Anda di halaman 1dari 22

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................i
BAB I......................................................................................................................................1
PENDAUHULUAN................................................................................................................1
1.1 Tujuan Praktikum..................................................................................................1
1.2 Teori Dasar.............................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................5
MONOGRAFI ZAT AKTIF.................................................................................................5
BAB III..................................................................................................................................6
MONOGRAFI ZAT TAMBAHAN.................................................................................6
1. Natrii Dihydrogen Phosphas.........................................................................................6
2. Dinatrii Hidrogen Phosphas..........................................................................................6
3. Fenil Merkuri Nitrat......................................................................................................6
4. Tilose...............................................................................................................................7
5. Aqua Pro Injection (API)..............................................................................................7
BAB IV....................................................................................................................................9
3.1 Alat dan Bahan.............................................................................................................9
3.2 Metode...................................................................................................................9
3.3 Formula Lengkap...........................................................................................10
3.4 Perhitungan Tonisitas.................................................................................10
3.5 Perhitungan Bahan.......................................................................................10
3.6 Penimbangan Bahan....................................................................................12
BAB V...................................................................................................................................13
PROSEDUR.........................................................................................................................13
BAB VI..................................................................................................................................14
PEMBAHASAN...................................................................................................................14
BAB VIII...............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................17

i
ii
BAB I

PENDAUHULUAN

1.1 Tujuan Praktikum

Setelah melakukan praktikum ini, praktikan diharapkan


bisa:

1. Memahami pembuatan sediaan steril dengan teknik


aseptis.
2. Memahami pembuatan injeksi testosterone suspensi.
1.2 Teori Dasar

Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan


steril berupa larutan, emulsi, suspense atau serbuk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau
melalui kulit atau melalui selaput lender (FI.III.1979).
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi
adalah injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang.
Umumnya hanya larutan obat dalam air yang bisa diberikan secara
intravena. Suspensi tidak diberikan karena berbahaya yang dapat
menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kapiler.
(FI.IV.1995).
Obat dibuat steril karena berhubungan langsung dengan darah
atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang pertahannya terhadap
zat asing tidak selengkap pada saluran cerna atau gastrointestinal,
misalnya hati yang dapat berfungsi untuk menetralisir atau
menawarkan racun (detoksifikasi). Diharapkan dengan kondisi steril
dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak berlaku

1
relatif steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan
tidak steril. Sediaan farmasi yang perlu disterilkan adalah obat suntik
infeksi, tablet implant, tablet hipodermik, dan sediaan untuk mata
sperti teted mata (guttae ophth), obat cuci mata (collyrium), dan salep
mata (oculenta). (Syamsuni. 2007 : 181-182).
Steril adalah suatu keadaan di mana suatu zat
bebas dari mikroba hidup, baik yang patogen
(menimbulkan penyakit) maupun apatogen/non patogen
(tidak menimbulkan penyakit), baik
dalam bentuk vegetatif (siap untuk berkembang biak) m
aupun dalam bentuk spora (dalam keadaan statis,tidak
dapat berkembang biak, tetapi melindungi diri dengan
lapisan pelindung yang kuat). Sterilisasi adalah suatu
proses untuk membuat ruangan/benda menjadi steril.
Sterilisasi adalah suatu proses untuk membuat ruang/
benda menjadi steril. Sedangkan sanitasi adalah suatu
proses untuk membuat lingkungan menjadi sehat.

Cara-cara sterilisasi Menurut FI ed IV

1. Cara A ( pemanasan secara basah ; otoklaf pada


suhu 115°-116° selama 30 menit dengan uap air
panas).
2. Cara B ( dengan penambahan bakterisida).
3. Cara C ( dengan penyaring steril).
4. Cara D ( pemanasan secara kering; oven pada suhu
150° selama satu jam dengan udara panas).

2
5. Cara Aseptik (mencegah dan menghindari
lingkungan dari cemaran bakteri seminimal
mungkin).

