Anda di halaman 1dari 9

FARMASEUTIKA II

Sterilisasi Sediaan Injeksi

NAMA : AZRI APRISONIA SARITA

BP : 18160044

KELAS : 5 FARMASI 2

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS DHARMA ANDALAS

PADANG
Sterilisasi Sediaan Injeksi
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril.
Secara tradisional keaadan sterill adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai
akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini
menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai konotasi relative, dan
kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya dapat
diduga atas dapat proyeksi kinetis angka kematian mikroba
Injeksi telah digunakan untuk pertama kalinya pada manusia sejak tahun
1660, meskipun demikian perkembangan pertama injeksi semprot baru
berlangsung pada tahun 1852, khususnya pada saat dikenalkannya ampul gelas,
untuk mengembangkannya bentuk aplikasi ini lebih lanjut. Ampul gelas secara
serempak dirumuskan oleh apoteker Limoisin (Perancis) dan Friedlender (Jerman)
pada tahun 1886.Injeksi adalah sediaan steril yang disuntikkan dengan cara
merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lender.

Ampul

Ampul adalah wadah berbentuk silindris yang terbuat dari gelas yang
memiliki ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar. Ukuran nominalnya adalah
1, 2, 5, 10, 20 kadang-kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah wadah takaran
tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan pemakaian dalam satu kali
pemakaiannya untuk satu kali injeksi. Menurut peraturan ampul dibuat dari gelas
tidak berwarna, akan tetapi untuk bahan obat peka cahaya dapat dibuat dari bahan
gelas berwarna coklat tua. Ampul gelas berleher dua ini sangat berkembang pesat
sebagai ampul minum untuk pemakaian peroralia (R. Voigt hal. 464)
Ampul merupakan wadah takaran tunggal sehingga penggunaannya untuk
satu kali injeksi. Ampul dibuat dari bahan gelas tidak berwarna akan tetapi untuk
bahan obat yang peka terhadap cahaya, dapat digunakan ampul yang terbuat dari
bahan gelas berwarna coklat tua.
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara dalam keadaan:
1. Tidak perlu pengawet karena merupakan takaran tunggal
2. Tidak perlu isotonis
3. Diisi melalui buret yang ujungnya disterilkan terlebih dahulu dengan
alkohol 70 % Buret dibilas dengan larutan obat sebelum diisi

Vial

Vial adalah salah satu wadah dari bentuk sediaan steril yang umumnya
digunakan pada dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5-100 ml. Vial
dapat berupa takaran tunggal atau ganda. Digunakan untuk mewadahi serbuk
bahan obat, larutan atau suspensi dengan volume sebanyak 5 mL atau lebih besar.
Bila diperdagangan, botol ini ditutup dengan sejenis logam yang dapat dirobek
atau ditembus oleh jarum injeksi untuk menghisap cairan injeksi. (R. Voight hal
464).
Hal yang perlu diperhatikan untuk sediaan injeksi dalam wadah vial (takaran
ganda):
1. Perlu pengawet karena digunakan berulang kali sehingga kemungkinan
adanya kontak dengan lingkungan luar yang ada mikroorganismenya
2. Tidak perlu isotonis, kecuali untuk subkutan dan intravena harus
dihitung isotonis (0,6% – 0,2%) (FI IV hal. 13)
3. Perlu dapar sesuai pH stabilitasnya
4. Zat pengawet (FI IV hal 17) keculai dinyatakan lain, adalah zat pengawet
yang cocok yang dapat ditambahkan ke dalam injeksi yang diisikan
dalam wadah ganda/injeksi yang dibuat secara aseptik, dan untuk zat
yang mepunyai bakterisida tidak perlu ditambahkan pengawet
R.Voight menyatakan bahwa, botol injeksi vial ditutup dengan sejenis logam
yang dapat dirobek atau ditembus oleh jarum injeksi untuk menghisap cairan
injeksi. Injeksi intravena memberikan beberapa keuntungan :

1. Efek terapi lebih cepat


2. Dapat memastikan obat sampai pada tempat yang diinginkan
3. Cocok untuk keadaan darurat
4. Untuk obat-obat yang rusak oleh cairan lambung.

Macam – macam cara penyuntikan (Syamsuni,2006)

