaturan pH larutan injeksi diperlukan untuk :

1. Menjamin stabilitas obat, misalnya perubahan warna, efek terapi optimal obat, menghindari
kemungkinan terjadinya reaksi dari obat.

2. Mencegah terjadinya rangsangan / rasa sakit waktu disuntikkan.

Jika pH terlalu tinggi (lebih dari 9) dapat menyebabkan nekrosis jaringan (jaringan menjadi mati),
sedangkan pH yang terlalu rendah (di bawah 3) menyebabkan rasa sakit jika disuntikkan. misalnya
beberapa obat yang stabil dalam lingkungan asam : Adrenalin HCl, Vit.C, Vit.B1 .

pH dapat diatur dengan cara :

1. Penambahan zat tunggal , misalnya asam untuk alkaloida, basa untuk golongan sulfa.

2. Penambahan larutan dapar, misalnya dapar fosfat untuk injeksi, dapar borat untuk obat tetes mata.

Yang perlu diperhatikan pada penambahan dapar adalah :

1. Kecuali darah, cairan tubuh lainnya tidak mempunyai kapasitas dapar.

2. Pada umumnya larutan dapar menyebabkan larutan injeksi menjadi hipertonis.


3. Bahan obat akan diabsorpsi bila kapasitas dapar sudah hilang, maka sebaiknya obat didapar pada pH
yang tidak jauh dari isohidri. Jika kestabilan obat pada pH yang jauh dari pH isohidri, sebaiknya obat
tidak usah didapar, karena perlu waktu lama untuk meniadakan kapasitas dapar.

b) Untuk mendapatkan larutan yang isotonis

Larutan obat suntik dikatakan isotonis jika :

1. Mempunyai tekanan osmotis sama dengan tekanan osmotis cairan tubuh ( darah, cairan lumbal, air
mata ) yang nilainya sama dengan tekanan osmotis larutan NaCl 0,9 % b/v.

2. Mempunyai titik beku sama dengan titik beku cairan tubuh, yaitu - 0,520C.

Jika larutan injeksi mempunyai tekanan osmotis lebih besar dari larutan NaCl 0,9 % b/v, disebut
" hipertonis ", jika lebih kecil dari larutan NaCl 0,9 % b/v disebut " hipotonis " .

Jika larutan injeksi yang hipertonis disuntikkan, air dalam sel akan ditarik keluar dari sel , sehingga sel
akan mengkerut, tetapi keadaan ini bersifat sementara dan tidak akan menyebabkan rusaknya sel
tersebut.

Jika larutan injeksi yang hipotonis disuntikkan, air dari larutan injeksi akan diserap dan masuk ke dalam
sel, akibatnya dia akan mengembang dan menyebabkan pecahnya sel itu dan keadaan ini bersifat tetap.
Jika yang pecah itu sel darah merah, disebut " Haemolisa ". Pecahnya sel ini akan dibawa aliran darah
dan dapat menyumbat pembuluh darah yang kecil.

Jadi sebaiknya larutan injeksi harus isotonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis, tetapi jangan
sampai hipotonis.

Cairan tubuh kita masih dapat menahan tekanan osmotis larutan injeksi yang sama nilainya dengan
larutan NaCl 0,6 - 2,0 % b/v.

Perhitungan Isotonis (Sambungan Injectiones)

Larutan injeksi dibuat isotonis terutama pada penyuntikan :

1. Subkutan : jika tidak isotonis dapat menimbulkan rasa sakit, sel-sel sekitar penyuntikan dapat rusak,
penyerapan bahan obat tidak dapat lancar.

2. Intralumbal , jika terjadi perubahan tekanan osmotis pada cairan lumbal, dapat menimbulkan
perangsangan pada selaput otak.

3. Intravenus, terutama pada Infus intravena, dapat menimbulkan haemolisa.


Perhitungan Isotonis

Isotonis adalah suatu keadaan dimana tekanan osmotis larutan obat yang sama dengan tekanan
osmotis cairan tubuh kita. ( darah, air mata )

Hipotonis : tekanan osmotis larutan obat < tekanan osmotis cairan tubuh

Hipertonis : tekanan osmotis larutan obat > tekanan osmotis cairan tubuh

Cara menghitung tekanan osmose :

Banyak rumus dipakai, yang pada umumnya berdasarkan pada perhitungan terhadap penurunan
titik beku. Penurunan titik beku darah, air mata adala -0,520 C.

Larutan NaCl 0,9 % b/v adalah larutan garam fisiologis yang isotonis dengan cairan tubuh.