Vial merupakan wadah dosis ganda, disegel


dengan karet atau penutup plastik yang memiliki
sebuah area yang kecil dan tipis (dikenal sebagai
diafragma) di tengahnya. Diafragma memungkinkan
pemasukkan sebuah jarum hipodermik dan penarikan
isinya. Vial didesain sedemikian sehingga sebuah jarum
dapat dengan mudah dimasukkan tanpa menyobek
fragmen dan sehingga vial akan menutup kembali saat
penarikan jarum. (Parrot, E.L., 1971.)
Pembuatan sediaan yang akan digunakan injeksi harus hati-hati
untuk menghindari kontaminasi mikroba dan bahan asing. Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) mensyaratkan pula tiap wadah
akhir injeksi harus diamati satu persatu secara fisik.
Produk steril yang banyak diproduksi di industri farmasi adalah
dalam bentuk larutan terbagi (ampul) dan bentuk serbuk padat siap
untuk digunakan dengan diencerkan terlebih dahulu dengan larutan
pembawa (vial).
Kapasitas vial serum 1-50 ml, bentuknya mirip ampul tetapi
disegel dengan pemanasan. Ditutup dengan penutup karet spiral. Botol
serum juga dapat sebagai botol tipe army dengan kisaran 75-100 ml
dan memiliki mulut yang lebar dimana ditutup dengan penutup karet
spiral. Labu atau tutup yang lebih besar menganandung 250-2000 ml
digunakan untuk cairan parenteral yang besar seperti NaCl isotonis.
Vial didesain sedemikian sehingga sebuah jarum
dapat dengan mudah dimasukkan tanpa menyobek

3
fragmen dan sehingga vial akan menutup kembali saat
penarikan jarum. (Parrot, E.L., 1971.)
Keuntungan:
1. Lebih dari satu dosis dapat diambil pada waktu yang
berbeda
2. Fleksibilitas dosis yang dapat diberikan oleh ahlinya
3. Lebih aman daripada dosis tunggal (Rhemingtons
Pharmaceutical Science 18th edition).
Kerugian:
1. Membutuhkan perhatian teknik aseptik yang penuh,
meliputi spuit dengan jarum suntik
2. Suntik steril untuk pengambilan dosis
3. Pengawet dapat diserap permukaan penutup
4. Risiko kontaminasi mikroorganisme dan virus
(Rhemingtons Pharmaceutical Science 18th edition).

Testosteron merupakan senayawa kimia yang


memiliki kimia yang memiliki rumus C 19H28O6, ini
hormon steroid dari kelompok androgen. Penghasil
utama testosteron adalah testis pada jantan dan indung
telur (ovari) pada betina, walaupun sejumlah kecil
hormon ini juga dihasilkan oleh zona retikularis korteks
kelenjar adrenal. Hormon ini merupakan hormon seks
jantan utama dan merupakan sterois anabiotik. Baik
pada jantan maupun betina, tertoren memegang
peranan penting bagi kesehatan libido, energi, fungsi
imun, dan pelindungan ada terhadap osteoporosis.

4
BAB II
MONOGRAFI ZAT AKTIF

1. Testosteron Propionat

Nama Resmi : TESTOSTERONe PROPIONATE

Sinonim : Testosteron propionas

Struktur Kimia : C22H32O3

5
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur, putih atau
putih krem, tidak berbau dan stabil di
udara (FI IV,775).

Bubuk putih atau hampir putih atau kristal


tak berwarna, praktis tidak larut dalam air,
bebas larut dalam aseton, dalam alkohol
dan dalam metanol, larut dalam minyak
lemak. (British Pharmacopeia, 2009)

Kelarutan : Tidak larut dalam air, mudah larut dalam


metanol, dalam dioksan, dalam eter, dan
dalam pelarut organik lain, larut dalam
minyak nabati.

Dosis Lazim : 10 mg/hari (i.m.)

Dosis Maksimal : -

Titik Leleh / Lebur : ± 119o -123oC

Stabilitas :-

OTT : Testosteron propionat OTT dengan alkali


dan zat pengoksidasi.

pH : 4-7,5

Kontraindikasi : Karsinoma prostat

Khasiat :Defisiensi androgen (hipogonadisme,


hipogonadotropin), keterlambatan pubertas
pada pria, kanker payudara
(karsinomamae).