a. Injeksi intrakutan atau intradermal


Dimasukkan kedalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosis.
Volume yang disuntikkan antara 0,1-0,2 ml, berupa larutan atau suspensi
dalam air.
b. Injeksi subkutan
Disuntikkan kedalam jaringan dibawah kulit kedalam alveolus, volume yang
disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. Umumnya larutan bersifat isotonis, pH
netral, dan bersifat depo (absorpsinya lambat). Dapat diberikan dalam
jumlah besar (volume 3-4 liter/hari dengan penambahan enzim
hialuronidase), jika pasien tersebut tidak dapat menerima infus intravena.
Cara ini disebut “Hipodermoklisa”.
c. Injeksi intramuscular
Disuntikkan kedalam atau diantara lapisan jaringan atau otot. Injeksi dalam
bentuk larutan, suspensi atau emulsi dapat diberikan dengan cara ini. Yang
berupa larutan dapat diserap dengan cepat, yang berupa emulsi atau suspensi
diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkan efek yang lama.volume
penyuntikan antara 4-20 ml, disuntikkan perlahan-lahan untuk mencegah
rasa sakit.
d. Injeksi intravena
Disuntikkan langsung kedalam pembuluh darah vena. Bentuknya berupa
larutan, sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh diberikan
melalui rute ini, sebab akan menyumbat pembuluh darah vena yang
bersangkutan. Injeksi dibuat isotonis, tetapi jika terpaksa dapat sedikit
hipertonis, volume antara 1-10 ml.
e. Injeksi intraarterium
Disuntikkan ke pembuluh darah arteri/perifer/tepi, volume antara 1-10 ml,
tidak boleh mengandung bakterisida.
f. Injeksi intrakordal atau intrakardiak
Disuntikkan langsung kedalam otot jantung atau ventrikel, tidak boleh
mengandung bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.
g. Injeksi intratekal
Disuntikkan langsung kedalam saluran sumsum tulang belakang di dasar
otak (antara 3-4 atau 5-6 lumbar vertebrata) tempat terdapatnya cairan
cerebrospinal. Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan serebrospinal
lambat, meskipun larutan anestetik untuk sumsum tulang belakang sering
hipertonis. Jaringan saraf di daerah anatomi ini sangat peka.
h. Injeksi intraartikular
Disuntikkan kedalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuknya
suspensi atau larutan dalam air.
i. Injeksi subkonjungtiva
Disuntikkan kedalam selaput lendir dibawah mata. Berupa suspensi atau
larutan, tidak lebih dari 1 ml.
j. Injeksi intrabursa
Disuntikkan kedalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam bentuk
larutan suspensi dalam air.
k. Injeksi intraperitoneal
Disuntikkan langsung kedalam rongga perut. Penyerapan berlangsung cepat,
namun bahaya infeksi besar.
l. Injeksi peridural
Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak di atas durameter, lapisan
penutup terluar dari otak dan sumsum tulang belakang.

Syarat-syarat sediaan injeksi sebagai berikut :

a) Steril, yaitu sediaan harus bebas dari mikroorganisme yang bersifat pathogen
yang dapat mengurangi khasiat sediaan.
b) Bebas bahan partikulat, yaitu bebas dari bahan asing atau bahan yang tidak
larut agar tidak terjadi penyumbatan pada pembuluh darah saat digunakan.
c) Stabil, tidak berubah khasiat obat, tidak berubah bentuk atau pH dari
sediaan.
d) Harus isotonis
Strategi Peningkatan Objektivitas Hasil Uji Inspeksi Visual Sediaan
Injeksi: Review
Salah satu bentuk sediaan yang sering digunakan adalah injeksi, menurut
Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi umumnya berupa larutan obat dalam air
yang bisa diberikan secara intravena dan dikemas dalam wadah 100 mL atau
kurang. Sediaan steril injeksi dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Adapun
syarat sediaan steril adalah sterilitas, bebas kontaminasi pirogenik dan endotoksin,
bebas partikulat, stabil secara fisika, kimia, dan mikrobiologi, isotonis, dan
isohidris.

Inspeksi visual merupakan suatu metode untuk mendeteksi adanya partikulat


asing dalam sediaan. Tahapan ini merupakan proses yang paling sulit dalam
tahapan proses quality control. Partikulat dalam sediaan dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, baik dalam proses produksi, bahan baku, peralatan yang
digunakan, maupun kemasan yang digunakan. Adanya partikulat dalam sediaan
injeksi dapat menimbulkan bahaya biologis, bahaya yang dapat ditimbulkan antara
lain, menyebabkan luka yang dapat memicu terjadinya infeksi dan inflamasi,
menstimulasi respon imun tubuh seperti terjadinya alergi atau anafilaksis,
tromboemboli hingga timbulnya granuloma paru dan emboli.

Metode
Metode yang digunakan pada Literature Review ini adalah dengan
mengumpulkan data dari beberapa compendial, buku ilmiah dan referensi jurnal
ilmiah yang berkaitan dengan inspeksi visual sediaan injeksi. Adapun kriteria yang
digunakan untuk jurnal ilmiah yaitu jurnal yang telah dipublikasi baik pada jurnal
nasional maupun jurnal internasional tahun 2005-2019 yang berhubungan dengan
cara pelaksanaan uji inspeksi visual dan tahapan untuk meningkatkan objektivitas
hasil uji inspeksi visual. Jumlah referensi yang digunakan dalam literature review
ini sebanyak 17 referensi, yang terdiri dari 10 jurnal utama dan 7 referensi
pendukung.