Beberapa cara menghitung tekanan osmose :

a. Dengan cara penurunan titik beku air yang disebabkan 1% b/v zat khasiat (PTB)

b. Dengan cara Equivalensi NaCl

c. Dengan cara derajat disosiasi

d. Dengan cara grafik

Cara PTB dengan rumus menurut FI.

Suatu larutan dinyatakan isotonik dengan serum atau cairan mata, jika membeku pada suhu -0,520 C.
Untuk memperoleh larutan isotonik dapat ditambahkan NaCl atau zat lain yang cocok yang dapat
dihitung dengan rumus :

0,52 – b1 C

Rumus-1 : B = b2

Keterangan :

B adalah bobot zat tambahan ( NaCl ) dalam satuan


gramuntuk tiap 100 ml larutan

0,52 adalah titik beku cairan tubuh ( -0,520 )

b1 adalah PTB zat khasiat

C adalah konsentrasi dalam satuan % b/v zat khasiat

b2 adalah PTB zat tambahan ( NaCl )

Tiga jenis keadaan tekanan osmotis larutan obat :


1 Keadaan Isotonis apabila nilai B = 0 ; maka b1 C = 0,52

2. Keadaan hipotonis apabila nilai B positip ;

maka b1 C < 0,52

3. Keadaan hipertonis apabila nilai B negatip ;

maka b1 C > 0,52

Contoh soal :

1. Jika diketahui bahwa penurunan titik beku air yang disebabkan oleh 1 % b/v Asam Borat 0,288
, maka kadar asan borat dalam 300 ml larutan asan borat isotonis adalah ...............

a. 1,805 % b/v c. 5,410 % b/v

b. 0,402 % b/v d. 5,417 % b/v

Jawab :

Misalkan kadar asam borat = X%b/v

0,52 - b1C

B= b2

Agar isotonis, maka 0 = 0,52 - 0,288 * X

b2

0,288 X = 0,52 ® X = 1,805

Jadi kadar Asam Borat = 1,805 % b/v

2. Jumlah volume larutan glukosa yang isotonis dapat dibuat jika tersedia 50 gram glukosa ( PTB
glukosa = 0,1 ), adalah...........

a. 555,6 ml b. 868,1 ml c. 892,9 ml d. 961,5 ml

Jawab :

Misalkan kadar glukosa = X % b/v

Agar isotonis, maka 0 = 0,52 - 0,1 X ® X = 0,52/0,1 = 5,2

Jadi untuk tiap 100 cc diperlukan Glukosa sebanyak 5,2 gram. Dengan demikian apabila Glukosa yang
tersedia 50 gram, maka volume yang diperoleh sebanyak :
50

50,2 x 100 CC = 99,601 CC

3. Bila dicampur 100 ml larutan asam borat 1,8 % b/v dan 100 ml larutan garam dapur 0,9 % b/v dan
diketahui penurunan titik beku larutan disebabkan 1 % asam borat = 0,288, Natrium klorida = 0,576
maka akan didapat larutan yang .......

a. hipotonis c. isotonis

b. hipertonis d. sangat hipertonis

Jawab :

C asam borat menjadi = 1,8 gram/200 ml ® 0,9 gram/100 ml ® 0,9 % b/v CNaCl menjadi = 0,9 gram/200 ml ® 0,45 gram/100
ml ® 0,45 % b/v

Jadi b1 x C + b2 x C 2 = 0,9 x 0,288 + 0,45 x 0,576

= 0,2592 + 0,2592 = 0,5184 = 0,52

® Berarti b x C = 0,52 atau harga B = 0, maka larutan tersebut isotonik.

Perhitungan Isotonis Untuk Injectiones

Cara Ekivalensi NaCl.

Yang dimaksud dengan ekivalen dari NaCl ( E ) adalah sekian gram NaCl yang memberikan efek osmose
yang sama dengan 1 gram dari suatu zat terlarut tertentu.

Jika E Efedrin HCl = 0,28 ; berarti tiap 1 gram Efedrin HCl ~ 0,28 gram NaCl. Jadi dapat dianalogikan
sebagai berikut :

Ex = a ; artinya tiap 1 gram zat X ~ a gram NaCl

Ex = E ; artinya tiap 1 gram zat X ~ E gram NaCl

Jika bobot zat X = W gram ® maka ekivalennya adalah W x Egram NaCl

Larutan isotonis NaCl 0,9 % b/v ; artinya tiap 100 ml NaCl ~ 0,9 gram NaCl

Jika bobot NaCl = W x E gram ; maka Volume yang isotonis adalah ( W x E )100/0,9 ; sehingga dapat kita
rumuskan sebagai berikut :

Rumus-2 V' = ( W x E ) 100/0,9 = ( W x E ) 111,1


Keterangan :

V' = Volume larutan yang sudah isotonis dalam satuan ml.