6
BAB III
MONOGRAFI ZAT TAMBAHAN

1. Natrii Dihydrogen Phosphas


Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak
berbau dan asin.
Kelarutan : Larut dalam 1 bagian air, sangat mudah larut dalam
etanol 95%.
Berat molekul : 156,01
pH : 4,1-4,5
BJ : 1,915 g/mol
Penyimpanan : Tertutup rapat, ditempat sejuk dan kering.
Kegunaan : Sebagai larutan penyangga, zat tambahan.
(Sumber : Farmakope Indonesia edisi III hal 409,HOPE 6th, hal. 659)

2. Dinatrii Hidrogen Phosphas


Berat Molekul : 358,14
Pemerian : Serbuk hablur putih atau hampir putih, tidak
berbau, rasa asin. Dalam udara kering
merapuh.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, air pana, praktis
tidak larut dalam etanol 95%.
pH : 9,0-9,4
Kegunaan : Sebagai larutan penyangga, zat tambahan
Penyimpanan : Tertutup rapat, ditempat sejuk dan kering.

7
(Sumber : Farmakope Indonesia edisi III hal 227,HOPE 6th, hal. 656)

3. Fenil Merkuri Nitrat


Rumus Kimia : C12H11HgNO4
Berat molekul : 634,45

Pemerian : Terdiri dari senyawa fenil merkuri hidroksida


dan fenil merkuri nitrat dalam jumlah molekul
yang sama dan berupa serbuk kristal, putih
dengan aromanya yang ringan.

Kelarutan : Mudah larut dalam gliserin, larut dalam


minyak lemak, agak sukar larut dalam air, dan
praktis tidak larut dalam etanol.

Titik : 187-190℃

Kegunaan : Sebagai bahan pengawet dan antiseptik.

Penyimpanan : Tertutup rapat, terlindung dari cahaya ditempat


sejuk dan kering.

(Sumber : HOPE 6th, hal. 496)

4. Tilose
Pemerian : Hablur berwarna putih, hampir putih, tidak
berbau, rasa asin. Dalam udara kering merapuh.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam aseton, etanol, eter,
dan toluene, mudah tercampurkan dengan air.
pH : 6-8,5
Titik leleh : 227℃
Kegunaan : Sebagai bahan pengawet dan antiseptik.

8
Penyimpanan : Tertutup rapat, terlindung dari cahaya ditempat
sejuk dan kering.

(Sumber : HOPE 6th, hal. 118)

5. Aqua Pro Injection (API)


Air untuk injeksi adalah air suling segar yang disuling kembali,
disterilkan dengan cara sterilisasi A atau C.
Pemerian : Cairan jernih, tidak berasa, tidak berbaudan
tidak berwarna.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan pelarut polar,
elektrolit.
OTT : Dalam sediaan farmasi, air dapat bereaksi
dengan obat dan zat tambahan lainnya yang
mudah terhidrolisis (mudah terurai dengan
adanya air atau kelembaban).
Stabilitas : Air stabil dalam setiap keadaan (padat, cairan,
uap panas).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup kedap. Jika disimpan
dalam wadah bertutup kapas berlemak harus
digunakan dalam waktu 3 hari setelah
pembuatan.
Penggunaan : Untuk Pembuatan injeksi.
(Sumber : Farmakope Indonesia edisi III, hal. 97)

9
BAB IV

3.1 Alat dan Bahan

A. Alat
1. Beaker Glass
2. Erlenmeyer
3. Mortir
4. Syringe
5. Spatel logam
6. Batang pengaduk
7. Vial
8. Stamper
9. Tutup karet vial
10. Alu Cap

B. Bahan
1. Testosteron Propionat
2. NaH2PO4
3. Na2HPO4
4. Fenil merkuri nitrat
5. Tilose

10
6. Aqua pro injection
3.2 Metode
Sterilisasi Alat
1. Alat
ALAT STERILISASI WAKTU
Beaker Glass Oven 170o C 30’
Mortit & Stamper Dibakar 20’
Vial Bening Oven 170oC 30’
Erlenmeyer Oven 170oC 30’
Spatel Logam Api langsung 20’
Batang Pengaduk Api langsung 20’
Syringe Autoklaf 121oC 15’

3.3 Formula Lengkap

Testosteron 1%

NaH2PO4 0,32%

Na2HPO4 0,568%

NaCl 0,46%

Fenil merkuri nitrat 0,001%

Tylose 0,1%

Aqua pro injection ad 10 mL

11
3.4 Perhitungan Tonisitas

Sediaan injeksi pembawa non air tidak perlu menghitung


tonisitas karena tidak memiliki titik beku.