Kesimpulan

Peningkatan objektivitas hasil uji inspeksi visual dapat dilakukan dengan


memperhatikan parameter–parameter pengujian seperti kontras background,
cahaya, pergerakan partikel, waktu dan kecepatan inspeksi, waktu istirahat
operator, serta jumlah operator. Selain itu untuk mengoptimalkan keakuratan
keputusan lulus/gagal dari hasil inspeksi dapat dilakukan dengan membuat analisis
bagan, dilanjutkan dengan penentuan spesifikasi cacat, evaluasi kinerja, hingga
sertifikasi operator.
Evaluasi Peracikan Sediaan Steril untuk Pasien Pediatri Rawat
Inap di Rumah Sakit “X” Kota Semarang, Indonesia
Peracikan sediaan steril perlu memperhatikan beberapa aspek kritis yang
dapat mempengaruhi kualitas sediaan steril yang dihasilkan. Aspek kritis yang
perlu diperhatikan yaitu personil yang melakukan peracikan, sarana dan prasarana
yang menunjang, serta prosedur peracikan. Disamping itu, kondisi pengelolan hasil
sediaan steril racikan perlu diperhatikan untuk menjamin stabilitas obat tetap
terjaga sehingga dapat menjamin kualitas obat yang dihasilkan
Penelitian Pandini (2016) menunjukkan bahwa sarana prasarana serta prosedur
pencampuran sediaan steril injeksi yang dilakukan sebuah Rumah Sakit di daerah
Cilacap, belum sesuai dengan Pedoman Pencampuran Obat Suntik. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Lucida (2014)6 dan Maharani (2010)7 menunjukkan bahwa
pencampuran sediaan parenteral (steril) yang dilakukan di beberapa rumah sakit belum
memperhatikan teknik aseptis serta adanya potensi inkompatibilitas yang tinggi.

METODE
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan cross-
sectional dan cara pengambilan sampel incidental sampling. Data diambil
menggunakan lembar checklist yang dibuat berdasarkan Pedoman Pencampuran
Obat Suntik dan Sitostatika 2009. Pengambilan data dilakukan secara prospektif
di bangsal rumah sakit “X” dengan nomor ijin 748.3/X/LP/DIKLAT/VII/2017.
Penelitian ini
merupakan gabungan antara metode observasi prospektif di rumah sakit dan
pembuktian di laboratorium.
Objek penelitian yang dibutuhkan adalah resep dokter yang didalamnya
terdapat sediaan racikan steril untuk pasien pediatri, proses peracikan sediaan
steril, serta racikan sediaan steril dari Rumah Sakit “X” di kota Semarang.
Penelitian ini, terdiri dari 2 bagian, yaitu observasi proses peracikan dan
evaluasi kualitas hasil racikan sediaan steril.

Observasi proses peracikan


Peneliti melakukan observasi pada personil peracik sediaan steril,
sarana dan prasarana yang mendukung, prosedur peracikan sediaan steril
serta hasil racikan sediaan steril tersebut. Mencatat kejadian yang terjadi
selama proses peracikan menggunakan lembar checklist yang disesuaikan
dengan Pedoman Peracikan Obat Suntik dan Sitostatika 2009. Selanjutnya
peneliti menghitung persentase ketidaksesuaian proses peracikan di
rumah sakit tersebut.
Evaluasi hasil racikan sediaan steril
Evaluasi kualitas sediaan hasil racikan dilakukan pada 3 sampel
racikan sediaan steril dengan frekuensi peracikan terbesar. Pengamatan
kompatibilitas fisik dilakukan dengan melakukan pengamatan secara visual
terhadap hasil sediaan racikan apakah masih terdapat partikel yang
melayang (obat tidak larut), adanya endapan, perubahan warna dan
fenomena lainnya yang menurut literatur (Handbook of Injectable Drug)
tidak seharusnya terjadi dalam sediaan racikan steril tersebut.
Pengujian pH dilakukan untuk mengetahui apakah pH sediaan sudah
sesuai dengan pH obat menurut literatur atau belum, dimana pH merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas dan kelarutan sediaan
tersebut12. Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat pH meter merk
Ohauss13.Pengujian stabilitas dengan spektrofotometri UV
(Spectrophotometer Shimadzu UV-1800) dengan panjang gelombang
teoritis masing-masing sampel

Hasil penelitian menunjukkan bahwa personil peracik, sarana prasarana serta


prosedur pencampuran sediaan steril injeksi di bangsal anak rumah sakit “X”
belum sesuai dengan Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan
Sitostatika 2009. Evaluasi sediaan steril racikan secara keseluruhan yaitu pH
sediaan Ceftriaxone & Cefotaxime sesuai literature dan pH sediaan Omeprazole
tidak sesuai literature, tidak terjadi inkompatibilitas, sediaan bebas dari
pertumbuhan bakteri dan stabilitas fisik obat rendah jika dilihat dari nilai
transmitan yang diperoleh

Anda mungkin juga menyukai