W = bobot zat aktip dalam satuan gram

E = Nilai ekivalensi zat aktip

Jika Volume larutan = V ml dan Volume yang sudah isotonis = V' ml ; maka Volume yang belum
isotonis adalah (V - V') ml , sedangkan volume untuk tiap 100 ml NaCl agar isotonis ~ 0,9
gram NaCl, maka bobot NaCl ( B ) yang masih diperlukan agar larutan menjadi isotonis adalah

( V - V ' ) x 0,9 / 100 ,

maka B = ( V - V ' ) x 0,9 / 100

atau B = ( 0,9/100 x V ) - ( 0,9/100 x V' ).

Jika V' kita ganti dengan ( W x E ) 100 / 0,9 ,

maka B = { 0,9/100 x V } – { 0,9/100 x ( W x E ) 100/0,9 }

dan akhirnya kita dapatkan rumus sebagai berikut :

Rumus-3 : B = 0,9/100 x V - ( W x E )

Keterangan :

B = bobot zat tambahan dalam satuan gram.

V = Volume larutan dalam satuan ml

W = bobot zatkhasiat dalam satuan gram

E = Ekivalensi zat aktif terhadap NaCl

Tiga jenis keadaan tekanan osmotis larutan obat :

1. Keadaan Isotonis apabila nilai B = 0 ;

maka 0,9/100 x V = ( W x E )

2. Keadaan hipotonis apabila nilai B positip;


maka 0,9/100 x V > ( W x E )

3. Keadaan hipertonis apabila nilai B negatip;

maka 0,9/100 x V < ( W x E )

Contoh Soal :

1. Bila 0,76 gram NaCl harus ditambahkan ke dalam 100 ml 1 % b/v larutan Atropin Sulfat, maka
larutan Atropin Sulfat isotonis adalah........................

a. 6,43 % b/v b. 6 % b/v c. 2 % b/v d. 1,18 % b/v

Jawab :

Cara A :

E Atropin sulfat = 0,900 - 0,760 = 0,140

Artinya 1 gram Atropin sulfat ~ 0,14 gram NaCl (dalam 100 ml)

Jadi untuk larutan isotonis 0,9 gram NaCl dalam 100 ml ekivalen dengan 0,9/0,14 x 1 gram Atropin
sulfat = 6,43 gram/100 cc = 6,43 % b/v

Cara B :

E Atropin sulfat = 0,900 - 0,760 = 0,140 ; dan volume 100 ml

Dengan rumus3 jika isotonis = 0,9/100 x 100 = W x 0,140

W = 0,9/0,140= 6,43

Jadi larutan Atropin Sulfat isotonisnya adalah 6,43 gram dalam 100 ml atau6,43 % b/v

2. Hitung berapa mg NaCl yang diperlukan untuk membuat larutan 2 % b/v Morfin HCl yang isotonis
sebanyak 30 ml , jika diketahui dalam Tabel ekivalen FI untuk morfin adalah 755 , ......................

Jawab :

Dalam tabel ekivalen FI untuk Morfin HCl = 755,

artinya 1 gram Morfin HCl menyebabkan ekivalen dengan 900 mg – 755 mg = 145 mg NaCl untuk
tiap 100 ml atau dengan kata lain E Morfin HCl= 0,145.

Bobot 2 % Morfin HCl dalam 30 ml larutan = 2/100 x 30 gram = 0,6 gram


Dari rumus3 ,

0,9

B= 100 V - (WxE)

0,9

= 100 30 - (0,6 x 0,145) = 0,27 - 0, 087 = 0,183

Jadi bobot NaCl yang masih harus ditambahkan adalah 0,183 gram

Uji Sterilitas Teknik Aseptik Pada Injeksi

7 Uji sterilitas pada teknik aseptik

Sediaan steril selalu dilakukan Uji Sterilitas sebelum sediaan itu diedarkan ke pasaran.

Uji Sterilitas dapat dilakukan sebagai berikut :

ke dalam salah satu wadah dimasukkan medium biakan bakteri sebagai ganti cairan steril. Tutup wadah
dan eramkan pada suhu 320 selama 7 hari. Jika terjadi pertumbuhan kuman, menunjukkan adanya
cemaran yang terjadi pada waktu pengisian bahan steril ke dalam wadah akhir yang steril.