3.5 Perhitungan Bahan


Konsentrasi Testosteron Ppropionat
BM Testosteron Propionat
C= x C Testosteron
Testosteron
344,49
= x 10 mg
288,42
= 11,9 mg
Suspensi Testosteron = n.c + 6 mL
= 1.10,5 + 6 mL
= 10,5 + 6 mL = 16,5 mL ~ 15 mL

1
Testosteron : x 10 = 0,1 g = 100 mg/10 = 10
100
mg

0,32
NaH2PO4 : x 10 = 0,032 g = 32 mg/10 =
100
3,2 mg
0,568
Na2HPO4 : x 10 = 0,0568 g = 56,8 mg/10
100
= 5,68 mg
0,46
NaCl : x 10 = 0,046 g = 46 mg/10 =
100
4,6 mg

12
0,001
Fenil merkuri nitrat : x 10 = 0,1 mg/10 = 0,01
100
mg
0,1
Tylose : x 10 = 0,01 g = 10 mg/10
100
=1 mg

Volume Produksi :

10
Testosteron : x 15 = 150 mg
1

3,2
NaH2PO4 : x 15 = 48 mg
1
5,68
Na2HPO4 : x 15 = 85,2 mg
1
4,6
NaCl : x 15 = 69 mg
1
0,01
Fenil merkuri nitrat : x 15 = 0,15 mg = 3 tetes
1
0,1
Tylose : x 15 = 1,5 mg
1

Volume
Satuan Dasar
Produksi
Bahan
1 ml 1 vial / 15
ml
Testosteron Propionat 10 mg 150 mg
NaH2PO4 3,2 mg 48 mg
Na2HPO4 5,68 mg 85,2 mg
NaCl 4,6 mg 69 mg
Fenilmerkuri nitrat 0,01 mg 0,15 mg

13
Tylose 0,1 mg 1,5 mg

3.6 Penimbangan Bahan

Nama Zat Jumlah


Fenilmerkurinitrat 0,15 mg
Tylose 1.5 mg
NaH2PO4 48 mg
NaCl 69 mg
Na2HPO4 85,2 mg
Testosteron 150 mg

BAB V

PROSEDUR

1. Dilarutkan NaHPO4 dalam sebagian aqua pro injeksi


2. Dilarutkan Na2HPO4 dalam sebagian aqua pro injeksi
3. Kedua larutkan tersebut dicampur
4. Dilarutkan NaCl dalam sebagian a.p.i, kemudian dicampurkan
ke larutan 3
5. Ditambahkan larutan fenil merkuri nitrat ke larutan (4)
6. Cek pH= 5
7. Larutan disaring, filtrat pertama dibuang

14
8. Campurkan tylose yang telah dikembangkan ke larutan (7),
kemudian masukkan dalam vial ad kan sampail 15 mL
9. Disterilkan dalam autoklaf 121℃ selama 15 menit (jam
10. Disuspensikan testosterone dengan larutan (9) secara
aseptic
11. Dimasukkan dalam vial, tambahkan larutan (9) ad 10,5 mL

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan injeksi


testosteron, dimana testosteron yang digunakan yaitu
testosteron dalam bentuk garamnya atau disebut sebagai
testosteron propionat. Testosteron propionate tidak larut
dalam air tetapi larut dalam minyak. Setelah dilarutkan
menggunakan minyak tetap testosterone propionate tidak
larut tetapi membentuk gumpalan. Sehingga testosteron yang
digunakan yaitu testosteron yang bukan propionat melainkan
testosterone saja.

15
Pembuatan injeksi testosteron ini dalam bentuk
suspensi dengan pembawa aqua pro inejection. Berdasarkan
literatur testosteron memiliki pH stabil pada rentang pH 4,7-5.
Sediaan dibuat untuk pemakaian injeksi intra muskular
dikarenakan rentang pH injeksi mirip dengan pH cairan tubuh
sehinga aman penggunaanya meskipun pemakaiannya
dengan cara intra muskular. Untuk menjaga kestabilan pH
sediaan ditambahkan dengan dapar fosfat yang terdiri dari
campuran Natrium dihidrogen dengan Dinatrium hidrogen
fosfat.

Dalam pembuatan injeksi intra muskular ini tidak perlu


adanya penambahan zat pengisotonis, dikarenakan sediaan
dalam bentuk larutan minyak tidak memiliki nilai titik beku.
Pemberiannya melalui cara injeksi intra muskular dikarenakan
jika pemberiannya dalam bentuk intra vena akan
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah.