Pembuatan larutan injeksi :

Dalam garis besar cara pembuatan larutan injeksi dibedakan :

1. Cara aseptik

2. Cara non-aseptik ( Nasteril )

1. Cara aseptic :

Digunakan kalau bahan obatnya tidak dapat disterilkan, karena akan rusak atau mengurai.

Caranya :

Zat pembawa, zat pembantu, wadah, alat-alat dari gelas untuk pembuatan, dan yang lainnya yang
diperlukan disterilkan sendiri-sendiri. Kemudian bahan obat, zat pembawa, zat pembantu dicampur
secara aseptik dalam ruang aseptik hingga terbentuk larutan injeksi dan dikemas secara aseptik.

Skema pembuatan secara aseptik :


Bahan obat Zat Zat pembantu (
pembawa ( steril )
steril )

Alat untuk
pembuatan

( gelas )

Dicuci → disterilkan → Dilarutkan (


ruang steril )

wadah ( ampul, vial ) ↓

Dicuci → disterilkan → Diisi

Ditutup kedap

Dikarantina

Diberi etiket dan Diperiksa


dikemas

2. Cara non-aseptik ( NASTERIL ).

Dilakukan sterilisasi akhir

Caranya :

bahan obat dan zat pembantu dilarutkan ke dalam zat pembawa dan dibuat larutan injeksi. Saring
hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang terbawa ke dalam filtrat larutan. Masukkan ke dalam
wadah dalam keadaan bersih dan sedapat mungkin aseptik, setelah dikemas, hasilnya disterilkan dengan
cara yang cocok.

Skema pembuatan secara non-aseptik :


Bahan obat Zat Zat pembantu
pembawa

Alat untuk
pembuatan

( gelas )

Dicuci Dilarutkan (
ruang steril )

wadah ( ampul, vial ) Disaring

↓ ↓

Dicuci Diisi

Ditutup kedap

Disterilkan

Dikarantina

Diberi etiket dan Diperiksa


dikemas

E. Pemeriksaan

Setelah larutan injeksi ditutup kedap dan disterilkan, perlu dilakukan pemeriksaan kemudian
yang terakhir diberi etiket dan dikemas. Pemeriksaan meliputi :

1. Pemeriksaan kebocoran.

2. Pemeriksaan sterilitas.

3. Pemeriksaan pirogenitas
4. Pemeriksaan kejernihan dan warna..

5. Pemeriksaan keseragaman bobot.

6. Pemeriksaan keseragaman volume.

Pemeriksaan 1 - 4 tersebut di atas disebut Pemeriksaan hasil akhir produksi.

1. Pemeriksaan kebocoran

Untuk mengetahui kebocoran wadah, dilakukan sebagai berikut :

a. Untuk injeksi yang disterilkan dengan pemanasan.

(i) Ampul :

disterilkannya dalam posisi terbalik dengan ujung yang dilebur disebelah bawah. Wadah yang bocor,
isinya akan kosong / habis atau berkurang setelah selesai sterilisasi .

(ii) Vial :

setelah disterilkan , masih dalam keadaan panas, masukkan ke dalam larutan metilen biru 0,1 % yang
dingin. Wadah yang bocor akan berwarna biru, karena larutan metilen biru akan masuk ke dalam larutan
injeksi tersebut.

b. Untuk injeksi yang disterilkan tanpa pemanasan atau secara aseptik / injeksi berwarna

Diperiksa dengan memasukkan ke dalam eksikator dan divakumkan. Wadah yang bocor, isinya akan
terisap keluar.

2. Pemeriksaan sterilitas

Digunakan untuk menetapkan ada tidaknya bakteri, jamur dan ragi yang hidup dalam sediaan
yang diperiksa. Dilakukan dengan teknik aseptik yang cocok. Sebelum dilakukan uji sterilitas, untuk zat-
zat :

a. Pengawet : larutan diencerkan dahulu, sehingga daya pengawetnya sudah tidak bekerja lagi.

b. Antibiotik : daya bakterisidanya diinaktifkan dulu, misalnya pada Penicillin ditambah enzym
Penicillinase.