Testosteron ini sangat mudah larut dalam minyak


nabati, dimana minyak nabati yang digunakan harus
memenuhi persyaratan oleum pro injection, seperti harus
jernih pada suhu 100℃, pemerian, sisa pemijaran, syarat
kelarutan, minyak mineral, minyak harsa, senyawa belerang,
logam harus memenuhi persyaratan yang tertera pada oleh
Pingua, bilangan asam tidak kurang dari 0,2 dan tidak labih
dari 0,9, bilangan iodium tidak kurang dari 79 dan tidak lebih
dari 128, serta bilangan penyabunannya tidak kurang dari
185 dan tidak lebih dari 200.

Pembuatan sediaan injeksi testosterone ini dibuat


dengan cara aseptik, yaitu dengan menggunakan LAF

16
(Laminar Air Flow). LAF ini bukan merupakan cara sterilisasi
melainkan suatu pengkondisian bahan dan alat dari
lingkungan sekitar, untuk mencegah terjadinya kontaminasi.
Pada sediaan injeksi testosterone ini tidak menggunakan
sterilisasi cara panas basah atau dengan autoklaf dikarenakan
adanya minyak sebagai pelarut yang sangat tidak mungkin
dilakukan pemanasan. Sehingga dilakukan cara aseptik
menggunakan LAF.

Pertama yang dilarutkan yaitu larutkan Natrium


dihidrogen fosfat dan Dinatrium hidrogen masing-masing,
kemudian kedua larutan tersebut dicampur. Setelah itu
dilarutkan NaCl dalam sebagian aqua pro injection dan
dicampurkan. Ditambahkan larutan Fenil merkuri nitrat,
setelah itu larutan dicek pH. pH yang didapat dalamn
praktikum ini adalah 5, kemudian larutan disaring dan filtart
yang pertama dibuang. Campurkan tylose yang telah
dikembangkan ke larutan , kemudian masukkan dalam vial
ad kan sampail 15 mL, kemudian disterilkan dalam autoklaf
121℃ selama 15 menit. Disuspensikan testosterone dengan
larutan secara aseptic dan dimasukkan dalam vial,
tambahkan larutan ad 10,5 mL.

Selanjutnya evaluasi kejernihan hasilnya sediaan


tersebut agak keruh dan terdapat dua bagian antara minyak
dan air. Dimana sediaan tersebut suspense. Tetapi
seharusnya sediaan injeksi testosteron harus dalam pembawa
minyak sehingga didapat sediaan jernih dan homogeny.
Sedangkan dengan pembawa air sediaan terdapat dua lapisan
antara air dan minyak. Kemudian bentuk fisiknya baik.

17
BAB VII

PENUTUP

Kesimpulan

Dari hasil pembuatan injeksi testosteron didapat hasil bahwa


sediaan yang dibuat kurang baik dikarenakan sediaan larutan tidak
homogen melainkan terdapatnya dua lapisan yang tidak saling
bercampur antara air dan minyak, dikarenakan pembawanya air.
Hal tersebut dapat mempengaruhi pada proses pemberiannya.
Sehingga testosteron yang baik yaitu sediaan testosteron dengan
pembawa minyak.

18
BAB VIII

DAFTAR PUSTAKA

British Pharmacopeia Commission . 2009. British


Pharmacopeia. Vol 1. The Stationery Office, London

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta.


Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta.


Departemen Kesehatan RI.

Gennaro, R.A. (1990). Remington’s Pharmaceutical Science.


18th ed. Marck Publishing Co, Easton

Komariah, Nurul Annisa. “Laporan Steril Testosteron Propionat


= Brosur Untuk Kemasannya”. 6 November 2017.
https://www.scribd.com/doc/219225551/Laporan-Steril-
Testosteron-Propionat-Brosur-Untuk-Kemasannya

Parrot, L.E. (1971). Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics.


Burgess Publishing Co. USA.

Reynolds, James E. F. 1982. Martindale The Extra


Pharmacopoiea. Twenty-Eigth Edition. Pharmaceutical Press
: London.

19
Syamsuni, H.A. (2007). Ilmu Resep. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

KEMASAN

20

Anda mungkin juga menyukai