Menurut FI. ed.III, pemeriksaan ini dilakukan sebagai berikut :

a. Dibuat perbenihan A untuk memeriksa adanya bakteri yang terdiri dari:


i. Perbenihan thioglikolat untuk bakteri aerob , sebagai
pembanding digunakan Bacillus subtilise atau Sarcina lutea.

ii. Perbenihan thioglikolat yang dibebaskan dari oksigen terlarut dengan memanaskan
0
pada suhu 100 selama waktu yang diperlukan, untuk bakteri anaerob, sebagai pembanding
digunakan Bacteriodes vulgatus atau Clostridium sporogenus.

b. Dibuat perbenihan B untuk memeriksa adanya jamur dan ragi, untuk itu dipakai perbenihan asam
amino, sebagai pembanding digunakanCandida albicans

Penafsiran hasil : zat uji dinyatakan pada suhu 300 – 320 selama tidak kurang dari 7 hari, tidak terdapat
pertumbuhan jasad renik.

3. Pemeriksaan Pirogen

Pirogen : Berasal dari kata Pyro dan Gen artinya pembentuk demam / panas. Pirogen adalah Zat
yang terbentuk dari hasil metabolisme mikroorganisme ( bangkai mikroorganisme ) berupa zat
eksotoksin dari kompleks Polisacharida yang terikat pada suatu radikal yang mengandung unsur
Nitrogen dan Posfor, yang dalam kadar 0,001 – 0,01 gram per kg berat badan, dapat larut dalam air,
tahan pemanasan, dapat menimbulkan demam jika disuntikkan. (reaksi demam setelah 15 menit sampai
8 jam). Pirogen bersifat termolabil. Larutan injeksi yang pemakaiannya lebih dari 10 ml satu kali pakai,
harus bebas pirogen.

Cara menghilangkan pirogen

1. Untuk alat / zat yang tahan terhadap pemanasan ( jarum suntik, alat suntik dll.) dipanaskan pada
suhu 2500 selama 30 menit

2. Untuk aqua p.i ( air untuk injeksi ) bebas pirogen :

a. Dilakukan oksidasi :

§ Didihkan dengan larutan H2O2 1 % selama 1 jam.

§ 1 liter air yang dapat diminum, ditambah 10 ml larutan KMnO4 0,1 N dan 5 ml larutan 1 N, disuling
dengan wadah gelas, selanjutnya kerjakan seperti pembuatan Air untuk injeksi.

b. Dilakukan dengan cara absorpsi :

Saring dengan penyaring bakteri dari asbes. Lewatkan dalam kolom Al2O3 Panaskan dalam Arang
Pengabsorpsi 0,1 % ( Carbo adsorbens 0,1% pada suhu 600 selama 5 – 10 menit ( literatur lain 15 menit )
sambil sekali-sekali diaduk, kemudian disaring dengan kertas saring rangkap 2 atau dengan filter asbes.

Cara mencegah terjadinya pirogen :


1. Air suling segar yang akan digunakan untuk pembuatan air untuk injeksi harus segera digunakan
setelah disuling.

2. Pada waktu disuling jangan ada air yang memercik

3. Alat penampung dan cara menampung air suling harus seaseptis mungkin

Sumber pirogen :

1. Air suling yang telah dibiarkan lama dan telah tercemar bakteri dari udara.

2. Wadah larutan injeksi dan bahan-bahan seperti glukosa, NaCl dan Na-sitrat.

Uji pirogenitas :

dengan mengukur peningkatan suhu badan kelinci percobaan yang disebabkan penyuntikan i.v sediaan
uji pirogenitas. Jumlah kelinci percobaan bisa 3, 6, 9, 12 ( secara detailnya lihat FI.ed.II )

Injectiones Bag. 3

4. Pemeriksaan kejernihan dan warna

Diperiksa dengan melihat wadah pada latar belakang hitam-putih, disinari dari samping. Kotoran
berwarna akan kelihatan pada latar belakang putih, kotoran tidak berwarna akan kelihatan pada latar
belakang hitam.

5. Pemeriksaan keseragaman bobot

Hilangkan etiket 10 wadah; Cuci bagian luar wadah dengan air; Keringkan pada suhu 1050;
Timbang satu per satu dalam keadaan terbuka ; Keluarkan isi wadah; Cuci wadah dengan air, kemudian
dengan etanol 95 % ; keringkan lagi pada suhu 1050 sampai bobot tetap; Dinginkan dan kemudian
timbang satu per satu

Bobot isi wadah tidak boleh menyimpang lebih dari batas yang tertera , kecuali satu wadah yang boleh
menyimpang tidak lebih dari 2 kali batas yang tertera.

Syarat keseragam bobot seperti pada tabel berikut ini.

Bobot yang tertera pada Batas penyimpangan ( %


etiket )

Tidak lebih dari 120 mg 10,0

Antara 120 mg dan 300 mg 7,5

300 mg atau lebih 5,0


3. Pemeriksaan keseragaman volume

Untuk injeksi dalam bentuk cairan, volume isi netto tiap wadah harus sedikit berlebih dari volume yang
ditetapkan. Kelebihan volume yang dianjurkan tertera dalam daftar berikut ini.

Volume pada etiket Volume tambahan yang dianjurkan

cairan encer cairan kental

0,5 ml 0,10 ml ( 20 % ) 0,12 ml ( 24 % )

1,0 ml 0,10 ml ( 10 % ) 0,15 ml ( 15 % )

2,1 ml 0,15 ml ( 7,5 % ) 0,25 ml ( 12,5 % )

5,0 ml 0,30 ml ( 6 % ) 0,50 ml ( 10 % )

10,0 ml 0,50 ml ( 5 % ) 0,70 ml ( 7 % )

20,0 ml 0,60 ml ( 3 % ) 0,90 ml ( 4,5 % )

30,0 ml 0,80 ml ( 2,6 % ) 1,20 ml ( 4 % )

50,0 ml atau lebih 2,00 ml ( 4 % ) 3,00 ml ( 6 % )

Injectiones Bag. 4

F. Syarat - Syarat Obat Suntik

Syarat berikut hanya berlaku bagi injeksi berair :

1. Harus aman dipakai, tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau efek toksis. Pelarut dan bahan
penolong harus dicoba pada hewan dulu, untuk meyakinkan keamanan pemakaian bagi manusia.

2. Jika berupa larutan harus jernih, bebas dari partikel-partikel padat, kecuali yang berbentuk
suspensi.

3. Sedapat mungkin lsohidris, yaitu mempunyai pH = 7,4, agar tidak terasa sakit dan penyerapannya
optimal.

4. Sedapat mungkin Isotonik, yaitu mempunyai tekanan osmose sama dengan tekanan osmose
darah / cairan tubuh, agar tidak terasa sakit dan tidak menimbulkan haemolisa. Jika terpaksa dapat
dibuat sedikit hipertonis, tetapi jangan hipotonis.

5. Harus steril, yaitu bebas dari mikroba hidup, baik yang patogen maupun yang apatogen, baik
dalam bentuk vegetatif maupun spora.
6. Bebas pirogen, untuk larutan injeksi yang mempunyai volume 10 ml atau lebih sekali penyuntikan.

7. Tidak boleh berwarna kecuali memang zat berkhasiatnya berwarna.

G. Penandaan menurut FI.ed.IV

Larutan intravena volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam
wadah bertanda volume lebih dari 100 ml.;

Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml atau
kurang.

Penandaan : Pada etiket tertera nama sediaan, untuk sediaan cair


tertera persentase atau jumlah zat aktif dalam volume tertentu, untuk sediaan kering tertera jumlah zat
aktif, cara pemberian, kondisi penyimpanan dantanggal kadaluwarsa, nama pabrik pembuat dan
atau pengimpor serta nomor lotatau nomor bets yang menunjukkan identitasnya. Wadah injeksi yang
akan digunakan untuk dialisis, hemofiltrasi atau cairan irigasi dan volume lebih dari 1 liter, diberi
penandaan bahwa sediaan tidak digunakan untuk infus intravena., untuk injeksi yang mengandung
antibiotik : juga harus tertera kesetaraan bobot terhadap U.I dan tanggal kadaluwarsanya. Injeksi untuk
hewan ditandai untuk menyatakan khasiatnya.

Pengemasan; Sediaan untuk pemberian intraspinal, intrasisternal atau pemakaian


peridural dikemas hanya dalam wadah dosis tunggal.

H. Keuntungan dan Kerugian Bentuk Sediaan Injeksi

Keuntungan :

1. Bekerja cepat , misalnya pada injeksi Adrenalin pada schock anfilaksis.

2. Dapat digunakan jika : obat rusak jika kena cairan lambung, merangsang jika ke cairan lambung,
tidak diabsorpsi secara baik oleh cairan lambung.

3. Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin

4. Dapat digunakan sebagai depo terapi

Kerugian :

1. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukar dilakukan pencegahan.

2. Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga khusus.

3. Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan.

4. Secara ekonomis lebih mahal dibanding dengan sediaan yang digunakan per oral.

Anda mungkin juga menyukai